Kaum Salaf Dan Akhlak Mereka Kepada Teman

Minggu, 26 November 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫حسن الخلق‬‎
Kaum Salaf Dan Akhlak Mereka Kepada Teman
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang kaum salaf dan akhlak mereka dalam berteman, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kedermawanan Ibnul Mubarak
Al Khathib berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Umar bin Ibrahim dan Abu Muhammad Al Khallal. Mereka berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Muhammad bin Ismail Al Katib, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al Hasan Al Muqri, aku mendengar Abdullah bin Ahmad Ad Daurqi, aku mendengar Muhammad bin Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, aku mendengar ayahku berkata, “Jika tiba musim haji, maka kawan-kawan Ibnul Mubarak dari penduduk Marwa berkumpul di hadapannya dan berkata, “Kami siap menemanimu,” lalu Ibnul Mubarak berkata, “Kumpulkan ongkos-ongkos kalian!” Lalu ia mengambil ongkos mereka dan meletakkannya di sebuah kotak dan menguncinya, kemudian ia yang membayarkan sewa rumah mereka serta membayarkan ongkos mereka dari Marwa ke Bagdad, ia terus saja mentraktir dan memberikan mereka makananan yang enak dan snack yang paling lezat. Sekeluarnya mereka dari Bagdad, mereka juga memakai pakaian yang paling bagus dan penuh wibawa hingga mereka tiba di Madinah, lalu beliau bertanya kepada masing-masing mereka, “Oleh-oleh apa yang diminta keluargamu agar engkau belikan untuk mereka dari Madinah?” Masing-masing mereka mengatakan, “Mereka pesan ini dan itu.” Selanjutnya beliau membawa mereka meninggalkan Mekkah, dan terus saja beliau mentraktir mereka hingga mereka tiba di Marwa. Beliau juga mengecatkan rumah dan pintu mereka. Setelah tiga hari berlalu, beliau membuat pesta untuk mereka dan memberi mereka pakaian. Setelah mereka makan dan bergembira, beliau memerintahkan (pelayannya) membawakan kotak uang mereka. Beliau membukanya dan menyerahkan bungkusan kepada pemiliknya, masing-masing sudah ada namanya.” (Siyar A’amin Nubala 8/385, 386)
Dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya ia berkata, “Ibnu Umar pernah berkata, “Wahai Abu Khalid (panggilan Aslam, budak yang dimerdekakan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu), sesungguhnya aku melihat Amirul Mukminin selalu bersamamu dibandingkan sahabat-sahabatmu. Beliau tidaklah keluar safar melainkan engkau selalu bersamanya. Beritahukanlah kepadaku tentang hubunganmu terhadapnya!” Ia menjawab, “Sesungguhnya Beliau (Umar) merasa bukan orang yang terpandang. Beliau biasa menyiapkan kendaraan kami, dan menyiapkan barangnya sendiri. Suatu hari, kami sedang bersiap-siap, ternyata Beliau sudah menyiapkan kendaraan kami, dan juga kendaraannya sendiri. Beliau bersenandung,
“Janganlah malam ini membuatmu gelisah
Pakailah gamis dan sorbanmu
Jadilah teman yang berguna, berbaktilah, bantulah orang banyak, sehingga dengan itu engkau telah membantu dirimu sendiri.”
(Siyar A’lamin Nubala 4/99)
Bilal bin Sa’ad meriwayatkan dari orang yang melihat Amir bin Abdullah At Tamimi di Romawi. Beliau memiliki hewan bighal (peranakan kuda dan keledai) yang dikendarainya bergantian; ia membawa orang-orang yang berhijrah dengan menaikinya secara bergantian. Bilal berkata, “Apabila beliau memutuskan untuk berperang, beliau menyeleksi orang yang akan menemaninya. Apabila beliau tertarik dengannya, Beliau akan meminta syarat agar bisa melayani mereka, demikian juga agar bertindak sebagai muazin, serta membiayai mereka sebatas kemampuannya.” (Siyar A’lamin Nubala 4/17).
Dari Mush’ab bin Ahmad bin Mush’ab ia berkata, “Abu Muhammad Al Marwazi pernah singgah di Bagdad ketika hendak ke Mekkah. Aku senang jika bisa mendampingi beliau. Aku pun mendatanginya dan meminta untuk bisa menemaninya, namun beliau tidak mengizinkanku di tahun itu. Pada tahun kedua dan ketiga, aku mendatanginya lagi, memberinya salam dan meminta hal itu lagi, maka beliau berkata, “Bersiaplah, namun dengan satu syarat, yaitu salah seorang di antara kita ada yang menjadi pemimpin safar yang perintahnya tidak boleh dibantah.” Aku berkata, “Kalau begitu engkau pemimpinya.” Ia balik berkata, “Bahkan engkau yang menjadi pemimpin (safar).” Aku menjawab, “Engkau lebih tua dan lebih layak terhadapnya.” Ia berkata, “Kalau begitu, jangan menyelisihiku.” Aku menjawab, “Ya.” Maka aku berangkat bersamanya. Ketika itu saat tiba waktu makan, maka ia selalu mendahulukan diriku. Ketika aku berusaha menolak, beliau langsung berkata, “Bukankah aku telah meminta syarat darimu agar tidak menyelisihiku.” Demikianlah tindakan beliau selama di perjalanan sehingga aku menyesal menemani perjalanannya karena ternyata menyusahkannya. Suatu hari, kami kehujanan di tengah perjalanan, lalu ia berkata kepadaku, “Wahai Abu Ahmad, carilah mil (batu pembatas satu mil),” lalu ia berkata kepadaku, “Duduklah di lantainya.” Lalu beliau mendudukkan diriku di lantainya, sedangkan kedua tangannya diletakkan di atas batul mil sambil berdiri sampai badannya condong ke arahku. Beliau juga mengenakan kain yang lebar untuk melindungiku dari hujan, sehingga aku berangan-angan tidak pergi bersamanya karena aku begitu menyusahkan beliau. Begitulah yang beliau lakukan sampai kami tiba di Mekkah, semoga Allah merahmatinya.” (Shifatush Shafwah 4/148, 149).
Kisah Itsar (Mengutamakan Orang Lain)
Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seorang yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau meminta jamuan kepada istri-istrinya, namun istri-istrinya menjawab, “Kita tidak memiliki apa-apa selain air.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah yang mau membawa orang ini (ke rumahnya) dan menjamunya?” Lalu salah seorang Anshar berkata, “Saya.” Maka ia pergi dengannya menemui istrinya, ia berkata, “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Istrinya menjawab, “Kita tidak memiliki apa-apa selain makanan untuk anak-anak kita.” Ia (suaminya) menjawab, “Siapkanlah makananmu, nyalakan lampu dan tidurkanlah anak-anakmu ketika mereka hendak makan malam.” Maka istrinya menyiapkan makanannya, menyalakan lampunya dan menidurkan anak-anaknya, lalu ia berdiri seakan-akan sedang memperbaiki lampunya, kemudian ia memadamkannya. Keduanya (Suami dan istri) seakan-akan memperlihatkan kepada tamunya bahwa keduanya makan, sehingga keduanya tidur malam dalam keadaan lapar. Ketika tiba pagi harinya, maka ia mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau bersabda, “Tadi malam Allah takjub melihat perbuatan kamu berdua.” Maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan ayat, “Dan mereka mengutamakan (kaum muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan barang siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Terj. QS. Al Hasyr: 9).
Hudzaifah Al Adawi berkata, “Pada saat perang Yarmuk (peperangan yang terjadi antara kaum muslimin melawan kekaisaran Romawi timur pada tahun 15 H/636 M), aku mencari sepupuku dengan membawa sedikit air sambil kuberkata (dalam hati), “Jika ia masih hidup, aku akan beri dia minum, dan mengusap wajahnya,” maka aku pun menemuinya, lalu aku berkata, “Maukah engkau kuberi minum?” Lalu ia berisyarat kepadaku menunjukkan dirinya mau. Tiba-tiba terdengar suara seseorang ‘aah’, maka sepupuku berisyarat kepadaku agar aku pergi mendatanginya, dan ternyata dia adalah Hisyam bin Ash, lalu aku berkata, “Maukah engkau kuberi minum?” Tiba-tiba terdengar suara seseorang ‘aah’, maka Hisyam berisyarat kepadaku agar aku pergi mendatanginya, lalu aku mendatanginya, ternyata ia telah wafat, maka aku kembali menemui Hisyam, ternyata ia telah wafat pula, dan aku kembali menemui sepupuku, ternyata ia telah wafat pula, semoga Allah merahmati mereka semua. (Minhajul Muslim hal. 123)
Telah diriwayatkan, bahwa ada tiga puluh orang lebih yang berkumpul di hadapan Abul Hasan Al Anthakiy, mereka membawa roti yang sedikit yang tidak cukup untuk mereka semua, maka mereka potong kecil-kecil dan memadamkan lampunya, lalu duduk untuk makan. Saat meja diangkat, ternyata roti-roti itu tetap dalam keadaan sebelumnya tanpa berkurang sedikit pun, karena salah seorang di antara mereka tidak ada yang memakannya demi mengutamakan orang lain daripada dirinya sehingga tidak ada satu pun yang makan.” (Minhajul Muslim hal. 124)
Basyar bin Harits pernah didatangi oleh seseorang pada saat dirinya sakit yang membawa kepada kematiannya. Orang itu mengeluhkan kebutuhan kepadanya, maka Basyar melepaskan gamis yang dipakainya dan memberikannya kepadanya, lalu ia meminjam gamis untuk dipakainya, kemudian ia wafat mengenakan gamis itu. (Minhajul Muslim hal. 124).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’:  Maktabah Syamilah versi 3.45, Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf (Abdul Aziz Nashir Al Julail dan Bahauddin Fatih Aqil), Maktabah Syamilah versi 3.45, Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.

Fiqih Aurat Laki-Laki dan Wanita

Selasa, 21 November 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن‬‎
Fiqih Aurat Laki-Laki dan Wanita
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang fiqih aurat laki-laki dan wanita, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) Aurat
Aurat secara bahasa artinya bagian yang ditutupi manusia karena malu jika ditampakkan. Sedangkan secara istilah adalah bagian badan yang diwajibkan Allah Azza wa Jalla untuk ditutupi.
Perintah Menutup Aurat
Dalam Al Qur’an, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Qs. Al A’raaf: 31)
Ayat di atas turun berkenaan dengan kaum musyrik yang berthawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang karena menganggap bahwa pakaian yang biasa mereka pakai adalah pakaian yang biasa digunakan untuk maksiat sehingga mereka tanggalkan, maka dalam ayat di atas Allah memerintahkan manusia untuk menutup auratnya.
Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan, dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kami perbuat terhadap aurat kami?” Beliau menjawab,
«احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ»
“Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali terhadap istrimu atau budak yang kamu miliki.”
Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika antara sesama kami?”
Beliau menjawab,
«إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا»
“Jika engkau mampu untuk tidak memperlihatkannya, maka jangan perlihatkan.”
Aku bertanya kembali, “Wahai Rasulullah, jika salah seorang di antara kami sedang sendiri?”
Beliau menjawab,
«اللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاسِ»
“Allah lebih berhak untuk malu kepada-Nya daripada kepada manusia.” (Hr. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani) [i]
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
 لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ،وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ 
“Laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki, wanita tidak boleh melihat aurat wanita. Laki-laki tidak boleh telanjang dengan laki-laki lainnya dalam satu selimut, dan wanita tidak boleh telanjang dengan wanita dalam satu selimut.” (Hr. Muslim)
Ayat dan hadits di atas merupakan dalil wajibnya menutup aurat, dan masih banyak lagi dalilnya.
Pembagian Aurat
Ahli Ilmu menyebutkan, bahwa aurat itu terbagi dua, yaitu Aurat Nazhar dan Aurat Shalat. Aurat nazhar maksudnya aurat yang wajib ditutupi dari pandangan orang lain (agar orang lain tidak terfitnah), sedangkan aurat shalat adalah aurat yang wajib ditutupi di dalam shalat (sebagai bentuk memenuhi hak Allah Ta’ala). Sebagian ulama memberikan contoh aurat nazhar dan aurat shalat, yaitu wajah wanita, ia tidak boleh menampakkannya di luar shalat kepada laki-laki asing (karena sebagai aurat nazhar), tetapi boleh menampakkannya di dalam shalat (karena aurat shalat seluruh tubuhnya selain muka dan telapak tangan). Demikian pula pundak laki-laki, ia boleh menampakkannya di  luar shalat kepada sesamanya, tetapi tidak boleh menampakkannya di dalam shalat karena sebagai aurat shalat, wallahu a’lam.
Aurat Laki-Laki
Aurat laki-laki adalah bagian antara pusar dan lututnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَا بَيْنَ السُّرَّةِ إِلَى الرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ»
“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” (HR. Hakim, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5583).
Berdasarkan hadits ini, maka lutut dan pusar bukanlah aurat (ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i). Bahkan yang menjadi aurat adalah bagian antara pusar dan lutut.
Dari Jarhad, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewatinya ketika pahanya terbuka, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّهَا مِنَ العَوْرَةِ»
“Tutuplah pahamu. Sesungguhnya ia bagian dari aurat.” (HR. Malik, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, ia berkata, “Hasan,” dan disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq dalam Shahihnya).
Akan tetapi di dalam shalat, bagi laki-laki harus tertutup pula pundaknya ketika sanggup menutupnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ»
“Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu kain, sedangkan di pundaknya tidak ada sesuatu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
«إذَا كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعًا فَالْتَحِفْ بِهِ فِي الصَّلَاةِ»
“Jika kain itu luas maka berselimutlah dengannya –yakni dalam shalat-.”  
Sedangkan dalam riwayat Muslim lafaznya,
فَخَالِفْ بَيْنَ طَرْفَيْهِ، وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاِتَّزِرْ بِهِ
“Maka rentangkanlah kedua  ujungnya, namun jika sempit maka jadikanlah sarung.”
Hadits di atas menunjukkan, bahwa jika kainnya luas, maka ia selempangkan di pundaknya setelah menjadikannya sarung agar bagian atas badannya juga tertutupi. Jumhur berpendapat, bahwa perintah ini sunah, namun Imam Ahmad berpendapat, bahwa hal itu hukumnya wajib, dan bahwa tidak sah shalat seorang yang mampu melakukan hal itu tetapi malah meninggalkannya. Namun menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad, sah tetapi berdosa.
Jika sempit, maka ia menjadikannya sebagai sarung untuk menutup auratnya.
Di samping itu, dalam shalat, hendaknya kita memakai pakaian yang rapi dan sopan, serta berhias untuknya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلىَّ أحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ أَنْ يُتَزَيَّنَ لَهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka pakaialah kedua pakaiannya, karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk berhias kepada-Nya.” (Hasan, diriwayatkan oleh Thahawiy, Thabrani dan Baihaqi, lihat Silsilah Ash Shahiihah 1369)
Aurat Wanita di Hadapan Laki-Laki Asing
Aurat wanita di hadapan laki-laki asing (bukan mahramnya) adalah seluruh badannya, dan diperselisihkan tentang muka dan telapak tangannya, sebagian ulama mewajibkan untuk ditutup. Di antara dalilnya adalah hadits tentang tertinggalnya Aisyah radhiyallahu anha dari rombongan, kemudian ditemui oleh Shafwan bin Mu’aththal As Sulamiy sedangkan Aisyah dalam keadaan tertidur, lalu Shafwan mengucapkan istirja (innaa lillahi wa inna ilaihi rajiun), kemudian Aisyah radhiyallahu anha terbangun dan segera menutup wajahnya (sebagaimana dalam Shahih Bukhari) [ii]. Demikian pula berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
«المَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ»
“Wanita itu aurat. Jika keluar, maka setan akan menghiasnya (di mata laki-laki).” (Hr. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Aurat Wanita Dalam Shalat
Tubuh wanita seluruhnya adalah aurat sehingga wajib ditutup kecuali muka dan telapak tangan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.” (QS. An Nuur: 31)
Yakni janganlah menampakkan bagian-bagian perhiasan kecuali muka dan kedua telapak tangan sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah radhiyallahu anhum.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia pernah ditanya, “Berapa pakaian yang dipakai wanita untuk shalat?” Aisyah menjawab, “Bertanyalah kepada Ali bin Abi Thalib, kemudian kembalilah menemuiku dan sampaikanlah jawabannya kepadaku,” maka  ia mendatangi Ali dan bertanya kepadanya tentang hal itu, lalu Ali menjawab, “Yaitu dengan memakai  kerudung dan gamis yang lebar.” Kemudian orang ini kembali menemui Aisyah dan memberitahukan jawabannya, maka Aisyah berkata, “Benar.” (HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf 3/128, Ibnu Abi Syaibah 2/224 dari jalan Makhul dari seseorang yang bertanya kepada Aisyah...dst. Menurut Al Albani, para perawinya adalah tsiqah, namun di dalamnya terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya antara Makhul dan Aisyah. Akan tetapi Abdurrazzaq meriwayatkan dari jalan Ummul Hasan, ia berkata, “Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat memakai gamis dan kerudung.” Dan isnadnya shahih).
Imam Malik, Ibnu Abi Syaibah, dan Baihaqi meriwayatkan dari Ubaidullah Al Khaulani –ia adalah seorang anak yatim yang berada di bawah asuhan Maimunah-, bahwa Maimunah shalat memakai gamis dan kerudung tanpa kain sarung. Menurut Al Albani, isnadnya shahih.
Al Albani dalam Tamamul Minnah berkata, “Dalam masalah ini terdapat riwayat-riwayat yang lain yang menunjukkan bahwa shalatnya seorang wanita memakai gamis dan kerudung adalah hal yang sudah biasa di kalangan mereka, dan inilah kewajiban minimal bagi mereka dalam menutup aurat ketika shalat. Dan hal ini tidaklah menafikan riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Seorang wanita shalat memakai tiga kain; gamis, kerudung, dan kain sarung.” Dan isnadnya juga shahih.”
Dari Ibnu Umar melalui jalan yang lain, ia berkata, “Apabila seorang wanita shalat, maka hendaklah ia shalat memakai semua kainnya, yaitu gamis, kerudung, dan selimutnya.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dan sanadnya shahih).
Perintah memakai semua kain ini hanyalah menunjukkan lebih sempurna dan lebih utama baginya, wallahu a’lam. (Lihat Tamamul Minnah hal. 161 karya Syaikh Al Albani rahimahullah).
Aurat wanita antara wanita
Aurat wanita antara wanita muslimah adalah antara pusar dan lutut, baik antara dirinya dengan wanita muslimah itu ada hubungan kerabat maupun tidak. Tetapi jika dia berada di antara wanita kafir, maka ia wajib menutup seluruh tubuhnya selain muka dan telapak tangan, serta bagian yang biasa tampak ketika melakukan pekerjaan. Hal itu, karena Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam.” (Qs. An Nuur: 31) [iii]
Maksud ‘wanita-wanita Islam’ pada ayat tersebut adalah wanita muslimah. Kalau sekiranya wanita non muslim boleh melihat wanita muslimah, tentu tidak ada faedahnya ‘takhshis’ (pengkhususan) di atas. Telah shahih dari Umar radhiyallahu anhu, bahwa ia melarang wanita Ahli Kitab masuk ke kamar mandi bersama wanita muslimah.
Aurat Wanita Antara Sesama Mahram
Mahram adalah laki-laki yang haram menikahinya. Adapun aurat wanita terhadap mahramnya adalah semua badannya selain muka, kepala, kedua tangan, dan kedua kaki. Oleh karena itu, haram bagi wanita membuka dadanya di hadapan mahramnya. Dan bagi mahramnya juga dilarang melihatnya. (lihat : http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=284)  
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa mahram boleh melihat anggota-anggota tubuh wanita yang biasa tampak seperti anggota tubuh yang dibasuh ketika berwudhu’. Madzhab Maliki berpendapat bahwa aurat wanita di hadapan laki-laki mahram adalah sekujur tubuhnya kecuali muka dan ujung-ujung anggota tubuh seperti kepala, kuduk, dua tangan dan dua kaki. Adapun madzhab Hanbali, mereka berpendapat bahwa aurat wanita di hadapan laki-laki mahram adalah sekujur tubuhnya kecuali muka, kuduk, kepala, dua tangan, kaki, dan betis.
Namun perlu diingat bahwa kebolehan melihat bagi mahram adalah bukan untuk bersenang-senang dan memuaskan nafsu.
Sedangkan kepada suami maka tidak ada batasan aurat sama sekali, baik suami maupun isteri boleh melihat seluruh tubuh pasangannya.
Aurat Anak-Anak
Adapun anak-anak yang masih kecil (di bawah usia tujuh tahun) atau masih menyusui, maka ia belum ada ada auratnya, akan tetapi yang tertutup minimal adalah kedua farjinya (qubul dan dubur). Ketika usia anak perempuan sembilan tahun, sedangkan anak laki-laki sepuluh tahun, maka hendaknya diperhatikan pakaian yang syar’i untuk mereka.
Syarat Hijab Bagi Wanita
Di antara syarat hijab yang harus diperhatikan adalah: (a) bukan sebagai perhiasan, (b) tidak sempit sehingga menyifati fisik (membentuk lekuk tubuh), (c) tidak tipis apalagi transfaran, (d) tidak diberi wewangian, (e) tidak menyerupai pakaian wanita kafir, (f) bukan sebagai pakaian tenar (libas syuhrah), dan (g) tidak menyerupai laki-laki, lihat pula dalil-dalilnya di sini: http://wawasankeislaman.blogspot.co.id/2012/02/jilbab-wanita-muslimah.html
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (M. Asyraf Al Azhim Abadi), Maktabah Syamilah versi 3.45, Subulus Salam (Imam Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=284, https://almunajjid.com/8123, dll.




[i] Menurut Ahli Ilmu, jika seorang sendiri dan butuh membuka auratnya seperti karena hendak buang air, mencukur bulu kemaluannya, mandi, atau berhubungan dengan istrinya, maka tidak mengapa. Adapun jika tidak dibutuhkan, maka sebagaimana yang diterangkan dalam hadits di atas, “Allah lebih berhak untuk malu kepada-Nya daripada kepada manusia.”
[ii] Menurut madzhab Imam Ahmad dan madzhab yang shahih dari madzhab Syafi’i, bahwa wanita harus menutup wajah dan kedua telapak tangannya di hadapan laki-laki asing, karena hal tersebut merupakan aurat nazhar. Adapun menurut madzhab Abu Hanifah dan Malik, bahwa menutup keduanya tidak wajib, hanya sunah. Akan tetapi ulama madzhab Hanafi dan Maliki sudah sejak lama berfatwa wajib menutup keduanya (wajah dan tangan) ketika khawatir fitnah.
[iii] Tidak disebutkan paman dari pihak bapak (‘amm) juga dari pihak ibu (khaal) meskipun sebagai mahram karena apabila wanita terbuka di hadapan mereka dikhawatirkan mereka menyifatinya kepada anak-anaknya. 
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger