Hukum Menjadikan Kuburan Sebagai Tempat Ibadah

بسم الله الرحمن الرحيم
Pandangan Islam Tentang Menjadikan Kuburan Sebagai Tempat Ibadah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini merupakan pembahasan tentang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
عَنْ عَائِشَةَ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى اليَهُودِ، وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ» يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا "
Dari Aisyah dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhum, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Laknat Allah menimpa orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid." Beliau memperingatkan (umatnya) terhadap perbuatan yang mereka lakukan (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits yang mulia ini menerangkan kepada kita bahwa menjadikan kuburan sebagai masjid atau tempat ibadah adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani sehingga mereka mendapatkan laknat, demikian pula siapa saja yang meniru mereka dengan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, dimana ia melakukan shalat di sana, sujud dan ruku' di sana, membaca Al Qur'an di sana, berdoa di sana, maka ia sesungguhnya telah mengikuti jejak orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mendapatkan laknat. Hadits tersebut juga menunjukkan haramnya membuat bangunan di atas kubur dan beribadah di dekatnya, dan bahwa hal itu termasuk dosa besar sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Hajar Al Haitami -salah seorang ulama madzhab Syafi'i- dalam kitabnya Az Zawajir 'Aniqtiraafil Kabaa'ir (1/120), ia berkata:
"Dosa besar ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilan adalah menjadikan kubur sebagai masjid, menyalakan lampu di atasnya, menjadikannya sebagai berhala, berthawaf mengelilinginya, mengusapnya, dan shalat menghadapnya."
Di samping itu, beribadah di dekat kuburan merupakan sarana yang dapat membawa seseorang kepada perbuatan syirk, dimana hal itu bisa saja menjadikan seseorang berdoa dan meminta kepada penghuni kubur sehingga ia telah menjadikan kubur sebagai perantara antara dia dengan Allah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrik, sehingga ia meminta kepadanya. Oleh karena itulah, lima hari sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, maka Beliau mengingatkan umatnya agar tidak menjadikan kuburnya sebagai masjid, Beliau bersabda:
أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
"Ingatlah! Sesungguhnya orang-orang sebellum kalian telah menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai masjid. Ingatlah! Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian terhadap perbuatan itu." (HR. Muslim)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga sempat berdoa:
اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَناً يُعْبَدُ. اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
"Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah. Sungguh besar kemurkaan Allah kepada mereka yang menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid." (HR. Malik dari 'Atha' bin Yasar secara mursal, Ibnu Abi Syaibah dari Zaid bin Aslam secara mursal, dan dimaushulkan oleh Imam Ahmad dari hadits Abu Hurairah serta oleh Al Bazzar dari hadits Abu Sa'id. Hadits ini dishahihkan pula oleh Syaikh Al Albani dalam Thadzirussaajid hal. 18 dan 19)
Allah Subhaanahu wa Ta'ala mengabulkan doa Beliau, oleh karenanya kubur Beliau dihalangi dinding-dinding sehingga orang-orang tidak dapat mencapainya.
Imam Al Qurthubiy berkata, "Oleh karena itu, kaum muslimin berusaha sekali untuk menutup celah (ke arah syirk) terhadap kubur Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka meninggikan dinding-dinding dari tanahnya dan menutup tempat masuk ke dalamnya. Mereka juga menjadikan dinding-dinding itu mengelilingi kubur Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Selanjutnya, kaum muslim juga khawatir kalau tempat kubur Beliau dijadikan kiblat tempat orang-orang shalat menghadap, sehingga tampak shalat menghadapnya seperti beribadah, maka mereka membangun dua dinding di dua rukun kubur yang berada di utara dan memiringkannya sehingga keduanya bertemu kepada sudut segitiga dari arah utara agar tidak memungkinkan bagi seorang pun menghadap kuburnya."
Selain itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sampai menyatakan, bahwa mereka yang membangun masjid di atas kuburan adalah manusia yang  paling buruk di sisi Allah pada hari Kiamat.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menyebutkan sebuah gereja yang mereka lihat di Habasyah, dimana terdapat gambar-gambar di sana. Keduanya menyampaikan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda,
إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
”Sesunggunya mereka itu apabila ada orang saleh di tengah-tengah mereka yang wafat, maka mereka membangun masjid di atas kuburnya dan mereka menggambar gambar-gambar (orang saleh) itu. Mereka itu adalah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ مِنْ شِرَارِ النَّاسِ مَنْ تُدْرِكُهُ السَّاعَةُ وَهُمْ اَحْيَاءٌ وَمَنْ يَتَّخِذُ الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ
"Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang masih hidup ketika Kiamat tiba dan orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid." (HR. Ahmad, Ibnu Sa'ad, Abu Ya'la, Al Humaidiy, dan Abu Nu'aim dengan sanad yang shahih sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tahdzirussajid).
Menurut Syaikh Al Albani dalam Tahdziirussaajid, ada tiga makna dari kata-kata “menjadikan kuburan sebagai masjid”:
1.    Shalat di atas kubur, yakni sujud di atasnya.
2.    Sujud menghadapnya dan menghadap ke kubur ketika shalat dan berdoa.
3.    Membangun masjid di atasnya dan bermaksud shalat di sana.
Menurut Syaikh Shalih Al Fauzan, maksud “menjadikan kuburan sebagai masjid” adalah shalat (atau beribadah) di dekatnya meskipun tidak dibangunkan masjid di atasnya, karena setiap tempat yang diinginkan shalat di sana, maka sama saja menjadikannya masjid, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Telah dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan alat bersuci.” (HR. Bukhari), dan jika dibangunkan masjid di atasnya, maka masalahnya lebih parah.” (Lihat ‘Aqidatuttauhid karya Dr. Shalih Al Fauzan)
Pendapat para ulama dari madzhab yang empat tentang haramnya menjadikan kuburan sebagai masjid
1. Ulama madzhab Syafi'i
Adapun pendapat ulama madzhab Syafi'i sudah terwakili dengan perkataan Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy dalam Az Zawajir yang telah disebutkan sebelumnya.
2. Ulama madzhab Hanafi
Imam Muhammad murid Imam Abu Hanifah berkata dalam kitabnya "Al Aatsaar" hal. 45,
"Kami tidak setuju diberikan tambahan di atas kubur. Kami benci jika kubur itu dikapuri, diplester, atau diadakan masjid di dekatnya."
Syaikh Muhammad Yahya Al Kandahlawi Al Hanafi berkata dalam kitabnya Al Kaukabud Durriy 'Alaa Jaami't Tirmidzi hal. 153, "Adapun membuat masjid di kuburan. Oleh karena di dalamnya terdapat sikap menyerupai orang-orang Yahudi, dimana mereka membuat masjid di kuburan para nabi dan para tokoh mereka, dan karena di dalamnya terdapat bentuk mengagungkan mayit serta menyerupai para penyembah berhala. Jika kuburnya berada di arah kiblat, maka kemakruhannya lebih besar daripada jika berada di sebelah kanan atau kiri (masjid). Dan jika kuburnya berada di belakang orang yang shalat, maka kemakruhannya lebih ringan, tetapi tidak lepas dari makruh."
3. Ulama madzhab Maliki
Imam Al Qurtubi dalam tafsirnya (10/38) berkata: Para ulama kami berkata, "Ini adalah haram bagi kaum muslim, yakni menjadikan kuburan para nabi dan para ulama sebagai masjid."
4. Ulama madzhab Hanbali
Ibnul Qayyim ketika menyebutkan fiqh dan fawa’id dari perang Tabuk dan setelah menyebutkan kisah Masjid Dhirar yang Allah melarang Nabi-Nya shalat di sana berkata, “Termasuk di antaranya membakar tempat-tempat maksiat yang di sana Allah dan Rasul-Nya didurhakai. Masjid yang dipakai shalat dan disebutkan di sana nama Allah, tetapi karena pembangunannya membahayakan dan memecah belah kaum mukmin serta sebagai tempat kaum munafik (maka dihancurkan). Setiap tempat yang seperti ini keadaannya, maka wajib bagi imam (pemerintah) melenyapkannya, baik dengan merobohkan, membakar, atau merubah bentuknya dan mengeluarkan sesuatu yang awalnya dibangun karenanya. Jika masjid Dhirar saja (diberlakukan) seperti ini, maka tempat-tempat kemusyrikan yang membawa para juru kuncinya menjadikannya sebagai tandingan selain Allah lebih berhak, dan lebih wajib dihancurkan. Demikian pula tempat-tempat maksiat dan kefasikan seperti kedai minuman keras, rumah-rumah penjual arak, dan para pemilik kemungkaran. Oleh karena itu, Umar bin Khaththab membakar kampung secara menyeluruh karena di sana dijual-belikan khamr. Beliau juga membakar kedai milik Ruwaisyid Ats Tsaqafi, dan Beliau menamainya si fasik kecil. Beliau juga membakar istana (yakni pintunya) milik Sa’ad karena ia menutup diri dari rakyat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga hendak membakar rumah-rumah orang-orang yang meninggalkan shalat Jamaah dan jum’at[i], hanya karena di sana ada wanita dan anak-anak yang tidak wajib (shalat berjamaah) sehingga menghalangi Beliau melakukannya sebagaimana yang Beliau sebutkan[ii]. Demikian pula waqaf tidaklah sah jika bukan untuk kebaikan dan bukan untuk ibadah sebagaimana tidak sahnya mewaqafkan masjid tersebut. Oleh karena itu, masjid yang dibangun di atas kubur (harus) dirobohkan sebagaimana mayit yang dikubur di dalam masjid harus dibongkar seperti yang dinyatakan Imam Ahmad dan lainnya. Dengan demikian, dalam agama Islam masjid dengan kuburan tidaklah menyatu, bahkan jika salah satunya masuk, maka yang lain menghalangi. Dihukumi demikian adalah karena alasan yang sudah diterangkan sebelumnya. Sehingga, jika keduanya diletakan bersamaan, maka tidak boleh. Waqaf tersebut juga tidak sah dan tidak boleh, serta tidak sah shalat di masjid ini karena larangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadapnya dan karena laknatnya terhadap orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, atau menyalakan lampu di sana[iii]. Inilah agama Islam yang dengannya Allah utus Rasul-Nya dan Nabi-Nya, namun asing di tengah masyarakat sebagaimana yang anda saksikan.” (Lihat Zaadul Ma'aad 3/22).
Wallahu a’lam, wa shallallahu 'ala Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Tahdziirus saajid min ittikhaadzil qubuuri masaajid (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Fathul Majid Syarh Kitab At tauhid (Syaikh. Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh), Al Maktabatusy Syaamilah versi 3.35 dan 3.45  dll.


[i] HR. Bukhari dan Muslim
[ii] Namun hadits yang menyebutkan demikian menurut Syaikh Al Albani adalah dha’if, karena dalam sanadnya ada Abu Ma’syar Najih Al Madaniy karena buruknya hapalan, bahkan haditsnya juga menurutnya adalah munkar sebagaimana yang Beliau terangkan dalam Takhrij Al Misykaat (1073).
[iii] Namun hadits yang menyebutkan demikian adalah dha’if sebagaimana diterangkan Syaikh Al Albani dalam Adh Dha’iifah no. 225. Meskipun perbuatan tersebut dilarang pula berdasarkan keumuman.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger