بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqih Jihad (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘aalamin, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada
keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat,
amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan tentang fiqh jihad yang
telah dibahas sebelumnya, dan pada kali ini kita akan membahas tentang akad hudnah,
dzimmah dan keamanan.
A. Hudnah
Hudnah
secara bahasa artinya tenang. Sedangkan secara syara’, hudnah artinya akad
(perjanjian) yang dilakukan oleh imam atau wakilnya kepada orang-orang kafir
harbi untuk menghentikan perang dalam sementara waktu sesuai kebutuhan meskipun
lama. Hudnah disebut pula muhaadanah, muwaada’ah atau mu’aahadah.
Imam
diperbolehkan melakukan akad hudnah dengan orang-orang kafir untuk menghentikan
perang untuk sementara waktu sesuai kebutuhan, jika dalam melakukannya terdapat
maslahat bagi kaum muslimin, seperti keadaan kaum muslimin ketika itu lemah,
atau belum memiliki persiapan atau karena maslahat lainnya, seperti harapan
agar orang-orang kafir tersebut masuk Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
“Dan jika
mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kamu kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.” (Terj. Al
Anfaal: 61)
Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam juga melakukan akad hudnah ini dengan orang-orang kafir
selama sepuluh tahun, dan melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang
Yahudi di Madinah.
Hudnah yang
dilakukan oleh imam atau wakilnya wajib diberlakukanya, yakni tidak boleh
dibatalkan selama mereka istiqamah memenuhi perjanjian dan tidak berkhianat dan
kita tidak khawatir dengan pengkhianatan mereka. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman,
“Maka selama mereka
berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka.” (At Taubah: 7)
Allah Subhaanahu
wa Ta'aala juga berfirman,
“Wahai
orang-orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu.” (Terj. Al Maa’idah: 1)
Jika mereka
(musuh) membatalkan perjanjian, baik dengan menyerang, membantu musuh kita
dalam menyerang kita, membunuh seorang muslim, atau mengambil hartanya, maka
batallah perjanjian itu dan boleh memerangi mereka. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman,
“Jika mereka merusak
sumpah (janji)nya setelah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka
perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka
itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar mereka
berhenti.” (At Taubah:
12)
Demikian
pula jika dikhawatirkan mereka membatalkan perjanjian karena ada tanda yang
menunjukkan demikian, maka boleh bagi kita mengembalikan perjanjian kepada
mereka dan tidak melanjutkan perjanjian tersebut. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman,
“Dan jika kamu khawatir
akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah
perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Al Anfaal:
58)
Maksudnya
adalah beritahukanlah kepada mereka pembatalan perjanjian agar kita dan mereka
sama-sama tahu, dan tidak boleh memerangi mereka sebelum diberitahukan
pembatalan perjanjian.
B. Akad
dzimmah dan pembayaran jizyah (pajak)
Dzimmah
secara bahasa artinya ‘Ahd, yaitu keamanan dan jaminan. Secara istilah, dzimmah
artinya membiarkan orang-orang kafir di atas kekafiran mereka dengan syarat
mereka menyerahkan jizyah (pajak) dan memegang ajaran-ajaran agama yang ditetapkan
syariat Islam terhadap mereka.
Dasar
disyariatkan akad dzimmah adalah firman Allah Ta’ala:
“Perangilah orang-orang
yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari akhir, dan mereka
tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (At Taubah:
29)
Demikian
pula berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ
فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ... فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ
الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ
“Kemudian
ajaklah mereka kepada Islam. Jika mereka mau memenuhi ajakanmu, maka terimalah
(keislaman) mereka dan tahanlah dirimu dari mereka,…dst. Jika mereka menolak,
maka mintalah jizyah dari mereka. Jika mereka mau memenuhi ajakanmu, maka
terimalah dari mereka dan tahanlah dirimu dari (memerangi) mereka.” (HR. Muslim)
Jizyah ini
diambil dari laki-laki yang mukallaf (akil dan baligh), merdeka, kaya dan mampu
membayar. Oleh karena itu, tidak diambil dari budak, karena ia tidak memiliki
sehingga seperti orang fakir (miskin), dan tidak diambil dari wanita, anak-anak
dan orang gila, karena mereka tidak termasuk orang yang berperang, dan tidak
pula diambil dari orang yang sakit menahun dan orang yang tua renta, karena
darah mereka terpelihara sehingga mereka disamakan seperti kaum wanita.
Setelah
terjadi akad dzimmah, maka kaum muslimin dilarang memerangi mereka,
diperintahkan menjaga harta dan kehormatan mereka, menjamin kebebasan kepada
mereka, tidak menyakiti mereka, dan memberikan hukuman kepada orang yang
mengganggu mereka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, “Fa in hum ajaabuuka faqbal minhum wa kuffa ‘anhum.” (artinya:
Jika mereka memenuhi ajakanmu, maka terimalah dari mereka dan tahanlah dirimu
dari mengganggu mereka).
C. Akad
keamanan
Aman secara
bahasa lawan dari kata takut. Secara istilah, aman artinya memberikan keamanan
kepada orang kafir terhadap harta dan darahnya sampai waktu yang ditentukan.
Dasar
disyariatkan akad keamanan adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
“Dan jika seorang di
antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah
ia agar ia dapat mendengarkan firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat
yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (At Taubah: 6)
Akad
keamanan kepada orang kafir ini sah jika dilakukan oleh setiap muslim dengan
syarat ia berakal dan baligh, dan atas dasar pilihannya (tidak dipaksa, mabuk
atau sedang tidak sadar). Dengan demikian, akad ini sah dilakukan oleh wanita
muslimah, seperti sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ummu
Haani’, “Kami akan melindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Haani.”
Demikian pula sah dilakukan oleh budak, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam:
ذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ
يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ
“Dzimmah
kaum muslimin itu sama, yang rendah juga dapat memegangnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Keamanan ini
ada yang umum, yaitu dari imam untuk semua kaum musyrik atau dari amir
(pemimpin) untuk semua penduduknya, dan ada yang khusus, yaitu
dari salah seorang rakyat kaum muslimin kepada salah seorang dari musuh.
Keamanan
yang umum ini bagian dari tindakan imam kaum muslimin, karena kekuasaannya
umum, dan seseorang tidak berhak melakukannya kecuali dengan persetujuannya.
Akad
keamanan ini bisa dilakukan dengan ucapan yang menunjukkan pemberian keamanan,
seperti, “Engkau aman,” atau “Aku lindungi engkau,” atau, “Engkau tidak akan
apa-apa.”
Musta’min
adalah orang yang meminta keamanan agar dapat menyimak firman Allah dan
mengenal syiar-syiar Islam. Orang yang seperti ini wajib dipenuhi
permintaannya, lalu dikembalikan ke tempat yang aman baginya.
Akad
keamanan ini harus dijaga. Oleh karena itu, diharamkan membunuh orang yang
meminta keamanan atau menawannya atau memperbudaknya, demikian pula harus
dipelihara semua perkara yang disepakati dalam akad keamanan.
Diperbolehkan
mengembalikan akad keamanan ini kepada musuh, jika dikhawatirkan kejahatan dan
pengkhianatan mereka.
Wallahu
a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa
man waalaah.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Maktabatusy Syamilah
dan Fiqhul Muyassar.
0 komentar:
Posting Komentar