Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para
sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan beberapa
masalah tentang jual beli, kami sebutkan secara singkat dari kitab Al
Fiqhul Muyassar karya beberapa orang ulama, agar menjadi pedoman dalam
melakukan transaksi jual beli.
A. Definisi Jual
Beli
Jual beli yang dalam bahasa Arab disebut Al Bai’ artinya
mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu. Secara syara’, jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta meskipun masih dalam tanggungan atau dengan
manfaat yang mubah secara kekal bukan riba dan pinjaman.
B. Hukum jual
beli
Jual
beli hukumnya boleh. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ |
“Allah menghalalkan jual beli.” (Qs. Al Baqarah: 275).
Demikian pula berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam,
إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا
“Apabila dua orang melakukan jual
beli, maka masing-masingnya berhak khiyar (meneruskan atau membatalkan jual
beli) selama keduanya belum berpisah, sedangkan keduanya berkumpul bersama.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum muslimin juga sepakat tentang kebolehan jual beli
secara garis besar. Di samping itu, kebutuhan manusia menghendaki untuk
diadakan jual beli, karena manusia butuh kepada barang yang ada pada orang
lain, dimana maslahatnya terkait dengannya dan tidak ada jalan untuk
memperolehnya dengan cara yang benar kecuali dengan melakukan jual beli, maka
hikmah menghendaki untuk dibolehkannya perkara ini dan disyariatkannya agar tercapai
maksud yang diingikan.
C. Rukun jual
beli
Rukun
jual beli ada tiga; orang yang melakukan ‘akad jual beli (aqid), sesuatu atau
barang yang diakadkan (obyek akad), dan shighat (kalimatnya). |
Orang yang melakukan akad jual beli terdiri dari
penjual dan pembeli, sesuatu yang diakadkan adalah barang yang dijual-belikan,
sedangkan shighat maksudnya kalimat ijab dan qabul.
Ijab
artinya lafaz yang muncul dari penjual, seperti, “Saya jual…dst.” Sedangkan
qabul maksudnya lafaz yang muncul dari pembeli, seperti, “Saya beli…dst.” |
Ini adalah shighat qauliyyah (yang berupa ucapan). Ada
pula shighat fi’liyyah (yang berupa perbuatan), yaitu dengan
serah-terima, misalnya seorang pembeli menyerahkan uang kepada penjual, lalu
penjual menyerahkan barangnya tanpa adanya ucapan.
D. Hukum
mengadakan saksi terhadap jual beli
Mengadakan
saksi terhadap jual beli dianjurkan, namun tidak wajib, berdasarkan firman
Allah Ta’ala, وَأَشْهِدُوا
إِذَا تَبَايَعْتُمْ “Dan adakanlah saksi apabila kamu berjual-beli.” (Qs. Al Baqarah:
282). Di
ayat tersebut, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan mengadakan saksi
ketika berjual beli, namun perintah ini menunjukkan sunah berdasarkan ayat
selanjutnya, فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ |
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya.” (Qs. Al Baqarah:
283)
Hal ini menunjukkan bahwa perintah
di ayat sebelumnya sebagai pengarahan saja untuk menguatkan dan untuk maslahat.
Demikian juga berdasarkan hadits Umarah bin Khuzaimah,
bahwa pamannya yang termasuk sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bercerita kepadanya, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membeli
kuda dari seorang Arab badui dan meminta kepadanya untuk mengikutinya agar
dapat menerima uang dari penjualan kudanya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam berangkat lebih cepat sedangkan orang Arab badui lambat, lalu para
sahabat mendatangi orang badui itu meminta dibeli kuda itu, sedangkan mereka
tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah membelinya.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih An
Nasa’i no. 4332)
Wajhud dilalah (sisi pengambilan
dalil) dari hadits tersebut adalah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
membeli kuda dari orang Arab badui, sedangkan antara Beliau dengan orang Arab
badui itu tidak ada saksi, jika saksi itu wajib, tentu Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam tidak akan membelinya kecuali setelah mengangkat saksi.
Demikian
pula karena para sahabat radhiyallahu 'anhum saling berjual beli di pasar di
zaman Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, namun tidak ada nukilan dari Beliau
bahwa Beliau memerintahkan mereka mengangkat saksi, dan tidak ada pula nukilan
dari para sahabat bahwa Beliau melakukannya. Di samping itu, jual beli termasuk
perkara yang sering dilakukan oleh manusia, kalau mereka harus mengangkat saksi
untuknya tentu mereka akan kesulitan. Tetapi jika yang diakadkan adalah sesuatu
yang besar, yang pembayarannya ditunda dimana butuh adanya bukti tertulis, maka
sepatutnya ditulis dan diadakan saksi untuknya agar dapat merujuk kepada bukti
tertulis itu ketika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak.
Catatan: Jual-beli
melalui internet (online) tidak mengapa apabila terpenuhi syarat dan rukun
jual beli. Tentunya hal ini bukan pada emas dan perak, karena keduanya tidak
boleh dilakukan jual-beli dengan uang kertas kecuali dengan syarat serah
terima di majlis akad, dimana hal ini sangat sulit pada jual-beli online. |
Rukun jual beli adalah ijab-qabul antara penjual dan
pembeli terhadap barang yang dijual belikan karena adanya bayaran. Sedangkan
syaratnya adalah barang yang dijual-belikan mubah, suci, bisa dimanfaatkan,
dimiliki, dapat diserahkan kepada pembeli, dan barangnya diketahui baik dengan
dilihat atau disifati secara sempurna yang menerangkan jumlah dan jenisnya, dan
semisalnya yang menghilangkan kemajhulan (ketidakjelasan), wallahu a’lam.
Nanti akan dijelaskan lebih rincin insya Allah.
E. Khiyar dalam
jual beli
Khiyar
maksudnya bahwa penjual dan pembeli berhak meneruskan atau membatalkan akad
jual beli. Hukum
asal jual beli adalah lazim (mesti dilanjutkan) ketika terjadi dengan
terpenuhi rukun dan syaratnya, dan tidak ada hak bagi orang yang melakukan
akad menarik kembali. |
Hanyasaja agama Islam adalah agama yang lapang dan
memberikan kemudahan, ia memperhatikan maslahat dan kondisi seseorang. Di
antaranya adalah apabila seorang muslim membeli barang atau menjualnya karena
suatu sebab, lalu ia menyesal setelahnya, maka syariat membolehkan kepadanya
melakukan khiyar sampai ia berpikir matang terhadap urusannya dan memperhatikan
maslahatnya, yakni apakah ia melanjutkan jual beli atau menarik lagi sesuai pertimbangan
yang sesuai dengannya.
Khiyar
ada beberapa macamnya: |
Pertama, Khiyar Majlis, yaitu khiyar di
tempat yang di sana terjadi jual beli, dimana masing-masing penjual dan pembeli
berhak khiyar selama di majlis akad dan belum berpisah. Hal ini berdasarkan
hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
اَلْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا “Penjual dan pembeli berhak khiyar selama belum berpisah.” (Hr. Bukhari dan Muslim) |
Kedua, Khiyar Syarat, yaitu kedua orang
penjual dan pembeli atau salah satunya mensyaratkan khiyar sampai waktu
tertentu untuk melanjutkan akad jual beli atau membatalkannya. Ketika habis
waktu yang ditetapkan dari awal akad dan ternyata tidak ada pembatalan, maka
jual beli itu lazim (mesti berlanjut). Contoh: Seorang membeli mobil dari orang
lain, lalu pembeli berkata, “Saya berhak khiyar selama sebulan penuh.” Jika
pembeli menarik kembali pembeliannya di sela-sela bulan itu, maka ia berhak
melakukannya. Jika ternyata tidak menarik kembali, maka ia mesti membeli mobil
dengan berakhirnya bulan itu.
Ketiga, Khiyar Aib, yaitu khiyar yang
berhak bagi pembeli ketika menemukan cacat pada barang yang dibelinya yang
tidak diberitahukan penjual atau penjual tidak mengetahuinya, dan nilai barang
menjadi berkurang karena cacat tersebut, dimana untuk mengetahuinya perlu
dikonsultasikan kepada para pedagang yang ahli. Jika mereka menganggap sebagai
cacat, maka berlakulah khiyar. Jika mereka anggap bukan sebagai cacat, maka
tidak berlaku. Khiyar ini berhak dimiliki pembeli. Jika ia mau, ia bisa
melanjutkan jual beli dan mengambil ganti terhadap cacatnya, yaitu selisih
antara harga barang jika kondisinya baik dengan harga barang ketika cacat. Jika
ia mau, maka ia boleh mengembalikan barang itu dan meminta dikembalikan uang
yang telah diberikan penjual.
Keempat, Khiyar Tadlis,
yaitu seorang penjual menipu pembeli sehingga harga barang menjadi tinggi.
Terhadap hal ini Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, مَنْ
غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا “Barang siapa yang menipu kami, maka ia bukan termasuk
golongan kami.” (Hr. Muslim) |
Contohnya adalah seorang memiliki mobil yang di
dalamnya banyak cacat, lalu ia ingin menampakkan luarnya bagus, ia percantik
bagian luarnya sehingga pembeli tertipu dan merasakan bahwa mobil itu tidak
bercacat, akhirnya si pembeli membelinya. Dalam keadaan ini, pembeli memiliki
hak mengembalikan barang kepada penjual dan meminta dikembalikan uang yang
diberikannya kepada penjual.
F. Syarat-syarat
jual beli
Disyaratkan untuk sahnya jual beli,
beberapa syarat berikut:
Pertama,
saling ridha antara penjual dan pembeli. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”
(Qs. An Nisaa’:29)
Dari Abu Sa’id Al Khudriy
radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual beli itu atas
dasar kerelaan.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Baihaqi, dan dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani, lihat Irwaa’ul Ghalil 5/125)
Oleh karena itu, tidak sah jual beli jika salah satunya
memaksa yang lain dengan tanpa hak. Tetapi jika paksaan dilakukan dengan hak,
misalnya hakim memaksa seseorang menjual barangnya untuk menutupi utangnya,
maka jual beli itu sah.
Kedua, pelaku akad ja’izut tasharruf
(boleh bertindak), yaitu baligh, berakal, merdeka dan cerdas. Oleh karena itu,
tidak sah jual-beli dari anak kecil, orang dungu, orang gila dan budak tanpa
izin tuan atau walinya.
Ketiga, penjual memiliki barang tersebut
atau menduduki posisi pemiliknya, seperti sebagai wakilnya, orang yang mendapat
wasiatnya, walinya maupun nazhir (pengawasnya). Dengan demikian, jual beli
tidak sah jika seseorang menjual sesuatu yang tidak dimilikinya. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Hakim bin
Hizam radhiyallahu 'anhu,
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Jangan
kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu.(HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i,
Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat Irwaa’ul
Ghalil 5/132).
Keempat, barang yang dijual termasuk barang
yang halal dimanfaatkan, seperti makanan, minuman, pakaian, kendaraan, property
(tanah dan rumah), dsb. Oleh karena itu, tidak sah menjual barang yang haram
dimanfaatkan, seperti arak, babi, bangkai, dan alat musik. Hal ini berdasarkan
hadits Jabir ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ
“Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli arak, bangkai, babi dan patung.”
(Hr. Bukhari dan Muslim) |
Demikian pula berdasarkan hadits Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla apabila mengharamkan
memakan sesuatu, maka Dia mengharamkan pula harga(pembayaran)nya.” (Hr. Ahmad
dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Arnaa’uth dalam Hasyiyah Al Musnad
(4/95)) |
Dan diharamkan pula jual-beli anjing, berdasarkan
hadits Abu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَثَمَنِ الدَّمِ
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang harga anjing dan
darah.” (HR. Bukhari)
Kelima, sesuatu yang diakadkan bisa
diserahkan, karena yang tidak bisa diserahkan seperti tidak ada, sehingga tidak
sah dijual-belikan dan masuk ke dalam jual beli gharar. Jual beli gharar adalah
menjual barang yang lahiriyahnya menakjubkan pembeli, namun bagian dalamnya
majhul (belum jelas).
Hal
itu, karena pembeli bisa saja telah menyerahkan uangnya, namun tidak
mendapatkan barangnya. |
Berdasarkan syarat ini, maka tidak boleh jual-beli ikan
yang masih di kolam, burung yang masih di udara, susu yang masih di teteknya,
janin hewan yang masih dalam perut induknya, dan jual beli hewan yang lari. Hal
ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ بَيْعِ
الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual
beli gharar.” (Hr. Muslim)
Keenam, sesuatu yang diakadkan harus
diketahui oleh keduanya (penjual dan pembeli) dengan dilihat dan disaksikannya
ketika akad atau disifatkan dengan sifat yang membedakan dengan selainnya. Hal
itu, karena ketidakjelasan merupakan gharar, sedangkan gharar itu dilarang.
Oleh karena itu, tidak sah membeli sesuatu yang belum dilihatnya.
Ketujuh, pembayarannya diketahui, yaitu
dengan ditentukan harga barang dan diketahui nilainya.
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar, dll.
0 komentar:
Posting Komentar