Hiburan Untuk Mereka Yang Tertimpa Musibah

Sabtu, 29 September 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫و بشر الصابرين‬‎
Hiburan Untuk Mereka Yang Tertimpa Musibah
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Saudaraku, hidup di dunia ini tidak lepas dari cobaan, agar kita tidak menjadikannya sebagai tempat tujuan. Itu adalah Sunnatullah yang Allah tetapkan untuk mereka yang hidup di dunia, Dia berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Terj. Al Baqarah: 155)
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Qs. Al Mulk: 2)
Allah ingin mengujimu; apa sikapmu terhadap musibah itu? Apakah engkau bersabar terhadap cobaan itu atau bersikap keluh kesah dan tidak menerima?
Jelas sekali, sikap yang benar adalah bersabar. Karena sikap keluh kesah, protes, dan tidak menerima tidak dapat menarik dan merubah apa yang telah terjadi, bahkan hanya menambah dosa, penderitaan di batin, dan murka dari Allah Sang Pencipta.
Sebaliknya, jika engkau bersabar, maka Allah akan meridhaimu, mencintaimu, menyiapkan pahala yang besar bagimu, dan Dia akan merubah keadaanmu yang sebelumnya terpuruk menjadi baik dan bahagia, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Dia berfirman,
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ - الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ -- أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.--(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali).--Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al Baqarah: 155-157)
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Qs. Az Zumar: 10)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ، فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللهُ: {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} [البقرة: 156] ، اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Tidak ada seorang muslim yang mendapatkan musibah, lalu mengucapkan seperti yang diperintahkan Allah, “innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’un…dst.” (artinya: sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah pahala terhadap musibahku, dan gantikanlah untukku dengan yang lebih baik daripadanya),”  melainkan Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik daripadanya.” (Hr. Muslim)
Saudaraku, jangan engkau kira, bahwa hamba Allah yang paling baik adalah orang yang paling jauh dari cobaan, bahkan cobaan merupakan tanda keimanan.
Dari Mush’ab bin Sa’ad, dari bapaknya, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, “Siapakah orang yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab,
«الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ البَلَاءُ بِالعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ»
“Para nabi, kemudian yang setelahnya dan setelahnya. Seseorang akan diuji sesuai keadaan imannya. Siapa yang agamanya kuat, maka ujiannya pun berat, dan siapa yang agamanya lemah maka ujiannya disesuaikan dengan kadar agamanya itu. Ujian ini akan tetap menimpa seorang hamba sampai ia berjalan di bumi tanpa membawa dosa.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan shahih oleh Tirmidzi dan Al Albani)
Demikian juga cobaan adalah salah satu tanda kecintaan Allah kepada hamba-hamba-Nya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَحَبَّ قَوْماً ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَي، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung besarnya cobaan, dan Allah apabila mencintai suatu kaum, maka Allah akan menguji mereka. Barang siapa yang ridha, maka ia akan mendapatkan keridhaan-Nya, dan barang siapa yang kesal terhadapnya, maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Tirmidzi menghasankannya).
Saudaraku, dengan cobaan dan musibah pula, Allah akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahanmu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا » 
“Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim, melainkan Allah akan menggugurkan dosa-dosanya, meskipun hanya terkena duri.” (HR. Bukhari)
«مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ»
“Tidaklah seorang muslim tertimpa kelelahan, sakit, kekhwatiran, kesedihan, gangguan, dan kegundahan, bahkan duri yang mengenainya, melainkan Allah akan hapuskan kesalahan-kesalahannya dengannya.” (Hr. Bukhari)
Maka berbaik sangkalah kepada Allah, bahwa Dia memberimu cobaan adalah untuk kebaikanmu; untuk menghapuskan kesalahan-kesalahanmu agar engkau meninggalkan dunia ini dalam keadaan bersih dari dosa, sehingga alam kubur nanti maupun alam akhirat menjadi tempat istirahatmu. Oleh karenanya, cobaan merupakan tanda Allah memberikan kebaikan kepadamu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِىَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya, maka Allah akan mempercepat sanksi di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan bagi hamba-Nya maka ditahan hukuman itu karena dosa-dosanya sehingga ia mendapatkan balasannya pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Imam Syathibi rahimahullah berkata, "Berbahagialah orang yang meninggal dunia dalam keadaan dosa-dosanya ikut wafat meninggalkannya,  dan kesengsaraan yang panjang bagi orang yang meninggal dunia, sedangkan dosa-dosanya masih tetap menemaninya. Oleh karena itu selama seratus atau dua ratus tahun dia disiksa di kubur dan terus diminta pertanggungjawaban hingga habis dosa-dosanya. Allah Ta'ala berfirman,
وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ
"Kami catat apa yang mereka kerjakan dan sisa-sisa peninggalan mereka." (Terj. Qs.  Yasin : 12) (Al Muwafaqat 1/361)
Sebagian kaum salaf (generasi pertama Islam) berkata, “Kalau bukan karena musibah, tentu kita akan mendatangi hari Kiamat dalam keadaan bangkrut.” (Uddatush Shabirin karya Ibnul Qayyim hal. 147)
Dia juga memberimu cobaan untuk mengembalikanmu kepada agama-Nya yang merupakan sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat, Dia berfirman,
وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Qs. Al A’raaf: 168)
Agar engkau tidak lagi berlebihan mengejar dunia yang sementara ini sampai melupakan akhirat, agar engkau mempersiapkan bekal yang banyak menuju akhirat sehingga engkau bahagia di sana, dan akhirat itu lebih baik lagi kekal abadi. Allah Ta’ala berfirman,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Qs. Al Baqarah: 197)
Demikian pula, Dia mengujimu untuk meninggikan derajatmu, maka bersabarlah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنَ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ، لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ، أَوْ فِي مَالِهِ، أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى»
“Sesungguhnya seorang hamba yang telah ditetapkan Allah memiliki suatu kedudukan tinggi, namun amalnya tidak dapat mencapainya, maka Allah akan memberikan ujian pada badannya, hartanya, atau anaknya, lalu Dia menjadikan hamba itu sabar menghadapinya sehingga Allah menyampaikan dengan musibah itu kepada kedudukan yang telah ditetapkan Allah baginya.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dengan demikian, seorang muslim yang tertimpa musibah, jika ia seorang yang saleh, maka cobaan itu menghapuskan kesalahan-kesalahan yang lalu dan mengangkat derajatnya. Namun jika ia seorang pelaku maksiat, maka cobaan itu akan menghapuskan dosa-dosanya dan sebagai peringatan terhadap bahaya dosa-dosa itu.
Saudaraku, jangan engkau kira mereka yang aman dari musibah, hidup enak tanpa mendapatkan cobaan padahal dirinya berbuat maksiat pertanda keadaan mereka baik. Sekali-kali tidak, bahkan yang demikian merupakan istidraj (penangguhan azab dari Allah). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلىَ مَعَاصِيْهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ ثُمَّ تَلاَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم "فَلَمَّا نَسُوا ....الاية.
“Apabila kamu melihat Allah memberikan kenikmatan dunia yang disenangi kepada seorang hamba padahal ia berada di atas maksiat, maka sebenarnya hal itu adalah istidraj”, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  membacakan ayat,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
”Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (Qs. Al An’aam: 44). (HR. Ahmad dengan isnad yang jayyid, Shahihul Jami' no. 561)
Adapun saudara-saudaramu yang meninggal dunia dengan berbagai peristiwa dahsyat seperti gempa bumi, tsunami, tenggelam, tertimpa reruntuhan, terbakar dan sebagainya, maka boleh jadi itu lebih baik bagi mereka sebagai penebus kesalahan mereka dan agar mereka mendapatkan pahala yang besar dari Allah dengan memperoleh derajat syuhada. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: المَطْعُونُ، وَالمَبْطُونُ، وَالغَرِقُ، وَصَاحِبُ الهَدْمِ، وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Ada lima syuhada, yaitu orang yang terkena penyakit thaun (wabah yang melanda yang membinasakan manusia), orang yang wafat karena penyakit perut, orang yang wafat tenggelam, orang yang wafat tertimpa reruntuhan, dan orang yang syahid di jalan Allah.” (Hr. Bukhari)
الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ
“Syuhada itu ada tujuh di samping terbunuh di jalan Allah. Orang yang terkena tha’un adalah syahid, orang yang wafat tenggelam adalah syahid, orang yang wafat karena terkena dzatul janbi (TBC, ada pula yang mengartikan bisul besar di bagian dalam rusuk, atau penyakit pada bagian rusuk lainnya) adalah syahid, orang yang wafat karena penyakit pada perut adalah syahid, orang yang wafat karena terbakar adalah syahid, orang yang wafat karena tetimpa treruntuhan adalah syahid, dan wanita yang wafat karena melahirkan adalah syahid.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Maka Janganlah engkau bersedih!
Wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin,
Marwan bin Musa 

Shalat Ketika Safar (3)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫قصر الصلاة في السفر‬‎
Shalat Ketika Safar (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang shalat ketika safar, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Shalat Sunah Ketika Safar
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa tidak makruh melakukan shalat sunah bagi orang yang mengqashar shalat ketika safar, baik shalat sunah rawatib maupun lainnya.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mandi di rumah Ummu Hani di Mekkah pada saat Fathu Makkah, lalu Beliau shalat delapan rakaat.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa ia pernah shalat sunah di atas hewan kendaraannya ke arah hewannya menghadap, dimana beliau berisyarat dengan kepalanya.
Al Hasan berkata, “Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika safar melakukan shalat sunah sebelum shalat fardhu dan setelahnya.”
Menurut Ibnu Umar dan lainnya, bahwa tidak disyariatkan melakukan shalat sunah dengan shalat fardhu baik sebelum maupun setelahnya kecuali shalat malam.
Ibnu Umar juga pernah melihat sebagian orang yang melakukan shalat sunah setelah shalat fardhu, maka ia berkata, “Kalau aku mengerjakan shalat fardhu, tentu aku akan sempurnakan shalatku. Wahai putera saudaraku, aku telah menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, namun ternyata Beliau tidak menambah melebihi dua rakaat sampai Allah wafatkan Beliau. Aku juga menemani Abu Bakar, dan ia juga tidak menambah melebihi dua rakaat. Ia juga menyebutkan tentang Umar dan Utsman, lalu ia membacakan ayat,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh, telah ada dalam diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzab: 21)
Hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhari.
Ibnu Qudamah memadukan antara apa yang disampaikan Al Hasan dengan apa yang disampaikan Ibnu Umar, bahwa riwayat Al Hasan itu menunjukkan tidak mengapa melakukan shalat sunah, sedangkan hadits Ibnu Umar menunjukkan tidak mengapa meninggalkannya.
Sebagian ulama menerangkan, bahwa dipersilahkan shalat sunah mutlak ketika safar, bukan shalat sunah rawatib. Adapun shalat sunah rawatib yang dikerjakan hanya shalat sunah qabliyyah (sebelum) Subuh saja. Demikian juga dianjurkan menjaga shalat witir meskipun sedang safar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Termasuk petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika safar adalah membatasi dengan shalat fardhu saja. Tidak dihafal dari Beliau, bahwa Beliau shalat sunah sebelum atau setelah shalat fardhu selain shalat witir dan shalat sunah sebelum Subuh, karena Beliau tidak meninggalkannya baik ketika tidak safar maupun ketika safar.” (Zadul Ma’ad 1/437)
Safar pada hari Jum’at
Tidak mengapa bersafar pada hari Jum’at selama belum tiba waktu shalat Jum’at.
Umar pernah mendengar seseorang berkata, “Kalau bukan karena sekarang hari Jum’at, tentu saya akan pergi,” maka Umar berkata, “Pergilah, karena shalat Jum’at tidak menghalangi seseorang bersafar.”
Keadaan dimana seorang musafir menyempurnakan shalat (tidak mengqashar)
Ada beberapa keadaan dimana seorang musafir menyempurnakan shalatnya, yaitu:
1. Ketika seorang musafir bermakmum kepada orang yang mukim.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Imam itu dijadikan untuk diikuti.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Demikian pula berdasarkan pernyataan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma saat ditanya tentang menyempurnakan di belakang orang yang mukim, maka ia menjawab, “Itu adalah sunnah Abul Qasim (Rasulullah) shallallahu alaihi wa sallam.” (Hr. Ahmad, dan dishahihkan oleh Al Albani)
2. Ketika seseorang bermakmum kepada seseorang, sedangkan dirinya ragu apakah ia sebagai musafir atau mukim, maka ketika masuk ke dalam shalat di belakang imam, sedangkan dirinya tidak tahu apakah imam ini sebagai musafir atau mukim seperti ketika di bandara, maka ia harus menyempurnakan shalatnya, karena qashar harus didasari niat yang kuat, adapun jika ragu-ragu, maka ia harus menyempurnakan.
3. Ketika ingat shalat fardhu yang dikerjakan ketika belum safar. Misalnya seorang musafir sedang safar, dan di tengah safarnya ia ingat bahwa dirinya sebelum safar shalat Zhuhur tanpa berwudhu sebelumnya, atau ingat terhadap suatu shalat yang terlewat ketika belum safar, maka ia harus shalat secara sempurna. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
«مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا»
“Barang siapa yang lupa shalat atau tertidur daripadanya, maka kaffaratnya adalah melakukan shalat ketika ingat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
4. Ketika seorang musafir memulai shalat yang seharusnya sempurna, lalu batal, kemudian dia mengulangi. Misalnya seorang musafir shalat di belakang orang yang mukim, maka ketika ini ia harus sempurna. Jika batal, lalu mengulangi, maka ia mengulanginya dengan menyempurnakan shalatnya.
5. Apabila musafir berniat mukim secara mutlak (tanpa ditentukan sampai waktu tertentu atau sampai selesai mengerjakan pekerjaan tertentu) atau menjadikan tempat yang disinggahi sebagai tempat tinggalnya (sebagai penduduknya), maka ia sempurnakan shalatnya, karena telah hilang hukum safar baginya. Tetapi jika ia membatasi sampai wakatu tertentu atau selesai mengerjakan tugas tertentu, maka ia masih sebagai musafir dan mengqashar shalat (Lihat Al Fiqhul Muyassar hal. 91).
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazairi), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Shalat Ketika Safar (2)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫قصر الصلاة في السفر‬‎
Shalat Ketika Safar (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang shalat ketika safar, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tempat memulai mengqashar shalat
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, bahwa mengqashar shalat disyariatkan sejak berpisah (badan) dengan kota tempat tinggalnya dan keluar dari daerahnya. Inilah syaratnya, dan dia tidak menyempurnakan shalatnya sampai ia memasuki awal rumah di daerahnya itu.
Ibnul Mundzir berkata, “Aku tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengqashar dalam salah satu safarnya melainkan setelah keluar dari Madinah.”
Anas radhiyallahu anhu berkata, “Aku shalat Zhuhur bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam  di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah dua rakaat.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Namun sebagian kaum salaf berpendapat, bahwa barang siapa berniat safar, maka ia boleh mengqashar meskipun masih di rumahnya, wallahu a’lam.
Kapankah seorang musafir menyempurnakan shalat yang ia qashar?
Seorang musafir boleh mengqashar shalatnya selama sebagai musafir. Jika ia bermukim karena suatu keperluan yang ia tunggu penyelesainnya, maka ia qashar shalatnya karena ia tetap dipandang musafir meskipun telah bermukim bertahun-tahun.
Namun jika ia berniat mukim di sana dalam waktu tertentu, maka menurut pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim adalah bahwa mukim tidaklah mengeluarkan seseorang dari statusnya sebagai musafir baik lama atau sebentar selama ia tidak berniat menjadikan tempat yang ia tempati itu sebagai tempat tinggalnya (menjadi penduduknya).
Dalam masalah ini para ulama memiliki banyak pandangan yang diringkas oleh Ibnul Qayyim di bawah ini, namun ia kuatkan pendapatnya.
Ibnul Qayyim menerangkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari dengan mengqashar shalat dan tidak bersabda kepada umatnya ‘tidak boleh mengqashar shalat jika mukimnya lebih dari itu’, akan tetapi telah disepakati bahwa mukimnya Beliau selama waktu tadi.
Mukim ketika safar ini tidak mengeluarkan seseorang dari hukum safar baik lama maupun sebentar jika ia tidak bermaksud menetap di sana sebagai penduduknya.
Kaum salaf (generasi terdahulu) maupun khalaf (generasi kemudian) berbeda dalam masalah ini dengan perbedaan yang cukup banyak.
Dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bermukim pada salah satu safarnya selama sembilan belas hari melakukan shalat dua rakaat. Oleh karena itu, ketika kami mukim selama sembilan belas hari, maka kami shalat dua rakaat, dan jika lebih dari itu, maka kami sempurnakan.” [i]
Menurut zhahir pendapat Imam Ahmad, bahwa yang dimaksud Ibnu Abbas (dalam pernyataan di atas) adalah lamanya mukim Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di Mekkah pada saat penaklukannya, karena ia menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mukim di Mekah selama delapan belas hari; sebab Beliau hendak melanjutkan ke Hunain dan di sana tidaklah bermaksud untuk mukim. Inilah mukimnya Beliau sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.
Namun yang lain berpendapat, bahwa maksud Ibnu Abbas di atas adalah mukimnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di Tabuk sebagaimana yang dikatakan Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam mukim di Tabuk selama dua puluh hari dan terus mengqashar shalat.” (Hr. Ahmad dalam Musnadnya). Wallahu a’lam.
Al Miswar bin Makhramah berkata, “Kami mukim bersama Sa’ad di sebagian daerah Syam selama empat puluh hari, ketika itu Sa’ad mengqashar shalat sedangkan kami menyempurnakannya.”
Nafi berkata, “Ibnu Umar bermukim di Adzerbaijan selama enam bulan, ia melakukan shalat selama dua rakaat, ketika itu ia tertahan oleh salju untuk memasukinya.”
Hafsh bin Ubaidillah berkata, “Anas bin Malik tinggal di Syam selama dua tahun, ia melakukan shalat seperti shalat musafir.”
Anas radhiyallahu anhu berkata, “Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mukim di Ramahurmuz selama tujuh bulan dan mereka mengqashar shalat.”
Al Hasan berkata, “Aku bermukim bersama Abdurrahman bin Samurah di Kabul selama dua tahun, ia mengqashar shalat dan tidak menjamak.”
Ibrahim berkata, “Mereka (para sahabat) bermukim di Ray selama setahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun.”
Inilah praktek Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebagaimana yang engkau perhatikan, dan inilah yang benar. Adapun pendapat sebagian ulama, di antaranya yang disampaikan oleh Imam Ahmad, yaitu jika berniat mukim lebih dari empat hari, maka ia sempurnakan, dan jika berniat mukim kurang dari itu, maka ia mengqashar shalat, lalu ia membawa riwayat-riwayat yang ada, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak berniat mukim sama sekali, bahkan dalam diri mereka berniat, “Sekarang atau besok kita akan pergi,” maka pernyataan ini perlu ditinjau kembali, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat menaklukkan Mekah yang keadaannya sudah dimaklumi, dan bermukim di sana untuk menetapkan dasar-dasar Islam serta merobohkan dasar-dasar syirik serta mempersiapkan segala sesuatu bagi umat bangsa Arab di sekelilingnya, dan sudah diketahui secara pasti bahwa hal ini membutuhkan tinggal beberapa hari; tidak cukup hanya sehari atau dua hari saja. Demikian pula mukimnya Beliau di Tabuk bermaksud menunggu kedatangan musuh, dan juga sudah maklum bahwa jarak antara Beliau dengan musuh adalah beberapa marhalah[ii] yang ditempuh dalam beberapa hari, dimana Beliau tahu bahwa hal itu tidak cukup hanya empat hari saja. Demikian pula bermukimnya Umar di Adzerbaijan selama enam bulan dengan melaksanakan shalat secara qashar disebabkan ada salju. Sudah maklum pula bahwa salju tidaklah akan mencair dalam waktu empat hari yang membuat jalan terbuka. Demikian juga mukimnya Anas di Syam selama dua tahun sambil mengqashar shalat, mukimnya para sahabat di Ramahurmuz selama tujuh bulan dengan mengqashar shalat. Ini semua jelas sekali, bahwa pengepungan dan jihad tidak mungkin selesai dalam waktu empat hari.
Kawan-kawan Imam Ahmad berkata, “Jika bermukim untuk jihad melawan musuh, atau dipenjara oleh pihak penguasa, atau karena sakit, maka boleh mengqashar; baik bermukim untuk keperluan itu yang menurut perkiraan akan berjalan lama atau sebentar. Inilah yang benar (menurut Ibnul Qayyim), akan tetapi sayangnya mereka membuat syarat yang tidak ada dalilnya baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah, demikian pula dari ijma maupun praktek sahabat. Mereka mengatakan, bahwa syaratnya selesai keperluannya dalam waktu yang tidak memutuskan hukum safar, yaitu kurang dari empat hari.
Ibnul Qayyim melanjutkan kata-katanya, “Dari manakah syarat yang kalian buat ini, sedangkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika bermukim lebih dari empat hari, Beliau tetap mengqashar shalat, seperti ketika di Mekah dan Tabuk, Beliau tidak bersabda apa-apa dan tidak menerangkan kepada mereka bahwa Beliau tidak berniat mukim lebih dari empat hari, sedangkan Beliau tahu bahwa perbuatan Beliau akan menjadi panutan bagi umatnya, dimana mereka akan mengikuti Beliau dengan mengqashar shalat dalam waktu mukimnya. Namun ternyata Beliau tidak bersabda apa-apa walaupun sepatah atau dua patah kata, Beliau tidak mengatakan ‘jangan mengqashar shalat jika bermukim lebih dari empat hari, padahal penjelasan tentang ini sangat penting sekali. Demikian pula para sahabat setelahnya mengikuti Beliau dan tidak berkata apa-apa kepada orang yang ikut shalat bersamanya.
Imam Malik dan Syafi’i berkata, “Jika berniat mukim lebih dari empat hari, maka ia menyempurnakan, dan jika kurang, maka mengqashar shalat.”
Abu Hanifah berkata, “Jika berniat mukim selama lima bekas hari, maka ia menyempurnakan, dan jika berniat mukim kurang dari itu, maka ia mengqashar shalat.” Ini juga merupakan madzhab Al Laits bin Sa’ad, dan telah diriwayatkan demikian dari tiga orang sahabat, yaitu Umar, anaknya, dan Ibnu Abbas.
Sa’id bin Al Musayyib berkata, “Jika engkau bermukim empat hari, maka shalatlah empat rakaat.” Dari beliau juga ada pendapat yang sama dengan pendapat Abu Hanifah.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata, “Jika bermukim selama sepuluh hari, maka ia sempurnakan.” Ada juga riwayat demikian dari Ibnu Abbas.
Al Hasan berkata, “Tetap mengqashar selama belum kembali ke tempat semula.”
Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Tetap mengqashar selama belum menaruh bekal dan wadahnya.”
Adapun para imam yang empat rahimahumullah sepakat, bahwa apabila seseorang bermukim karena suatu keperluan yang harus ia selesaikan, dimana ia mengatakan ‘hari ini (atau besok) ia akan pulang’ maka ia tetap mengqashar shalat selamanya, hanyasaja Imam Syafi’i berdasarkan salah satu pendapatnya mengatakan, bahwa orang ini tetap mengqashar sampai tujuh atau delapan belas hari, dan tidak lagi mengqashar setelahnya.
Ibnul Mundzir dalam salah satu penyelidikannya berkata, “Para Ahli Ilmu sepakat, bahwa seorang musafir selama tidak berniat mukim boleh mengqashar shalat meskipun berlalu beberapa tahun.”
Intinya, menurut menurut Ibnul Qayyim bahwa, mukim tidaklah mengeluarkan seseorang dari statusnya sebagai musafir baik lama atau sebentar selama ia tidak berniat menjadikan tempat yang ia tempati itu sebagai tempat tinggalnya (menjadi penduduknya).
Wallahu a’lam.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazairi), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i]  Menurut Syaikh Abdul Azhim bin Badawi, bahwa jika seorang musafir berniat mukim, maka setelah berlalu 19 hari, ia sempurnakan shalatnya, ia berdalil dengan hadits ini, wallahu a’lam (Lihat Al Wajiz hal. 145).
[ii] Lihat endnote sebelumnya.

Shalat Ketika Safar (1)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫وإذا ضربتم فى الأرض فليس‬‎
Shalat Ketika Safar (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang shalat ketika safar, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Di antara bukti kemudahan syariat Islam adalah dengan diberikan berbagai macam keringan pada saat safar, seperti berbuka ketika puasa, boleh menyapu bagian atas khuff (sepatu) ketika berwudhu selama tiga hari-tiga malam tanpa perlu melepasnya, dan adanya syariat qashar (mengurangi jumlah rakaat) untuk shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.
Mengqashar Shalat
Mengqashar shalat atau mengurangi jumlahnya dari empat menjadi dua ketika safar disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. An Nisaa: 101)
Firman-Nya ‘jika kamu takut diserang orang-orang kafir’ bukan menjadi syarat. Hal ini berdasarkan hadits Ya’la bin Umayyah, bahwa dirinya pernah bertanya kepada Umar bin Khaththab, “Beritahukan kepadaku tentang mengqashar shalat yang dilakukan manusia padahal Allah Azza wa Jalla berfirman, “jika kamu takut diserang orang-orang kafir,” sedangkan rasa takut telah hilang sekarang?” Umar menjawab, “Aku juga heran sebagaimana engkau heran, lalu aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda,
« صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ » 
"Ia adalah sedekah yang Allah berikan kepada kamu, maka terimalah sedekah itu." (Hr. Jamaah Ahli Hadits selain Bukhari)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Munib Al Jurasyi bahwa Ibnu Umar pernah ditanya tentang ayat di atas (Qs. An Nisaa: 101), “Sekarang kita berada dalam keamanan dan tidak merasa takut, namun mengapa engkau mengqashar shalat?” Ibnu Umar menjawab dengan firman Alah Ta’ala,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzab: 21)
Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Shalat (pertama kali) diwajibkan dua rakaat-dua rakaat ketika hadhar (mukim) dan safar, lalu dua rakaat itu ditetapkan untuk shalat safar dan ditambah (dua rakaat lagi) untuk shalat hadhar.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Hukum Mengqashar Shalat
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengqashar shalat yang berjumlah empat rakaat dengan mengerjakan dua rakaat dari sejak keluar bersafar sampai kembali ke Madinah, dan tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Beliau mengerjakan shalat empat rakaat (ketika safar), dan tidak ada seorang pun imam yang berbeda pendapat dalam hal ini meskipun mereka berbeda pendapat tentang hukum qashar. Yang berpendapat wajib qashar adalah Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Jabir, dan ini merupakan madzhab ulama Hanafi.”[i]
Ulama madzhab Maliki berpendapat, bahwa qashar adalah sunnah mu’akkadah yang lebih ditekankah daripada shalat berjamaah. Jika seorang musafir tidak menemukan musafir yang lain untuk shalat bersamanya, maka ia shalat sendiri dengan qashar, dan makruh baginya bermakmum dengan orang yang mukim.
Namun pernyataan ulama madzhab Maliki ini bahwa bagi musafir makruh bermakmum kepada orang yang mukim adalah keliru, bahkan menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan riwayat Musa bin Salamah, ia berkata, “Kami bersama Ibnu Abbas di Mekah, lalu aku bertanya, “Kami ketika bersama kalian mengerjakan shalat empat rakaat dan apabila kami pulang ke rumah masing-masing dan melakukan shalat, maka kami kerjakan shalat dua rakaat?” Ibnu Abbas berkata, “Itu adalah sunnah Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).” (Hr. Ahmad dengan sanad sahih, dan diriwayatkan oleh Muslim, Abu Awanah, dan lainnya secara ringkas, lihat Irwa’ul Ghalil, 571).
Menurut madzhab Hanbali, qashar hukumnya jaiz (boleh), dan itu lebih utama daripada menyempurnakan empat rakaat. Demikian pula menurut ulama madzhab Syafi’i, bahwa hal itu boleh apabila telah mencapai jarak safar.
Jarak Boleh Mengqashar Shalat
Jika kita perhatikan ayat tentang safar (Qs. An Nisa: 101), maka kita dapat mengetahui bahwa setiap perjalanan yang disebut secara bahasa sebagai safar (bepergian) baik jauh atau dekat, maka boleh mengqashar shalat, menjama, dan berbuka puasa, dan tidak ada dalam hadits batas jauh atau dekatnya bepergian itu.
Ibnul Mundzir dan ulama lainnya menukil lebih dari dua puluh pendapat tentang masalah ini, dan di sini akan disebutkan yang paling kuatnya insya Allah:
Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Baihaqi meriwayatkan dari Yahya bin Yazid ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqashar shalat, maka Anas berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika keluar sejauh tiga mil atau tiga farsakh melakukan shalat dengan jumlah dua rakaat.”
Al Hafizh berkata, “Inilah hadits yang paling shahih dan paling tegas menerangkan hal tersebut.”
Keragu-raguan menyebutkan antara mil atau farsakh telah hilang oleh hadits Abu Sa’id Al Khudri, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apabila keluar sejauh satu farsakh (tiga mil), maka Beliau mengqashar shalat. (Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, dan disebutkan oleh Al Hafizh dalam At Talkhis, dan ia membenarkannya dengan pernyataan diamnya) [ii].
Sudah maklum bahwa 1 farsakh adalah tiga mil, sehingga hadits Abu Sa’id menghilangkan keraguan yang ada dalam hadits Anas dan menjelaskan bahwa minimal jarak safar yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengqashar shalat adalah tiga mil atau 1 farsakh (5.040 m), karena 1 mil = 1.680 m.
Bahkan ada yang menyatakan bahwa jarak minimal qashar adalah 1 mil sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang shahih dari Ibnu Umar, dan inilah yang dipegang oleh Ibnu Hazm. Ia juga mengatakan tentang tidak berlaku qashar jika kurang dari satu mil, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika keluar ke Baqi untuk menguburkan orang-orang yang meninggal dunia dan keluar ke tanah lapang untuk buang hajat tidak pernah mengqashar shalatnya.
Adapun pendapat sebagian ahli fiqih bahwa syarat qashar itu harus safar yang jauh, dimana jarak minimalnya menurut sebagian mereka adalah dua marhalah[iii] atau tiga marhalah, maka dibantah oleh Abul Qasim Al Kharqi. Disebutkan dalam Al Mughni, “Penyusun berkata, “Aku tidak menemukan hujjah terhadap pendapat yang dipegang oleh para imam. Hal itu, karena pendapat para sahabat saling bertentangan dan berbeda sehingga tidak menjadi hujjah ketika adanya perbedaan. Dan telah ada riwayat dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang menyelisihi hujjah yang dipakai oleh kawan-kawan kami. Kalau pun tidak ada perberdaaan dari kedua sahabat itu, maka pendapat mereka tidak menjadi hujjah ketika berhadapan dengan sabda dan perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
Jika pendapat meraka tidak kuat, maka kembali kepada ukuran yang mereka tentukan juga tertolak karena dua hal:
Pertama, karena menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah kami sebutkan riwayatnya dan karena zhahir (yang tampak) Al Qur’an yang tidak menunjukan demikian. Hal itu karena, zhahir Al Qur’an menunjukkan bolehnya qashar bagi orang yang mengadakan perjalanan di muka bumi sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu).” (Qs. An Nisaa: 101)
Syarat ketika khauf (suasana takut) sudah hilang karena hadits yang telah disebutkan dari Ya’la bin Umayyah, sehingga zhahir (yang tampak dari) ayat berlaku untuk semua perjalanan di muka bumi. Sedangkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa musafir boleh mengusap khuff selama tiga hari, maka hadits ini untuk menerangkan waktu masa mengusap sehingga tidak bisa dipakai hujjah di sini, di samping bisa saja jarak yang pendek ditempuh dalam waktu tiga hari, padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga menamai safar (jika kurang dari itu), Beliau bersabda,
«لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ»
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir melakukan safar dalam waktu sehari kecuali disertai mahram.” (Hr. Muslim)
Kedua, menentukan jarak minimal dasarnya adalah tauqifiyyah (menunggu dalil), sehingga tidak bisa menjadikannya sebagai pegangan namun didasari pendapat semata dan tidak memiliki dasar terhadapnya, serta tidak ada pembanding untuk diqiyaskan dengannya. Oleh karenanya, hujjah yang kuat ada pada pendapat mereka yang mengatakan bolehnya setiap musafir mengqashar shalat kecuali ada ijma yang membatalkannya.
Menurut Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iriy, memang Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menentukan jarak boleh mengqashar shalat, akan tetapi mayoritas sahabat, tabi’in, dan para imam memperhatikan jarak dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengqashar shalat, dan mereka mendapatinya kurang lebih 4 barid atau 48 mil (80,640 km/80 km lebih), lihat Minhajul Muslim hal. 189. Jika seorang berpegang dengan pendapat ini untuk kehati-hatian, maka tidak mengapa.
Bolehnya mengqashar shalat dalam safar ini berlaku baik bagi yang menaiki hewan kendaraan, mobil, pesawat, kereta, dan lainnya, serta berlaku pula baik safar yang isinya ketaatan maupun selain itu.
Apabila pekerjaan seseorang selalu safar seperti nahkoda dan kondektur kereta api, maka diperbolehkan mengqashar shalat dan berbuka, karena ia sebagai musafir hakiki. Namun menurut Syaikh Abu Bakar Al Jazairiy, apabila seorang nahkoda tidak turun dari kapalnya sepanjang tahun, dan kapal itu seakan-akan sebagai tempat tinggalnya, maka tidak disunahkan mengqashar shalat, bahkan hendaknya ia menyempurnakan, karena ia sama saja menjadikan kapal sebagai tempat tinggalnya, (lihat Minhajul Muslim hal. 189).
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazairi), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i] Ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa musafir yang tidak mengqashar shalat yang empat rakaat, lalu pada rakaat kedua ia duduk setelah tasyahhud, maka sah shalatnya namun makruh karena menunda salam, sedangkan dua rakaat yang selanjutnya adalah sunah, dan jika ia tidak duduk pada rakaat kedua, maka tidak sah shalat fardhunya.
[ii] Namun diamnya tidak berarti shahih sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah karena dalam sanadnya terdapat Abu Harun Al ‘Abdi yang menurut Al Hafizh dalam At Taqrib ‘seorang yang matruk (ditinggalkan), dan sebagian ulama menyatakan sebagai pendusta’, bahkan Imam Syaukani meragukan tentang keshahihannya.
[iii] 1 marhalah = 2 barid. 1 barid = 4 farsakh. 1 farsakh = 3 mil. 1 mil = 1.680 m. Dengan demikian 2 marhalah = 80,640 km (80 km lebih).

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger