Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Riba
secara bahasa artinya bertambah. Sedangkan secara syara’ adalah penambahan pada
salah satu dari dua alat tukar yang sejenis, tanpa ada kompensasi yang menjadi
imbalan tambahan tersebut.
Hukum Riba
Riba hukumnya haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275) يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ
الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ "Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs.
Al Baqarah: 278) |
Allah
Subhaanahu wa Ta'aala mengancam orang yang bermuamalah dengan riba dengan
ancaman yang sangat berat, Dia berfirman,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا
لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (Qs.
Al Baqarah: 275)
Di ayat tersebut Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan bahwa
orang yang bermu’amalah dengan riba tidak dapat bangkit dari kuburnya pada hari
Kiamat melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan saat mengalami
kesurupan, hal itu karena perut mereka yang buncit akibat makan riba ketika di
dunia.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga mengancam neraka kepada
orang yang memakan riba sebagaimana firman-Nya,
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al Baqarah: 275)
Demikian
pula Allah mencabut keberkahan pada harta yang bercampur riba sebagaimana
firman-Nya,
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا
وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah
memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang
yang sangat kufur, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. Al Baqarah: 276)
Oleh
karenanya, harta itu hanyalah membuat kelelahan baginya ketika di dunia, azab
baginya ketika di akhirat dan ia tidak dapat mengambil manfaatnya.
Allah
Subhaanahu wa Ta'aala menamai pemakan riba sebagai “Kaffaar”, yang artinya
sangat kufur, yakni sangat kufur terhadap nikmat Allah, karena ia tidak kasihan
kepada orang yang lemah, tidak membantu orang fakir, tidak memberi tempo kepada
orang yang kesusahan. Dan bisa mengeluarkannya dari Islam, jika ia menganggap
halal melakukan riba.
Allah
Subhaanahu wa Ta'aala juga mengumumkan perang dari-Nya dan dari Rasul-Nya
kepada orang-orang yang memakan riba, dan menyifati orang-orang yang memakan
riba sebagai orang yang zalim sebagaimana firman-Nya,
فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ |
“Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. Al Baqarah: 279)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga
menyebutkanya ke dalam kelompok dosa-dosa besar. Beliau juga melaknat semua
yang bermuamalah dalam riba apa pun keadaannya. Dari Jabir radhiyallahu anhu ia
berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
"Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya,
dan dua saksinya. Beliau juga bersabda, “Mereka sama (dosanya).” (Hr. Muslim)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pengharaman riba lebih keras daripada pengharaman
maisir, yaitu judi.”
Bahkan
memakan riba adalah sifat orang-orang Yahudi yang mendapatkan laknat,
sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَأَخْذِهِمُ
الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا |
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih.” (Qs. An Nisaa: 161)
Hikmah diharamkan riba
Hikmah diharamkannya riba adalah karena di dalamnya:
-
Sama
saja memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
-
Menimbulkan
peremusuhan di antara sesama dan menghilangkan ruh ta'awun (tolong-menolong).
-
Memadharratkan
kaum fakir’ dan orang-orang yang membutuhkan.
-
Menghilangkan
kerja dan usaha.
-
Menimbulkan
kemalasan bekerja.
-
Wasilah
yang menjadikan suatu negeri mudah dijajah.
-
Dll.
Riba dan pembagiannya
Riba terbagi dua; Riba Nasii’ah dan Riba Fadhl.
1. Riba Nasi’ah
Riba Nasii’ah diambil dari kata nas-’ yang berarti penundaan, yakni
riba karena adanya penundaan. Riba Nasii'ah artinya tambahan yang disyaratkan
oleh pemberi pinjaman dari si peminjam sebagai ganti dari penundaan. Riba ini
jelas haram berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah dan Ijma'.
Riba Nasii’ah ada dua macam:
a)
Qalbud
dain ‘alal mu’sir, yaitu orang lain mempunyai hutang kepadanya dengan
pembayaran ditunda, ketika tiba waktu menagih, ia (pemberi pinjaman) berkata
kepada penghutang, “Anda ingin membayar atau akan ditambah hutang anda?” Jika
tidak membayar, maka si pemberi pinjaman menambahkan lagi waktunya dan
menambahkan pembayaran yang sebelumnya contoh 1.000.000,- menjadi
10.50.000,- dsb. Inilah riba di zaman
Jahiliyah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengharamkan riba ini dengan firman-Nya:
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran,
maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (terj. Al Baqarah: 280)
Oleh karena itu,
jika waktu penagihan tiba, namun si peminjam tidak mampu membayar, tidak boleh
bagi si pemberi pinjaman menambahkan hutangnya, bahkan ia wajib menunggunya.
b)
Riba
Nasii’ah jenis kedua, yaitu menjual barang yang terdiri dari dua jenis; yang sama
dalam hal ‘illat riba fadhl dengan adanya penundaan penerimaan keduanya atau
salah satunya. Misalnya menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma, garam
dengan garam secara penundaan salah satunya.
2. Riba Fadhl
Riba Fadhl artinya terjadinya kelebihan di salah satu barang,
yakni menjual uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan adanya
kelebihan. Riba fadhl hukumnya haram berdasarkan As Sunnah dan Ijma', karena
bisa mengarah kepada riba nasii'ah.
Di dalam hadits disebutkan lebih jelas pengharaman riba pada enam
barang; emas, perak, bur/gandum, sya’ir, kurma dan garam. Jika barang-barang
ini dijual dengan barang yang sejenis, diharamkan adanya kelebihan di antara
keduanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ مِثْلٌ
بِمِثْلٍ مَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الْآخِذُ وَالْمُعْطِي
سَوَاءٌ
"Emas dengan emas, perak dengan perak,
kurma dengan kurma, sya’ir dengan sya’ir, gandum dengan gandum, garam dengan
garam, sama dan sebanding. Barang siapa menambah-nambah atau minta ditambah
maka ia telah melakukan riba, baik yang mengambil atau yang meminta hukumnya
sama." (HR. Ahmad dan Bukhari)
Di hadits ini jelas sekali haramnya menjual emas dengan emas; apa
pun macamnya, perak dengan perak apa pun macamnya kecuali secara sama di
samping langsung serah terima.
Diqiaskan dengan enam barang ini adalah barang-barang yang sama
illatnya dengan enam barang ini, sehingga barang-barang tersebut haram juga
jika ada kelebihan di salah satunya. Namun para ulama berselisih tentang
batasan ‘illat. Yang jelas bahwa enam barang tersebut merupakan asas yang
dibutuhkan manusia.
Pendapat yang shahih (benar) adalah bahwa illat pada mata uang
(emas dan perak) adalah “Bisa dijadikan sebagai alat pembayaran.” Oleh karena
itu, masuk ke dalamnya setiap barang yang bisa dijadikan alat pembayaran.
Misalnya uang kertas yang dipakai zaman sekarang, maka haram hukumnya ada
kelebihan apabila salah satunya dijual dengan barang yang sama jenisnya; yakni
uang tersebut dikeluarkan oleh negara yang sama.
Pendapat yang benar bahwa illat pada gandum, sya’ir, kurma dan
garam adalah bisa “ditakar atau ditimbang di samping bisa dimakan”[i],
sehingga setiap barang yang bisa bisa ditakar atau ditimbang yang termasuk bisa
dimakan, maka haram terjadi kelebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Illat diharamkan Riba
Fadhl adalah “bisa ditakar” atau “bisa ditimbang” di samping bisa dimakan, ini
adalah salah satu riwayat Ahmad."
Oleh karena itu, setiap barang yang masuk ke dalam enam barang
yang disebutkan nasnya karena sama ‘illatnya; yakni bisa ditakar atau ditimbang
serta bisa dimakan atau adanya ‘illat “bisa dijadikan alat pembayaran” jika
berupa mata uang, maka bisa masuk riba. Jika di samping sama ‘illatnya adalah
sama jenisnya; seperti jual beli gandum dengan gandum maka haram adanya
kelebihan dan adanya penangguhan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ , وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
, وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ , وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ , وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ
, وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ ; مَثَلًا بِمَثَلٍ , يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma
dan garam dengan garam harus sejenis dan langsung serah terima (sebelum
berpisah).”
Kesimpulan
Dengan demikian, apabila dijual barang ribawi dengan yang
sejenisnya, seperti emas dengan emas atau gandum dengan gandum, maka harus
terpenuhi dua syarat:
1) Sama jumlahnya, tanpa melihat kepada bagus atau
jeleknya (yang ditakar dengan yang ditakar dan yang ditimbang dengan yang
ditimbang)
Hal ini berdasarkan
hadits Abu Sa’id yang diriwayatkan oleh Muslim sbb.: "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam pernah diberi kurma." Lalu beliau bertanya. "Apakah
kurma ini dari kurma kita?" Maka laki-laki yang memberi menjawab,
"Wahai Rasulullah, kami menukar dua sha' kurma dengan satu sha' kurma
seperti ini." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Inilah yang dinamakan riba, kembalikanlah kurma ini kemudian jualah kurma
milik kita, lalu uang hasil penjualan kurma tersebut kamu belikan kurma seperti
ini."
2)
Salah satunya tidak ditunda (serah terima di majlis akad sebelum
berpisah)
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berikut:
لَا تَبِيعُوا
الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى
بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا
تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
"Janganlah kamu menjual emas dengan
emas kecuali harus sama, dan janganlah kamu melebihkan salah satunya. Janganlah
kamu menjual perak dengan perak kecuali secara sama dan janganlah kamu melebihkan
salah satunya, dan janganlah kamu menjual yang tidak di tempat dengan yang ada
di tempat." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa'id)
Namun, jika sama ‘illatnya
dan berbeda jenisnya, seperti menjual bur dengan sya’ir, maka tidak
boleh terjadi penangguhan di salah satunya dan boleh adanya kelebihan,
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَشْيَاءُ فَبِيْعُوْا
كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika barang-barang ini berbeda, maka juallah semau kalian
dengan syarat langsung serah terima.” (HR. Muslim dan Abu
Dawud)
Maksud “langsung serah terima” adalah langsung serah terima di
majlis itu sebelum salah seorang di antara keduanya berpisah dari yang lain.
Dan jika illat dan jenisnya berbeda, maka boleh dua hal ini; adanya kelebihan dan adanya penangguhan.
Misalnya emas dengan gandum dan perak dengan sya’ir.
Beberapa Contoh:
1. Menjual 100 gram emas dengan 100 gram emas yang ditunda setelah
sebulan. Hal ini riba, karena tidak langsung serah terima di majlis akad.
2. Membeli 1 kg sya’ir (salah satu jenis gandum) dengan 1 kg bur
(gandum) adalah boleh karena berbeda jenis, namun disyaratkan langsung serah
terima di majlis akad.
3. Menjual 50 kg gandum dengan seekor kambing adalah boleh secara
mutlak, baik adanya serah terima di majlis maupun tidak.
4. Tukar menukar uang dolar, misalnya 100 dolar ditukar dengan 120
dolar. Hal ini tidak boleh.
5. Meminjamkan 1.000 dolar dengan syarat dikembalikan setelah sebulan
atau lebih 1.200 dolar. Hal ini juga tidak boleh.
6. Menukar 100 dirham perak dengan 10 junaih emas yang akan
dibayarkan setelah berlalu setahun. Hal ini tidak boleh, karena harus langsung
serah terima.
7. Jual beli saham bank ribawi juga tidak boleh, karena termasuk
menjual uang dengan uang tanpa ada kesamaan dan serah terima.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar, Al Mulakhkhash Al Fiqhiy dll.
[i]
Yang lain ada yang berpendapat bahwa 'illat empat barang ini (gandum, sya'ir,
tamar/kurma dan garam) adalah sebagai makanan pokok. Oleh karena itu jika
terdapat hal yang sama illatnya (yakni sebagai bahan makanan pokok) pada
barang-barang selain empat hal tersebut, maka diharamkan juga terjadi kelebihan
dan haram terjadi penundaan (yakni harus langsung serah terima).
0 komentar:
Posting Komentar