Kaedah Penting Asma'ul Husna (14)

بسم الله الرحمن الرحيم
Kaedah Penting Asma'ul Husna
 (bag. 14)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang kaedah penting Asma'ul Husna, dan masuk membicarakan tentang takfir. Semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' Fatawa Juz 12, hal. 180, "Adapun dalam masalah mengkafirkan, yang benar adalah bahwa barang siapa yang berijtihad dari kalangan umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, ia bermaksud mencari yang hak, ternyata keliru, maka tidak dikafirkan. Bahkan dimaafkan kesalahannya. Sesangkan orang yang telah jelas baginya apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, namun malah menyelisihinya setelah jelas petunjuk itu dan tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin, maka dia kafir. Adapun orang yang mengikuti hawa nafsunya, kurang peduli dalam mencari yang hak dan berbicara tanpa ilmu, maka dia pelaku maksiat dan berdosa, dan bisa menjadi fasik. Namun mungkin saja ia memiliki kebaikan yang dapat mengalahkan keburukannya."
Syaikhul Islam juga berkata, "Saya juga menerangkan bahwa apa yang dinukil dari kaum salaf dan para ulamanya berupa menyebut kafir secara mutlak kepada orang yang mengatakan ini dan itu, memang benar. Akan tetapi, wajib dibedakan antara menyebut ssecara mutlak dan menyebut secara ta'yin (orang tertentu)…dst."
Beliau juga berkata, "Takfir (mengkafirkan) termasuk ancaman. Perkataan (yang mengkafirkan) itu meskipun sebuah sikap mendustakan apa yang disabdakan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi bisa saja orang tersebut karena masih baru masuk Islam atau tinggal di pelosok kampung yang jauh. Orang seperti ini tidaklah dikafirkan karena mengingkari sesuatu yang diingkarinya sampai tegak hujjah kepadanya. Terkadang seseorang belum mendengar nash-nash yang ada tersebut atau memang sudah mendengar tetapi belum tsabit (tetap dan pasti) menurutnya atau bertentangan dengan yang lain sehingga ia harus mentakwilnya meskipun salah. Saya selalu menyebutkan hadits yang ada dalam shahihain tentang orang yang berkata, "Apabila aku meninggal, maka bakarlah jasadku sampai menjadi abu, lalu taburkanlah ke lautan. Demi Allah, jika Allah berkuasa terhadapku, tentu Dia akan mengazabku dengan azab yang belum pernah dirasakan oleh seorang pun di alam semesta." Maka orang-orang melakukannya." Kemudian Allah berfirman kepadanya (setelah dihimpun kembali jasadnya), "Apa yang membuatmu melakukan hal itu?" ia menjawab, "Karena takut kepada-Mu," maka Allah mengampuninya. Orang ini masih ragu-ragu tentang kemahakuasaan Allah dan kuasanya Dia untuk menghimpun kembali jasadnya setelah bertebaran. Hal ini jelas kufur berdasarkan kesepakatan kaum muslim, akan tetapi orang itu tidak tahu hal itu. Ia seorang mukmin yang takut jika Allah menyiksanya, sehingga dia diampuni. Orang-orang yang melakukan takwil dari kalangan mujtahid yang berusaha mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentu lebih layak memperoleh ampunan daripada orang seperti ini."
Dari sini kita ketahui, bahwa antara perkataan dengan orangnya atau antara perbuatan dengan pelakunya ada perbedaan. Tidak setiap ucapan atau perbuatan yang merupakan kefasikan atau kekufuran lalu orang yang mengucapkannya atau melakukannya dihukumi demikian (kafir atau fasik). Hal ini, bisa disebabkan karena hilangnya salah satu syarat takfir atau tafsiq (pengecapan sebagai fasik) atau adanya penghalang syar'i yang menghalanginya untuk dikafirkan.
Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, "Dan barang siapa yang telah jelas kebenaran baginya, lalu ia tetap menyelisihinya karena mengikuti keyakinan yang selama ini diyakini atau karena mengikuti seseorang yang selama ini dimuliakan atau karena dunia yang dikedepankan, maka ia akan memperoleh akibat sikap menyelisihi berupa kekafiran atau kefasikan. Oleh karena itu, seorang mukmin hendaknya mendasari Akidah dan amalnya di atas kitab Allah dan sunnah rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia menjadikan keduanya sebagai imam baginya, dipakai untuk meneranginya dan berjalan di atas jalannya. Karena yang demikian merupakan jalan yang lurus. Jalan yang diperintahkan Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
¨br&ur #x»yd ÏÛºuŽÅÀ $VJŠÉ)tGó¡ãB çnqãèÎ7¨?$$sù ( Ÿwur (#qãèÎ7­Fs? Ÿ@ç6¡9$# s-§xÿtGsù öNä3Î/ `tã ¾Ï&Î#Î7y 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÎÌÈ  
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa." (Terj. QS. Al An'aam: 153)
Demikian juga hendaknya seseorang berhati-hati agar tidak menempuh jalan yang dilalui sebagian orang, di mana mereka mendasari Akidah atau amalnya di atas madzhab tertentu. Ketika melihat nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah menyelisihi madzhabnya, maka ia berusaha mengalihkan nash-nash tersebut kepada madzhabnya dengan takwil-takwil yang menyimpang. Ia jadikan Al Qur'an dan As Sunnah mengikuti; bukan diikuti. Sedangkan selain keduanya, dijadikan sebagai imam; bukan yang mengikuti[i]. Hal ini merupakan jalan Ahlul ahwaa' (pelaku bid'ah), bukan jalan Atbaa'ul huda (pengikut petunjuk). Jalan ini telah dicela Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
Èqs9ur yìt7©?$# ,ysø9$# öNèduä!#uq÷dr& ÏNy|¡xÿs9 ÝVºuq»yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur `tBur  ÆÎgŠÏù 4 ö@t/ Nßg»oY÷s?r& öNÏd̍ò2ÉÎ/ óOßgsù `tã NÏd̍ø.ÏŒ šcqàÊ̍÷èB ÇÐÊÈ  
"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka (Al Quran) tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu." (Terj. QS. Al Mukminun: 71)
Beliau juga berkata, "Barang siapa yang meminta kepada Allah dengan jujur, merasa butuh kepada-Nya dan mengetahui Tuhannya Mahakaya, maka sangat pantas dikabulkan permintaannya oleh Allah Ta'ala."
Sebagai penutup, saya akhiri tulisan yang merupakan ringkasan dari kitab Al Qawaa'dul Mutsla karya Syaikh Ibnu Utsaimin dengan perkataan Imam Abu Hanifah:
إِنَّمَا أَدْرَكْتُ الْعِلْمَ بِالْحَمْدِ وَالشُّكْرِ، فَكُلَّمَا فَهِمْتُ وَوُفِّقْتُ عَلَى فِقْهٍ وَحِكْمَةٍ قُلْتُ: الْحَمْدُ ِللهِ، فَازْدَادَ عِلْمِيْ
“Sesungguhnya saya mendapatkan ilmu dengan memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya. Setiap kali aku paham dan diberitahukan fiqh dan hikmah, aku berkata “Al Hamdulillah”, maka bertambahlah ilmuku.”
Demikianlah sepatutnya sikap kita, banyak menyibukkan diri dengan bersyukur baik dengan lisan, hati, anggota badan maupun keadaan. Merasa yakin bahwa pemahaman, ilmu dan taufiq yang didapatkannya adalah berasal dari Allah Ta’ala. Demikian juga meminta hidayah-Nya dengan berdoa dan bertadharru’ (merendahkan diri) kepada-Nya, karena Allah Ta’ala akan menunjuki orang yang meminta hidayah kepada-Nya. Adapun orang-orang yang tersesat, mereka merasa ujub dengan pendapat dan kecerdasan akalnya, mereka mencari kebenaran bersandar kepada makhluk yang lemah yaitu akal, padahal akal tidak dapat menggapai semuanya.
Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya. Wal hamdulillahi rabbil 'aalamin.
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin (tahqiq Hani Al Haaj, cet. Maktabah Al 'Ilm, Cairo, th.1425 H).


[i] Oleh karena itu, ahli ilmu berkata:
اِسْتَدِلَّ ثُمَّ اعْتَقِدْ وَلاَ تَعْتَقِدْ ثُمَّ تَسْتَدِلُّ فَتَضِلُّ
"Carilah dalil, lalu yakinilah. Janganlah kamu meyakini, kemudian mencari dalil sehingga kamu tersesat."

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger