Hukum Merayakan Hari Valentin

Minggu, 22 Februari 2015
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫حكم عيد الحب في الاسلام‬‎
Hukum Merayakan Hari Valentin
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ *
“Sungguh, kamu akan mengikuti jejak orang-orang sebelummu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga jika seandainya mereka menempuh jalan ke lubang dhabb (binatang kecil seperti biawak), tentu kamu akan mengikuti juga.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nasranikah (yang akan diikuti)?” Beliau menjawab, “Siapa lagi?”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Benarlah apa yang disabdakan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, akhir-akhir ini banyak di kalangan kaum muslimin yang mengikuti jejak langkah orang-orang kafir. Tradisi mereka, budaya mereka, akhlak mereka, serta sebagian syi’ar mereka telah diikuti oleh sebagian kaum muslimin.
Salah satu di antara sekian banyak syi’ar kaum kafir yang diikuti oleh sebagian kaum muslimin adalah “Iidul Hubb” (hari kasih sayang) atau yang dikenal dengan nama “Valentine’s Day” yang dilakukan pada pertengahan bulan Februari. Inilah hari raya yang oleh sebagian kaum muslimin diikuti, diperingati dan dirayakan, khususnya di kalangan remaja.
Hukum merayakan hari Valentin
Merayakan hari Valentin hukumnya haram. Keharamannya dapat kita ketahui dari lima sisi, yaitu:
Sisi pertama, bahwa merayakan hari Valentin adalah sunnah atau tradisi orang-orang kafir, yaitu tradisi masyarakat Roma para penyembah berhala, yang kemudian diikuti pula oleh orang-orang Nasrani. Sedangkan kita kaum muslimin dilarang mengikuti jejak langkah orang-orang kafir. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al Baqarah: 120)
Kedua, hari Valentin adalah hari raya orang-orang kafir, sedangkan kita kaum muslimin telah memiliki hari raya tersendiri yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu hari raya Idul Fitri, Idul Adh-ha, dan hari Jum’at. Dan Beliau membatalkan semua hari raya selain yang Beliau tetapkan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
"Sungguh, Allah Ta'ala telah memberikan ganti dengan yang lebih baik dari kedua hari itu, yaitu 'Idul Fithr dan 'Idul Adh-ha.”(HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban dengan sanad yang shahih)
Dalam hadits ini, Beliau menghapus dua hari raya yang biasa diperingati oleh orang-orang Anshar.
Ketiga, merayakan hari Valentin terdapat bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, karena yang mengadakannya adalah masyarakat Roma penyembah berhala, kemudian orang-orang Nasrani. Sedangkan kita dilarang bertasyabbuh dengan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, dan Thabrani dalam Al Kabir, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2831)
Keempat, yang diperingati dan dikenang dalam hari raya Valentin adalah seorang pendeta bernama Valentin yang menurut sebagian cerita, bahwa ia adalah seorang yang menolak ketetapan raja Claudius II yang melarang pernikahan di kalangan tentara hingga ia pun dihukum mati, atau dihukum mati karena tetap berada di atas agama Nasrani saat raja memaksanya menganut agamanya yaitu menyembah berhala menurut cerita versi yang lainnya. Singkatnya, bahwa Valentin adalah nama seorang pendeta, lalu pantaskah seorang muslim memperingati dan mengenang seorang pendeta? Bukankah ini menunjukkan sikap wala’ (cinta dan membela) kepadanya? Padahal yang seharusnya ia kenang dan ia ikuti jejaknya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Ma’idah: 51)
Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga menerangkan siapa yang berhak kita berikan wala (rasa cinta dan pembelaan) dalam firman-Nya,
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ - وَمَن يَتَوَلَّ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ فَإِنَّ حِزْبَ اللّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).- Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi walinya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al Ma’idah: 55-56)
Kelima, di dalam perayaan hari Valentin terdapat berbagai kegiatan dan acara yang bertentangan dengan ajaran Islam. Berikut ini di antara kegiatan yang ada di dalamnya yang bertentangan dengan ajaran Islam:
1.     Menjalin rasa cinta dan sayang kepada lawan jenis di luar ikatan pernikahan. Mereka saling tukar-menukar bunga berwarna merah sebagai tanda cinta, dimana hal ini menurut orang-orang Roma terdahulu sebagai ungkapan rasa cinta ilahi, sedangkan menurut orang-orang Nasrani sebagai ungkapan cinta antar lawan jenis.
Sikap di atas merupakan sarana yang bisa mengantarkan seseorang kepada perzinaan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa’: 32)
Ayat “Janganlah kamu mendekati zina,” mencakup larangan zina itu sendiri dan sarana yang bisa mengantarkan kepadanya.
2.     Dalam perayaan Valentin, seseorang memilih wanita yang disukainya, setelah itu membawa wanita itu untuk berduaan bersamanya atau berpacaran. Padahal  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا،
"Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kamu berduaan dengan seorang wanita, karena setan yang ketiganya." (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim, dan dinyatakan shahih isnadnya oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
3.     Bercampur-baur dan bersentuhan antara laki-laki dan perempuan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ "
“Sungguh, ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi itu lebih baik baginya daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5045)
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ،
"Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita." (HR. Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 2513)
4.     Bernyanyi dan memainkan alat musik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
“Akan ada di kalangan umatku orang-orang yang menganggap halal zina, sutera, khamr, dan alat musik.” (HR. Bukhari)
5.     Kaum wanita bertabarruj ala Jahiliyyah.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al Ahzab: 33)
6.     Dan kemungkaran lainnya yang banyak.
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya sebagai berikut:
Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh, wa ba’d:
Di akhir-akhir ini tersebar perayaan hari kasih sayang, terutama di kalangan para pelajar putri, padahal hal tersebut salah satu hari raya kaum Nasrani. Ketika itu, mereka memakai serba merah, baik pakaian maupun sepatunya, dan mereka saling tukar-menukar bunga berwarna merah. Kami harap Syaikh menjelaskan hukum memperingati hari tersebut, dan apa arahan Syaikh untuk kaum muslimin terhadap masalah ini -semoga Allah menjaga dan memelihara syaikh-?
Bismillahirrahmanirrahim
Jawab: Wa alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh. Memperingati hari kasih sayang tidak boleh karena beberapa alasan, yaitu:
Pertama, hari raya tersebut adalah hari raya bid’ah tidak ada dasar sama sekali dalam syariat.
Kedua, perayaan tersebut mengajak kepada rasa cinta yang menggelora.
Ketiga, perayaan tersebut menyibukkan hati dengan perkara-perkara hina yang menyelisihi petunjuk kaum salafush shalih radhiyallahu ‘anhum.
Oleh karena itu, tidak boleh menampakan sedikit pun syiar hari tersebut di zaman sekarang, baik dalam makanan, minuman, tukar-menukar hadiah,  dan lain sebagainya.
Seorang muslim juga harus bangga dengan agamanya dan tidak boleh mudah mengekor kepada setiap orang yang mengajaknya.
Saya meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia melindungi kaum muslimin dari segala fitnah baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan agar Dia mengurus kita dengan bimbingan dan taufiq-Nya.
Ditulis oleh Muhammad Ash Shalih Al Utsaimin pada tanggal 5/11/1420 H.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan Hadidi, M.Pd.I

Fiqh Azan dan Iqamat (5)

Sabtu, 21 Februari 2015
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الأذان‬‎
Fiqh Azan dan Iqamat (5)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang Azan dan iqamat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Jeda antara iqamat dan pelaksanaan shalat
Boleh ada jeda antara iqamat dengan pelaksanaan shalat dengan adanya pembicaraan atau lainnya, dan iqamat tidak perlu diulangi meskipun jedanya panjang.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘alaihi ia berkata, “Shalat pernah telah diiqamatkan, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berbincang-bincang dengan seseorang di pojok masjid. Beliau tidak segera melakukan shalat, sehingga sebagian sahabat tertidur.” (HR. Bukhari)
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ingat, bahwa dirinya junub sedangkan iqamat sudah dikumandangkan, lalu Beliau kembali ke rumahnya, mandi, lalu kembali ke masjid dan melakukan shalat bersama para sahabatnya tanpa mengulangi iqamat lagi.
Bid’ah-bid’ah dalam azan
Azan adalah ibadah, dan prinsipnya bahwa ibadah itu harus ada contoh. Kita tidak boleh menambahkan dalam agama kita sesuatu yang bukan daripadanya atau bahkan menguranginya. Dalam hadits shahih disebutkan,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengadakan dalam urusan agama kami sesuatu yang bukan daripadanya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari)
Berikut ini beberapa contoh bid’ah dalam azan:
1.     Seorang muazin mengucapkan “Asyhadu anna sayyidana Muhammadar Rasulullah,” pada saat azan atau iqamat.
Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa tidak boleh menambahkan kata-kata pada kalimat-kalimat yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan boleh pada selainnya.
2.     Mengusap kedua mata dengan kedua ujung jari telunjuk setelah kedua jari itu dicium saat mendengar muazin mengucapkan “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.” Disebutkan, bahwa orang yang melakukannya akan mendapatkan syafaat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam Al Maqashid disebutkan, “Tidak sahih sama sekali hadits itu. Demikian pula tidak sahih hadits yang diriwayatkan oleh seorang shufi bernama Abul Abbas bin Abu Bakz Ar Raddad Al Yamani dalam bukunya Mujibat Ar Rahmah wa Azaim Maghfirah dengan sanad yang di dalamnya terdapat banyak orang majhul di samping terputus pula, yaitu dari Khadhir ‘alaihis salam, ia berkata, “Barang siapa yang berkata pada saat muazin mengucapkan Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, yaitu dengan kata-kata, “Marhaban bi habibiy wa qurrati ‘ainiy Muhammad ibni Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” kemudian ia cium kedua ibu jari  dan meletakkannya pada kedua matanya, maka dia tidak akan buta, dan tidak akan pernah sakit mata, dsb.”
Semua itu tidak ada yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa salam.
3.     Menyanyikan azan dan melakukan kesalahan di dalamnya dengan menambah huruf, harakat, atau mad.
Hal ini hukumnya makruh. Jika sampai membuat merubah makna atau membuat samar, maka hukumnya haram.
Dari Yahya Al Bakka, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar berkata kepada seseorang, “Sesungguhnya aku benci kepadamu karena Allah, “ lalu ia berkata kepada kawan-kawannya, “Sesungguhnya ia menyanyikan azan dan mengambil upah karenanya.”
4.     Puji-pujian sebelum tiba waktu Subuh.
Dalam kitab Al Iqna’ dan syarahnya (kitab fiqh madzhab Hanbali) disebutkan, “Selain azan berupa tasbih (dzikr dan puji-pujian), nyanyian, mengeraskan suara ketika berdoa, dan semisalnya yang dilakukan di menara bukanlah sunnah. Dan tidak ada seorang pun di kalangan ulama yang mengatakan bahwa hal itu dianjurkan. Bahkan hal tersebut termasuk ke dalam bid’ah yang dibenci, karena hal itu tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman para sahabatnya, dan tidak ada dasar sama sekali di zaman mereka yang bisa dijadikan rujukan. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menyuruh melakukannya dan tidak boleh diingkari orang yang meninggalkannya, dan tidak boleh dikaitkan bantuan rezeki (upah) karena melakukan hal itu, karena sama saja membantu terhadap perkara bid’ah, dan hal itu tidak perlu dilakukan meskipun disyaratkan oleh pewaqaf karena menyelisihi Sunnah.”
Dalam Kitab Talbis Iblis disebutkan, “Aku melihat orang yang bangun di malam hari berada di atas menara, lalu ia memberi nasihat, berdzikr, dan membaca Al Qur’an dengan suara keras, sehingga membuat manusia susah tidur dan membuat kacau pikiran orang-orang yang sedang shalat tahajjud. Semua ini termasuk hal-hal yang munkar.”
Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “Apa saja yang diada-adakan seperti tasbih (dzikr dan puji-pujian) dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum tiba waktu Subuh dan sebelum shalat Jum’at, maka itu bukan bagian azan, baik secara bahasa maupun syara’.”
5.     Mengeraskan bacaan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan. Hal ini termasuk bid’ah yang dibenci.
Ibnu Hajar dalam Al Fatawa Al Kubra berkata, “Para syaikh (guru) kami dan lainnya telah diminta fatwa tentang shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan dengan cara yang biasa dilakukan para muazin, maka mereka menjawab, “Secara asal (membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ada sunnahnya, namun tatacaranya bid’ah.”
Syaikh Muhammad Abduh –mufti negara Mesir- pernah ditanya tentang shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan, maka ia menjawab, “Adapun azan, maka disebutkan dalam kitab Al Khaniyah, bahwa hal itu tidak disyariatkan untuk selain shalat fardhu. Jumlahnya ada lima belas kalimat, dan kalimat terakhir menurut kami adalah Laailaahaillallah. Adapun kalimat yang disebutkan sesudah atau sebelumnya, maka hal itu termasuk hal-hal yang diada-adakan dan bid’ah. Dibuat untuk melagukan bukan untuk maksud lainnya, dan tidak ada seorang pun yang berpendapat bolehnya melagukan semacam ini. Dan tidak dianggap mereka yang mengatakan, bahwa hal semacam itu adalah bid’ah hasanah, karena semua bid’ah dalam ibadah misalnya seperti ini adalah buruk. Barang siapa yang mengatakan, bahwa di dalamnya tidak ada bentuk melagukan, maka ia dusta.”
Selesai, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), dll.

Fiqh Azan dan Iqamat (4)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الأذان‬‎
Fiqh Azan dan Iqamat (4)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang Azan dan iqamat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Jarak antara azan dan iqamat
Hendaknya ada jarak antara azan dan iqamat seukuran waktu yang cukup bagi orang lain bersiap-siap shalat dan menghadirinya, karena azan disyariatkan untuk itu. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang jarak antara azan dan iqamat, maka semuanya dhaif. Imam Bukhari membuat bab dalam Shahihnya, “Bab berapa lama jarak antara azan dan iqamat,” namun beliau tidak menyebutkan berapa lamanya.
Ibnu Baththal berkata, “Tidak ada batasannya selain memungkinkan masuknya waktu dan berkumpulnya para jamaah shalat.”
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan azan, lalu diam sejenak tidak melanjutkan dengan iqamat, sampai ia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (dari rumahnya). Ia (muazin) akan mengumandangkan iqamat saat melihat Beliau.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Berdoa antara azan dan iqamat
Antara azan dan iqamat adalah waktu yang sangat diharapkan terkabulnya, maka dianjurkan memperbanyak doa di waktu itu.
Dari Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَ الْإِقَامَةِ
“Berdoa antara azan dan iqamat tidak ditolak.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3408)
Tirmidzi menambahkan, “Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang perlu kami minta wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
«سَلُوا اللَّهَ العَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ»
“Mintalah afiyat di dunia dan akhirat.” (Tambahan riwayat ini dianggap munkar oleh Syaikh Al Albani, wallahu a’lam).
Dari Abdullah bin Amr, bahwa ada seorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya para muazin mendahului kami (dalam hal pahala dan keutamaan).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«قُلْ كَمَا يَقُولُونَ فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ»
“Ucapkanlah seperti yang diucapkannya. Jika ia telah selesai (mengumandangkan azan), maka berdoalah, niscaya doamu akan dikabulkan.” (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani).
Dari Sahl bin Sa’d ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«ثِنْتَانِ لَا تُرَدَّانِ، أَوْ قَلَّمَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ، وَعِنْدَ الْبَأْسِ حِينَ يُلْحِمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا»
“Dua doa yang tidak ditolak, atau jarang sekali ditolak, yaitu ketika azan, dan ketika perang, yakni ketika pasukan sudah berkecamuk.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani)
Orang yang mengumandangkan azan, maka dia yang mengumandangkan iqamat
Boleh bagi muazin dan lainnya melakukan iqamat berdasarkan kesepakatan ulama, akan tetapi yang lebih utama, bahwa yang mengumandangkan iqamat adalah orang yang mengumandangkan azan.
Imam Syafi’i berkata, “Jika seorang mengumandangkan azan, maka aku suka jia ia pula yang mengumandangkan iqamat.”
Tirmidzi berkata, “Inilah yang diamalkan di kalangan mayoritas Ahli Ilmu, yaitu bahwa yang mengumandangkan azan, maka dia yang mengumandangkan iqamat.”
Catatan:
Jika ada muazin rawatib, maka seseorang tidak boleh mengumandangkan azan kecuali setelah diizinkannya atau ia datang terlambat sehingga yang lain mengumandangkan azan karena khawatir lewat waktu mengumandangkan azan.
Kapankah bangun untuk shalat berjamaah?
Imam Malik dalam Al Muwaththa berkata, “Aku tidak mendengar batasan waktu bangunnya seseorang untuk shalat. Menurutku, hal tersebut disesuaikan kesanggupan manusia, karena di antara mereka ada yang berat dan ada yang ringan.”
Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Anas, bahwa ia bangun untuk shalat ketika muazin (sedang iqamat)  mengucapkan “Qad qaamatish shalah.
Keluar dari masjid setelah azan
Telah ada riwayat yang melarang meninggalkan menjawab muazin dan keluar dari masjid setelah azan kecuali ada udzur atau berniat untuk kembali.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
إِذَا كُنْتُمْ فِي الْمَسْجِدِ فَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ، فَلَا يَخْرُجْ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُصَلِّيَ
“Jika kalian berada di masjid, lalu azan dikumandangkan, maka janganlah salah seorang di antara kamu keluar sampai shalat dilakukan.” (HR. Ahmad, dan dinyatakan isnadnya shahih dari jalan Al Mas’udi oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Dari Abus Sya’tsa, ia berkata, “Kami pernah duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah, lalu muazin mengumandangkan azan, kemudian ada seorang laki-laki yang bangun dan berjalan, lalu Abu Hurairah memperhatikan orang itu hingga orang itu keluar dari masjid, maka Abu Hurairah berkata, “Orang ini, telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (HR. Muslim dan para pemilik kitab Sunan).
Tirmidzi berkata, “Telah diriwayatkan dari lebih dari seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa mereka berkata, “Barang siapa yang mendengar azan, namun tidak menyambutnya, maka tidak ada shalat baginya.”
Sebagian Ahli Ilmu berpendapat, bahwa pernyataan ini adalah untuk penegasan, dan bahwa tidak ada rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat berjamaah kecuali ada udzur.
Azan dan Iqamat bagi orang yang tertinggal melaksanakan shalat
Barang siapa yang ketiduran atau lupa melaksanakan shalat, maka disyariatkan baginya mengumandangkan azan dan mengumandangkan iqamat ketika ia hendak shalat. Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud kisah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya safar dan tertidur, dimana mereka tidak bangun kecuali setelah matahari terbit, maka Beliau memeritahkan Bilal untuk mengumandangkan azan dan iqamat, lalu mereka shalat.
Jika jumlah shalat yang tertinggal lebih dari satu shalat, maka dianjurkan azan dan iqamat untuk shalat yang pertama, sedangkan untuk shalat setelahnya cukup iqamat saja. Tentunya azan yang dikumandangkan  tidak membuat bingung manusia. Al Atsram berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah bertanya tentang mengqadha shalat yang dilakukan seseorang; bagaimana azan yang perlu dilakukannya? Lalu ia menyebutkan hadits Hasyim dari Abu Zubair dari Nafi’ bin Jubair dari Abu Ubaidah bin Abdullah dari ayahnya, bahwa kaum musyrikin membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempat melakukan empat shalat lima waktu pada perang Khandaq sehingga lewat sebagian malam sebagaimana yang dikehendaki Allah, lalu Beliau memerintahkan Bilal untuk azan dan iqamat, kemudian Beliau shalat Zhuhur, lalu Beliau memerintahkan Bilal iqamat, kemudian Beliau shalat Ashar, lalu Beliau memerintahkan Bilal iqamat, maka Beliau shalat Maghrib, kemudian Beliau memerintahkan Bilal iqamat lagi, lalu Beliau shalat Isya.
Azan dan Iqamat bagi kaum wanita
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Kaum wanita tidak disyariatkan azan dan iqamat.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih. Dan pendapat inilah yang dipegang oleh Anas, Al Hasan, Ibnu Sirin, An Nakha’i, Ats Tsauri, Malik, Abu Tsaur, dan para pemegang ra’yu).
Menurut Syafi’i dan Ishaq, jika kaum wanita mengumandangkan azan dan iqamat, maka tidak mengapa.
Telah diriwayatkan dari Ahmad, bahwa jika kaum wanita melakukan hal itu (azan dan iqamat), maka tidak mengapa. Jika tidak dilakukan, juga boleh.
Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia melakukan azan dan iqamat, serta mengimami kaum wanita, dan berdiri di bagian tengah mereka.
Tentunya, azan yang dilakukan kaum wanita tidak di menara atau menggunakan pengeras suara, karena suara mereka fitnah, wallahu a’lam.
Masuk masjid setelah shalat selesai dilaksanakan
Penyusun Al Mughni berkata, “Barang siapa yang masuk masjid, namun shalat ternyata telah selesai, maka ia boleh melakukan azan dan iqamat, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al Atsram dan Sa’id bin Manshur dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia pernah masuk masjid, namun ternyata orang-orang telah selesai shalat, maka ia memerintahkan seseorang untuk azan dan iqamat, lalu ia shalat berjamaah dengan mereka.
Tetapi jika ia mau, ia boleh shalat dengan tanpa azan dan iqamat, karena Urwah berkata, “Jika engkau sampai di masjid yang orang-orang telah melakukan shalat, dimana sebelumnya mereka telah mengumandangkan azan dan iqamat, maka azan dan iqamat mereka sudah cukup untuk orang-orang yang datang setelah mereka.” Hal ini merupakan pendapat Al Hasan, Asy Sya’bi, dan An Nakha’i, hanyasaja Al Hasan berkata, “Yang paling disukai adalah melakukan iqamat (saja). Jika azan dilakukan, maka dianjurkan dipelankan dan tidak dikeraskan agar tidak membuat bingung manusia karena mengumandangkan azan bukan pada waktunya.”
Sebagian ulama berpendapat, bahwa jika suatu masjid memiliki imam ratib, maka hendaknya kita tidak membuat jamaah yang kedua.
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), dll.

Fiqh Azan dan Iqamat (3)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الأذان‬‎
Fiqh Azan dan Iqamat (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang Azan dan iqamat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tatacara Iqamat
Ada 3 cara iqamat, yaitu:
1.    Menyebutkan empat kali takbir pertama, sedangkan kalimat setelahnya dua kali-dua kali selain yang terakhir (semuanya berjumlah 17 kalimat).
      Hal ini berdasarkan hadits Abu Mahdzurah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan iqamat kepadanya 17 kalimat, yaitu:
      Allahu akbar 4X
      Asyhadu allaailaahaillallah 2X
      Asyhadu anna muhammadar rasuulullah 2X
      Hayya ‘alash shalaah 2X
      Hayya ‘alal falaah 2X
      Qadqaamatish shalaah 2X (artinya: Sungguh shalat sudah tegak)
      Allahu akbar 2X
      Laailaahaillallah 1X.” (HR. Lima Imam Ahli Hadits, dan dishahihkan oleh Tirmidzi).
2.    Menyebutkan dua kali takbir yang pertama dan yang terakhir serta kalimat qadqaamatish shalaah, sedangkan kalimat yang lain 1X-1X (sehingga jumlahnya 11 kalimat), yaitu:
      Allahu akbar 2X
      Asyhadu allaailaahaillallah 1X
      Asyhadu anna muhammadar rasuulullah 1X
      Hayya ‘alash shalaah 1X
      Hayya ‘alal falaah 1X
      Qadqaamatish shalaah 2X
      Allahu akbar 2X
      Laailaahaillallah 1X
Hal ini berdasarkan hadits Abu Mahdzurah yang telah disebutkan. Juga berdasarkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bilal diperintahkan menggenapkan azan dan mengganjilkan iqamat selain lafaz iqamah (qad qaamatish shalah).”
      Oleh karena itu, kalimat azan dua kali-dua kali, sedangkan iqamat satu kali-satu kali selain kalimat “Qad Qaamatish shalah” maka dua kali berdasarkan hadits di atas.
3.    Cara ketiga ini sama seperti sebelumnya, hanyasaja untuk kalimat Qadqaamatish shalaah tidak diulang dua kali, bahkan hanya diucapkan sekali sehingga jumlahnya 10 kalimat. Cara ini dipegang oleh Imam Malik karena ia merupakan amal penduduk Madinah, akan tetapi Ibnul Qayyim mengomentarinya, “Tidak sah sama sekali dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan Qadqaamatish shalaah hanya sekali.” Ibnu Abdil Bar berkata, “Ia tetap dua kali dalam keadaan bagaimana pun.”
Ucapan yang diucapkan oleh orang yang mendengar azan dan doa setelahnya
Dianjurkan bagi orang yang mendengar azan mengucapkan seperti yang diucapkan muazin. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ المُؤَذِّنُ
“Apabila kamu mendengar azan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muazin.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kecuali pada kalimat hai’alah (hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah), maka disyariatkan bagi yang mendengarnya mengucapkan Laa haula walaa quwwata illaa billah (artinya: tidak ada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah) setelah muazin mengucapkan Hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah. Hal ini berdasarkan hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berikut, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ فَقَالَ أَحَدُكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Apabila muazin mengucapkan Allahu akbar- Allahu akbar, lalu salah seorang di antara kamu mengucapkan, “Allahu akbar- Allahu akbar.” Lalu ketika ia mengucapkan Asyhadu allaa ilaaha illallah, ia mengucapkan, “Asyhadu allaa ilaaha illallah,” Kemudian ketika ia mengucapkan Asyhadu anna muhammadar rasuulullah, lalu ia mengucapkan, “Asyhadu anna muhammadar rasuulullah.” Lalu ketika ia mengucapkan Hayya ‘alash shalaah, ia mengucapkan, “Laa haula walaa quwwata illaa billah,” Kemudian ketika ia mengucapkan Hayya ‘alal falaah, lalu ia mengucapkan, “Laa haula walaa quwwata illaa billah.” Lalu apabila ia mengucapkan Allahu akbar- Allahu akbar, kemudian salah seorang di antara kamu mengucapkan, “Allahu akbar- Allahu akbar.” Kemudian ketika ia mengucapkan, “Laailaahaillallah,” ia mengucapkan, “Laailaahaillallah,” (dengan ikhlas) dari hatinya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Ketika muazin dalam azan Subuh mengucapkan, “Ash Shalatu khairum minan naum,” maka yang mendengarnya mengucapkan seperti itu.
Imam Nawawi berkata, “Kawan-kawan kami (yang semadzhab) berkata, “Sesungguhnya dianjurkan bagi penyimak azan untuk mengikuti ucapan muazin selain pada kata hai’alah (ucapan hayya ‘ala...) adalah karena hal itu menunjukkan ridhanya dan sepakatnya terhadap pernyataan itu. Adapun karena hai’alah adalah ajakan untuk shalat, dan ucapan ini tidak cocok diucapkan selain muazin, maka bagi penyimaknya dianjurkan mengucapkan dzikr selain itu, yaitu Laa haula wa laa quwwata illaa billah, karena hal itu terdapat bentuk penyerahan kepada Allah Ta’ala semata. Telah shahih dalam Shahihain dari Abu Musa Al Asy’ariy, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Laa haula wa laa quwwata illaa billah adalah salah satu perbendaharaan surga.” Kawan-kawan kami juga berkata, “Dan dianjurkan mengikuti ucapan muazin bagi setiap yang mendengarnya, baik ia dalam keadaan suci, berhadats, junub maupun haidh, orang dewasa maupun anak-anak, karena itu adalah dzikr, dan mereka yang disebutkan berhak berdzikr. Namun dikecualikan daripadanya orang yang sedang shalat, sedang berada di wc, dan sedang berjima’. Jika ia telah keluar dari wc, maka ia ikuti ucapan muazin itu. Jika yang mendengarnya dalam keadaan membaca Al Qur’an, berdzikr, mengajar, atau lainnya, hendaknya ia putuskan dulu dan mengukuti ucapan muazin, lalu kembali seperti biasa jika ia mau. Jika seseorang sedang berada dalam shalat fardhu atau sunah, maka menurut Imam Syafi’i dan kawan-kawannya (yang semadzhab), ia tidak perlu mengikuti ucapan muazin. Tetapi jika sudah selesai, maka ia ikuti. Dalam Al Mughni disebutkan, “Jika seorang masuk masjid, lalu mendengar azan muazin, maka dianjurkan menunda shalatnya dulu sampai muazin selesai dan ia mengikuti ucapan muazin agar dapat menghimpun dua keutamaan. Tetapi jika ia tidak mengikuti ucapan muazin dan langsung shalat, maka tidak mengapa sebagaimana yang dinyatakan Imam Ahmad.”
Setelah selesai mendengar azan, maka ia bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan shalawat yang diajarkan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdoa,
اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّداً الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَاماً مَحْمُوداً الَّذِى وَعَدْتَهُ
Artinya: “Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, pemilik shalat yang akan ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasiilah (derajat tinggi) dan keutamaan, bangkitkanlah ia ke tempat yang terpuji (maqam mahmud) yang telah Engkau janjikan.” (HR. Bukhari 614, dan di sana disebutkan, bahwa orang yang mengucapkan demikian berhak memperoleh syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Kiamat).
Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Amr, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوا اللهَ لِيَ الْوَسِيلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ، لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ»
“Jika kamu mendengar muazin, maka ucapkanlah seperti yang diucapkannya, kemudian bershalawatlah kepadaku, karena barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali saja, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintalah kepada Allah Al Wasilah untukku, karena ia adalah sebuah kedudukan di surga yang tidak pantas diperoleh kecuali untuk salah seorang hamba Allah, dan aku berharap bahwa akulah yang memperolehnya. Barang siapa yang memintakan Al Wasilah untukku, maka ia berhak memperoleh syafaatku.”
Menurut penyusun Fiqhussunnah, bahwa dianjurkan bagi orang yang mendengar iqamat mengucapkan seperti yang diucapkan orang yang iqamat. Hanya saja pada kalimat Qad qamatish shalat, maka dianjurkan mengucapkan “Aqaamahallahu wa adaamaha.
Menurut penulis, bahwa hadits yang dipakai hujjah oleh penyusun Fiqhussunnah adalah dha’if sehingga tidak bisa diamalkan. Oleh karena itu, kita tetap mengucapkan Qad qamatish shalah tidak menggantinya dengan Aqaamahallah wa  adaamaha, kecuali pada kalimat hai’alah, maka ucapannya laa haula wa laa quwwata illaa billah, wallahu a’lam.
Kapan azan dikumandangkan?
Azan dikumandangkan di awal waktu, tidak sebelum tiba waktunya atau menundanya, kecuali pada azan Subuh, maka disyariatkan pula dikumandangkan sebelum tiba waktunya jika dapat dibedakan antara azan pertama (sebelum tiba waktu Subuh) dengan azan kedua agar tidak menimbulkan kerancuan.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلاَلًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan di malam hari (sebelum Subuh), maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hikmah bolehnya azan Subuh dikumandangkan sebelum tiba waktunya diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan lainnya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ سَحُورِهِ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا يُنَادِي - أَوْ قَالَ: يُؤَذِّنُ - لِيَرْجِعَ قَائِمُكُمْ، وَيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ
“Janganlah azan yang dikumandangkan Bilal mencegahmu dari melanjutkan makan sahurmu, karena ia hanyalah mengumandangkan –atau bersabda, “melakukan azan,”- untuk mengembalikan orang yang sedang qiyamullail (melanjutkan qiyamullail) dan membangunkan orang yang tidur di antara kamu.” (Hadits ini dinyatakan isnadnya shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Dan Bilal tidaklah menyeru dengan lafaz selain lafaz azan.
Imam Thahawi dan Nasa’i meriwayatkan, bahwa antara azan Bilal dengan azan Ibnu Ummi Maktum hanyalah seukuran seseorang naik tangga ke atas, lalu turun. 
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger