بسم
الله الرحمن الرحيم
Tata Cara Shalat Nabi
Shallallahu 'alaihi Wa Sallam
Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya,
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ
أُصَلِّيْ
“Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Atas dasar hadits ini, kami ingin menyampaikan sifat (tata cara)
shalat yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan harapan
kita semua dapat menirunya.
Sifat shalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika hendak shalat
berdiri menghadap kiblat.
Beliau berdiri dekat dengan sutrah[i]
(penghalang; baik berupa dinding, kayu, cagak, atau lainnya) agar tidak
dilewati orang. Jarak berdiri Beliau dengan sutrah kira-kira tiga hasta (satu
hasta adalah dari ujung jari tengah hingga ujung sikut).
Sebelum memulai shalat, kita harus berniat di hati (tidak di
lisan), karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda “Innamal
a’maalu bin niyyaat” (artinya: Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat).
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir,
mengucapkan “Allahu akbar,” sambil mengangkat kedua tangan. Terkadang ucapan
takbir Beliau bersamaan dengan mengangkat kedua tangan, terkadang sebelum
mengangkat kedua tangan (HR. Bukhari dan Nasa’i) dan terkadang setelah
mengangkat kedua tangan (HR. Bukhari dan Abu Dawud). Jari-jari tangan Beliau
tegak, tidak direnggangkan dan tidak dirapatkan. Kedua telapak tangan Beliau
setentang dengan bahu, terkadang setentang dengan telinga[ii].
Setelah itu, Beliau menaruh tangan kanan di atas tangan kiri
(bersedekap) di dadanya (boleh digenggam tangan kirinya dan boleh juga tidak).
Telapak tangan kanan Beliau diletakkan di atas telapak tangan kiri, pergelangan,
dan lengannya.
Beliau menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangan mata ke
tempat sujud.
Kemudian membaca doa iftitah, doa yang Beliau ajarkan ada beberapa
macam, di antaranya sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا
بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ
خَطَايَايَ، كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ
الدَّنَسِ، اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ
وَالْبَرَدِ
Artinya: “Ya Allah, jauhkanlah antaraku dan antara kesalahanku
sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah,
bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana dibersihkan baju yang putih dari
noda. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, air es, dan air dingin.”
Ia juga bisa membaca doa iftitah ini,
«سُبْحَانَكَ
اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، تَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ
غَيْرُكَ»
“Mahasuci Engkau ya Allah sambil aku memuji-Mu. Mahamulia nama-Mu,
Mahatinggi keagungan-Mu, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selain
Engkau.” (Umar radhiyallahu ‘anhu biasa membaca doa ini di masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Yang lebih utama adalah seseorang terkadang membaca doa yang ini,
dan terkadang doa yang itu agar lebih sempurna dalam mengikuti Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Lalu Beliau berta’awwudz; mengucapkan “A’uudzu billahis
samii’il ‘aliim minasy syaithaanir rajiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih,”
dan mengucapkan “Bismillahir rahmaanir rahiim” dengan tidak dikeraskan
suaranya dan membaca surat
Al Faatihah ayat-perayat (tidak disambung).
Setelah Beliau selesai membaca surat Al Fatihah, Beliau membaca “Aamiiiiiin”
dengan menjaharkan/mengeraskan suaranya dan memanjangkannya.
Selesai membaca surat
Al Fatihah, Beliau membaca surat
yang lain, terkadang surat
yang Beliau baca cukup panjang dan terkadang pendek. Beliau biasa membaca surat pada rakaat pertama
lebih panjang daripada rakaat kedua.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjaharkan bacaan surat Al Fatihah dan surat setelahnya dalam
shalat Shubuh, Maghrib, dan Isya pada dua rakaat pertamanya. Beliau juga
menjaharkan bacaan tersebut dalam shalat Jum’at, shalat ‘Iedain (dua hari
raya), shalat istisqa’ (shalat meminta kepada Allah agar diturunkan hujan) dan shalat kusuf (gerhana).
Setelah Beliau selesai membaca surat yang lain setelah Al Fatihah, Beliau
diam sejenak (Menurut Ibnul Qayyim, diam Beliau pada
saat ini seukuran tarikan nafas), lalu mengangkat kedua tangan dan bertakbir,
kemudian ruku’. Ketika ruku’, Beliau meletakkan kedua telapak tangannya di atas
kedua lututnya, menekannya, dan merenggangkan jari-jarinya seakan-akan Beliau
menggenggam lututnya.
Saat ruku’, Beliau menjauhkan kedua sikut dari rusuknya, kepala
Beliau tidak didongakkan ke atas dan tidak ditundukkan, akan tetapi pertengahan
di antara keduanya. Pada saat ruku’ Beliau meluruskan punggungnya, sehingga
jika sekiranya air dituangkan di atasnya bisa menetap (tidak tumpah).
Beliau ruku’ dengan thuma’ninah (diam sejenak setelah benar-benar ruku’, ukuran thuma’ninah kira-kira seukuran satu kali tasbih
(ucapan “subhaana rabbiyal ‘azhiim”)). Saat ruku’
Beliau membaca,
سُبْحَانَ
رَبِّيَ الْعَظِيْم
Artinya: “Maha Suci Tuhanku
Yang Maha Agung.”(sebanyak 3 X atau lebih)
Dan dianjurkan menambahkan
dengan bacaan ini,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِي
“Mahasuci Engkau ya Allah Tuhan kami sambil memuji-Mu. Ya Allah,
ampunilah aku.”
Beliau juga mengajarkan dzikir yang lain di samping dzikr di atas,
terkadang Beliau membaca dzikr di atas dan terkadang Beliau membaca dzikr yang
lain. Beliau melarang kita ketika ruku’ membaca ayat Al Qur’an.
Setelah itu, Beliau bangkit dari ruku’ mengucap “Sami’allahu
liman hamidah” sambil mengangkat kedua
tangan, badannya tegak lurus kemudian membaca,
رَبَّنَا
وَلَكَ اْلحَمْدُ
Artinya: “Wahai Tuhan kami, untuk-Mulah segala puji.”
Terkadang Beliau menambahkan:
حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا
مُبَارَكًا فِيْهِ
Artinya: “Dengan pujian yang banyak, baik lagi diberkahi.”
Dan terkadang menambahkan dengan dzikr yang lain selain di atas. Beliau
juga memerintahkan untuk thuma’ninah ketika i’tidal.
Wajibnya Thuma’ninah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دَخَلَ المَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ، فَصَلَّى، فَسَلَّمَ عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَدَّ وَقَالَ: «ارْجِعْ فَصَلِّ،
فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» ، فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى، ثُمَّ جَاءَ،
فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «ارْجِعْ
فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» ثَلاَثًا، فَقَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ
بِالحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ، فَعَلِّمْنِي، فَقَالَ: «إِذَا قُمْتَ إِلَى
الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ
ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا،
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
جَالِسًا، وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا»
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah masuk ke masjid, lalu ada seseorang yang ikut masuk ke
masjid, ia pun shalat, kemudian (setelah shalat) mengucapkan salam kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau menjawab salamnya dan bersabda, “Kembalilah
dan shalat lagi, karena engkau belum shalat.” Ia pun kembali shalat dan
melakukan seperti sebelumnya, setelah itu datang lagi dan mengucapkan salam
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, “Kembalilah
dan shalat lagi, karena engkau belum shalat.” Beliau ucapkan demikian
hingga tiga kali, hingga akhirnya orang itu berkata, “Demi Allah yang telah
mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku tidak bisa lebih baik lagi, maka
ajarilah aku.” Beliau bersabda, “Jika engkau berdiri shalat, maka
bertakbirlah, lalu bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukulah
sampai engkau thuma’ninah ketika ruku, lalu bangkitlah hingga engkau berdiri
lurus, kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah ketika sujud, lalu
bangkitlah dari sujud hingga engkau thuma’ninah dalam keadaan duduk, dan
lakukanlah seperti itu dalam semua shalatmu.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan
Muslim)
Faedah: Apakah ketika i’tidal, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersedekap atau melepas tangannya ke bawah (irsal)?
Imam Ahmad berkata, “Jika ia mau, ia boleh melepas tangannya ke
bawah setelah bangkit dari ruku’, dan jika ia mau, ia boleh bersedekap.”
Imam Ahmad rahimahullah berpendapat demikian, karena tidak ada
dalil yang tegas/sharih bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersedekap
atau irsal (melepas tangan ke bawah). Wallahu a’lam.
Beliau kemudian bertakbir lalu turun untuk sujud dengan
mendahulukan kedua tangan sebelum lutut. Kedua telapak tangan Beliau dibuka
(tidak dilipat), namun jari-jarinya dirapatkan dan diarahkannya ke kiblat. Kedua
telapak tangan Beliau
ditaruh sejajar dengan kedua bahu, terkadang sejajar dengan kedua telinga.
Ketika sujud, Beliau juga menekan hidung dan dahinya ke permukaan tanah,
demikian juga kedua lutut dan ujung kaki, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
“Aku diperintahkan sujud di
atas tujuh anggota badan; dahi –Beliau berisyarat dengan tangannya ke
hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut dan kedua ujung kaki. Dan kami tidak
diperbolehkan menarik kain dan rambut[iii].” (HR. Bukhari-Muslim)
Ketika sujud, Beliau mengangkat kedua sikutnya dan tidak menidurkannya sambil menjauhkan lengan dari
lambung/rusuk serta merapatkan kedua tumit dan menghadapkan jari-jari kaki ke
arah kiblat. Ketika sujud Beliau membaca,
سُبْحَانَ
رَبِّيَ اْلأَعْلَى
Artinya: “Maha Suci Tuhanku
Yang Maha Tinggi.” .”(sebanyak 3 X atau lebih)
Dan dianjurkan menambahkan
dengan bacaan ini,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِي
“Mahasuci Engkau ya Allah Tuhan kami sambil memuji-Mu. Ya Allah,
ampunilah aku.”
Beliau juga mengajarkan dzikir yang lain di samping dzikr di atas.
Saat sujud, Beliau memerintahkan kita untuk memperbanyak doa, karena keadaan seseorang
yang paling dekat dengan Allah Tuhannya adalah pada saat sujud. Beliau melarang
kita ketika sujud membaca ayat Al Qur’an. Pada saat sujud, Beliau memerintahkan
kita untuk thuma’ninah (diam sejenak setelah benar-benar sujud).
Setelah itu, Beliau bangkit dari sujud sambil bertakbir untuk melakukan
duduk di antara dua sujud. Cara duduk Beliau adalah dengan iftirasy (yaitu kaki kanan ditegakkan dan kaki kiri
ditidurkan untuk diduduki), namun terkadang cara duduk Beliau dengan cara iq’aa
(yaitu duduk di atas kedua tumit dengan ditegakkan dua kaki). Ketika duduk
antara dua sujud, Beliau membaca,
اَللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَعَافِنِيْ وَاهْدِنِيْ وَارْزُقْنِيْ
Artinya, "Ya Allah,
ampunilah aku, sayangilah aku, sehatkanlah aku, tunjukkanlah aku dan
karuniakanlah rezeki kepadaku."[iv]
Ketika duduk di antara dua
sujud, Beliau memerintahkan pula thuma’ninah. Setelah itu, Beliau
bertakbir lagi untuk sujud dan melakukan hal yang sama dengan sujud pertama
tadi. Lalu Beliau bertakbir untuk bangun dari sujud[v] ke rakaat selanjutnya.
Pada
rakaat kedua, Beliau melakukan hal yang sama dengan rakaat pertama, dan ketika selesai
dari sujud kedua, Beliau duduk tasyahhud awwal, cara duduknya dengan cara
iftirasy[vi] (duduk
di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan seperti ketika duduk di antara dua
sujud) dan meletakkan telapak tangan kanan di atas paha atau lutut kanan, telapak
tangan kiri di atas paha atau lutut kiri[vii].
Telapak tangan kiri Beliau terbuka di atas paha atau lutut kiri, Jari-jari
tangan kanan digenggam semuanya[viii],
sedangkan jari telunjuk Beliau diangkat kemudian digerak-gerakkan ketika berdoa,
serta pandangan mata tertuju ke arah jari telunjuk. Saat duduk tasyahhud,
Beliau mengajarkan doa tahiyat, yaitu,
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ،
السَّلاَمُ عَلَيك اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ،
السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Artinya: “Segala pengagungan untuk Allah serta semua ibadah badan
dan ucapan, salam atasmu wahai Nabi, serta rahmat Allah dan berkah-Nya semoga
dilimpahkan kepadamu. Salam untuk kami dan untuk hamba-hamba Allah yang saleh.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.”
‘Atha’ (seorang tabi’in) menjelaskan, bahwa para sahabat
mengucapkan “as Salaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu,” ketika Beliau masih hidup,
namun setelah Beliau wafat, mereka mengucapkan “As Salaamu ‘alan nabiyyi
(wa rahmatullah…dst)”.
Pada tasyahhud awwal boleh hanya sampai doa ini saja (tahiyyat
tanpa shalawat)[ix], boleh juga ia tambahkan
dengan shalawat. Beliau mengajarkan beberapa cara membaca shalawat kepada
Beliau, di antaranya adalah:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
Artinya, “Ya
Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad
sebagaimana Engkau telah berikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim
sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berilah keberkahan
kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah berikan
keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau maha
Terpuji lagi Maha Mulia.”(HR. Bukhari-Muslim)
Di dalam membaca shalawat, Beliau tidak mengajarkan membaca
“sayyidinaa”, oleh karena itu, janganlah kita menambahkannya.
Setelah selesai tasyahhud awwal, Beliau bangun sambil bertakbir
dan terkadang sambil mengangkat kedua tangannya untuk menambahkan rakaatnya
yang kurang.
Setelah Beliau menyempurnakan rakaatnya (setelah bangun dari sujud
kedua), Beliau duduk untuk tasyahhud akhir, cara duduknya adalah dengan cara tawarruk yaitu dengan mengedepankan kaki
kiri dan menegakkan kaki kanan (terkadang Beliau menidurkannya) sambil duduk
dengan pinggul yang kiri.
Beliau membaca hal yang
sama seperti tasyahhud awwal (yaitu membaca tahiyyat), dan di tasyahhud akhir ini
kita diwajibkan membaca shalawat. Selesai membaca shalawat, Beliau mengajarkan
kita untuk berdoa dengan doa berikut,
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ ،
وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَمِنْ فِتْنَةِ
الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.
Artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab
jahannam, dari azab kubur, dari cobaan hidup dan mati serta dari keburukan
cobaan Al Masih Ad Dajjal.”
Di waktu ini (sebelum salam), kita dianjurkan berdoa, karena waktu
tersebut termasuk waktu mustajab, dan lebih baik lagi apabila doanya diambil dari
As Sunnah seperti:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ ظُلْماً كَثِيْراً
وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِيْ مَغْفِرَةً مِنْ
عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِيْ، إِنَّكَ أَنْتَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan
kezaliman yang banyak dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain-Mu,
maka ampuni aku dengan ampunan dari sisi-Mu, sayangi aku, sesungguhnya Engkau
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Setelah itu, Beliau
mengucapkan salam ke kanan “As Salaamu ‘alaikum wa rahmatullah” Hingga tampak pipi
Beliau, demikian juga salam ke kiri.
Beliau melarang kita berisyarat dengan tangan ketika salam.
Ibrahim An Nakha’iy berkata, “Wanita dalam shalatnya melakukan hal
yang sama dilakukan oleh laki-laki.”.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Talkhis Shifat shalatin
Nabi (Syaikh Al Albani), Shifat Shalatin Nabi (syaikh Al Albani), Al
Wajiz (Abdul ‘Azhim bin Badawi), Subulus Salam (Imam Ash Shan’ani),
Shifat shalatin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (Syaikh Abdul ‘Aziz bin
Baz), dll.
[i] Yakni jika sebagai
imam atau munfarid (shalat sendiri). Adapun bagi makmum, cukup dengan sutrahnya
imam.
[ii] Sebagian ulama ada
yang menjama' (menggabung) antara hadits yang menjelaskan setentang dengan bahu
dan yang menjelaskan setentang dengan telinga, menurut mereka, "Punggung
telapak tangan setentang dua bahu, sedangkan ujung-ujung jarinya setentang
dengan kedua telinga." Hal ini diperkuat dengan riwayat Abu Dawud dari
Waa'il, Ash Shan'aaniy dalam Subulus Salaam mengatakan, "Ini adalah jama'
yang bagus."
[iii] Maksud menarik
adalah mengangkat atau menggulungnya agar tidak tersentuh tanah, hal itu
dilarang karena mirip dengan orang-orang yang sombong. Larangan ini berlaku
baik di dalam shalat maupun ketika hendak memulai shalat.
[iv] Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud
(850). Dalam beberapa riwayat ada beberapa tambahan terhadap dzikr ini, kita
bisa memakainya, dan ada juga yang lebih pendek, yaitu “Rabbighfirliy” 2X (HR.
Ibnu Majah dengan sanad hasan).
[v] Dianjurkan ia duduk
sebentar/duduk istirahat (HR. Bukhari dan Abu Dawud), lalu bangkit ke rakaat
berikutnya sambil bersandar ke lantai dengan kedua tangannya (HR. Abu Ishaq Al
Harbiy dengan sanad yang shalih, semakna dengan riwayat Baihaqi dengan sanad
yang shahih)..
[vi] HR. Abu Dawud dan
Baihaqi dengan sanad jayyid. Beliau juga duduk dengan cara iftirasy pada shalat
yang berjumlah dua rakaat seperti shalat Shubuh (HR. Nasa’i dengan sanad yang
shahih).
[vii] HR. Muslim dan Abu
‘Uwanah. Dan dalam riwayat Abu Dawud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih
disebutkan bahwa Beliau meletakkan ujung sikut kanan di atas paha kanan.
[viii] HR. Muslim dan Abu
‘Uwanah. Ada
tiga cara dalam melipat jari telapak tangan ketika tasyahhud: cara pertama
adalah seperti diterangkan di atas (yakni dilipat semua jari), cara kedua
adalah dengan membuat lingkaran 53, yakni dengan menjadikan ibu jari terbuka (tidak
dibuat lingkaran) di bawah telunjuk (HR. Muslim), sedangkan cara ketiga
adalah dengan membuat lingkaran antara ibu jari dengan jari tengah (HR. Ibnu
Majah).
[ix] Ibnu Mas’ud
berkata: “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada dua rakaat pertama (tasyahhud
awwal) duduknya seperti duduk di atas batu yang panas.” (HR. Ahmad dan para
pemilik kitab Sunan). Tirmidzi berkata, “Hadits hasan, hanyasaja Ubaidah tidak
mendengar dari bapaknya (Ibnu Mas’ud)”, ia juga berkata, “Demikianlah yang
diamalkan di kalangan ahli ilmu, mereka lebih memilih hendaknya seseorang tidak
terlalu lama pada dua rakaat; yakni tidak lebih dari tasyahhud saja.”
0 komentar:
Posting Komentar