بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Ijarah (4)
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah,
kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan
pembahasan tentang ijaraah, kami berharap kepada Allah agar Dia menjadikan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahhumma aamin.
Mengembalikan
barang yang disewa
Kapan
saja habis ijarah, maka wajib bagi musta'jir mengembalikan barang yang disewa.
Jika barang tersebut termasuk barang yang bisa dipindahkan, maka dengan
menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika termasuk barang yang tidak bisa dipindahkan,
maka dengan mengosongkan barang-barangnya dari sana. Jika termasuk tanah yang
biasa ditanami, maka diserahkan dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali jika
ada 'uzur seperti yang lalu, maka tetap di tangan musta'jir sampai ia mengetam
tanaman dengan bayaran mitsil (standar).
Ulama
madzhab Hanbali berkata, "Kapan saja ijarah telah selesai, maka musta'jir
mengangkat tangannya, ia tidak wajib radd (tambahan mengembalikan) dan
membiayai seperti halnya orang yang menitip, karena hal itu merupakan akad yang
tidak menghendaki untuk ditanggung, sehingga tidak menghendaki radd dan
biaya."
Mereka juga berkata, "Setelah
habis masa, maka barang di tangan musta'jir menjadi amanah, jika binasa tanpa
sikap remeh, maka ia tidak mengembalikan."
Yang
harus dilakukan oleh pemberi sewa (mu’ajjir) dan musta’jir (penyewa)
Mu’ajjir
harus menyiapkan segala yang yang dibutuhkan agar musta’jir dapat memanfaatkannya.
Seperti memperbaiki mobil yang disewakan dan memberikan fasilitas pengangkutan
dan agar bisa jalan. Jika berupa rumah, maka dengan diperbaiki bagian-bagian
yang rusak serta mempersiapkan perabotnya agar bisa dimanfaatkan.
Bagi
musta’jir ketika sudah selesai sewanya harus menghilangkan segala yang ada
karena tindakannya, seperti kotoran dsb.
Ijarah
adalah akad yang lazim (mesti) dari kedua belah pihak –mu’ajjir dan musta’jir-,
karena ini salah satu di antara jual beli, maka hukumnya pun disamakan. Dan
salah satu di antara kedua belah pihak tidak boleh membatalkan kecuali dengan
keridhaan pihak yang lain, kecuali jika tampak aib yang tidak diketahui
musta’jir ketika akadnya, maka ia berhak membatalkannya.
Mu’ajjir
harus menyerahkan barang yang disewakan kepada musta’jir dan agar bisa dimanfaatkan.
Jika ditunda atau dicegah dari memanfaatkannya dalam semua waktu atau
sebagiannya, maka mu’ajjir tidak mendapatkan upah atau tidak mendapatkan upah
secara sempurna. Karena mu’ajjir tidak menyerahkannya sewaktu akad ijarah,
sehingga ia tidak berhak apa-apa. Kemudian jika mu’ajjir sudah memberikan
kesempatan kepada musta’jir untuk memanfaatkan, tetapi musta’jir tidak memanfaatkan
dalam seluruh waktunya atau sebagiannya, maka musta’jir wajib membayar upah
sempurna. Karena ijarah adalah akad yang lazim (mesti) yang konsekwensinya
harus terlaksana; mu’ajjir berhak memiliki upah dan musta’jir berhak memanfaatkan.
Upah
pekerja wajib dengan akad yang dilakukan, pekerja tidak bisa menuntut upah,
kecuali setelah menyerahkan tugas yang dibebankan kepadanya atau setelah
memperoleh manfaat atau setelah menyerahkan barang yang disewa serta telah
berlalunya waktu tanpa adanya penghalang. Karena pekerja itu diberikan upahnya
ketika telah menyelesaikan tugasnya atau sejenisnya. Di samping itu, upah
ibarat ganti, ia tidak berhak kecuali setelah menyerahkan tugas yang karenanya
ia akan diberi upah.
Pekerja
wajib bekerja dengan baik dan menyelesaikannya. Ia dilarang menipu dan khianat.
Sebagaiman ia wajib melanjutkan tugas dalam waktu yang ditentukan. Waktu ini
tidak bisa lewat tanpa tugas. Dia pun wajib bertakwa kepada Allah dalam
memenuhi tugas yang diembannya. Bagi si penyewa wajib memberikan upah secara
sempurna ketika selesai mengerjakan tugas.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ
أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ
أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
Allah
Ta’ala berfirman: Ada tiga orang yang Aku menjadi musuhnya pada hari kiamat,
yaitu seorang yang (berjanji) memberi dengan nama-Ku namun ternyata ia berkhianat,
seorang yang menjual orang merdeka, lalu memakan hasilnya dan seorang yang
mempersewa orang, ketika pekerja telah menyelesaikan tugasnya, namun tidak
diberi upah.” (HR. Bukhari, dll)
Pekerjaan ajir adalah amanah di pundaknya, ia wajib
memperhatikannya dengan merapikan amal, menyempurnakan dan bersikap tulus
padanya. Upah untuk pekerja adalah hutang yang ditanggung oleh orang yang
mempersewa dan sebuah kewajiban yang harus dipenuhinya. Ia wajib memenuhinya
tanpa menunda-nunda atau mengurangi.
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al
Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar,
Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iriy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar