بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Puasa Ramadhan
بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Puasa Ramadhan
Puasa di bulan Ramadhan termasuk rukun Islam. Hukumnya adalah
wajib. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.”
(Terj. QS. Al Baqarah: 183)
Puasa di bulan Ramadhan memiliki banyak keutamaan di dalam hadits
Qudsiy, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، وَلاَ يَجْهَلْ ، فَإِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ ، أَوْ قَاتَلَهُ ، فَلْيَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، مَرَّتَيْنِ ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، وَ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ "
“Semua amal anak
Adam untuknya selain puasa, puasa itu untuk-Ku[i]
dan Aku-lah yang akan membalasanya[ii]."
Puasa itu perisai[iii], maka jika kamu sedang
berpuasa, janganlah berkata rafats[iv],
berteriak-teriak dan bersikap bodoh. Jika ada yang memaki atau mengajak
bertengkar, katakanlah, “Saya sedang puasa” 2 x, kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi (Allah) yang nyawa Muhammad di
Tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang
berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari kiamat daripada bau kesturi. Bagi
orang yang berpuasa itu ada dua
kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya
dengan puasanya itu.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
Di bulan Ramadhan pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup
serta di belenggu setan-setan. Di bulan itu ada malaikat yang memanggil, “Wahai
orang yang ingin kebaikan, bergembiralah!” dan “Wahai orang yang ingin
keburukan, berhentilah!”. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari
seribu bulan, itulah malam Lailatulqadr. Dan keutamaan lainnya seperti doa
orang yang berpuasa ketika berbuka mustajab, puasa akan memberikan syafa’at
kepada pelakunya pada hari kiamat dan dosa-dosa akan dihapuskan.
1. Untuk
mengetahui awal dan akhir bulan Ramadhan dengan dua cara: Pertama, terlihatnya
hilal (bulan sabit yang menunjukkan tanggal satu Ramadhan) oleh orang, meskipun
yang melihatnya hanya seorang (yakni orang yang adil)[v], jika
belum nampak maka dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
2. Kita
dilarang melakukan puasa di hari yang masih meragukan karena khawatir bulan
Ramadhan sudah tiba, Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhu berkata:
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ النَّاسُ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang manusia masih
ragu-ragu terhadapnya, maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Abul. Qaasim
(Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah 1645)
Hari yang masih meragukan adalah hari yang masih belum
terlihat hilal di malam harinya seperti karena mendung dsb, hari tersebut
adalah hari yang berkemungkinan masih bulan Sya’ban dan berkemungkinan sudah
masuk awal Ramadhan. Jika ternyata sudah masuk awal Ramadhan, maka hari yang
meragukan tersebut diqadha’ setelah bulan Ramadhan.
3. Hendaknya
kita melakukan puasa tidak sendiri tetapi bersama dengan orang-orang, demikian
juga jika berbuka (di akhir Ramadhan), maka hendaknya berbuka/berhari raya
(baik ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adh-ha) berjama’ah dengan orang-orang. Hal ini
untuk menjaga persatuan umat, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Tirmidzi setelah
ia menyebutkan hadits “Ash Shaumu yauma tashuumuun…dst.
Lajnah Daa'imah pernah ditanya tentang sikap yang harus
dilakukan ketika terjadi khilaf dalam penentuan awal puasa dan berakhirnya,
sedangkan masing-masing pihak memiliki dalil, maka dijawabnya bahwa hal
tersebut termasuk masalah yang diperselisihkan juga di zaman dahulu, dan bahwa
hal itu tidak membawa dampak buruk selama masing-masing pihak memiliki niat
baik dan menghormati mujtahid yang lain, akan tetapi sikap yang harus dilakukan
adalah menyelesaikan masalah tersebut kepada waliyyul amri, karena hukmul
haakim yarfa'ul khilaf (ketetapan hakim dapat menyelesaikan masalah), hal ini
untuk menjaga persatuan.
4. Syarat-syarat
puasa adalah: Muslim, baligh, berakal, sehat dan tidak safar. Bagi wanita
ditambah lagi dengan suci dari haidh dan nifas.
5. Jika
orang yang sakit dan orang yang safar tidak merasakan kepayahan dalam berpuasa,
maka berpuasa lebih utama, namun jika keduanya merasakan kepayahan maka berbuka
lebih utama. (dan orang yang hendak safar boleh berbuka meskipun belum
berangkat safar[vi]).
6. Rukun
puasa adalah: Berniat di hati untuk berpuasa sebelum fajar setiap malam (tanpa
perlu diucapkan)[vii], menahan diri dari hal
yang membatalkan ((yaitu makan dan minum dengan sengaja[viii],
muntah dengan sengaja, mengeluarkan mani dengan sengaja[ix], berjima’[x] dan
datang haidh atau nifas meskipun datangnya ketika matahari mau tenggelam)),
mulai dari terbit fajar hingga tenggelam matahari.
7.
Adab-adab ketika berpuasa :
q Makan
sahur dan mengakhirkannya, habis waktu makan sahur adalah dengan terbitnya fajar shadiq,
tidak dengan tibanya waktu yang diistilahkan oleh orang-orang dengan “Imsak”, hal ini adalah bid’ah.
q Menjaga
diri dari perbuatan sia-sia dan berkata kotor, berkata dusta, berbuat ghibah
(gosip) dan namimah (mengadu domba), demikian juga menjaga diri dari bersikap bodoh
dan berteriak-teriak, serta menghindari maksiat
seperti memberikan persaksian palsu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ لمَ ْيَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْس ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang
siapa yang tidak mau meninggalkan kata-kata dusta dan beramal dengannya, maka
Allah tidak lagi butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)
q Menundukkan
pandangan.
q Bersikap
dermawan.
q Shalat
taraawih, lebih utama dilakukan bersama imam
secara berjama’ah hingga selesai, karena akan dicatat untuknya shalat seperti
semalaman suntuk.
q Memperbanyak
membaca Al Qur’an.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan
adalah memperbanyak berbagai macam ibadah. Pada bulan itu, Jibril ‘alaihis
salam mendatangi Beliau untuk tadarus Al Qur’an, dan keadan Beliau ketika
bertemu malaikat JIbril lebih dermawan melebihi angin yang berhembus membawa
kebaikan. Beliau adalah manusia yang paling dermawan, apalagi pada bulan
Ramadhan. Beliau memperbanyak puasa, berbuat baik, membaca Al Qur’an, melakukan
shalat, berdzikir, dan bei’tikaf. Beliau mengkhususkan bulan Ramadhan dengan
ibadah yang tidak Beliau khususkan pada bulan yang lain, sehingga terkadang
Beliau menyambung ibadahnya sehingga malam dan siangnya terisi penuh dengan
ibadah.” (Zaadul Ma’aad 2/30)
q Menyegerakan
berbuka.
q Berbuka dengan kurma dalam jumlah ganjil, jika tidak ada
dengan air.
q Berdoa ketika berbuka seperti dengan doa berikut,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَ اْبتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ وَ ثَبَتَ اْلاَ جْرُ اِنْ شَاء َاللهُ
“Telah hilang rasa haus, telah basah tenggorokan dan
semoga pahala tetap didapat Insya Allah.”
Doa ini dibaca setelah berbuka, jangan lupa ketika hendak
makan membaca “Bismillah”. Jika lupa, ucapkanlah “Bismillah fii awwalihi wa
aakhirih” dan makanlah dengan tangan kanan.
Apabila kita berbuka di rumah orang lain dianjurkan
mengucapkan,
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ
“Orang-orang
yang berpuasa berbuka di sisimu dan orang-orang yang baik memakan makananmu,
serta semoga malaikat mendoakanmu agar kamu diberi rahmat."
q Beri’tikaf, lebih utama I’tikaf dilakukan pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
I’tikaf terlaksana dengan
seseorang tinggal di masjid berniat i’tikaf baik lama atau hanya sebentar, dan
ia akan mendapatkan pahala selama berada di dalam masjid.
Bagi yang beri’tikaf boleh
memutuskan atau membatalkan i’tikafnya kapan saja ia mau, jika ia sudah keluar
dari masjid lalu ia hendak beri’tikaf lagi, maka ia pasang niat lagi untuk
beri’tikaf.
Ia pun hendaknya mencari malam
lailatul qadr dalam I’tikafnya di malam-malam yang ganjil (meskipun mencari
lailatul qadr tidak mesti harus beri’tikaf). Hendaknya orang yang beri’tikaf
memanfaatkan waktunya yang ada dengan sebaik-baiknya seperti memperbanyak dzikr
(baik yang mutlak maupun yang muqayyad), membaca Al Qur’an, mengerjakan
shalat-shalat sunnah serta memperbanyak tafakkur tentang keadaannya yang telah
lalu, hari ini dan yang akan datang serta memperbanyak merenungi hakikat hidup
di dunia dan kehidupan di akhirat kelak. Dan hendaknya ia mengurangi perbuatan
yang sia-sia seperti banyak bercanda, melakukan obrolan, dsb. Dan tidak mengapa
bagi orang yang beri’tikaf keluar jika tidak dapat tidak harus keluar (seperti
buang air, makan dan minum ketika tidak ada yang mengantarkan makan untuknya,
pergi berobat, mandi dsb).
Aisyah berkata, “Sunnahnya bagi
yang beri’tikaf adalah tidak menjenguk orang yang sakit, tidak menyentuh
wanita, memeluknya, tidak keluar kecuali jika diperlukan, dan i’tikaf hanya
bisa dilakukan dalam keadaan puasa, juga tidak dilakukan kecuali di masjid
jaami’ (masjid yang di sana
dilakukan shalat Jum’at dan jama’ah).”
Lebih sempurna lagi bila dilakukan di
salah satu dari tiga masjid yang memiliki keistimewaan dibanding masjid-masjid
yang lain (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha). Dan I’tikaf
menjadi batal ketika seseorang keluar dari masjid tanpa suatu keperluan serta
karena berjima’.
Doa ketika mengetahui lailatul qadr
adalah,
اَللّهُمَّ اِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
“Ya Allah,
sesungguhnya Engkau Maha Pema’af, maka ma’afkanlah aku.”
Sedangkan waktu I’tikaf yang utama dimulai
setelah shalat Subuh hari pertama[xi] dari sepuluh terakhir bulan Ramadhan
dan berakhir sampai matahari tenggelam akhir bulan Ramadhan.
q Ber’umrah,
keutamaannya adalah seperti berhajji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
q Dan
memperbanyak ibadah-ibadah sunnah dan amal shalih lainnya. Termasuk di
antaranya memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئاً
“Barangsiapa
yang memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, maka ia akan mendapatkan
pahala seperti pahala orang yang berpuasa tanpa dikurangi sedikitpun.” (HR.
Ahmad dan Tirmidzi, Shahihul Jaami’ 6415)
8. Bagi
yang berjima’ dengan istri di bulan Ramadhan, wajib membayar kaffarat (ini
khusus bagi suami), di samping wajib mengqadha’ puasanya. Kaffaratnya adalah dengan
memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut
(yakni pada selain bulan Ramdahan, bulan yang terdapat ‘dua hari raya (Idul
Fitri dan Idul Adh-ha) dan hari tasyriq/11,12,13 Dzulhijjah). Jika tidak mampu,
maka dengan memberi makan 60 orang miskin (masing-masing orang miskin
mendapatkan satu mud/satu kaupan tangan orang dewasa).
Jika berpuasa hukumnya sunat baginya
misalnya bagi musafir, lalu ia berjima’ dengan isterinya ketika sedang
berpuasa, maka cukup mengqadha’ saja tanpa perlu membayar kaffarat (Fushuul
fish shiyaam wat taraawih waz zakaah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
9. Orang
yang sakit, jika ia mampu berpuasa tanpa ada kepayahan yang sangat maka
hendaknya ia berpuasa, jika tidak mampu puasa maka berbuka. Lalu jika dilihat
dirinya segera sembuh maka ia mengqadha’ puasanya, namun jika dilihatnya
ternyata tidak sembuh-sembuh, maka ia membayar fidyah yaitu dengan memberi
makanan kepada orang miskin sesuai jumlah hari ia tidak berpuasa. (ukuran dan
jenis fidyah tidak disebutkan dalam Al Qur’an dan As Suannah, maka dikembalikan
kepada ‘urf/kebiasaan yang berlaku). Anas bin Mailk pernah merasakan kelemahan
(yang sangat) selama setahun sehingga tidak kuat untuk berpuasa, maka ia membuat
makanan dalam jolang besar yang berisi tsarid (roti yang diremukkan dan direndam
dalam kuah), ia pun mengundang 30 orang miskin untuk makan sehingga mereka
semua kenyang.
10. Orang
yang sudah tua, apabila ia tidak kuat berpuasa maka ia wajib membayar fidyah.
11. Bagi wanita yang hamil, apabila ia
mengkhawatirkan keadaan dirinya atau janinnya maka ia boleh berbuka dan
membayar fidyah tanpa perlu mengqadha’, begitu pula orang yang menyusui
(pendapat ini dipegang Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma).
12. Bagi
yang berpuasa dibolehkan: mandi untuk mendinginkan badan, berkumur-kumur dan
beristinsyaq (menghirup air ke hidung) dengan tidak berlebihan, mencium istri
dan memeluknya jika ia merasa mampu untuk menahan syahwatnya, bersiwak, memakai
minyak wangi, memakai minyak rambut, bercelak, meneteskan obat mata dan infus
yang tidak berfungsi sebagai pengganti makanan, menelan ludah dan riak,
tertelan sesuatu yang sulit dihindari seperti debu-debu jalan, sisa-sisa tepung
dsb.
Semoga Allah membimbing kita ke jalan yang diridhai-Nya.
Marwan bin Musa
[i] Dihubungkan kepada Allah adalah idhafat tasyrif yakni menunjukkan
kemuliaan puasa di atas amalan yang lain..
[ii] Sampai di sinilah hadits qudsiynya, selebihnya hadits nabawi.
[iii] Yakni penghalangnya dari maksiat dan dari api neraka.
[iv] kata-kata
jorok yang menjurus ke jima’ atau berkata-kata kotor.
[v] Lain dengan tanggal satu Syawwal maka tidak bisa diterima berita
kecuali dari dua orang yang adil.
Untuk menerima
kesaksiannya disyaratkan harus sudah baligh, berakal, muslim dan dapat
dipercaya atas amanat dan penglihatannya.
[vi] Sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi, bahwa Anas bin Malik pernah
melakukannya dan mengatakan bahwa yang demikian Sunnah (yakni Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam).
[vii] Jika tidak memasang niat di hati sebelum fajar, maka puasanya batal,
kecuali jika puasa sunat. Perlu diketahui, bahwa cukup bagi orang yang berpuasa
Ramadhan berniat sebulan penuh ketika telah masuk bulan Ramadhan, tanpa perlu
memperbarui niatnya setiap malam Ramadhan.
[viii] Demikian juga yang semakna dengan makanan dan minuman, seperti infus
makanan.
[ix] Berdasarkan hadits Bukhari dan Ahmad “Yatruku tha’aamahu wa
syaraabahuwa syahwatahu min ajliy” (ia tinggalkan makan, minum dan syahwatnya
karena-Ku).
[x] Semua ini akan akan membatalkan puasa jika dilakukan dalam keadaan
sengaja, ingat dan tahu hukumnya bahwa hal itu tidak boleh.
[xi] inilah pendapat yang dipegang oleh Al Auza'iy, Al Laits, dan
Ats Tsauriy. Namun menurut Imam yang empat dan sebagian ulama, bahwa seseorang
masuk I'tikaf menjelang Maghrib (malam tanggal 20 atau 21 Ramadhan). Mereka
mentakwil hadits yang menyebutkan, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila ingin I'tikaf, maka Beliau
shalat Subuh, kemudian masuk ke tempat I'tikafnya, maksudnya Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam masuk I'tikaf di awal malam, tetapi menyendiri di
tempat yang telah Beliau siapkan untuk I'tikaf setelah shalat Subuh, wallahu
a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar