بسم
الله الرحمن الرحيم
Menggapai Khusyu dalam Shalat
Khusyu artinya hudhuurul qalbi wa sukuunul arkaan (hadirnya
hati dan diamnya anggota badan). Khusyu adalah ruh shalat; semakin tinggi
tingkat kekhusyuan seseorang, maka semakin besar pula pahala yang akan didapat
dari shalatnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ
لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا
رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا
“Sesungguhnya seseorang jika selesai shalat,
maka (pahala) shalat yang dicatat untuknya hanyalah sepersepuluh, sepersembilan,
seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga dan
setengahnya.” (HR. Abu Dawud)
Cukuplah tentang keutamaan khusyu dengan pujian yang diberikan
Allah kepada mereka yang khusyu (lih. Al Israa’: 107-109), di samping
pernyataan dari-Nya bahwa merekalah orang-orang yang beruntung:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,--(yaitu)
orang-orang yang khusyu dalam shalatnya.” (terj. Al Mu’minun: 1-2)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
«
مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا
وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ
الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ »
“Tidak ada seorang muslim yang pada saat
shalat fardhu tiba, ia memperbagus wudhu’, khusyu dan ruku’nya kecuali hal itu
akan menjadi kaffarat (penebus) dosa sebelumnya selama ia tidak mengerjakan
dosa-dosa besar, dan hal itu berlangsung dalam setahun penuh.” (HR. Muslim)
Bagaimana jika terlintas di fikiran masalah yang tidak terkait
dengan shalat?
Dalam shalat, kekhusyuan (yakni hadirnya hati) harus ada meskipun
hanya sebentar, kalau tidak ada sama sekali, maka bisa batal shalatnya. Oleh
karena itu, boleh saja ketika shalat terlintas di pikirannya masalah lain yang
tidak terkait dengan shalat asalkan ketika ingat ia segera kembali
memperhatikan shalatnya. Hal ini karena ketika seseorang shalat, setan akan
datang menggodanya dengan mengingatkan masalah-masalah lain di luar shalat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ أَدْبَرَ
الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا قَضَى
النِّدَاءَ أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ حَتَّى إِذَا
قَضَى التَّثْوِيبَ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطِرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ
اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ
لَا يَدْرِي كَمْ صَلَّى
“Apabila azan shalat dikumandangkan, maka
setan akan lari menjauh sampai buang angin sehingga ia tidak mendengar suara
azan. Setelah azan selesai dikumandangkan, ia pun datang lagi. Kemudian apabila
iqamat dikumandangkan setan pun lari menjauh. setelah iqamat selesai, ia datang
lagi lalu membisikkan dalam diri seseorang, “Ingatlah masalah ini! Ingatlah
masalah itu!” Padahal sebelumnya ia tidak ingat. Akibatnya seseorang shalat tidak
ingat lagi berapa rak’at yang sudah dikerjakannya.” (HR. Muslim)
Hukum bergerak ketika shalat
Bergerak ketika shalat ada lima
hukum; wajib, sunat, haram, makruh dan mubah. Berikut ini perinciannya:
Pertama,
bergerak yang wajib, yaitu jika tidak bergerak mengakibatkan shalatnya batal.
Misalnya tanpa disadari
seseorang shalat memakai sandal yang terkena najis, ketika sedang melakukan
shalat tiba-tiba ada yang memberitahukan bahwa sandalnya terkena najis, dalam
kondisi seperti ini ia wajib bergerak untuk melepaskan sandalnya, jika tidak
maka akan batal shalatnya.
Dalilnya adalah hadits
berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ
قَالَ: بَيْنَمَا رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا
رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُوْلُ اللّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ: "مَا حَمَلَكُمْ عَلَى
إِلْقَائِكُمْ نِعَالَكُمْ"؟ قَالُوْا: رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ
فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "إِنَّ جِبْرِيْلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي
فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيْهِمَا قَذَراً" أَوْ قَالَ أَذًى، وَقَالَ:
"إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلىَ الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ، فَإِِنْ رَأَى فِي
نَعْلَيْهِ قَذَراً أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيْهِمَا".
Dari Abu Sa’id Al Khudriy, dia berkata: “Ketika Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama para sahabatnya, tiba-tiba Beliau
melepas kedua sandalnya dan menaruhnya di sebelah kiri. Saat para sahabat
melihatnya, mereka pun ikut melepas sandalnya. Setelah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam selesai shalat, Beliau bertanya, “Mengapa kalian melepas
sandal kalian?” Para sahabat menjawab, “Kami
melihat engkau melepas sandalmu, maka kami pun ikut melepasnya.” Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, “Sesungguhnya Jibril datang
kepadaku memberitahukan bahwa pada kedua sandal ini ada najis –atau mengatakan
“ada kotoran”-. kemudian Beliau bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu
datang ke masjid, maka lihatlah (sandalnya), jika dilihatnya ada kotoran atau
najis maka gosok-gosokkanlah (ke tanah), setelah itu shalatlah dengan
memakainya.” (HR. Abu Dawud dan lain-lain, lih. Shifat Shalat Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam)
Dalam hadits ini terdapat banyak hukum, di antaranya; bahwa
sandal yang terkena najis bisa menjadi suci dengan digosok-gosokkan ke tanah
hingga hilang najisnya, dan jika kita terkena najis atau kaki
kita menginjak najis, hal itu tidaklah membatalkan wudhu, akan tetapi kita
harus membersihkannya ketika hendak shalat baik menimpa badan maupun pakaian.
Dalil tentang bergerak yang wajib ini disebutkan juga dalam
hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu berikut:
“Ketika orang-orang sedang shalat Subuh di Quba’, tiba-tiba
datang seseorang sambil berkata, “Sesungguhnya semalam telah diturunkan kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Al Qur’an, Beliau diperintahkan untuk
menghadap ka’bah, maka menghadaplah ke arahnya”, sebelumnya mereka menghadap ke
Syam, seketika itu juga mereka berputar menghadap ke arah ka’bah.” (HR. Bukhari)
Kedua,
bergerak yang sunat, yaitu gerakan yang apabila dilakukan ia mendapatkan
keutamaan.
Misalnya ketika shalat
berjama’ah, salah seorang makmum batal, lalu mundur ke belakang, sehingga ada
celah dalam shaf. Nah, bagi makmum yang lain boleh mengisi celah dalam shaf itu
dengan maju ke depan, di mana shaf terdepan jelas lebih utama, dibanding shaf
setelahnya.
Ketiga,
bergerak yang makruh, yaitu gerakan yang dilakukan tanpa ada keperluan.
Misalnya, ketika shalat ia
melihat jam tangan dsb. Hal ini adalah makruh karena mengurangi kekhusyuan, karena
arti khusyu adalah hadirnya hati dan diamnya anggota badan
Keempat,
bergerak yang haram, yaitu gerakan yang banyak tanpa ada keperluan.
Misalnya, ketika shalat
seseorang banyak bergerak kesana kemari tanpa ada keperluan, dan bisa batal
shalatnya jika terus-menerus dilakukannya pada setiap rak’at.
Kelima,
bergerak yang mubah, yaitu gerakan yang dilakukan karena ada keperluan,
meskipun membutuhkan banyak gerakan.
Misalnya seorang ibu shalat
dengan membawa anaknya, pada saat shalat anaknya menangis, maka bagi ibu tidak
mengapa bergerak untuk menggendong anaknya, atau misalnya ketika seseorang
shalat terdengar suara handphonenya, maka tidak mengapa ia mematikan
handphonenya ketika shalat.
Contoh lainnya adalah ketika seseorang
shalat ada kalajengking atau ular lewat, maka tidak mengapa dia membunuhnya
meskipun membutuhkan banyak gerakan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
اُقْتُلُوا اَلْأَسْوَدَيْنِ فِي اَلصَّلَاةِ :
اَلْحَيَّةَ, وَالْعَقْرَبَ
“Bunuhlah
dua binatang hitam dalam shalat; yaitu ular dan kalajengking.” (HR. Empat orang
ahli hadits dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Cara menggapai khusyu
Ada beberapa cara untuk menggapai kekhusyuan,
yaitu:
1. Berusaha melakukan hal yang membantu dan memperkuat kekhusyuan.
2. Menjauhkan segala macam kesibukan dan penghalang yang memalingkan
dari khusyu.
Hal-hal yang membantu kekhusyuan di antaranya
adalah:
- Membuktikan kesiapan untuk shalat, misalnya menjawab panggilan azan,
berdoa setelah azan, menyempurnakan wudhu’nya, berhias untuk shalat, segera
berangkat ke masjid (tanpa terburu-buru), berjalan ke masjid dengan tenang dan
menampakkan sikap yang sopan, meluruskan dan merapatkan shaf dsb.
- Berthuma’ninah ketika shalat (tidak cepat-cepat).
- Mengingat maut.
- Mentadabburi (memikirkan) ayat-ayat yang dibaca, demikian juga
dzikr-dzikr dalam shalatnya. Untuk dapat mentadabburi ayat-ayatnya adalah
dengan membacanya ayat-perayat.
- Membaca ayat Al Qur’an dengan tartil dan dengan suara yang bagus.
- Membaca isti’adzah/ta’awwudz sebelum membaca surat Al Fatihah.
- Mengetahui bahwa Allah menjawab ucapannya ketika membaca surat Al Fatihah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ
الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ
وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ ) . قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِى عَبْدِى وَإِذَا قَالَ (
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) . قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى .
وَإِذَا قَالَ ( مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ) . قَالَ مَجَّدَنِى عَبْدِى - وَقَالَ
مَرَّةً فَوَّضَ إِلَىَّ عَبْدِى - فَإِذَا قَالَ ( إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ ) . قَالَ هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ
....
Allah Ta’ala berfirman:
“Aku membagi shalat antara-Ku dengan hamba-Ku dua bagian dan untuk hamba-Ku apa
yang dia minta. Apabila seorang hamba mengucapkan “Al Hamdu lillahi Rabbil
‘aalamiin”, Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku”, jika dia
mengatakan “Ar Rahmaanir Rahiim”, Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah
menyanjung-Ku”. Jika dia mengucapkan “Maaliki yaumiddin”, Allah berfirman,
“Hamba-Ku memuliakan-Ku” –sesekali Dia berfirman, “Hamba-Ku telah
menyerahkan (urusannya) kepada-Ku”. Dan jika dia mengucapkan “Iyyaaka
na’budu wa iyyaaka nasta’iin” Allah berfirman, “Inilah bagian antara Aku dengan
hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta….” (HR. Muslim)
- Shalat memakai sutrah dan mendekat kepadanya. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى
سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat,
maka shalatlah dengan memakai sutrah/penghalang, mendekatlah kepadanya dan
jangan biarkan seseorang lewat di hadapannya.” (HR. Ibnu Majah)
Bagi
imam dan orang yang shalat sendiri diperintahkan untuk memakai sutrah
(penghalang agar tidak dilewati orang lain, baik berupa balok, tiang, dinding,
orang yang sedang duduk dsb.) di depannya. Tinggi sutrah minimal setinggi kayu
cagak kendaraan (berdasarkan riwayat Muslim) atau kira-kira sejengkal lebih. Jika
imam sudah memakai sutrah maka makmum tidak perlu memakai sutrah. Hukum memakai
sutrah menurut sebagian ulama adalah sunnah mu’akkadah (yang ditekankan), ulama
yang lain berpendapat hukumnya wajib. Oleh karena itu, hendaknya seseorang
tidak meninggalkannya.
Di
antara hikmah memakai sutrah adalah untuk membatasi pandangan kita agar mata
kita tidak melihat ke mana-mana sehingga menimbulkan banyak pikiran.
- Menghadapkan pandangan ke tempat sujud.
- Membaca surat
atau dzikr yang lain yang berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
(tidak hanya satu macam saja)
- Mengetahui keutamaan khusyu.
- Bersungguih-sungguh dalam berdoa, khususnya ketika sujud.
Sedangkan hal-hal yang memalingkan kekhusyuan
di antaranya:
-
Tempat
shalat dan pakaian shalatnya terdapat ukiran atau corak yang mencolok.
-
Suara keras
di dekatnya. Oleh karena itu tidak dibenarkan mengeraskan suara ketika ada yang
sedang shalat seperti yang dilakukan sebagian orang, yaitu melantunkan
sya’ir-sya’ir antara azan dan iqamat dengan pengeras suara.
-
Menahan
buang air besar/kecil.
-
Makanan
sudah dihidangkan sedangkan dirinya lapar.
-
Mengantuk
berat.
-
Melakukan
shalat di dekat orang yang sedang bercakap-cakap dan orang yang sedang tidur.
-
Menyibukkan
diri meratakan/membersihkan pasir yang ada di tempat sujud. Oleh karena itu,
sebaiknya sebelum shalat ia meratakan/membersihkan pasir-pasirnya.
-
Memandang ke
arah langit.
-
Meludah ke
bagian kiblat atau kanannya.
-
Tidak
menahan nguapnya.
-
Bercekak
pinggang.
-
Menoleh ketika
shalat.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Shifat Shalatin Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam (Syaikh Al Albani), Min Ahkaamish shalaah (Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin), 33 sababan lil khusyu fish shalaah (Syaikh M. bin Shalih Al
Munajjid), ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud.
0 komentar:
Posting Komentar