بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Shulh (Bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para
sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan pembahasan
seputar shulh, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
Syarat mushaalah
'anh (hak yang dipersengketakan)
Disyaratkan untuk
mushalah 'anh syarat-syarat berikut:
1.
Harta
tersebut bernilai atau ada manfaatnya, dan tidak disyaratkan mengetahuinya,
karena tidak butuh diserahkan.
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ أَبَاهُ قُتِلَ يَوْمَ أُحُدٍ شَهِيدًا وَعَلَيْهِ
دَيْنٌ فَاشْتَدَّ الْغُرَمَاءُ فِي حُقُوقِهِمْ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُمْ أَنْ يَقْبَلُوا تَمْرَ حَائِطِي وَيُحَلِّلُوا أَبِي
فَأَبَوْا فَلَمْ يُعْطِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَائِطِي
وَقَالَ سَنَغْدُو عَلَيْكَ فَغَدَا عَلَيْنَا حِينَ أَصْبَحَ فَطَافَ فِي النَّخْلِ
وَدَعَا فِي ثَمَرِهَا بِالْبَرَكَةِ فَجَدَدْتُهَا فَقَضَيْتُهُمْ وَبَقِيَ لَنَا
مِنْ تَمْرِهَا " . وفي لفظ " أَنَّ أَبَاهُ
تُوُفِّيَ وَتَرَكَ عَلَيْهِ ثَلَاثِينَ وَسْقًا لِرَجُلٍ مِنْ الْيَهُودِ فَاسْتَنْظَرَهُ
جَابِرٌ فَأَبَى أَنْ يُنْظِرَهُ فَكَلَّمَ جَابِرٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَشْفَعَ لَهُ إِلَيْهِ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَلَّمَ الْيَهُودِيَّ لِيَأْخُذَ ثَمَرَ نَخْلِهِ بِالَّذِي
لَهُ فَأَبَى فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّخْلَ
فَمَشَى فِيهَا ثُمَّ قَالَ لِجَابِرٍ جُدَّ لَهُ فَأَوْفِ لَهُ الَّذِي لَهُ فَجَدَّهُ
بَعْدَمَا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْفَاهُ ثَلَاثِينَ
وَسْقًا وَفَضَلَتْ لَهُ سَبْعَةَ عَشَرَ وَسْقًا
Dari Jabir, bahwa
ayahnya terbunuh dalam peperangan Uhud sebagai syahid dan ia memiliki hutang,
lalu para penagihnya meminta haknya dengan keras, (Jabir berkata), "Lalu
saya mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam meminta mereka untuk menerima buah yang ada di kebunku dan
menghalalkan ayahku, namun mereka enggan, sehingga Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak memberikan kepada mereka kebunku, Beliau bersabda (kepadaku),
"Besok pagi, kami akan menemuimu," maka Beliau pun menemui kami di
pagi harinya, lalu Beliau mengelilingi pohon kurma dan mendoakan keberkahan
untuk buahnya. Aku pun memetiknya dan membayar hutang itu dan masih tersisa
buahnya."
Dalam sebuah
lafaz disebutkan, "Bahwa ayahnya wafat dengan meninggalkan hutang sebanyak
30 wasq (1
wasq = 60 sha') kepada seorang yahudi, lalu Jabir meminta
orang itu untuk menunggu tetapi ia tidak mau menunggu, maka Jabir berbicara
dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta Beliau untuk membantu, kemudian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang dan berbicara dengan orang
Yahudi agar ia mau mengambil buah yang ada di pohon kurma, namun ia tetap saja
menolak, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masuk (ke kebun) kurma
dan berjalan di dalamnya, kemudian Beliau bersabda kepada Jabir, "Petiklah
buah itu dan bayarkanlah kepadanya." Maka Jabir memetiknya sepulang Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu ia membayarkan 30 wasq dan masih tersisa 17
wasq lagi." (HR. Bukhari)
Imam Syaukani
berkata, "Dalam hadits tersebut menunjukkan bolehnya shulh untuk hal yang
ma'lum (diketahui) dengan sesuatu yang masih majhul (belum jelas).
2.
Berupa hak
di antara hak-hak hamba, di mana boleh diganti dengannya meskipun selain harta
seperti halnya qishas.
Adapun jika
terkait dengan hak Allah Ta'ala maka tidak bisa diadakan shulh. Oleh karena
itu, jika seorang pezina, pencuri atau peminum minuman keras mengadakan shulh
kepada orang yang menangkapnya agar tidak melaporkan kepada hakim dengan
membayar sekian harta agar dilepaskan, maka shulh tersebut tidak boleh. Karena
tidak sah mengambil ganti (upah) terhadap hal tersebut. Bahkan mengambil ganti
dalam keadaan seperti ini merupakan risywah (sogok). Demikian juga tidak sah
shulh terhadap had qadzaf, karena had tersebut disyari'atkan agar membuat orang
lain jera dan mencegah orang lain agar tidak mengganggu kehormatan seseorang.
Hal tersebut, meskipun terdapat hak hamba, akan tetap haki Allah lebih besar di
sana. Kalau ada yang mengadakan shulh dengan memberi uang terhadap seorang
saksi agar ia menyembunyikan persaksian, baik terkait dengan Allah Ta'ala atau
hak Anak Adam, maka shulh tersebut tidak sah karena haramnya menyembunyikan
persaksian. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
wur
(#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s%
"Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(Al Baqarah: 283)
Allah Ta'ala juga
berfirman:
(#qßJÏ%r&ur noy»yg¤±9$# ¬! 4
"Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
" (Ath Thalaaq: 2)
Demikian juga
shulh tidak sah untuk meninggalkan hak syuf'ah, yakni seorang pembeli membujuk
syafi' (sekutu barang milik bersama) agar ia mau meninggalkan syuf'ahnya, (Tetapi
di antara ulama ada yang berpendapat bahwa shulh seperti ini boleh jika
disetujui oleh syafii).
Demikian juga
tidak sah shulh di atas dakwaan perkawinan.
Pembagian shulh
Shulh ada yang
berupa shulh 'an iqraar, shulh 'an inkaar atau shulh 'an
sukut.
Pertama, Shulh
'an iqraar adalah seseorang mendakwakan ada hutang
pada orang lain atau barang atau manfaat, lalu si terdakwa mengakuinya,
kemudian keduanya mengadakan shulh dengan syarat si pendakwa mengambil sesuatu
dari si terdakwa. Hal itu, karena biasanya seseorang mau menggugurkan haknya
atau sebagiannya karena shulh. Imam Ahmad berkata, "Kalau seandainya di
sana ada seorang yang memberikan syafa'at (pembelaan), maka ia tidaklah
berdosa, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara kepada para
penagih Jabir, lalu mereka menurunkan separuh hutangnya, Beliau juga pernah
berbicara dengan Ka'ab bin Malik, hingga akhirnya hutangnya dikurangi
separuh."
Imam Ahmad
mengisyaratkan hal itu dengan hadits yang diriwayatkan oleh Nasa'i dan lainnya
dari Ka'ab bin Malik sbb.:
أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي
حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ عَلَيْهِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهُمَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا
فَكَشَفَ سِتْرَ حُجْرَتِهِ فَنَادَى: «يَا كَعْبُ» قَالَ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «ضَعْ مِنْ دَيْنِكَ هَذَا» وَأَوْمَأَ إِلَى
الشَّطْرِ، قَالَ: قَدْ فَعَلْتُ قَالَ: «قُمْ فَاقْضِهِ»
"Bahwa ia pernah menagih hutang kepada Ibnu Abi Hadrad (ketika
di masjid), suara keduanya pun mengeras sehingga terdengar oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam padahal ketika itu Beliau berada di rumahnya,
maka Beliau pun keluar dan membuka tirai kamarnya dan memanggil, "Wahai
Ka'ab!" Ia menjawab, "Ya, wahai Rasulullah," Beliau bersabda,
"Turunkanlah hutangmu." Beliau berisyarat agar sampai separuh. Maka
Ka'ab menjawab, "Saya akan lakukan wahai Rasulullah." Lalu Beliau
bersabda kepada yang berhutang, "Bangun dan bayarlah hutangmu."
(Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani)
Di samping itu,
si terdakwa jika mengakui uang itu lalu ia mengadakan shulh dengan uang juga,
maka ini merupakan sharf (penukaran uang) dan diperhatikan syarat-syaratnya.
Namun, jika ia mengakui uang itu, lalu mengadakan shulh dengan barang atau
kebalikannya, maka hal ini merupakan jual beli yang berlaku hukum-hukum jual
beli di sana.
Jika ia mengakui
uang atau barang lalu mengadakan shulh dengan memberikan manfaat seperti
memberikan kesempatan untuk menempati sebuah rumah atau memberikan pelayanan,
maka hal ini merupakan ijarah yang berlaku hukum ijarah di sana. Jika seseorang
telah berhak memperoleh hak yang dipersengketakan itu, maka termasuk hak si
terdakwa menarik kembali badal shulh, karena ia tidaklah memberikan kecuali
untuk diserahkan kepadanya apa yang ada di tangannya.
Jika ia telah berhak
menerima badal shulh, maka pendakwa beralih kepada si terdakwa, karena ia
tidaklah meninggalkan dakwaan kecuali karena akan diserahkan badal shulh.
Shulh ‘an Iqraar
ini terbagi dua:
a. Ada yang terjadi sesuai jenis hak (disebut
juga shulhul ibraa').
b. Ada yang terjadi pada selain jenisnya
(disebut juga shulhul mu'awadhah).
Pertama,
yang terjadi sesuai jenisnya, misalnya seseorang mengakui bahwa orang lain
memiliki hutang yang ada padanya atau barang pada tangannya, lalu diadakan
shulh dengan mengambil sebagian hutang dan menggugurkan sebagiannya lagi, atau
menghibahkan sebagian barang dan mengambil sebagiannya lagi. Shulh ini dianggap
sah jika tidak disyaratkan dalam iqrar, misalnya orang yang berkewajiban
membayar mengatakan, “Ya saya akui, dengan syarat anda memberiku atau memberi
gantiku barang ini,” atau pemilik hak mengatakan, “Saya bebaskan kamu dari
membayar dengan syarat kamu harus memberiku barang ini." Jika disyaratkan
seperti ini, maka tidak sah, karena sama saja memakan harta orang lain dengan
jalan yang haram. Di samping itu seharusnya orang yang berkewajiban
menyerahkannya tanpa syarat. Untuk keabsahannya juga disyaratkan bahwa pemilik
hak termasuk orang yang sah tabarru'(memberi secara sukarela)nya melakukan
infaq. Jika tidak demikian, maka tidak sah. Misalnya adalah wali bagi harta
anak yatim atau orang gila, padahal dia tidak memilikinya.
Kesimpulannya
boleh melakukan shulh pada hak yang memang tsabit (tetap) dengan sesuatu yang
sejenisnya, dengan syarat orang yang berkewajiban tidak menolak membayar dengan
selain shulh ini dan pemilik hak termasuk orang yang sah sikap tabarru'nya. Jika
syarat ini terpenuhi, maka shulh diperbolehkan karena termasuk tabarru', dan
seseorang tidak dihalangi untuk menggugurkan sebagian haknya sebagaimana tidak
dihalangi untuk meminta semua haknya.
Kedua,
yang terjadi pada selain jenisnya, misalnya seseorang mengakui suatu hutang
atau barang, kemudian melakukan shulh dengan mengambil ganti yang berbeda
jenisnya. Jika melakukan shulh karena sebuah uang, lalu diganti dengan uang
yang lain sejenis, maka ini masuknya ke dalam masalah sharf, berlaku padanya
hukum sharf. Namun jika shulh karena sebuah uang, lalu diminta ganti dengan
selain uang, maka ini dianggap jual beli, yang berlaku padanya hukum jual beli.
Dan jika melakukan shulh dengan ganti memanfaatkan, misalnya menempati
rumahnya, maka ini dianggap ijarah, berlaku padanya hukum ijarah. Dan jika
melakukan shulh pada selain uang dengan ganti harta yang lain, maka itu adalah
jual beli.
Kedua, Shulh 'an
inkaar adalah seorang mendakwaan barang atau
hutang atau manfaat pada orang lain, lalu dakwaannya diingkari kemudian
keduanya mengadakan shulh.
Ketiga, Shulh 'an
sukuut adalah seorang mendakwakan adanya hak pada
orang lain seperti di atas, namun si terdakwa diam saja, tidak mengakui maupun
mengingkari.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa
‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa
ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At Tirmidzi, Al
Maktabatusy Syamilah dll.
0 komentar:
Posting Komentar