بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Shulh (Bag. 1)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
merupakan pembahasan seputar shulh, semoga Allah menjadikannya ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Hukum-hukum seputar Shulh (pendamaian)
Shulh
secara bahasa artinya melerai permusuhan. Sedangkan secara syara’ artinya 'akad
untuk mengakhiri pertengkaran antar kedua pihak yang saling bertengkar. Shulh
adalah akad yang paling besar faedahnya, oleh karena itu dibolehkan berdusta
apabila dibutuhkan.
Para
pelaku shulh disebut mushaalih, sedangkan hak yang direbutkan sebagai mushaalah
'anh. Adapun yang diberikan oleh salah satunya kepada yang lain untuk
melerai permusuhan disebut mushaalah 'alaih atau badalush shulh.
Dalil
disyari'atkan shulh
Shulh
disyari’atkan berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ agar terwujud
persamaan setelah sebelumnya berselisih dan agar tidak ada lagi permusuhan
antara kedua orang yang bersengketa.
Dalam
Al Qur’an Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
“Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan mereka, kecuali bisikan dari orang yang menyuruh (manusia)
memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara
manusia. Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka
kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisaa’: 114)
"Dan kalau ada dua golongan
dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!
Tetapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil." (QS. Al Hujurat: 9)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا
أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً
“Shulh itu dibolehkan antara kaum
muslimin, kecuali shulh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban dari 'Amr
bin 'Auf, Tirmidzi menambahkan "Wal muslimuun 'alaa syuruuthihim"
(kaum muslimin sesuai syarat yang mereka buat), Tirmidzi berkata, "Hadits
ini hasan shahih." Hadits tersebut juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Shahih Ibnu Majah (1905)).
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam prakteknya
juga memberlakukan shulh terhadap manusia.
Umar radhiyallahu 'anhu berkata: "Kembalikanlah
orang-orang yang bertengkar agar kembali damai, jika keputusan diselesaikan
malah akan mengakibatkan dendam."
Kaum muslimin juga sepakat bahwa shulh disyari'atkan
antara kedua pihak yang betengkar.
Ketahuilah,
bahwa derajat orang yang mendamaikan dua orang yang bertengkar melebihi derajat
orang yang berpuasa sunat dan qiyamul lail. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلاَةِ
وَالصَّدَقَةِ ». قَالُوا بَلَى. قَالَ « إِصْلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ
الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ
"Maukah kalian aku
beritahukan amalan yang lebih utama dari derajat puasa (sunat), shalat (sunat)
dan bersedekah?" Para sahabat menjawab, "Ya." Beliau menjawab,
"Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar, dan rusaknya hubungan dapat
memangkas agama." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari Abud Darda',
dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 2595).
Orang yang melakukan islah hendaknya mengetahui realita
yang ada, mengenal kewajiban dan bermaksud adil.
Shulh hanyalah dalam hak makhluk yang sebagiannya
memiliki hak pada sebagian yang lain, yakni dalam hal yang siap diterima adanya
pengguguran dan pemberian ganti.
Adapun dalam hak Allah seperti hudud dan zakat, maka
tidak bisa berlaku shulh, karena shulh dalam hak Allah harus dipenuhi secara
sempurna.
Macam-macam Shulh
Shulh antar manusia ada lima macam:
1.
Shulh
antar kaum muslimin dan kaum kafir yang diperangi.
2.
Shulh
antar kaum yang adil dan kaum yang memberontak (lhat Al Hujurat: 9).
3.
Shulh
antar suami dan istri, jika dikhawatirkan terjadi perselisihan (lihat An
Nisaa': 35 dan 138).
4.
Shulh
antara dua pihak yang bertengkar dalam selain harta.
5.
Shulh
antar dua pihak yang bertengkar dalam hal harta.
Shulh yang kelima inilah yang akan dibahas secara
panjang lebar di sini, insya Allah.
Rukun
shulh
Rukun shulh itu ijab dan qabul dengan semua lafaz yang
menunjukkan shulh. Misalnya si terdakwa berkata, "Saya mengajakmu
melakukan shulh (damai) dengan memberikan kepadamu 100.000,- yang sebelumnya
50.000,-", lalu yang lain berkata: "Saya terima." Dsb.
Jika shulh telah sempurna, maka:
ü Ia menjadi 'akad yang
lazim (harus) berlaku antara kedua belah pihak, sehingga tidak sah membatalkan
secara sepihak tanpa ada keridhaan dari yang lain.
ü Pendakwa memiliki hak
menerima badal shulh dan si terdakwa tidak berhak menarik lagi.
ü Dakwaan pendakwa tidak
didengar lagi setelahnya.
Syarat shulh
Syarat shulh ada yang terkait dengan pelaku shulh
(mushalih), ada yang terkait dengan sesuatu atau harta yang dipakai untuk
melakukan shulh (mushaalah bih/badal shulh) dan ada yang terkat dengan hak yang
yang dipersengketakan (mushaalah 'anh).
Syarat mushalih
Disyaratkan untuk pelaku shulh harus orang yang memang
sah bertabarru' (merelakan sesuatu), jika mushalih termasuk orang yang tidak
sah tabarru'nya misalnya orang gila, anak kecil, wali anak yatim atau nazhir
(pengawas) waqaf, maka shulhnya tidak sah, karena shulh merupakan tabarru' (memberi
secara sukarela), sedangkan mereka tidak memiliki hak terhadapnya. Namun shulh
yang dilakukan anak kecil yang sudah tamyiz, wali anak yatim dan nazhir waqf sah
jika ada manfaat bagi si anak, si yatim maupun bagi waqaf. Misalnya ada hutang
yang ditanggung orang lain, dan ternyata tidak ada bukti yang menunjukkan
hutangnya, lalu ia mengadakan shulh dengan hanya mengambil sebagian hutangnya
dan membiarkan sebagiannya lagi.
Syarat barang yang dipakai shulh (mushaalah bih/badal
shulh)
1.
Harta
tersebut bernilai, bisa diserahkan atau ada manfaatnya.
2.
Diketahui
dengan pengetahuan yang meniadakan kemajhulan (ketidakjelasan) yang besar
sehingga menimbulkan pertengkaran, jika butuh serah-terima.
Ulama madzhab Hanafi berkata, "Jika tidak butuh
serah terima, maka tidak disyaratkan harus diketahui, sebagaimana jika
masing-masing dari dua orang mendakwakan memiliki sesuatu pada yang lain, lalu
keduanya sama-sama melakukan shulh di mana keduanya menjadikan haknya sebagai
badal shulh namun tanpa diketahui oleh yang lain. Imam Syaukani menguatkan
bolehnya melakukan shulh dengan barang yang majhul.
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ جَاءَ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ يَخْتَصِمَانِ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَوَارِيثَ بَيْنَهُمَا
قَدْ دُرِسَتْ لَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَلَعَلَّ
بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ أَوْ قَدْ قَالَ لِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَإِنِّي
أَقْضِي بَيْنَكُمْ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ
شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْهُ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ يَأْتِي
بِهَا إِسْطَامًا فِي عُنُقِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَبَكَى الرَّجُلَانِ وَقَالَ كُلُّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَقِّي لِأَخِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَمَا إِذْ قُلْتُمَا فَاذْهَبَا فَاقْتَسِمَا ثُمَّ تَوَخَّيَا الْحَقَّ
ثُمَّ اسْتَهِمَا ثُمَّ لِيَحْلِلْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْكُمَا صَاحِبَهُ
Dari Ummu Salamah
radhiyallahu 'anha ia berkata, Ada dua orang yang datang mengadu kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah warisan antara keduanya
yang tidak jelas lagi ciri-cirinya, dan masing-masing tidak memiliki bukti,
maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya
kalian mengadukan kepadaku, padahal aku hanyalah manusia, mungkin saja salah
seorang di antara kamu lebih pandai beralasan daripada yang lain. Saya
memutuskan hanyalah berdasarkan yang saya dengar, siapa saja yang telah saya
tetapkan sehingga memperoleh hak saudaranya, maka janganlah mengambil, karena
sebenarnya saya memberikan kepadanya sepotong api yang akan dibawanya besi itu
di lehernya pada hari kiamat. Lalu keduanya menangis dan masing-masingnya
berkata kepada yang lain, "Hak saya untuk saudara saya." Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Adapun jika kamu
berdua berkata begitu, maka pergilah dan bagilah berdua dan niatkanlah mencari
yang hak dan lakukanlah undian (setelah dilakukan pembagian), lalu
masing-masing hendaknya menghalalkan saudaranya" (HR. Ahmad, Abu Dawud dan
Ibnu Majah. Syaikh Syu'aib Al Arnauth berkata, "Isnadnya hasan.")
Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan:
وَإِنَّمَا أَقْضِي بَيْنَكُمْ بِرَأْيِيْ فِيْمَا
لَمْ يَنْزِلْ عَلَيَّ فِيْهِ
"Sesungguhnya yang saya
putuskan merupakan pendapat saya karena tidak turun ayat tentangnya."
Imam Syaukaani berkata, "Di sana terdapat dalil
sahnya merelakan yang masih majhul, karena tanggungan yang ada pada
masing-masingnya tidaklah maklum (diketahui). Di sana juga menunjukkan sahnya
shulh dengan yang ma'lum (diketahui) terhadap yang majhul (belum jelas), akan
tetapi harus adanya tahlil (yakni syarat menghalalkan). Dalam Al Bahr
disebutkan dari An Naashir dan Imam Syaafi'I, Bahwa tidak sah mengadakan shulh
dengan sesuatu yang ma'lum terhadap sesuatu yang majhul."
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa
ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At Tirmidzi, Al
Maktabatusy Syamilah dll.
0 komentar:
Posting Komentar