Terjemah Umdatul Ahkam (36)

Kamis, 30 Januari 2020
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫كتاب الأيمان والنذور‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (36)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Kitab Yamin (Sumpah) dan Nadzar
364 - عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ , لا تَسْأَلْ الإِمَارَةَ , فَإِنَّكَ إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِّلْتَ إلَيْهَا , وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا , وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْراً مِنْهَا , فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ , وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ)) .
364. Dari Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah meminta kepemimpinan. Jika engkau diberi karena memintanya, maka engkau akan ditelantarkan. Tetapi jika engkau diberi tanpa memintanya, maka engkau akan ditolong terhadapnya. Jika engkau bersumpah atas suatu sumpah, lalu engkau melihat ada yang lain yang lebih baik, maka lakukanlah kaffarat terhadap sumpahmu dan kerjakanlah yang lebih baik.”
365 - عَنْ أَبِي مُوسَى - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((إنِّي وَاَللَّهِ - إنْ شَاءَ اللَّهُ - لا أَحْلِفُ عَلَى يَمِينٍ , فَأَرَى غَيْرَهَا خَيْراً مِنْهَا إلاَّ أَتَيْتُ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ , وَتَحَلَّلْتُهَا)) .
365. Dari Abu Musa radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku –insya Allah- tidaklah bersumpah terhadap suatu sumpah, lalu aku melihat yang lain lebih baik melainkan aku datangi yang lebih baik itu, dan aku bayarkan kaffarat sumpahku.”
366 - عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((إنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ)) .
وَلِمُسْلِمٍ: ((فَمَنْ كَانَ حَالِفاً فَلْيَحْلِفْ بِاَللَّهِ أَوْ لِيَصْمُت)) .
وَفِي رِوَايَةٍ قَالَ عُمَرُ «فَوَاَللَّهِ مَا حَلَفْتُ بِهَا مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَنْهَى عَنْهَا , ذَاكِراً وَلا آثِراً»
366. Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barang siapa yang bersumpah, maka bersumpahlah dengan nama Allah atau diam.”
Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, “Demi Allah aku tidak pernah bersumpah dengan nama bapak sejak aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarangnya baik ketika ingat maupun ketika menceritakan tentang orang lain yang bersumpah dengannya.”
367 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - عَنْ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُد عليهما السلام: لأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى سَبْعِينَ امْرَأَةً , تَلِدُ كُلُّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ غُلامًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ , فَقِيلَ لَهُ: قُلْ: إنْ شَاءَ اللَّهُ , فَلَمْ يَقُلْ , فَطَافَ بِهِنَّ , فَلَمْ تَلِدْ مِنْهُنَّ إلاَّ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ: نِصْفَ إنْسَانٍ. قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: لَوْ قَالَ إنْ شَاءَ اللَّهُ لَمْ يَحْنَثْ , وَكَانَ دَرَكاً لِحَاجَتِهِ)) . قولُهُ: (فَقِيلَ لَهُ: قُلْ: إنْ شَاءَ اللَّهُ) يعني قالَ له المَلَكُ.
367. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahhu alaihi wa sallam Beliau bersabda, “Sulaiman bin Dawud alaihis salam pernah berkata, “Malam ini saya akan mendatangi tujuh puluh istri saya yang masing-masingnya akan melahirkan anak yang berperang di jalan Allah,” lalu ada (malaikat) yang berkata kepadanya, “Ucapkanlah ‘Insya Allah’, namun ia tidak mengucapkannya. Maka setelah Sulaiman menggauli istri-istrinya, ternyata tidak ada yang melahirkan selain seorang saja dari istrinya itu yang melahirkan anak yang separuh bayi bentuknya.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalau ia mengucapkan ‘insya Allah’ maka ia tidak dianggap melanggar sumpah, dan tentu keinginannya dapat terpenuhi.”
368 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينِ صَبْرٍ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالَ امْرِئٍ [ص:252] مُسْلِمٍ , هُوَ فِيهَا فَاجِرٌ , لَقِيَ اللَّهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ)) . وَنَزَلَتْ: ((إنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَناً قَلِيلاً)) إلَى آخِرِ الآيَةِ ".
368. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang bersumpah palsu untuk mengambil harta seorang muslim padahal ia berdusta di dalamnya, maka ia akan menghadap Allah dalam keadaan Dia murka kepadanya.” Turun berkenaan dengan ini firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji(nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari Kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (Qs. Ali Imran: 77)
370 - عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ الأَنْصَارِيِّ - رضي الله عنه - أَنَّهُ بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - تَحْتَ الشَّجَرَةِ , وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ بِمِلَّةٍ غَيْرِ الإِسْلامِ , كَاذِباً مُتَعَمِّداً , فَهُوَ كَمَا قَالَ , وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ , وَلَيْسَ عَلَى رَجُلٍ نَذْرٌ فِيمَا لا يَمْلِكُ)) وَفِي رِوَايَةٍ: ((وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ)) . وَفِي رِوَايَةٍ: ((مَنِ ادَّعَى دَعْوَى كَاذِبَةً لِيَتَكَثَّرَ بِهَا , لَمْ يَزِدْهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إلاَّ قِلَّةً)) .
370. Dari Tsabit bin Adh Dhahhak Al Anshariy radhiyallahu anhu, bahwa ia pernah membai’at Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di bawah sebuah pohon. Dan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa bersumpah berada di atas agama selain Allah dalam keadaan dusta dan sengaja, maka ia sesuai dengan apa yang dikatakannya. Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu apa saja, maka ia akan diazab dengannya pada hari Kiamat. Dan seseorang tidak boleh bernadzar dengan sesuatu yang tidak dimilikinya.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Melaknat seorang mukmin seperti membunuhnya.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Barang siapa yang menyampaikan dakwaan (gugatan) yang dusta dengan maksud memperkaya diri, maka Alllah Azza wa Jalla tidak menambahkan kepadanya selain bertambah sedikit.”
Bab Nadzar
371 - عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ - رضي الله عنه - قَالَ: ((قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , إنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً - وَفِي رِوَايَةٍ: يَوْماً - فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ؟ قَالَ: فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ)) .
 371. Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, saya pernah bernadzar di zaman Jahiliyah untuk beri’tkaf semalam – dalam sebuah riwayat: sehari- di Masjidil Haram?” Beliau bersabda, “Penuhilah nadzarmu.”
372 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما عَنْ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - ((أَنَّهُ  نَهَى عَنْ النَّذْرِ , وَقَالَ: إنَّ النَّذْرَ لا يَأْتِي بِخَيْرٍ. وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ)) .
372. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, dari Nabi shallallahu alaihi wa salam, bahwa Beliau melarang nadzar dan bersabda, “Sesungguhnya nadzar tidak membawa kebaikan, ia hanyalah muncul dari orang yang bakhil.”
373 - عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ - رضي الله عنه - قَالَ: ((نَذَرَتْ أُخْتِي أَنْ تَمْشِيَ إلَى بَيْتِ اللَّهِ الْحَرَامِ حَافِيَةً فَأَمَرَتْنِي أَنْ أَسْتَفْتِيَ لَهَا رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَاسْتَفْتَيْتُهُ فَقَالَ: لِتَمْشِ وَلْتَرْكَبْ)) .
373. Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu ia berkata, “Saudariku bernadzar untuk berjalan kaki (tanpa memakai alas kaki-namun lafaz ini tidak ada di Bukhari) ke Baitullah Al Haram, lalu ia memerintahkan aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka aku meminta fatwa Beliau, Beliau menjawab, “Hendaknya ia berjalan dan menaiki tunggangan.”
374 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّهُ قَالَ: ((اسْتَفْتَى سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي نَذْرٍ كَانَ عَلَى أُمِّهِ , تُوُفِّيَتْ قَبْلَ أَنْ تَقْضِيَهُ , قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: فَاقْضِهِ عَنْهَا)) .
374. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Saad bin Ubadah pernah meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terkait nadzar yang dilakukan ibunya yang wafat sebelum dikerjakannya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikalah nadzar itu untuk ibumu.”
375 - عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: ((قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , إنَّ مِنْ تَوْبَتِي: أَنْ أَنْخَلِعَ مِنْ مَالِي , صَدَقَةً إلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: أَمْسِكْ عَلَيْكَ بَعْضَ مَالِكَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ)) .
375. Dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sebagai taubatku, aku ingin mengeluarkan semua hartaku untuk aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tahanlah sebagian hartamu. Itu lebih baik bagimu.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa

Kaum Salaf Dalam Bercanda

Sabtu, 25 Januari 2020
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫السلف والمزاح‬‎
Kaum Salaf Dalam Bercanda
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut keadaan kaum Salaf dalam bercanda yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas ditulis karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Candaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
Dari Salamah bin Al Akwa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى نَفَرٍ مِنْ أَسْلَمَ يَنْتَضِلُونَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ارْمُوا بَنِي إِسْمَاعِيلَ، فَإِنَّ أَبَاكُمْ كَانَ رَامِيًا ارْمُوا، وَأَنَا مَعَ بَنِي فُلاَنٍ» قَالَ: فَأَمْسَكَ أَحَدُ الفَرِيقَيْنِ بِأَيْدِيهِمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا لَكُمْ لاَ تَرْمُونَ؟» ، قَالُوا: كَيْفَ نَرْمِي وَأَنْتَ مَعَهُمْ؟ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ارْمُوا فَأَنَا مَعَكُمْ كُلِّكُمْ»
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati beberapa orang dari suku Aslam yang sedang berlomba memanah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Memanahlah wahai Bani Ismail, karena ayah kalian adalah seorang pemanah. Memanahlah dan aku ada bersama Bani Fulan!” Maka salah satu dari dua kelompok pemanah berhenti memanah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa kalian tidak memanah?” Mereka menjawab, “Bagaimana kami memanah, sedangkan engkau bersama mereka?” Nabi shallallahu ‘alahih wa sallam bersabda, “Memanahlah, aku bersama kalian semua.” (HR. Bukhari)
Dari Anas, bahwa ada seseorang yang datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, naikkanlah aku.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kami akan naikkan engkau ke atas anak unta.” Ia pun berkata, “Apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَهَلْ تَلِدُ الْإِبِلَ إِلاَّ النُّوْقُ
“Bukankah setiap unta dewasa anak dari unta induknya?” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Shuhaib ia berkata, “Aku pernah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedang di hadapannya ada roti dan kurma, maka Beliau bersabda, “Kemarilah dan ikut makan!” Maka aku pun mulai memakan kurma, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kamu makan kurma, bukankah kamu sakit mata?” Aku menjawab, “Iya, tetapi aku mengunyahnya dari sisi yang lain.” Maka Beliau pun tersenyum.” (Hr. Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al Albani)
Dari Usaid bin Hudhair ia berkata, “Ketika Shuhaib sedang berbincang dengan sekelompok orang - yang di dalamnya tedapat candaan- ia membuat mereka tertawa, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam menohok pinggangnya dengan tongkat, maka Shuhaib berkata, “Bolehkah aku membalasmu?” Beliau bersabda, “Balaslah!” Shuhaib berkata, “Engkau mengenakan gamis, sedangkan tadi saya tidak mengenakan gamis.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun mengangkat gamisnya, lalu Shuhaib memeluk dan mencium bagian pinggir perut Beliau sambil berkata, “Sebenarnya ini yang kuinginkan wahai Rasulullah.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Mu’awiyah bin Haidah ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ القَوْمَ فَيَكْذِبُ، وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang menyampaikan cerita untuk membuat orang lain tertawa, namun ia berdusta. Celakalah dia, dan celakalah dia.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani)
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Sebagian sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, engkau ternyata mengajak kami bercanda.” Beliau menjawab, “Akan tetapi aku tidak berbicara kecuali yang benar.” (Hr. Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih.”)
Hadits-hadits di atas menunjukkan, bahwa Islam tidak melarang bermain dan bercanda yang mubah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bercanda dengan para para sahabatnya, namun Beliau tidak mengucapkan dalam candaannya kecuali yang benar.
Bercanda yang terlarang adalah ketika berlebihan dan terlalu sering sehingga melalaikan seseorang dari dzikrullah dan membuat hati seseorang keras, demikian pula ketika di dalamnya mengandung ucapan dusta dan ucapan yang menyakitkan saudaranya serta menjatuhkannya. Jika tidak demikian, maka hukumnya mubah, dan jika ada maslahatnya seperti untuk membuat akrab, maka menjadi dianjurkan (Lihat Aunul Ma’bud 13/233).
Catatan:
Muhammad bin Nu’man bin Abdussalam berkata, “Aku belum pernah melihat seorang yang rajin beribadah melebihi Yahya bin Hammad. Aku mengira dia tidak pernah tertawa.”
Penjelasan:
Imam Adz Dzahabi mengomentar riwayat di atas dengan mengatakan, “Tertawa ringan dan senyum lebih utama. Dan jika hal itu tidak dilakukan sebagian Ahli Ilmu, maka ada dua kemungkinan:
Pertama, sebagai hal yang utama jika ia meninggalkannya karena beradab dan takut kepada Allah serta merasakan sedih terhadap dirinya yang miskin amal.
Kedua, tercela jika seseorang melakukannya karena kejahilan, sombong, atau dibuat-buat. Orang yang banyak tertawa juga akan diremehkan orang lain. Namun tidak diragukan lagi, bahwa tertawa yang dilakukan anak muda lebih ringan konsekwensinya daripada dilakukan oleh orang tua.
Adapun tersenyum dan berwajah ceria, maka kedudukannya di atas itu semua. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (Hr. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Jarir berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak melihatku melainkan selalu tersenyum.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Senyum adalah akhlak Islam. Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang sering menangis di malam hari dan sering tersenyum di siang hari.
Disebutkan, bahwa Beliau bersabda, “Kalian tidak dapat mencukupkan orang lain dengan harta bendamu, akan tetapi cukupilah mereka dengan wajah cerahmu.” (Diriwayatkan oleh Al Bazzar, Abu Nu’aim, dan Hakim, semuanya dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Namun dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Sa’id Al Maqburi seorang yang matruk (ditinggalkan), lihat Taqribut Tahdzib no. 3356. Dishahihkan oleh Hakim, namun Adz Dzahabi berkata, “Abdullah (rawi hadits ini) lemah.” (Al Mustadrak 1/124).
Hal terakhir yang perlu diperhatikan di sini, bahwa sepatutnya bagi seorang yang sering tertawa dan tersenyum untuk menguranginya dan mencela dirinya agar tidak diremehkan orang, sedangkan bagi orang yang bermuka masam dan kaku berusaha untuk tersenyum serta memperbaiki akhlaknya, marah terhadap dirinya karena buruk akhlaknya. Hal itu karena menyimpang dari sikap pertengahan adalah tercela, dan jiwa perlu dididik dan dilatih.” (Siyar A’lamin Nubala 10/140-141).
Adab Bercanda
Bercanda boleh-boleh saja, namun dengan syarat:
1.   Tidak bercanda yang mengandung nama Allah, ayat-ayat-Nya, Sunnah Rasul-Nya atau syi’ar-syi’ar Islam dan perkara-perkara yang termasuk bagian Islam (Lihat Qs. At Taubah: 65-66).
2.   Bercanda tersebut isinya benar, tidak dusta.
3.   Tidak menyakiti perasaan orang lain.
4.  Tidak terlalu sering dan menjadikan sebagai kebiasaan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ يَأْخُذُ عَنِّي هَؤُلَاءِ الكَلِمَاتِ فَيَعْمَلُ بِهِنَّ أَوْ يُعَلِّمُ مَنْ يَعْمَلُ بِهِنَّ» ؟
“Siapa yang mau mengambil kalimat ini, lalu ia mengamalkannya atau mengajarkannya kepada orang yang mau mengamalkannya?”
Abu Hurairah berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Maka Beliau memegang tanganku dan menyebutkan lima perkara. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«اتَّقِ المَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ، وَأَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُسْلِمًا، وَلَا تُكْثِرِ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ»
“Hindarilah perkara haram, maka engkau akan menjadi orang yang rajin beribadah. Ridhailah pembagian Allah kepadamu niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling cukup. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, maka engkau akan menjadi seorang mukmin. Cintailah kebaikan untuk orang lain sebagaimana engkau mencintai kebaikan untuk dirimu, maka engkau akan menjadi seorang muslim (yang sejati). Dan jangan banyak tertawa, karena banyak tertawa mematikan hati.” (Hr. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Alban)
Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata, “Barang siapa yang sering melakukan sesuatu, maka ia akan dikenal dengannya. Barang siapa yang suka bercanda, maka dia akan diremehkan. Dan barang siapa yang banyak tertawa, maka akan hilang kewibawaannya.”
Sa’id bin Ash berkata kepada puteranya, “Wahai anakku, jangan bercanda dengan orang terhormat, sehingga ia akan membencimu, dan jangan engkau bercanda dengan orang rendah, sehingga ia akan berani kepadamu.”
Pernah disampaikan kepada Sufyan bin Uyaynah, “Bercanda adalah aib.” Sufyan menjawab, “Bahkan yang demikian adaah sunnah. Akan tetapi bagi yang baik sikapnya dan bisa memposisikan.”
Al Abbas radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bercanda sehingga hal itu menjadi sesuatu yang sunnah.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata, “Enam hal termasuk sikap terhormat; tiga ketika sedang mukim dan tiga lagi ketika sedang safar. Tiga ketika sedang mukim adalah membaca kitab Allah, memakmurkan masjid-masjid Allah, dan mencari saudara karena Allah. Sedangkan tiga ketika safar adalah memberikan perbekalan, berakhlak mulia, dan bercanda yang isinya bukan maksiat.”
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji: Maktabah Syamilah, Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf (Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil), https://www.saaid.net/Doat/mongiz/8.htm, dll.

Istirahatnya Para Pejuang

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫العلماء ورثة الانبياء‬‎
Istirahatnya Para Pejuang
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut renungan tentang istirahatnya para pejuang, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Renungan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wafat (661 H-728 H dengan usia 67 tahun) dalam keadaan membujang. Ia tidak meninggalkan anak yang mendoakannya, namun ia meninggalkan umat yang besar yang mendoakan kebaikan untuknya.
Demikian pula Imam Nawawi wafat (631 H-676 H dengan usia 45 tahun) dalam keadaan membujang. Ia tidak memiliki anak yang mendoakannya. Akan tetapi, di zaman kita ini, tidak ada seorang muslim yang tidak mengenal kitab Arba’in Nawawi dan Riyadhush Shalihin. Bahkan kedua kitab tersebut dikaji dan dipelajari hingga kini di masjid-masjid kaum muslimin.
Imam Ahli Tafsir Ibnu Jarir Ath Thobari (224 H-310 H dengan usia 85) juga wafat sebagai bujang. Ia tidak memiliki anak, namun ia meninggalkan warisan yang selalu dibutuhkan para penuntut ilmu.
[Apa yang kami sebutkan ini bukan berarti mendukung untuk tetap membujang. Mereka membujang adalah karena kesibukan belajar dan mendakwahkan Islam, maka jangan jadikan sebagai alasan bagi seseorang untuk membujang, karena para nabi alahimush shalatu was salam menikah, dan umatnya pun diperintahkan menikah].
Tentang Imam Malik rahimahullah (93 H-179 H). Imam Adz Dzahabi berkata, “Beliau pernah dipukul dan disakiti, dan digotong dalam keadaan pingsan. Aku berharap Allah mengangkat derajatnya di surga pada setiap cambukan yang dipukulkan kepadanya.
Sekarang ia telah wafat dan nama beliau masih disebut.
Kemudian, ke manakah orang-orang yang pernah memenjarakan Imam Ahmad bin Hanbal (164 H-241 H) dan mencambuknya?
Mereka kini telah tiada, namun ilmu Imam Ahmad, perjalanan, berita, dan madzhabnya tetap ada.
Ke manakah orang-orang yang menentang Imam Bukhari (194 H-256 H), menyakiti dan mengusirnya sehingga beliau wafat dalam keadaan terusir? Sekarang perhatikan nama Beliau. Tidak ada satu mimbar pun yang sepi dari menyebut nama beliau, “Hadits riwayat Bukhari.”
Suatu ketika ada yang berkata kepada Imam Bukhari, “Mengapa engkau tidak mendoakan keburukan terhadap mereka yang menzalimimu dan berkata dusta terhadapmu?”
Imam Bukhari berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اِصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الحَوْضِ
“Bersabarlah sampai engkau menemuiku di telaga.”
(As Siyar karya Adz Dzahabi 12/461)
Demikianlah istirahat para pejuang kebenaran, maka jangan berhentilah menyerukan kebenaran sebagaimana mereka menyerukan hingga wafat.
Semoga Allah menngumpulkan kita dan mereka di surga-Nya, Aaamiin.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, https://t.me/wawasan_muslim/4094 , dll.

Tanya-Jawab Tentang Hukum Menaati Penguasa

Jumat, 24 Januari 2020
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫معاملة الحكام في ضوء الكتاب والسنة‬‎
Tanya-Jawab Tentang Hukum Menaati Penguasa
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan tentang hukum menaati Penguasa yang kami hadirkan dalam bentuk tanya jawab. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tanya-Jawab
Pertanyaan: Apakah memberontak kepada penguasa yang zalim menyelisihi prinsip Ahlussunnah wal Jamaah?
Jawab: Ya.
Pertanyaan: Mana dalilnya?
Jawab: Hadits Ubadah bin Ash Samit yang berbunyi:
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Kami membai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik ketika kami semangat maupun tidak, baik ketika kami susah maupun lapang, serta mendahulukan mereka daripada hak kami, dan agar kami tidak mencabut kepemimpinan dari pemiliknya, kecuali jika kamu melihat kekafiran yang jelas dan kamu memiliki bukti yang nyata dari sisi Allah terntangnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)[i] 
Pertanyaan: Tetapi, bukankah kata kekafiran di hadits itu bisa juga maksudnya ‘maksiat’?
Jawab: Tidak, bahkan kekafiran di hadits tersebut adalah betul-betul kekafiran. Hal ini berdasarkan hadits Auf bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Ingatlah! Barang siapa yang dipimpin oleh seseorang, lalu dilihatnya mengerjakan maksiat kepada Allah, maka bencilah maksiat itu dan jangan mencabut ketaatan daripadanya.” (Hr. Muslim)
Pertanyaan: Tetapi, bukankah Umar radhiyallahu anhu pernah berkata, “Luruskanlah aku (jika aku salah)!”
Jawab: Jika pernyataan ini benar dari Umar radhiyallahu anhu, maka maksud ‘luruskan’ adalah memperbaiki; bukan mengganti atau menggulingkan.
Pertanyaan: Bukankah menaati penguasa adalah apabila penguasa kita seorang yang adil. Jika seorang yang zalim, maka tidak kita taati?
Jawab: Bahkan penguasa yang zalim juga tetap kita taati selama perintahnya bukan maksiat. Rasulullah shallallahua alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Ingatlah! Siapa saja yang diangkat menjadi penguasa, lalu ia melihatnya mengerjakan maksiat kepada Allah, maka bencilah maksiatnya kepada Allah dan jangan mencabut ketaatan daripadanya.” (Hr. Muslim)
Hadits ini menunjukkan, bahwa penguasa itu tetap sah meskipun zalim, dan tidak boleh memberontak kepadanya. Demikian pula perintahnya wajib ditaati kecuali jika ia memerintahkan maksiat.
Pertanyaan: Sampai kapan kita bersabar terhadap penguasa?
Jawab: Sampai kita bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di haudh (telaganya) di akhirat nanti, Beliau bersabda,
«فَإِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الحَوْضِ»
“Sesungguhnya kalian akan lihat setelahku sikap mementingkan diri (dari penguasa), maka bersabarlah sampai kalian bertemuku di telaga.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Pertanyaan: Bagaimana kami menuntut hak kami?
Jawab: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا»
“Akan ada sikap mementingkan diri dan beberapa perkara yang kalian ingkari.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa perintah engkau kepada kami?”
Beliau bersabda,
تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
“Kalian penuhi kewajiban kalian dan kalian meminta kepada Allah hak kalian.” (Hr. Bukhari)
Pertanyaan: Bukankah yang ditaati adalah pemimpin yang kita ridhai saja, bukan yang menang dan mengalahkan yang lain?
Jawab: Bahkan yang menang dan mengalahkan yang lain juga. Hal ini berdasarkan hadits Irbadh bin Sariyah berikut, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dia (Tirmidzi) berkata, “Hasan shahih”)
Pertanyaan: Bukankah bersabar terhadap pemerintah adalah apabila pemerintah itu mengikuti petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun ia melanggarnya. Sedangkan pemerintah yang tidak mengikuti petunjuk Beliau, maka tdak berlaku nash-nash tadi?
Jawab: Kalian keliru. Ada hadits Hudzaifah Ibnul Yaman, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ»
“Akan ada setelahku para pemimpin yang tidak menggunakan petunjukku dan tidak mengamalkan sunnahku. Dan akan ada di tengah mereka laki-laki yang hatinya adalah hati setan namun jasadnya manusia.”
Hudzaifah berkata, “Apa yang perlu aku lakukan wahai Rasulullah, jika aku mendapati zaman itu?”
Beliau bersabda,
«تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»
“Engkau tetap mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (Hr. Muslim)
Pertanyaan: Apakah semua perintah penguasa harus kita taati?
Jawab: Tidak semua. Bahkan kalau perintahnya mengandung maksiat, maka tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ»
 “Seorang muslim harus mendengar dan taat (kepada penguasa) baik dalam hal yang ia suka maupun ia benci, kecuali apabila diperintahkan berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak didengar dan tidak ditaati.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)
Pertanyaan: Apakah para ulama sepakat (ijma) mengharamkan sikap memberontak kepada penguasa?
Jawab: Ya. Hal ini sebagaimana dinukilkan oleh Imam Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah, dan Imam Syaukani rahimahumullah.
Pertanyaan: Bagaimana terjadi kesepakatan, sedangkan Ibnuz Zubair melakukan pemberontakan?
Jawab: Kalian keliru. Ibnuz Zubair tidaklah memberontak kepada penguasa, karena ketika itu kaum muslimin tidak memiliki pemimpin yang menyeluruh. Keadaan kaum muslimin setelah wafatnya Yazid tidak jelas. Ketika itu Ibnuz Zubair dibai’at oleh penduduk Mekah, dan penduduk Hijaz tunduk kepadanya.
Pertanyaan: Bagaimana dengan tampilnya Al Husain?
Jawab: Al Husain tidaklah keluar untuk merebut kekuasaan. Ketika itu penduduk Basrah menipu beliau, mereka mengatakan, “Datanglah kepada kami. Kami tidak memiliki pemimpin.” Ketika beliau tahu, bahwa beliau ditipu, maka beliau menyesal dan ingin kembali ke keluarganya atau pergi menemui Yazid atau ke perbatasan, namun orang-orang yang zalim tidak memberinya kesempatan dan membunuhnya secara zalim sehingga beliau syahid radhiyallahu anhu.
Pertanyaan: Tetapi, bukankah yang lain juga ada yang melakukan pemberontakan, maka bagaimana bisa terjadi ijma?
Jawab: Ibnu Hajar berkata, “Keluarnya sebagian kaum salaf untuk memberontak adalah sebelum tetapnya ijma tentang haramnya memberontak kepada pemimpin yang zalim.” (Mirqatul Mafatih no. 1125)
Imam Nawawi menukil, bahwa memang terjadi khilaf sebelumnya, lalu terjadilah kesepakatan tentang haramnya memberontak kepada penguasa setelahnya.
Pertanyaan: Bukankah harga barang melonjak dan ekonomi susah karena kezaliman penguasa?
Jawab: Kalau pun rakyat keluar melakukan demonstrasi dan memberontak, maka keadaan malah akan semakin parah, keamanan hilang, darah tertumpah, dan kehormatan terenggut. Siapa saja yang melihat sejarah akan mengetahui, bahwa sikap memberontak tidak membawa kebaikan.
Bahkan kalau kita perhatikan ayat dan hadit. Kita akan mengetahui, bahwa diangkatnya pemimpin yang zalim adaah karena rakyatnya juga zalim dan melakukan berbagai kemaksiatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi wali bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Al An’aam: 129)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَامَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ! خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ، وَأَعُوذُ بِاللهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ: لَمْ تَظْهَرَ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ. حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا، إِلاَّ فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ وَالأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلاَفِهِمُ الَّذِينَ مَضَوْا وَلَمْ يَنْقَصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلاَّ أثخِذَوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّة الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ، إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ، وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمَطَرُوا وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللهِ وَعَهْدَ رَسُوِلِهِ، إِلاَّ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْهِمْ عَدُوّاً مِنء غَيْرِهِمْ، فَأَخَذُوا بَعْضَ مَافِي بأَيْدِيِهمْ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ، وَيَتَخَّيُروا ممَّا أَنْزَلَ اللهُ، إِلاَّ جَعَلَ اللهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
"Wahai kaum Muhajirin! Ada lima perkara yang apabila menimpa kalian, dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak mengalaminya, yaitu: tidaklah perbuatan keji (zina) tampak di suatu kaum, kemudian mereka melakukannya dengan terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah mereka penyakit Tha'un (wabah penyakit yang berbahaya) dan penyakit-penyakit yang belum pernah dialami para pendahulu mereka. Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan ditimpa kemarau panjang, kesulitan pangan dan kezaliman penguasa. Tidaklah mereka enggan membayar zakat harta-harta mereka kecuali hujan dari langit akan dihalangi turun kepada mereka, kalau bukan karena (rahmat Allah) kepada hewan-hewan ternak niscaya mereka tidak akan diberi hujan. Tidaklah mereka melanggar perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menguasakan atas mereka musuh dari luar mereka dan mengambil apa yang mereka miliki. Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan enggan memilih apa yang diturunkan Allah, melainkan Allah akan mengadakan peperangan di antara mereka." (HR. Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al Albani)
Pertanyaan: Lalu apa solusinya?
Jawab: Istighfar, tobat, kembali kepada agama Allah dan memperbaiki diri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.” (Qs. An Nuur: 31)
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Qs. Ar Ra’d: 11)
Oleh karena itu, rubahlah keadaan kita dari syirik kepada tauhid, dari bid’ah kepada sunnah, dari maksiat kepada taat, dari muamalah yang tidak Islami kepada muamalah yang Islami, dan dari akhlak tercela kepada akhlak mulia.
Singkatnya, bertakwalah kita kepada Allah; taatilah perintah-Nya dan jauhilah larangan-Nya. Ingatlah firman-Nya,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al A’raaf: 96)
Ada yang berkata kepada salah seorang kaum salaf, “Harga melonjak naik.” Ia pun berkata, “Turunkanlah dengan istighfar.”
Fawaid:
1. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Khilafah (kepemimpinan) adalah jabatan dan tanggung jawab yang besar, karena mengurus urusan kaum muslimin, dimana pemegangnya adalah penanggung jawab utama terhadap hal itu. Hukumnya fardhu kifayah, karena urusan manusia tidak akan tegak tanpanya. Khilafah ini tercapai dengan salah satu tiga macam ini:
Pertama, pengangkatan dari khalifah sebelumnya sebagaimana diangkatnya Umar bin Khaththab berdasarkan pengangkatan Abu Bakar radhiyallahu anhu.
Kedua, berkumpulnya Ahlul Halli wal ‘Aqd (Tim Musyawarah yang mengangkat khalifah) baik mereka dibentuk oleh khalifah sebelumnya sebagaimana pada pengangkatan kekhalifahan Ustman radhiyallahu anhu, dimana pengangkatan beliau dilakukan oleh Ahlul Halli wal Aqdi yang dibentuk Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu atau tidak dibentuk oleh pemimpin sebelumnya sebagaimana pada kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu anhu menurut sebagian pendapat, dan sebagaimana pada pengangkatan Ali radhiyallahu anhu.
Ketiga, kekuatan dan pemenangan sebagaimana pada kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan ketika Ibnuz Zubair terbunuh sehingga selesai masa khilafahnya. (Ta’liq Mukhtashar ala Lum’atil I’tiqad hal. 157)
2. Imam Al Ghazaliy rahimahullah berkata, “Kalau kesulitan menemukan seorang yang wara’ dan berilmu untuk memegang kepemimpinan, lalu ada orang yang tidak mengerti hukum atau orang fasik yang merebutnya, sedangkan jika menjauhkan perhatian manusia daripadanya dapat menimbulkan fitnah yang sulit dipikul, maka kita putuskan untuk menganggap sah kepemimpinannya. Yang demikian adalah, karena jika kita gerakkan fitnah dengan mencari penggantinya, maka apa yang diterima kaum muslimin ketika proses penggantian berupa madharrat malah lebih besar di atas madharat yang diperoleh karena kekurangan syarat pada pemimpin yang ditetapkan karena maslahat. Oleh karena itu, tidak boleh pokok maslahat dirobohkan karena mementingkan yang unggulnya, seperti halnya membangun istana, namun kotanya dirobohkan. Demikian pula antara memutuskan untuk mengosongkan negeri dari pemimpin dan rusaknya keadaan,  ini tidak mungkin. Jika kita putuskan berlakunya pemerintahan penguasa zalim di negeri mereka karena dibutuhkan, maka bagaimana kita tidak memutuskan sahnya kepemimpinan ketika dibutuhkan dan dalam kondisi darurat?”
3. Al Khallal dalam As Sunnah hal. 133 dan Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah (1/195, 196) menyebutkan, bahwa pada masa pemerintahan Al Watsiq, para fuqaha Baghdad berkumpul di hadapan Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya masalah ini (menyatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk) dan masalah lainnya (yang bertentangan dengan akidah Islam) sudah semakin parah dan menyebar, dan kami tidak ridha dengan pemerintahan dan kepemimpinannya. Lalu Imam Ahmad berdiskusi dengan mereka, kemudian ia berkata, “Kalian wajib mengingkarinya dengan hati kalian dan jangan mencabut  ketaatan kepadanya. Jangan kalian patahkan tonggak (kesatuan) kaum muslimin dan jangan kalian tumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Perhatikanlah akhir urusan kalian dan bersabarlah agar orang yang baik dapat beristirahat dan dapat lepas dari orang yang fasik.” Ia juga berkata, “Sikap ini (mencabut sikap taat kepada pemerintah) tidaklah benar. Hal ini menyelisihi atsar.”
4. Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
"Pada tahun 478 H terjadi berbagai musibah, seperti demam dan wabah tha'un di Irak, Hijaz, dan Syam. Akibatnya, ada yang meninggal dunia tiba-tiba, hewan liar mati, dan hewan ternak pun mati. Susu dan daging pun menjadi sedikit.
Di samping itu, terjadi peperangan besar antara kaum Syiah dan Ahlussunnah, sehingga banyak korban yang tewas.
Pada bulan Rabiul Awwal angin hitam berhembus kencang dan menerbangkan pasir-pasir hingga pohon-pohon banyak yang tumbang, seperti pohon kurma dan lainnya.
Bunyi halilintar terjadi di berbagai wilayah sehingga sebagian manusia mengira Kiamat telah terjadi,
Maka Khalifah Al Muqtadi bi Amrillah menetapkan untuk:
1. Menegakkan kembali amar ma'ruf dan nahi mungkar di setiap wilayah
2. Mewajibkan kaum kafir dzimmi yang berada di wilayah Islam mengenakan pakaian ciri khas mereka
3. Mematahkan berbagai alat musik
4. Menumpahkan khamr (minuman keras)
5. Mengusir para pelaku kerusakan (penyeru maksiat) dari negerinya
Maka musibah itu pun hilang, dan segala puji bagi Allah."
(Al Bidayah wan Nihayah secara ringkas 11/140)
Dari kisah di atas, kita dapat mengambil pelajaran, bahwa solusi keluar dari musibah yang kita alami, seperti kemarau panjang, gempa bumi, kerusuhan dan sebagainya adalah dengan:
1. Kembali kepada Allah dengan istighfar dan tobat
2. Hidupkan kembali amar ma'ruf dan nahi mungkar atau ingatkan manusia mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dan gunakan berbagai media untuk amar maruf dan nahi munkar sambil bekerja sama dengan pihak pemerintah
Misalnya memerintahkan manusia menjaga tauhid dan menjauhi syirik seperti sesaji dan tumbal, meninggalkan para dukun, menyuruh manusia menjaga shalat, memerintahkan kaum wanita menutup aurat, menutup pabrik-pabrik minuman keras (dengan meminta bantuan kepada pemerintah), dsb.
3. Jangan beri kesempatan penyeru kerusakan berbicara di depan umum, seperti kaum Liberalis, Sekularis, LGBT, Peramal atau dukun, Pluralis, Komunis, dsb.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil alamin
Marwan bin Musa
Maraji: Maktabah Syamilah 3.45, Tulisan via medsos tentang hukum memberontak yang ditulis oleh Abu Bakar Addab dari Khartum, Sudan, Mu’amalatul Hukkam fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Abdussalam bin Barjas), Ta’liq Mukhtashar ala Lum’atil I’tiqad (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), dll.


[i] Berdasarkan hadits tersebut, maka tidak diperbolehkan menggulingkan penguasa kecuali jika memenuhi dua syarat :
1.        Pemimpin tersebut jelas-jelas melakukan kekafiran dan ada dalil tentang kekafirannya.
2.        Tidak menimbulkan madharrat (bahaya) yang lebih besar.
Tentunya yang menimbang hal ini adalah ulama (lihat An Nisaa’ : 83).
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger