بسم الله الرحمن الرحيم
Menyambut Kelahiran Si Buah Hati
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat. Amma ba’du:
Berikut ini ahkam (hukum-hukum) penting seputar bayi yang baru
lahir; dan apa saja yang perlu dilakukan terhadapnya. Kami meminta kepada Allah
agar risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
A. Ketika lahir
1. Dianjurkan
memberikan kabar gembira dengan kelahiran seorang anak. Dalilnya adalah firman
Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil
Zakariya, sedangkan ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (ia berkata):
"Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang
puteramu) Yahya". (terj. Ali Imraan: 39)
2.
Mentahnik (mengunyah buah kurma, lalu
mengolesinya ke langit-langit mulut si bayi, atau jika tidak ada dengan madu)
dan mendoakan keberkahan untuknya (seperti mengucapkan “Baarakallahu fiih”).
عَنْ أَبِى مُوسَى - رضى الله عنه - قَالَ : وُلِدَ لِى غُلاَمٌ ،
فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ ،
فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ ، وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ.
Dari Abu Musa ia berkata: Anak saya lahir,
lalu saya membawanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau
menamainya Ibrahim, mentahkniknya dengan kurma dan mendoakan keberkahan
untuknya.” (HR. Bukhari)
B. Pada hari ketujuh (hari lahir dihitung
sebagai hari pertama)
1. Mencukur habis
rambutnya (baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan bersedekah kepada orang-orang
miskin dengan perak atau senilainya sesuai berat rambutnya ketika ditimbang.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
Fathimah saat ia melahirkan Al Hasan:
يَا فَاطِمَةُ اِحْلِقِيْ
رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِيْ بِِزِنَةِ شَعْرِهِ فِضَّةً
“Wahai
Fathimah! Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah sesuai berat rambutnya dengan
perak.” (HR. Ahmad, Malik, Tirmidzi, Hakik, dan Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh
Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi no. 1226)
Dalam mencukur anak kita dilarang mencukur
dengan model qaza’ (mencukur sebagian kepala dan meninggalkan sebagian yang
lain). Termasuk qaza’ adalah:
a. Mencukur
secara acak.
b. Mencukur
bagian tengah kepala dan meninggalkan pinggir-pinggirnya.
c. Mencukur
pinggir-pinggir kepala dan meninggalkan bagian tengahnya.
d. Mencukur
bagian depan kepala dan meninggalkan bagian belakang.
2. Memberinya
nama (bisa dilakukan pada hari lahirnya, hari ketiga atau hari ketujuh), dan
hendaknya seorang bapak memilih nama yang baik untuk anaknya. Ciri nama yang
baik adalah enak didengar, mudah diucapkan oleh lisan, mengandung makna yang
mulia dan sifat yang benar dan jujur, jauh dari segala makna dan sifat yang
diharamkan atau dibenci agama, seperti nama asing yang tidak jelas, tasyabbuh
(menyerupai) nama orang-orang kafir dan nama yang memiliki arti buruk.
Tingkatan nama-nama yang dicintai
a.
Menamai anak dengan nama Abdullah atau
Abdurrahman. Ini adalah nama yang paling dicintai Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Inna ahabba asmaa’ikum ilallah ‘Abdullah wa
‘Abdurrahman,” (artinya: Sesungguhnya namamu yang paling dicintai Allah
adalah ‘Abdullah dan Abdurrahman). (HR. Muslim).
b.
Nama “abdu..(penghambaan)” yang disambungkan
dengan Asma’ul Husna selain yang tersebut di atas. Seperti Abdul ‘Aziz, Abdul
Malik, dsb.
c.
Menamai anak dengan nama-nama nabi dan rasul.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menamai sebagian sahabat dengan nama
nabi dan rasul.
d.
Menamai anak dengan nama orang-orang salih,
seperti dengan nama sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin.
e.
Segala nama yang mencerminkan kejujuran dan
kebaikan manusia.
Nama-nama yang dilarang
a.
Menamai anak dengan nama yang menunjukkan
penghambaan kepada selain Allah, seperti Abdul Ka'bah, Abdusy Syams, Abdul
Husain dsb.
b.
Memberi nama dengan nama-nama yang khusus
bagi Allah, seperti Ar Rahman, Al Khaaliq, Ar Rabb dsb.
c.
Menamai anak dengan nama-nama patung atau
berhala yang disembah selain Allah, seperti Latta, Uzza, Hubal, Brahma, Wisnu,
Syiwa, Dewa dan Dewi.
d.
Nama yang mengandung klaim dusta, mengandung
unsur kebohongan yang berlebihan, atau nama yang isinya mentazkiyah (menganggap
suci) dirinya. Termasuk ke dalamnya nama “Malikul Amlaak” (rajanya para raja), “Syaahan
Syaah” (penguasa para penguasa), “Sulthaanus salaathin” (sultannya para
sultan), “Abul Hakam” (bapak penyelesai masalah), Qaadhil qudhaat (hakimnya
para hakim) dsb.
e.
Nama-nama setan, seperti Iblis, Ifrit,
Khinzib, dsb.
f.
Nama-nama asing yang berasal dari orang-orang
kafir yang merupakan ciri khas mereka, misalnya Petrus, George, Suzan, Diana,
Robert dsb.
Nama-nama yang makruh
a. Nama yang
membuat hati menjauh, seperti Harb (perang), Murrah (pahit), Khanjar (pisau). Demikian
juga nama-nama penyakit, seperti Suham (penyakit unta), suda’ (pusing), Dumal
(bisul) dsb.
b. Menamai anak
dengan nama yasaar, rabaah (untung), Najih (sukses), barakah (berkah) dan aflah
(beruntung). Karena ada larangan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebabnya jika ada orang yang menanyakan, “Adakah si barakah?” jika dijawab: “Tidak
ada”, maka terkesan tidak ada keberkahan.
c. Nama-nama
yang mungundang syahwat, terutama bagi para wanita. Seperti fatin atau fitnah
(penggoda), Syadiyah (penyanyi merdu).
d. Nama yang
menunjukkan makna maksiat, seperti zalim, sariq (pencuri), fasik, bakhil dsb.
e. Nama orang-orang
fasik, artis atau bintang film dan penyanyi.
f. Nama-nama
binatang, seperti khimar (keledai), kalb (anjing), Hansy (lalat), Qunfudz
(landak) dsb.
g. Nama-nama
dobel, seperti Ahmad Muhammad, Sa’id Ahmad dsb. seharusnya jika hendak
menyebutkan bapaknya, ia tambahkan “bin/ibnu” (putra).
h. Sebagian
ulama juga membenci pemberian nama dengan nama-nama malaikat, seperti Jibril,
Mikail dsb. Mereka juga memakruhkan memberi nama dengan nama surat dalam Al Qur’an, seperti Thaha, Haamiiim,
Yasin.
Catatan: Jika seseorang sudah
terlanjur memiliki nama yang buruk tidak ada salahnya segera mengganti sebagaimana
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengganti nama sebagian sahabatnya dengan
nama yang baik.
3. Mengkhitannya,
Khitan termasuk sunanul fithrah (sunnah para nabi), Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
« الْفِطْرَةُ خَمْسٌ -
أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ - الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ
الأَظْفَارِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ » .
“Fitrah itu ada lima atau lima bagian fitrah, yaitu, "Berkhitan, mencukur
bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis.” (Muttafaq
'alaih)
Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki, karena
ia merupakan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan kita diperintahkan
mengikutinya, di samping itu khitan termasuk syi’ar yang membedakan kita dengan
non muslim. Khitan bagi wanita merupakan keutamaan bagi mereka, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada sebagian wanita tukang khitan di
Madinah:
اِخْفِضِيْ وَلَا تُنْهِكِيْ ، فَإِنَّهُ
أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ ، وَأَحْظَى لِلزَّوْجِ
“Rendahkanlah dan jangan berlebihan, karena
yang demikian dapat mengindahkan muka dan menyenangkan suami.” (shahih, HR. Abu
Dawud, Al Bazzar, Thabrani dll, lih. Silsilah Ash Shahiihah 2/353-358)
Ulama madzhab Syafi’i menganjurkan agar
khitan dilakukan pada hari ketujuh. Demikian juga hendaknya khitan dilakukan
tidak ketika anak mencapai masa baligh. Ibnul Qayyim berkata, “Tidak boleh bagi wali
membiarkan anaknya tidak dikhitan hingga ia baligh.”
Kecuali jika sebelumnya ia non muslim, lalu
masuk Islam atau tidak mengetahui hukum khitan, maka meskipun sudah dewasa, ia
tetap disyari’atkan berkhitan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda kepada seseorang yang datang kepada Beliau menyatakan diri masuk
Islam:
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ
وَاخْتَتِنْ
“Hilangkanlah
rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Abu Dawud dan isnadnya hasan)
4. Meng’aqiqahkannya.
C. ‘Aqiqah
‘Aqiqah artinya hewan yang disembelih untuk bayi yang baru lahir. Aqiqah
termasuk hak anak yang hendaknya dipenuhi orang tua. Hukumnya sunnah mu’akkadah
(sunnah yang sangat ditekankan), Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَةٌ ، فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَماً وَأَمِيطُوا
عَنْهُ الأَذَى
“Setiap anak hendaknya ada ‘aqiqah. Oleh karena itu, tumpahkanlah
darah dan singkirkanlah kotoran.” (HR. Bukhari)
Maksud “tumpahkanlah darah” adalah dengan disembelihkan hewan untuknya.
Sedangkan maksud “disingkirkan kotoran” adalah dengan dicukur rambutnya. Untuk
anak laki-laki, disembelihkan dua ekor kambing yang sepadan (baik usia, jenis
maupun fisiknya), sedangkan untuk anak perempuan satu ekor kambing.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; , أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمْرَهُمْ; أَنْ يُعَقَّ عَنْ
اَلْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَعَنْ اَلْجَارِيَةِ شَاةٌ -
Dari Aisyah
radhiyallahu 'anha, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan mereka (para sahabat) agar beraqiqah dua ekor kambing yang
sepadan untuk bayi laki-laki dan seekor
kambing untuk bayi perempuan. (HR. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya)
Jika tidak
sanggup dua ekor kambing untuk bayi laki-laki, maka tidak mengapa seekor
kambing.
Waktu
‘aqiqah adalah pada hari ketujuh, jika tidak bisa maka pada hari keempat belas
dan jika tidak bisa, maka pada hari kedua puluh satu. Imam Ahmad berkata:
“Disembelih pada hari ketujuh, jika tidak dilakukannya, maka pada hari keempat
belas dan jika tidak dilakukannya, maka pada hari kedua puluh satu.”[i]
Catatan
seputar ‘aqiqah:
Ø
Ahkam (hukum seputar) hewan yang di’aqiqahkan sama dengan hewan
udh-hiyyah (kurban), baik usianya, selamatnya dari cacat, maupun pembagiannya.
Hanya saja dalam ‘aqiqah tidak berlaku musyaarakah (patungan).
Jika kambing maka usianya setahun atau lebih,
tidak boleh usianya kurang dari yang disebutkan. Jika berupa biri-biri/domba
maka yang usianya setahun
atau lebih di atas itu. Namun jika tidak ada biri-biri yang usianya setahun maka boleh
yang mendekati setahun.
Untuk pembagiannya juga sama seperti pembagian
kurban, yakni dianjurkan membagi-bagikan kurban menjadi tiga bagian. Misalnya
sepertiga dimakan orang yang berkurban, sepertiga disedekahkan kepada orang
fakir dan sepertiga lagi untuk dihadiahkan kepada kerabat atau tetangga.
Ø Dianjurkan tulang hewan ‘aqiqah
yang sudah disembelih tidak dipatah-patahkan atau dipecahkan. Dalam hadits
disebutkan:
وَكُلُوْا وَأَطْعِمُوْا وَلاَ
تَكْسِرُوْا مِنْهَا عَظْماً وَكَانَ يَقُوْلُ : تُقْطَعُ جُدُوْلاً وَلاَ يُكْسَرُ
لَهَا عَظْمٌ
“Makanlah, berikanlah
kepada orang lain dan janganlah kamu pecahkan tulangnya, Beliau juga bersabda:
“Dipotong anggota badannya, namun tulangnya tidak dipecahkan.” (HR. Hakim dalam
Mustadrak, ia berkata “Shahih isnadnya” dan disepakati oleh Adz Dzahabiy, namun
dianggap cacat oleh Syaikh Al Albani)
Namun karena hadits ini dianggap cacat, maka
kembali kepada hukum asal, yaitu boleh dipatah-patahkan. Wallahu a’lam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Ahkaamul Maulud
(Umar bin Gharaamah), Fiqhus Sunnah, Menanti Buah Hati (Ust. Abdul Hakim bin
Amir Abdat), bulletin An Nuur dll.
[i] Menurut Penyusun Al Fiqhul Muyassar (hal. 196),
bahwa waktu boleh menyembelih hewan ‘aqiqah dimulai dari lepasnya janin dari
perut ibunya dan berlangsung anjuran menyembelihnya sampai baligh, hanyasaja
disunatkan menyembelihnya pada hari ketujuh dari kelahiran berdasarkan hadits
Samurah radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “
كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ
بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Setiap
anak tergadai dengan ‘aqiqahnya; disembelih untuknya pada hari ketujuh, dicukur
dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahih Abi Dawud).
0 komentar:
Posting Komentar