Terjemah Umdatul Ahkam (23)

Selasa, 23 Januari 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫وأتموا الحج والعمرة لله‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (23)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Bab Membatalkan Haji Menjadi Umrah
248 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: ((قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَأَصْحَابُهُ صَبِيحَةَ رَابِعَةٍ. فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَجْعَلُوهَا عُمْرَةً. فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَيُّ الْحِلِّ؟ قَالَ: الْحِلُّ كُلُّهُ)) .
248. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya tiba di Mekah pada pagi hari keempat bulan Dzulhijjah, lalu Beliau memerintahkan mereka menjadikan ihram haji mereka sebagai umrah. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apa saja yang halal?” Beliau menjawab, “Semuanya halal.”
249 - عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: ((سُئِلَ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ - وَأَنَا جَالِسٌ - كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَسِيرُ حِينَ دَفَعَ؟ قَالَ: كَانَ يَسِيرُ الْعَنَقَ. فَإِذَا وَجَدَ فَجْوَةً نَصَّ)) .
249. Dari Urwah bin Az Zubair ia berkata, “Usamah bin Zaid pernah ditanya -saat itu aku sedang duduk-, “Bagaimana perjalanan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat bertolak (dari Arafah ke Muzdalifah)?” Ia menjawab, “Beliau berjalan biasa (sedang), namun ketika ada area yang lapang, maka Beliau lebih cepat lagi.”
250 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما: ((أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَقَفَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ. فَجَعَلُوا يَسْأَلُونَهُ. فَقَالَ: رَجُلٌ لَمْ أَشْعُرْ , فَحَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ؟ قَالَ. اذْبَحْ وَلا حَرَجَ. وَجَاءَ آخَرُ , فَقَالَ: لَمْ أَشْعُرْ , فَنَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ؟ قَالَ: ارْمِ وَلا حَرَجَ. فَمَا سُئِلَ يَوْمَئِذٍ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلا أُخِّرَ إلاَّ قَالَ: افْعَلْ وَلا حَرَجَ)) .
250. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berdiri (di Mina) pada saat haji wada, lalu orang-orang bertanya kepada Beliau. Ada seorang yang berkata, “Aku tidak menyadari, ternyata aku telah mencukur namun sebelum menyembelih?” Beliau bersabda, “Sembelihlah, tidak apa-apa.” Yang lain datang dan berkata, “Aku tidak menyadari, ternyata aku menyembelih namun belum melempar?” Beliau menjawab, “Lemparlah, tidak apa-apa.” Saat itu Beliau tidaklah ditanya tentang sesuatu yang didahulukan atau diakhirkan melainkan bersabda, “Kerjakanlah, tidak apa-apa.”
251 - عنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ النَّخَعِيِّ: ((أَنَّهُ حَجَّ مَعَ ابْنِ مَسْعُودٍ. فَرَآهُ رَمَى الْجَمْرَةَ الْكُبْرَى بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ فَجَعَلَ الْبَيْتَ عَنْ يَسَارِهِ , وَمِنًى عَنْ يَمِينِهِ. ثُمَّ قَالَ: هَذَا مَقَامُ الَّذِي أُنْزِلَتْ عَلَيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ - صلى الله عليه وسلم -)) .
251. Dari Abdurrahman bin Yazid An Nakha’i, bahwa ia pernah berhaji bersama Ibnu Mas’ud, ketika itu dilihatnya ia (Ibnu Mas’ud) melempar jamrah kubra dengan tujuh buah batu kerikil, beliau menjadikan Baitullah di sebelah kirinya, sedangkan Mina di sebelah kanannya, lalu berkata, “Inilah posisi dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diturunkan kepadanya surat Al Baqarah.”
252 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((اللَّهُمَّ ارْحَمْ الْمُحَلِّقِينَ. قَالُوا: وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: اللَّهُمَّ ارْحَمْ الْمُحَلِّقِينَ. قَالُوا وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: وَالْمُقَصِّرِينَ)) .
252. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang mencukur (habis) rambutnya.” Para sahabat berkata, “Demikian pula orang-orang yang memendekkan wahai Rasulullah.” Beliau tetap berdoa, “Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang mencukur (habis) rambutnya.” Para sahabat berkata, “Demikian pula orang-orang yang memendekkan wahai Rasulullah.” Beliau berdoa, “Demikian pula orang-orang yang memendekkan.”
253 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((حَجَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فَأَفَضْنَا يَوْمَ النَّحْرِ. فَحَاضَتْ صَفِيَّةُ. فَأَرَادَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - مِنْهَا مَا يُرِيدُ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِهِ. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , إنَّهَا حَائِضٌ. قَالَ: أَحَابِسَتُنَا هِيَ؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ , إنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ يَوْمَ النَّحْرِ قَالَ: اُخْرُجُوا)) . وَفِي لَفْظٍ: قَالَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم -: ((عَقْرَى , حَلْقَى. أَطَافَتْ يَوْمَ النَّحْرِ؟ قِيلَ: نَعَمْ. قَالَ: فَانْفِرِي)) .
253. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Kami berhaji bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu kami berthawaf ifadhah pada hari nahar, kemudian Shafiyyah haidh, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam menginginkan dirinya sebagaimana laki-laki menginginkan istrinya, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, ia sedang haidh.” Beliau bersabda, “Apakah ia akan membuat kita tertahan di sini?” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, ia telah thawaf ifadhah pada hari Nahar (sebelum haidhnya).” Beliau bersabda, “Berangkatlah!” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Terlukalah dirinya, apakah ia telah melakukan thawaf ifadhah?” Dijawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Kalau begitu berangkatlah (tanpa thawaf wada)!”
254 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: ((أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ , إلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنْ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ)) .
254. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Manusia diperintahkan agar akhir perjalanan haji mereka adalah thawaf di Baitullah, namun hal itu diberikan keringanan bagi wanita haidh.”
255 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: ((اسْتَأْذَنَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: أَنْ يَبِيتَ بِمَكَّةَ لَيَالِيَ مِنىً , مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ فَأَذِنَ لَهُ)) .
255. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma ia berkata, “Al Abbas bin Abdul Muththalib pernah meminta izin kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk bermalam di Mekkah beberapa hari yang seharusnya bermalam di Mina karena hendak memberi minum jamaah haji, maka Beliau mengizinkan.”
256 - وَعَنْهُ - أَيْ عَنْ ابْنِ عُمَرَ - قَالَ: ((جَمَعَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ «بِجَمْعٍ» , لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا إقَامَةٌ. وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا , وَلا عَلَى إثْرِ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا)) .
256. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menjama antara Maghrib dengan Isya di Muzdalifah, masing-masing shalat dengan satu iqamat, dan Beliau tidak melakukan shalat sunah di antara keduanya, serta setelahnya.”
Bab Orang Yang Ihram Memakan Hewan Buruannya
257 - عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ: ((أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - خَرَجَ حَاجَّاً. فَخَرَجُوا مَعَهُ. فَصَرَفَ طَائِفَةً مِنْهُمْ - فِيهِمْ أَبُو قَتَادَةَ - وَقَالَ: خُذُوا سَاحِلَ الْبَحْرِ , حَتَّى نَلْتَقِيَ. فَأَخَذُوا سَاحِلَ الْبَحْرِ فَلَمَّا انْصَرَفُوا أَحْرَمُوا كُلُّهُمْ , إلاَّ أَبَا قَتَادَةَ , فَلَمْ يُحْرِمْ. فَبَيْنَمَا هُمْ يَسِيرُونَ إذْ رَأَوْا حُمُرَ وَحْشٍ. فَحَمَلَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَى الْحُمُرِ. فَعَقَرَ مِنْهَا أَتَانَاً. فَنَزَلْنَا فَأَكَلْنَا مِنْ لَحْمِهَا. ثُمَّ قُلْنَا: أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ , وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ؟ فَحَمَلْنَا مَا بَقِيَ مِنْ لَحْمِهَا فَأَدْرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -. فَسَأَلْنَاهُ عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: مِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا , أَوْ أَشَارَ إلَيْهَا؟ قَالُوا: لا. قَالَ: فَكُلُوا مَا بَقِيَ مِنْ لَحْمِهَا)) . وَفِي رِوَايَةٍ: ((قَالَ: هَلْ مَعَكُمْ مِنْهُ شَيْءٌ؟ فَقُلْت: نَعَمْ. فَنَاوَلْتُهُ الْعَضُدَ , فَأَكَلَ مِنْهَا)) .
257. Dari Abu Qatadah Al Anshariy, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar berhaji, lalu para sahabat ikut bersama Beliau, kemudian sebagian rombongan ada yang berpisah, di antaranya Abu Qatadah. Beliau berkata kepada rombongan itu, “Ambillah jalan menyusuri tepi pantai agar kita dapat bertemu,” maka mereka mengambil jalan di tepian pantai. Ketika mereka berangkat, semua anggota rombongan itu berihram selain Abu Qatadah. Ketika mereka sedang berjalan, mereka lihat keledai liar, maka Abu Qatadah menghampiri keledai itu dan menyembelih yang betinanya. Lalu kami berhenti dan kami makan dagingnya, kemudian sebagian kami berkata, “Apakah kita boleh makan hewan buruan, padahal kita sedang berihram?” Maka kami bawa sisa daging tersebut dan kami berjumpa dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian kami tanyakan hal itu kepada Beliau, Beliau pun bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang memerintahkan Abu Qatadah untuk memburunya atau memberikan isyarat kepadanya.” Mereka menjawab, “Tidak ada.” Beliau bersabda, “Makanlah sisa daging itu.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Beliau bersabda, “Apakah bagian itu masih ada pada kalian?” Aku menjawab, “Ya. Lalu aku berikan kepada Beliau bagian lengannya, kemudian Beliau makan.”
258 - عَنْ الصَّعْبِ بْنِ جَثَّامَةَ اللَّيْثِيِّ - رضي الله عنه - ((أَنَّهُ أَهْدَى إلَى النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - حِمَاراً وَحْشِيَّاً , وَهُوَ بِالأَبْوَاءِ أَوْ بِوَدَّانَ - فَرَدَّهُ عَلَيْهِ. فَلَمَّا رَأَى مَا فِي وَجْهِي , قَالَ: إنَّا لَمْ نَرُدَّهُ عَلَيْكَ إلاَّ أَنَّا حُرُمٌ)) . وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ «رِجْلَ حِمَارٍ» وَفِي لَفْظٍ «شِقَّ حِمَارٍ» وَفِي لَفْظٍ «عَجُزَ حِمَارٍ» .
258. Dari Ash Sha’b bin Jatstsamah Al Laitsi radhiyallahu anhu, bahwa dirinya pernah menghadiahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam keledai liar saat Beliau di Abwa atau Waddan, namun Beliau menolaknya (karena mengira hal hewan itu diburu karena Beliau). Tetapi ketika Beliau mengetahui raut wajahku, maka Beliau bersabda, “Sebenarnya tidak ada yang membuat kami menolaknya selain karena kami sedang ihram.” (Dalam lafaz Muslim disebutkan hadiah itu, yaitu ‘kaki keledai’, dalam sebuah lafaz ‘belahan badan keledai’ dan dalam lafaz lain ‘bagian belakang keledai’).
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa

Kaidah Penting Ruqyah Syar’iyah

Sabtu, 20 Januari 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الرقية الشرعية‬‎
Kaidah Penting Ruqyah Syar’iyah (Pengobatan Dengan Ayat dan Doa Nabawi)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang kaidah penting ruqyah syar’iyyah (yang syar’i), semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Tidak diragukan lagi, bahwa pengobatan dengan ayat Al Qur’an dan doa yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah pengobatan yang bermanfaat dan sempurna, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
Katakanlah, "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.” (Qs. Fushshilat: 44)
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al Israa’: 82)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Wahai manusia! Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Yunus: 57)
Dengan demikian, Al Qur’an adalah obat yang sempurna terhadap berbagai penyakit hati dan badan, serta penyakit dunia dan akhirat, namun tidak semua orang mendapatkan taufiq untuk berobat dengan Al Qur’an.
Jika seorang yang sakit berobat dengan Al Qur’an dan mengobati sakitnya dengannya secara jujur, beriman, menerima, keyakinan yang kuat, dan terpenuhi syarat-syaratnya, maka penyakit yang ada tidak dapat mengalahkannya, dan bagaimana penyakit dapat mengalahkan firman Allah Rabbul alamin yang sekiranya firman-Nya itu diturunkan ke atas gunung, maka gunung akan pecah, dan jika diturunkan ke atas bumi, maka bumi itu akan terbelah. Bahkan tidak ada satu penyakit hati maupun badan kecuali Al Qur’an telah mengisyaratkan obatnya, sebabnya, serta tindakan pencegahan diri daripadanya, namun hal itu diketahui oleh orang yang dikaruniakan Allah pemahaman terhadap kitab-Nya. Hal itu karena Allah telah menyebutkan penyakit hati dan badan serta obatnya. Penyakit hati itu ada dua macam, yaitu penyakit syubhat dan keraguan, serta penyakit syahwat dan kesesatan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan penyakit hati secara rinci, serta menyebutkan sebab penyakit itu dan obat penawarnya, Dia berfirman,
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) sedangkan dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al Ankabut: 51)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barang siapa yang tidak terobati dengan Al Qur’an, maka Allah tidak akan menyembuhkannya, dan barang siapa yang tidak cukup dengan Al Qur’an, maka Allah tidak akan mencukupkannya.” (Zaadul Ma’ad 4/352)
Adapun penyakit badan, maka Al Qur’an telah mengisyaratkan tentang pokok-pokok pengobatannya serta kaedah-kaedahnya. Pokok dan kaedah itu adalah menjaga kesehatan, mencegah diri dari sesuatu yang membahayakan, dan mengeluarkan zat yang rusak dan membahayakan itu, serta merujuk kepadanya untuk mengatasi penyakit-penyakit yang muncul dari jenis-jenis itu. (Lihat Zaadul Ma’aad 4/352)
Penyusun Aunul Ma’bud berkata, “Pengobatan itu ada dua: pengobatan jasad, dan itu yang dimaksud di sini, serta pengobatan hati. Untuk pengobatan hati caranya khusus dengan mengikuti apa yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala. Adapun pengobatan jasad, maka bisa dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bisa juga dari orang lain, dan pada umumnya merujuk kepada uji coba.” (Aunul Ma’bud 10/239).
Jika seorang hamba berobat dengan Al Qur’an, tentu dia akan melihat pengaruh yang dahsyat untuk kesembuhannya secara cepat. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Suatu ketika aku sakit di Mekah, aku tidak temukan seorang dokter dan tidak mendapatkan obat, maka aku obati diriku dengan surat Al Fatihah, ternyata kulihat pengaruhnya yang dahsyat. Aku ambil segelas air zamzam, aku bacakan berulang-ulang surat Al Fatihah, lalu aku minum, ternyata penyakitku sembuh secara sempurna, lalu aku beralih kepadanya saat merasakan berbagai penyakit, dan aku merasakan manfaat yang luar biasa, maka aku menyarankan hal itu untuk orang yang merasakan sakit pada dirinya, dan ternyata banyak di antara mereka yang sembuh dengan cepat.” (Zadul Ma’aad 4/178 dan Al Jawabul Kafi hal. 21)
Pernyataan Ibnul Qayyim di atas juga menunjukkan, bahwa kita tidak menafikan berobat ke dokter dan menggunakan obat-obatan yang mubah. Dari Usamah bin Syarik ia berkata, “Orang-orang Arab baduwi pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita harus berobat?” Beliau bersabda,
نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً، أَوْ قَالَ: دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا
“Ya. Wahai hamba-hamba Allah berobatlah, karena Allah tidak menciptakan penyakit melainkan menciptakan pula obatnya,” atau Beliau bersabda, “Kecuali satu penyakit.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa penyakit itu?” Beliau menjawab,
«الهَرَمُ»
“Penyakit tua (pikun).” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani) [i]
Imam Al Ainiy rahimahullah berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil kebolehan berobat serta terdapat bantahan bagi kaum Shufi yang menyatakan bahwa kewalian tidak akan sempurna kecuali jika seseorang ridha dengan semua bala musibah yang menimpanya, dan tidak boleh baginya berobat. Oleh karena itu, pernyataan tersebut menyelisihi syari yang membolehkannya.”
Di samping dengan Al Qur’an, pengobatan dengan ruqyah (doa-doa) yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga sangat bermanfaat, dan doa itu ketika tidak ada penghalangnya merupakan sebab paling efektif dalam menolak sesuatu yang dikhawatirkan dan memperoleh sesuatu yang diinginkan, apalagi disertai sikap mendesak dalam berdoa yang merupakan penolak bala musibah atau meringankannya ketika turun. Dalam hadits disebutkan,
إِنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ، فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللَّهِ بِالدُّعَاءِ
“Sesungguhnya doa itu bermanfaat baik terhadap yang telah turun menimpa maupun yang belum, maka wahai hamba-hamba Allah, hendaknya kalian berdoa.” (Hr. Tirmidzi, Hakim, Ahmad, dan dihasankan oleh Al Albani, lihat Shahihul Jami 3/151 no. 3403)
«لَا يَرُدُّ القَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي العُمْرِ إِلَّا البِرُّ»
“Tidak ada yang dapat menolak qadha (takdir) selain doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur selain sikap berbakti kepada orang tua.” (Hr. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani)[ii]
Hadits ini menunjukkan, bahwa doa ibarat perisai, sedangkan bala musibah ibarat panah.
Akan tetapi ada hal yang perlu diperhatikan di sini, yaitu bahwa ayat, dzikr, doa, dan kalimat permohonan perlindungan yang memang bermanfaat itu yang dipakai untuk menyembuhkan atau untuk meruqyah memerlukan kekuatan (keimanan dan kesalehan) orang yang melakukannya. Jika terlambat penyembuhannya, maka bisa disebabkan lemahnya keadaan orang yang melakukannya atau adanya penghalang yang kuat dalam dirinya sehingga obat itu tidak manjur. Hal itu karena, pengobatan dengan ruqyah terdiri dari dua pihak: (a) pihak orang yang sakit, (b) pihak orang yang mengobati. Pihak yang sakit harus kuat dan jujur memohon kepada Allah Ta’ala, serta keyakinannya yang kuat bahwa Al Qur’an merupakan penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Sedangkan ucapan permohonan perlindungan yang shahih yang sejalan antara hati dan lisan merupakan bentuk perlawanan serta sebagai senjatanya. Orang yang melawan tidak akan menang terhadap musuhnya kecuali dengan dua hal, yaitu: senjatanya cocok dan baik bagi dirinya dan dirinya mampu serta kuat menggunakannya. Jika salah satunya tidak ada, maka senjata itu tidak berguna apa-apa baginya, lalu bagaimana jika keduanya tidak ada; hatinya kosong dari tauhid, tawakkal, takwa, dan kembali kepada Allah, di samping tidak memiliki senjata.
Demikian pula orang yang mengobati yang menggunakan Al Qur’an dan As Sunnah harus ada dua hal di atas. (Lihat Zaadul Ma’aad 4/68 dan Al Jawabul Kafiy hal. 21).
Ibnut Tin rahimahullah berkata, “Meruqyah dengan doa-doa perlindungan serta dengan nama-nama Allah Ta’ala adalah pengobatan rohani yang jika dibaca oleh orang-orang yang saleh, maka akan terwujud kesembuhan dengan izin Allah Ta’ala.” (Fathul Bari 10/96).
Para ulama sepakat, bahwa meruqyah hukumnya boleh ketika terpenuhi tiga syarat:
Pertama, menggunakan firman Allah Ta’ala atau dengan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, atau dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Kedua, menggunakan bahasa Arab atau dengan bahasa yang dapat diketahui makna dan artinya.
Ketiga, meyakini bahwa ruqyah itu tidaklah berpengaruh dengan sendirinya, bahkan dengan qudrat dan kuasa Allah Ta’ala. (Lihat Fathul Bari 10/195)
Dengan demikian, ruqyah hanyalah sekedar sebab di antara sekian sebab.
Contoh Ruqyah dari Al Qur’an dan As Sunnah
Contoh ruqyah dari Al Qur’an adalah dengan membacakan langsung di hadapannya surat Al Fatihah, ayat kursi (Al Baqarah: 255), dua ayat terakhir surat Al Baqarah, dan surat mu’awwidzat (Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas) 3 x.
Sedangkan contoh ruqyah dari Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah dengan mengucapkan,

أَعُوذُُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ كُلِّهُنَّ، مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalimat Allah semuanya yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya.” (Hr. Ahmad dan Muslim)
بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dengan nama Allah yang tidak ada sesuatu pun yang dapat memberikan bahaya jika berhadapan dengan nama-Nya baik di langit maupun di bumi, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Hr. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani)
بِسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ اللهُ يَشْفِيكَ، بِسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ
“Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang mengganggumu, dari setiap jiwa dan mata yang hasad. Allah yang menyembuhkanmu. Dengan nama Allah,  aku meruqyahmu.” (Hr. Muslim)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Ilaj bir Ruqa Minal Kitab was Sunnah (Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani), Al Ilaj war Ruqa (Dr. Khalid Al Harisi), Tuhfatul Ahwadzi (Abul Alaa Muhammad Al Mubarakfuri), Aunul Ma’bud (M. Asyraf Al Azhim Abadiy), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i] Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyerupakan ‘keadaan tua’ dengan penyakit adalah karena keadaan tersebut mendatangkan kebinasaan seperti halnya penyakit.
[ii] Sebagian ulama berpendapat, bahwa bahwa maksud lafaz ‘qadha’ dalam hadits di atas adalah sesuatu yang dikhawatirkan seorang hamba berupa musibah dan sebagainya, dan jika ia mendapatkan taufik untuk berdoa, maka Allah akan hindarkan hal itu daripadanya.
Di antara ulama juga ada yang berpendapat, bahwa takdir yang telah dituliskan di Lauh Mahfuzh tidak dapat dirubah dan hal itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah Ta’ala, sedangkan yang dicatat para malaikat (dari Lauh Mahfuzh) itulah yang bisa berubah yang diberikan kepada mereka setiap tahun pada malam Lailatul Qadr. Jika seorang hamba berdoa, maka qadha itu akan diringankan atau dihapuskan dari catatan para malaikat. Sebagian ulama menyebut takdir yang tertulis dalam Lauh Mahfuzh sebagai takdir mubram (baku dan tidak dapat berubah), sedangkan takdir yang tertulis pada catatan para malaikat sebagai takdir mu’allaq (yang digantungkan dengan amalan hamba).
Ada pula yang berpendapat, bahwa doa merupakan sebab memperoleh kebaikan, namun di sana terdapat perkara yang ditakdirkan namun dikaitkan dengan sebab, jika sebab itu terwujud, maka yang ditakdirkan itu pun terwujud, dan jika tidak terwujud sebab itu, maka yang ditakdirkan itu tidak terwujud. Oleh karena itu, jika seseorang meminta kepada Rabbnya kebaikan, maka ia akan memperolehnya, dan jika ia tidak berdoa, maka dia tidak memperoleh kebaikan itu sebagaimana Allah menjadikan silaturrahim sebagai sebab panjang umur, sedangkan memutuskannya adalah sebab pendeknya umur, wallahu a’lam.
Di antara ulama ada yang menafsikan maksud ‘menolak takdir’ adalah meringankannya sehingga ia seakan-akan tidak turun menimpanya.
Adapun maksud ‘dipanjangkan umur’ bisa secara hakiki maupun majazi. Majazi adalah ketika umurnya dijadikan berkah, dimana ia mengisinya dengan berbagai amal saleh, wallahu a’lam

35 Sifat Orang Munafik (3)

Senin, 15 Januari 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫آية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا عاهد أخلف وإذا خاصم فجر‬‎
35 Sifat Orang Munafik (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang tiga puluh lima sifat orang munafik, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
35 Sifat Orang Munafik
25. Mendustakan janji Allah Azza wa Jalla dan janji Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا غُرُورًا
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, "Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya." (Qs. Al Ahzab: 12)
26. Lebih memperhatikan lahiriah daripada batiniah
Lihat dalilnya di surat Al Munafiqun ayat 4. Di sana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum.”
27. Pandai bicara dan cari muka namun tidak pandai berbuat
Lihat dalilnya di surat Al Munafiqun ayat 4. Di sana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka.
28. Tidak paham agama
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
هُمُ الَّذِينَ يَقُولُونَ لَا تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ حَتَّى يَنْفَضُّوا وَلِلَّهِ خَزَائِنُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَفْقَهُونَ
Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar), "Janganlah kamu memberikan infak kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah agar mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)." Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.(Qs. Al Munafiqun: 7)
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, "Ini adalah dari sisi Allah," dan kalau mereka ditimpa suatu bencana mereka mengatakan, "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah, "Semuanya (datang) dari sisi Allah." Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (Qs. An Nisaa’: 78)
29. Meremehkan manusia dan menantang Allah dengan berbuat dosa
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَقُولُونَ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Mereka berkata, "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (Qs. Al Munafiqun: 8)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata,
«إِنَّ المُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ»أَيْ بِيَدِهِ- فَذَبَّهُ عَنْهُ
“Sesungguhnya seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah sebuah bukit, ia takut kalau bukit itu runtuh menimpanya. Sedangkan orang fajir (fasik) memandang dosa-dosanya seakan-akan ada lalat yang menempel di hidungnya, lalu ia berbuat seperti ini –yakni dengan tangannya- ia menyingkirkan lalat itu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
30. Bergembira ketika kaum mukmin mendapatkan musibah dan merasa kesal ketika mereka mendapatkan kebaikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنْ تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكَ مُصِيبَةٌ يَقُولُوا قَدْ أَخَذْنَا أَمْرَنَا مِنْ قَبْلُ وَيَتَوَلَّوْا وَهُمْ فَرِحُونَ
“Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata, "Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan Kami (tidak pergi perang)" dan mereka berpaling dengan rasa gembira.” (Qs. At Taubah: 50)
31. Cenderung membela dan memihak orang-orang kafir (berwala kepada mereka)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (138) الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (139)
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih,--(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang beriman. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu? Padahal sesungguhnya semua kemuliaan kepunyaan Allah.” (QS. An Nisaa: 138-139)
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab, "Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti Kami akan membantu kamu." Dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (Qs. Al Hasyr: 11)
32. Memilih hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (61)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.--Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,"  niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (Qs. An Nisaa’: 60-61)
33. Membenci jihad
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ (81) فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلًا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (82)
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, dan mereka berkata, "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah, "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya),” jika mereka mengetahui.--Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (Qs. At Taubah: 81-82)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِغَزْوٍ، مَاتَ عَلَى شُعْبَةِ نِفَاقٍ»
“Barang siapa yang meninggal dunia dan belum sempat berperang, dan tidak terlintas di hatinya untuk berperang, maka ia meninggal dunia di atas salah satu cabang kemunafikan.” (Hr. Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i)
34. Wanita meminta talak tanpa udzur syar’i dan bersikap durhaka
Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
«المُخْتَلِعَاتُ هُنَّ المُنَافِقَاتُ»
“Wanita yang meminta talak kepada suami (tanpa udzur syar’i) adalah wanita-wanita munafik.” (Hr. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
35. Membenci kaum Anshar
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang kaum Anshar,
«لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ، وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ، مَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللهُ»
“Tidak ada yang mencintai mereka kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang membenci mereka kecuali orang munafik. Barang siapa yang mencintai mereka, maka Allah akan mencintainya, dan barang siapa yang membenci mereka, maka Allah akan membencinya.” (Hr. Muslim)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Tsalatsuna alamatan lil munafiqin (Syaikh Aidh Al Qarni), Subulus Salam (M. Bin Ismail Ash Shan’ani), Tuhfatul Ahwadzi (Abul Ala Muhammad Al Mubarakfuriy), 75 Masalah Penting (Penulis), Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger