Fiqh Faraa’idh (9)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya
semua. Amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan fiqh
fara’idh, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat,
Allahumma aamin.
XV. Khuntsa Musykil
Yang dimaksud khuntsa
musykil adalah orang yang lahir dalam keadaan tidak jelas kelaminnya laki-laki
atau perempuan, bisa karena ia yang memiliki alat
kelamin laki-laki dan perempuan atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali.
Bukan termasuk khuntsa
musykil, laki-laki yang menyerupai wanita atau wanita yang menyerupai
laki-laki, bahkan mereka mendapatkan laknat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam (berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu
Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Nasa’i).
Bagaimana khuntsa musykil
mewarisi, dan bagaimana menentukan khuntsa musykil?
Jelasnya keadaan khuntsa
musykil dapat diketahui dengan tanda-tanda yang tampak baginya.
Apabila
ia belum baligh, maka dapat diketahui dengan meneliti alat kelamin
yang dilalui air kencing. Jika seorang khuntsa musykil membuang air kencing
melalui dzakar, maka ia laki-laki (kelamin laki-laki), dan jika ia membuang air
kencing melalui farj (kelamin perempuan), maka ia perempuan. Tetapi, jika ia
buang air kecil melalui keduanya, maka ia dihukumi sesuai kelamin yang lebih lebih
dulu dilalui air kencing.
Setelah
baligh, dapat meneliti tanda-tanda kedewasaannya; yakni dengan melihat
tanda-tanda yang khusus bagi laki-laki antara lain: tumbuh janggut dan kumis,
suara besar, keluar mani lewat dzakar, suka mendekati wanita, dan lain-lain. Sedangkan
ciri yang khusus bagi wanita antara lain: tumbuh buah dada, haidh, hamil,
cenderung mendekati laki-laki, dsb.
Jika
jelas dengan tanda-tanda di atas, bahwa si khuntsa musykil ini laki-laki, maka
ia mewarisi bagian laki-laki, dan jika ia jelas sebagai wanita, maka ia
mewarisi bagian wanita.
Tetapi apabila dengan
berbagai cara khuntsa tersebut sulit dihukumi laki-laki atau perempuan, maka
dinamakan khuntsa musykil.
Bagian khuntsa musykil
Para Ahli Fiqh berbeda
pendapat tentang warisan untuk khuntsa musykil.
Menurut Imam Abu
Hanifah, bahwa khuntsa musykil dibuat asumsi sebagai laki-laki, dan sebagai
perempuan, kemudian diberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan itu.
Demikian pula, jika ia mewarisi di satu sisi, dan tidak mewarisi di sisi lain,
maka tidak diberikan apa-apa. Jika ia mendapatkan warisan dalam dua keadaan,
maka diberikan bagian yang paling kecil.
Menurut Imam Malik dan
Abu Yusuf, bahwa khuntsa musykil mengambil bagian pertengahan antara laki-laki
dan perempuan.
Menurut Imam Syafi’i,
bahwa semua ahli waris diberikan bagian yang terkecil, termasuk pula khuntsa
musykil, sedangkan sisanya ditahan sampai ada kejelasan lebih lanjut.
Menurut Imam Ahmad, jika
diharapkan kejelasan diri khuntsa musykil, maka ia dan ahli waris yang lain
diberikan bagian yang terkecil, sisanya ditahan. Tetapi jika tidak diharapkan
kejelasannya, maka khuntsa musykil mengambil pertengahan antara bagian
laki-laki dan perempuan.
Undang-undang peradilan agama
di Mesir mengikuti pendapat Abu Hanifah. Disebutkan pada pasal 46 sebagai
berikut: "Bagi khuntsa muskil, yakni orang yang tidak diketahui apakah ia
laki-laki atau wanita berhak memperoleh bagian yang paling kecil di antara dua
bagian, sisanya dari tarikah (harta warisan) diberikan kepada ahli waris."
Praktek pembagian untuk
khuntsa musykil
Jika pembagian warisan
ingin segera diterapkan kepada khuntsa musykil, maka jika kita mengikuti
pendapat sebagian ahli ilmu adalah diberikan
separuh bagian laki-laki dan separuh bagian perempuan.
Cara pembagiannya adalah
dengan membuat dua perhitungan yang satu sebagai laki-laki dan yang satu lagi
sebagai perempuan. Hal ini apabila khuntsa musykil tersebut hanya seorang saja,
jika dua, maka warisan dibuat empat kali.
Setelah itu Anda lihat warisan
dengan empat teori (nisab arba’ untuk tashih) hingga anda menjadikannya sebagai
satu bilangan, kemudian Anda mengalikan hasil penglihatan itu dengan sejumlah
kondisi, hasilnya anda jadikan sebagai sebagai asal masalah kemudian anda
letakkan di kotak setelah kotak pokok warisan, kemudian anda membaginya dengan masing-masing
pokok warisan (asal masalah) dan
hasilnya anda letakkan di atasnya. Kemudian anda kalikan bagian setiap ahli
waris dari setiap pokok warisan dengan angka yang ada di atasnya, dan hasil
dari pengkalian anda satukan, kemudian hasilnya anda bagi dengan semua kondisi khuntsa musykil, hasilnya anda
taruh di depan ahli waris di bawah kotak yang besar (terakhir), lalu anda total
bagian ahli waris, jika sama jumlahnya dengan jumlah pokok warisan (asal
masalah), maka prosesnya benar, tetapi jika tidak maka salah.
Contoh I: Seorang wafat
meninggalkan seorang anak laki-laki dan khuntsa musykil, maka yang perlu
diperhatikan adalah:
6 4
Ahli Waris |
2 |
3 |
12 |
Anak laki-laki |
1 |
2 |
7[i] |
Khuntsa |
1 |
1 |
5[ii] |
Penjelasan:
1. Kita tetapkan bahwa untuk khuntsa musykil ada dua kali
dengan dua asumsi; asumsi sebagai laki-laki dan asumsi sebagai perempuan.
2. Kita perhatikan antara kedua asal masalah tersebut ternyata
kita temukan bahwa di antara keduanya terjadi takhaluf, maka kita kali antara
asal masalah satu dengan yang satu lagi sehingga jumlahnya 6, lalu kita kali
dengan jumlah kondisi, yaitu 2 (kondisi sebagai laki-laki dan kondisi sebagai
perempuan) sehingga menjadi 12, maka kita letakkan pada kotak tas-hih (pembetulan).
3. Kita membagi asal masalah pada kota tas-hih yaitu 12 dengan
masing-masing pokok warisan (asal masalah), maka pada kotak pertama keluarlah
angka 6, lalu kita taruh di atasnya, dan pada kotak kedua keluarlah angka 4,
lalu kita letakkan pula di atasnya.
4. Kita kali bagian setiap ahli waris pada kedua model warisan
dengan angka di atasnya, sehingga
hasilnya untuk khuntsa adalah 10, kemudian kita bagi dengan total kondisinya
yaitu dua, dan hasilnya adalah 5, lalu kita taruh di depannya di bawah kotak
tas-hih, dan itulah bagiannya. Total bagian anak laki-laki adalah 14, lalu kita
bagi dengan total kondisinya, yaitu 2, dan hasilnya 7, kemudian kita taruh di
depannya di bawah kotak tas-hih, dan itulah bagiannya.
Contoh II : jika seorang wafat
meninggalkan dua anak laki-laki dan seorang khuntsa.
10
6
Ahli Waris |
3 |
5 |
30 (dari 15 x 2 kondisi) |
Anak lk. |
1 |
2 |
11[iii] |
Anak lk. |
1 |
2 |
11[iv] |
Khuntsa |
1 |
1 |
8[v] |
Penyelesaiannya tidak berbeda dengan
cara sebelumnya.
Cara lain pewarisan khuntsa musykil
Namun sebagian ahli ilmu ada yang
menggunakan cara lain, yaitu dengan memberikan kepadanya bagian yang
paling kecil dari kedua warisan, sedangkan sisanya ditahan sampai jelas keadaan
yang masih musykil tadi atau mereka melakukan shulh (damai) terhadap
pembagiannya.
Cara penyelesaiannya adalah dengan
menetapkan khuntsa sebagai wanita untuk hak dirinya agar dia memperoleh bagian
terkecil yang pasti, dan ditentukan laki-laki untuk hak orang lain agar orang
lain itu mempunyai bagian terkecil yang pasti, sedangkan sisanya ditahan.
Contoh: seorang wafat meninggalkan
seorang anak laki-laki dan seorang khuntsa, maka dibuatkan dua perhitungan,
yang pertama sebagai anak laki-laki sehinga asal masalahnya 2, sedangkan pada
perhitungan kedua sebagai anak perempuan, sehingga asal masalahnya 3, lalu
dilihat antara keduanya ternyata terjadi takhaluf, maka dikalikan antara
keduanya sehingga hasilnya 6, kemudian dijadikan di jami’ah tas-hih (kotak pelurusan),
lalu bagian setiap ahli waris digabungkan pada kedua perhitungan dan ditaruh di
depannya di bawah jami’ah tas-hih, sehingga bagian anak laki-laki adalah tiga,
sedangkan bagian khuntsa adalah adalah dua, tinggallah satu, lalu ditunda
sampai jelas keadaan khuntsa, jika sebagai laki-laki, maka diberikan kepadanya
dan jika sebagai perempuan, maka diberikan kepada anak laki-laki tersebut, jika
masih musykil keadaannya, maka mereka mengadakan shulh (damai) di antara
mereka. Contohnya:
Ahli Waris |
2 |
3 |
6 (hasil dari 2 x 3) |
Anak lk. |
1 |
2 |
3 (2 + 1) |
Khuntsa |
1 |
1 |
2 (1 + 1) |
Yang perlu diingat, ada satu yang masih
tersisa karena kotak jami’ah tas-hih adalah 6, sedangkan total jumlahnya hanya
lima, untuk sisanya yaitu satu ditahan sampai jelas keadaannya.
XVI. Janin
Untuk janin, para ahli waris diperbolehkan
tidak melakukan pembagian tarikah (harta
warisan) sampai janin lahir, setelah itu dibagikan warisan. Jika mereka mau,
maka mereka boleh menyegerakan pembagian, hanyasaja mereka harus melakukan
dengan cara penyelesaian khuntsa yang terakhir, yaitu dengan diberikan kepada
para ahli waris yang terpengaruh dengan adanya janin, keadaannnya sebagai
laki-laki atau perempuan yaitu dengan diberi bagian terkecil yang pasti, dan
ditahan sisanya sampai janin lahir.
Contoh: Seorang wafat meninggalkan
istri yang hamil, maka istri mewarisi dengan adanya janin dan lahir dalam
keadaan hidup, sehingga bagiannya 1/8, dan si istri mewarisi dengan tanpa janin
atau lahir dalam keadaan mati yaitu dengan mendapatkan ¼, sehingga diberikan
kepadanya 1/8 karena itulah yang pasti. Sedangkan sisanya, maka sampai janin
terlahir, jika lahir dalam keadaan hidup, maka si istri tidak mendapat bagian
itu, tetapi jika lahir dalam keadaan meninggal, maka disempurnakan untuknya
menjadi ¼ yang memang fardhnya jika tidak ada anak.
XVII. Mafqud (Orang Hilang)
Jika salah satu ahli waris hilang,
kemudian ahli waris lainnya ingin melakukan pembagian warisan sebelum adanya
kepastian kematian orang hilang tersebut atau vonis kematiannya, maka mereka
menyikapinya seperti halnya para ahli waris yang ada janin, yaitu dengan
diberikan bagian yang paling kecil yang pasti, dan ditahan sisanya sampai
dijatuhkan vonis kematian orang yang hilang atau hidupnya.
Contoh: Seorang wafat meninggalkan dua
anak laki-laki yang satunya hilang, maka anak yang ada diberikan ½, karena
itulah yang pasti, sedangkan sisanya ditahan sampai jelas kematian orang yang
hilang atau hidup.
Contoh lainnya adalah seorang wafat
meninggalkan istri, ibu, dan dua saudara yang satunya mafqud (hilang), maka
istri mendapatkan ¼ karena tidak terpengaruh dengan keberadaan mafqud dan
ketidakadaannya, adapun ibu, maka ia mendapatkan 1/6, karena itulah yang pasti,
sedangkan saudara laki-laki diberikan separuh dari sisanya, karena itulah yang
pasti, sedangkan sisanya ditahan. Jika jelas hidup orang yang hilang, maka
sisanya menjadi bagiannya sehingga ia ambil secara sempurna, tetapi jika jelas
kematiannya, maka sisanya disempurnakan untuk ibu agar mendapat 1/3, sisanya
untuk saudara laki-laki, sehingga masalahnya adalah 12 dan diadakan tas-hih
menjadi 24, gambarannya sebagai berikut:
1 2
Ahli Waris |
12 |
24 |
12 |
24 |
Istri |
¼ (3) |
6 |
3 |
6[vi] |
Ibu |
1/6 (2) |
4 |
4 |
|
Saudara lk. |
7 |
7 |
5 |
|
Saudara lk. mafqud |
|
7 |
0 |
0 |
Yang perlu diperhatikan di sini adalah:
1. Kita adakan dua warisan, yang pertama jika si mafqud
dianggap hidup, dan asal masalahnya adalah 24 karena terjadi inkisar (tidak terbagi) pada bagian dua saudara, dan
yang kedua jika si mafqud dianggap sudah mati, maka asal masalahnya adalah 12.
2. Kita perhatikan antara kedua asal masalah tersebut (24 dan
12) [ix], maka kita temukan
terjadi tawafuq dengan setengah dari seperenam, maka kita letakkan wafq asal
masalah pertama yaitu 2 di atas asal masalah kedua, dan wafq asal masalah kedua
yaitu 1 di atas asal masalah pertama, lalu kita kalikan dengan pokok warisan
dan hasilnya 24, kemudian kita letakkan di kotak terakhir sebagai kotak tas-hih
(pembetulan).
3. Kita memberi bagian yang terkecil yang pasti pada ahli waris
yang terpengaruh dengan masih hidupnya orang yang hilang. Kita kalikan bagian
istri, yaitu 6 dengan angka di atas asal masalah pertama dan hasilnya 6, lalu
kita letakkan secara sejajar di bawah kotak tas-hih, dan kita kalikan bagian
saudara yang masih ada yaitu 7 dengan angka di atasnya juga, dan hasilnya 7,
lalu taruh di bawah jami’ah tas-hih secara sejajar dengan sebelumnya.
4. Total bagian di bawah kotak tas-hih adalah 17 bagian dari
24, sisanya adalah 7, lalu ditahan sampai ditetapkan mati atau hidup, jika
ditetapkan hidup, maka diambil secara sempurna dan itulah bagiannya, tetapi
jika ditetapkan mati, maka sepertiganya milik ibu, jadi total bagian ibu adalah
8, sedangkan sisanya disatukan dengan bagian saudara laki-laki sehingga bagiannya
menjadi 10. inilah yang dinginkan.
XVIII. Orang yang tenggelam
dan orang-orang yang sepertinya
Adapun orang yang tenggelam
dan orang-orang yang sepertinya seperti orang yang tertimpa reruntuhan dan
orang yang terbakar, maka menurut ahli ilmu adalah bahwa antara mereka tidak
saling mewarisi dari yang lain, dan masing-masing mereka mewariskan harta
kekayaannya kepada ahli warisnya tanpa mendapatkan warisan dari korban musibah
satunya.
Contoh:
Dua orang bersaudara
meninggal dunia karena kecelakaan dan tidak diketahui siapa di antara mereka
yang lebih dulu meninggal. Yang satu meninggalkan istri, putri dan pamannya,
sedangkan yang satu lagi meninggalkan dua puteri dan paman yang telah
disebutkan, maka masing-masing dari keduanya diwarisi oleh ahli warisnya saja.
Jadi, istri mewarisi yang pertama dengan mendapatkan 1/8, demikian pula
puterinya mewarisi dengan bagian ½ sedangkan sisanya untuk paman, adapun yang
kedua diwarisi oleh dua puterinya dengan mendapatkan 2/3, sedangkan sisanya
yaitu 1/3 adalah untuk paman.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
[i] Hasil dari 1 x 6 (di atasnya) + 2 x 4 (di atasnya) = 14 : 2
kondisi = 7.
[ii] Hasil dari 1 x 6 (di atasnya) + 1 x 4 (di atasnya) = 10 : 2
kondisi = 5.
[iii] Hasil dari 1 x 10 (di atasnya) + 2 x 6 (di atasnya) = 22 :
2 kondisi = 11.
[iv] Hasil dari 1 x 10 (di atasnya) + 2 x 6 (di atasnya) = 22 :
2 kondisi = 11.
[v] Hasil dari 1 x 10 (di atasnya) + 1 x 6 (di atasnya) = 16 :
2 kondisi = 8.
[vi] Hasil dari 6 x 1 (di atasnya).
[vii] Hasil dari 4 x 1 (di atasnya).
[viii] Hasil dari 8 x 1 (di atasnya).
[ix] Antara 24 dan 12 jika kita perkecil, maka menjadi 2 dan 1.
0 komentar:
Posting Komentar