Sikap Ulama Salaf Terhadap Kesalahan Saudaranya

Jumat, 30 November 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن أين نحن من أخلاق السلف
Sikap Ulama Salaf Terhadap Kesalahan Saudaranya
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut kisah ulama salaf dalam menyikapi kesalahan saudaranya. Semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Mu’awiyah dan Miswar radhiyallahu anhuma
Dari Aqil dan Ma’mar, dari Az Zuhri, ia berkata, “Urwah telah menceritakan kepadaku, bahwa Al Miswar bin Makhramah pernah mengabarkan kepadanya, bahwa ia pernah diutus untuk menemui Muawiyah. Seusai menunaikan tugasnya, Muawiyah mengajaknya berbicara empat mata. Beliau berkata, “Wahai Miswar, tuduhan apa yang engkau lontarkan kepada para pemimpin?” Miswar mengelak, “Sudah, jangan bicarakan hal itu, kita bicarakan yang baik-baik saja.” Beliau berkata, “Tidak, demi Allah, kamu harus berbicara kepadaku tentang tuduhanmu kepadaku.” Miswar berkata, “Tidak ada cacian yang kulontarkan kecuali kujelaskan semuanya kepada beliau.” Maka Beliau pun menanggapi, “Aku memang tidak bisa lepas dari dosa. Tetapi sudikah engkau menambahkan dengan menyebut kebaikan yang kami lakukan di tengah masyarakat? Karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Ataukah engkau hanya menyebut dosa kami dan melupakan kebaikan kami?” Miswar menjawab, “Ya.” Mu’awiyah melanjutkan lagi, “Kami mengakui karena Allah dosa-dosa yang kami lakukan. Dan kamu sendiri bagaimana, apakah kamu juga merasa memiliki dosa-dosa pribadi yang kamu khawatirkan akan membinasakan dirimu jika dosamu tidak diampuni?” Miswar menjawab, “Ya.” Beliau melanjutkan, “Tidaklah Allah menjadikan dirimu lebih berhak untuk mengharapkan ampunan daripada diriku. Demi Allah, perbaikan untuk umat yang aku lakukan lebih banyak daripada yang engkau lakukan. Akan tetapi demi Allah, aku tidaklah diberi pilihan antara memilih Allah dengan selain-Nya melainkan aku memilih Allah daripada selain-Nya. Aku juga berada di atas agama (Islam) yang amal akan diterima dan diberi balasan kebaikan. Begitu pula dosa, juga akan ada balasannya, kecuali jika Allah mengampuninya.” Miswar berkata, “Beliau terus mendebatku.”
Urwah berkata, “Setelah itu, aku tidak pernah mendengar Miswar ketika disebut nama Mu’awiyah melainkan ia mendoakannya.” (Siyar A’lamin Nubala 3/150-151)
**********
 Dari Maimun bin Mihran ia berkata, “Aku mendengar Ibnu Abbas berkata, “Setiap kali aku mendengarkan kabar yang tidak mengenakkan dari saudaraku sesama muslim, melainkan aku sikapi dengan salah satu tiga hal ini; (1) apabila derajatnya lebih tinggi dariku, aku menghormati kedudukannya, (2) apabila sejajar denganku, aku berbuat baik kepadanya, (3) apabila lebih rendah dariku, aku tidak akan membesar-besarkannya. Inilah perjalanan hidupku, barang siapa yang tidak menyukainya, maka bumi Allah itu luas.” (Shifatush Shofwah 1/754)
**********
Dari Humaid Ath Thawil, dari Abu Qilabah ia berkata, “Apabila ada kabar yang tidak mengenakkan dari saudaramu, maka carilah uzur untuknya semampumu. Jika engkau tidak menemukan uzur untuknya, katakan kepada dirimu, “Mungkin saudaraku memiliki uzur yang tidak aku ketahui.” (Shifatush Shofwah 3/238)
**********
Diriwayatkan dari Raja bin Haiwah, ia berkata, “Barang siapa yang bersahabat hanya dengan orang yang tidak memiliki aib, maka ia akan memiliki sahabat sedikit. Barang siapa hanya mengharapkan keikhlasan dari sahabatnya, ia akan banyak marah. Dan barang siapa yang mencela sahabatnya atas setiap dosa yang dilakukannya, ia akan banyak musuh.” (Siyar A’lamin Nubala 4/558)
**********
Dari Abu Ya’qub Al Madani ia berkata, “Antara Hasan bin Hasan dan Ali bin Husain ada masalah, lalu Hasan bin Hasan datang kepada Ali bin Husain yang pada saat itu sedang bersama teman-temannya di masjid. Hasan mengungkapkan segala hal kepada Ali, sementara Ali hanya diam saja. Hasan pun pergi. Ketika tiba malam harinya, Ali bin Husain mendatangi Hasan di rumahnya dan mengetuk pintunya, sehingga Hasan pun keluar, lalu ia (Ali) berkata, “Wahai saudaraku, jika ucapanmu terhadapku benar, maka semoga Allah mengampuni dosaku, namun jika ucapanmu dusta, maka semoga Allah mengampunimu. Assalamu alaikum.” Setelah itu ia pergi. Abu Ya’qub berkata, “Setelah itu Hasan mengikutinya dan memeluknya dari belakang sambil menangis tersedu-sedu. Kemudian ia berkata, “Sudah selesai masalahnya. Aku tidak akan melakukan lagi hal yang tidak engkau senangi.” Ali membalas, ”Engkau juga sudah kumaafkan atas apa yang engkau ucapkan terhadap diriku.” (Shifatush Shofwah 2/94)
**********
Dari Sufyan bin Uyaynah ia berkata, “Sa’id bin Musayyib berkata, “Sesungguhnya dunia itu hina dan terus condong kepada kehinaan. Namun yang paling hina adalah orang yang mengambilnya tanpa hak dan mencarinya dengan tanpa jalan yang benar, serta meletakkannya bukan pada jalannya.” (Shifatush Shafwah 2/81)
Dari Malik bin Anas ia berkata, “Sa’id bin Musayyib berkata, “Setiap orang terhormat, berilmu, dan pemilik keutamaan pasti memiliki aib. Akan tetapi, di antara manusia ada yang tidak patut disebut aibnya; barang siapa yang keutamaannnya lebih banyak daripada kekurangan, maka kekurangannya itu akan ditutup oleh keutamaannya tersebut.” (Shifatush Shafwah 2/81)
Imam Adz Dzahabi dalam memaparkan biografi Qatadah bin Di’amah As Sadusi berkata, “Berdasarkan kesepakatan para ulama, riwayat-riwayat beliau (Qatadah) adalah hujjah apabila menyebut kata ‘mendengar’ karena ia terkenal mudallis dan berfaham Qadariyyah, kita meminta maaf kepada Allah. Meskipun begitu, tidak ada seorang pun yang meragukan kejujurannya, keadilannya, dan hafalannya. Semoga Allah memberi uzur kepada orang yang semacam beliau yang tanpa sadar terjerumus ke dalam bid’ah tetapi dengan niat mengagungkan Allah dan menyucikan-Nya. Di samping itu, ia telah mengorbankan waktunya untuk agama. Allah adalah Mahabijaksana, Maha Adil dan Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya, dan tidak diminta pertanggung-jawaban terhadap apa yang diperbuat-Nya. Selain itu, para ulama besar apabila banyak kebaikannya dan diketahui berusaha mencari yang hak (benar), ilmunya luas, jelas kecerdasannya, diketahui kesalehannya, kewara’annya, dan berusaha untuk ittiba (mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam), maka akan diampuni ketergelincirannya, dan kita tidak akan menganggapnya sesat, mencampakkannya, dan melupakan kebaikannya. Memang benar, untuk bid’ah dan kekeliruannya tidak boleh diikuti, dan kita juga berharap, bahwa ia sudah bertaubat dari kesalahannya itu.” (Siyar A’lamin Nubala 5/271)
**********
Dari Ibnul Madini, ia berkata, “Aku mendengar Sufyan berkata, “Ibnu Ayyasy Al Manthuf pernah mencela Umar bin Dzar dan mencaci-makinya, lalu Umar menemuinya dan berkata, “Wahai saudaraku, jangan berlebihan dalam mencaci kami. Sisakanlah tempat untuk berdamai, karena kami tidak akan membalas orang yang berbuat durhaka kepada Allah terhadap kami, lebih daripada kami berbuat taat kepada Allah terhadapnya.” (Siyar A’lamin Nubala 6/388, 389) 
Abdan bin Utsman meriwayatkan dari Abdullah bin Al Mubarak, bahwa ia berkata, “Apabila kebaikan seseorang lebih banyak daripada keburukannya, maka tidak pantas disebut keburukannya. Tetapi jika keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, maka kebaikannya tidak layak disebut.” (Siyar A’lamin Nubala 8/398)
**********
Yunus Ash Shadafi berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang paling cerdas dibanding Imam Syafi’i. Suatu hari, aku pernah mendebatnya dalam satu masalah, lalu kami berpisah, setelah itu ia bertemu denganku dan memegang tanganku sambil berkata, “Wahai Abu Musa, apakah tidak sepantasnya kita ini bersaudara meskipun tidak sependapat dalam satu masalah.” (Siyar A’lamin Nubala 10/16)
Dari Yunus bin Abdul A’la ia berkata, “Imam Syafi’i pernah berkata kepadaku, “Wahai Yunus, jika sampai kepadamu berita yang tidak mengenakkan tentang kawanmu, maka janganlah engkau terburu-buru memusuhinya dan memutus hubungan tali persaudaraan. Karena dengan demikian engkau akan termasuk orang yang menghilangkan keyakinannya dengan keraguan. Tetapi temuilah dia dan katakan kepadanya, “Telah sampai kepadaku tentang dirimu begini dan begitu,” dan berhati-hatilah dari menyebut nama orang yang menyampaikan kepadamu. Jika dia mengingkari hal itu, maka katakan kepadanya, “Engkau adalah orang yang lebih jujur dan lebih benar.” Jangan engkau perpanjang masalahnya. Tetapi jika ia mengakui, dan engkau melihat ada yang bisa dijadikan alasan baginya dalam hal itu, maka terimalah. Namun apabila engkau tidak mendapatkan alasan apapun baginya, maka katakan kepadanya, “Memangnya apa maksudmu dengan perkara yang sampai beritanya kepadaku itu?” Jika dia menyebutkan alasannya, maka terimalah darinya, namun jika engkau tidak menemukan alasan baginya, sementara amat sulit jalan untuk mendapatkannya, maka ketika itulah ditetapkan sebagai kesalahan. Selanjutnya engkau boleh memilih; jika engkau mau, engkau bisa membalas dengan yang setara dengan perbuatannya tanpa menambah-nambah, dan jika engkau mau, maka engkau boleh memaafkannya. Dan memaafkan itu lebih dekat kepada takwa dan lebih menunjukkan kemuliaanmu, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (40)
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Qs. Asy Syura: 40)
Kalau dengan balasan setimpal engkau masih mendapatkan tantangan dari dirimu, fikirkanlah kebaikan-kebaikannya di masa lalu, hitunglah semuanya, lalu balaslah kejahatannya yang sekarang dengan kebaikan. Janganlah karena kejahatannya, engkau melupakan kebaikannya yang terdahulu, karena itu sejatinya adalah kezaliman. Wahai Yunus, apabila engkau memiliki teman, gandenglah dengan tanganmu erat-erat, karena mencari teman itu sulit, sementara berpisah dengannya itu perkara mudah.” (Shifatush Shofwah 2/252-253)
Imam Adz Dzahabi ketika menyebutkan biografi penakluk Andalusia An Nashiru Lidinilah berkata, “Aku telah menyebutkan biografinya bersama biografi bapak-kakeknya, maka aku mengulanginya di sini dengan mencantumkan beberapa tambahan dan faidah. Jika dia adalah seorang yang menggebu-gebu dalam jihad dan menghadapi berbagai kesulitan, maka urusannya diserahkan kepada Allah. Tetapi kalau ia orang yang mematikan jihad, berbuat zalim kepada para hamba, merusak harta benda orang banyak, sesungguhnya Allah Maha Mengawasi semua itu.” (Siyar A’lamin Nubala 15/564)
Abur Rabi Muhammad bin Al Fadhl Al Balkhi berkata, “Aku mendengar Abu Bakar Muhammad bin Mahrawaih Ar Raziy berkata, “Aku mendengar Ali bin Husain bin Junaid berkata, “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata, “Mungkin saja kami mencela satu kaum yang telah lebih dulu menginjakkan kaki di surga sejak dua ratus tahun sebelumnya.”
Imam Adz Dzahabi berkata, “Kemungkinan yang betul seratus tahun sebelumnya. Karena hingga masa Yahya bin Ma’in belum sampai selama itu.”
Ibnu Mahrawaih berkata, “Aku menemui Abdurrahman bin Abi Hatim sedangkan ia membacakan kitab Al Jarhu wat Ta’dil ke tengah-tengah manusia, lalu aku sampaikan kisah itu (di atas), maka ia menangis, kedua tangannya bergemetar sampai-sampai bukunya jatuh. Beliau terus menangis dan memintaku untuk mengulangi kisah itu.”
Imam Adz Dzahabi berkata, “Beliau tersentuh ketika mendengar kisah itu karena khawatir akan akibat yang bisa menimpanya, padahal ucapan kritik dari orang yang wara terhadap para perawi lemah termasuk nasihat dalam agama Allah dan membela Sunnah.” (Siyar A’lamin Nubala 13/268)
Adz Dzahabi ketika menyebutkan biografi Muhammad bin Ahmad bin Yahya Al Utsmani Asy Syafi’i Al Asy’ariy berkata, “Orang-orang Mu’tazilah yang militan, orang-orang Syi’ah militan, orang-orang Hanbali militan, orang-orang Asy’ari militan, orang-orang Murji’ah militan, orang-orang Jahmiyah militan, orang-orang Karramiyyah militan telah membuat dunia berguncang dan mereka banyak jumlahnya. Di antara mereka ada yang pandai, ahli ibadah, dan ahli ilmu. Kita memohon kepada Allah maaf dan ampunan untuk Ahli Tauhid dan berlepas diri dari hawa nafsu dan kebid’ahan, kita mencintai Sunnah dan pengikutnya, serta mencintai Ahli Ilmu karena ittiba (mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam) dan sifat-sifat terpuji yang ada padanya, dan kita tidak menyukai bid’ah yang diadakannya yang masih dalam batas kewajarannya. Karena yang dijadikan patokan adalah banyaknya kebaikan yang ada dalam dirinya.” (Siyar A’lamin Nubala 20/45-46)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf (Abdul Aziz bin Nashir Al Julail dan Bahauddin bin Fatih Aqil), Maktabah Syamilah, dll.

Etika Pergaulan Suami-Istri

Kamis, 22 November 2018

بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن الحقوق الزوجية في الاسلام
Etika Pergaulan Suami-Istri
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang etika pergaulan suami-istri, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Etika Suami Bergaul Dengan Istri
1. Mempergauli istri dengan baik
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka (para istri) dengan baik.” (Qs. An Nisaa: 19)
Bergaul dengan istri secara baik juga merupakan tolok ukur kualitas akhlak seorang suami secara umum. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (Hr. Tirmidzi, dinyatakan hasan shahih oleh Tirmidzi dan Al Albani)
2. Memberikan nafkah, pakaian, dan tempat tinggal kepada istri sesuai kemampuan
Allah Azza wa Jalla berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (Qs. Ath Thalaq: 7)
Dari Hakim bin Mu’awiyah Al Qusyairiy, dari ayahnya ia berkata, “Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak istri yang harus dipenuhi suami?” Beliau bersabda,
«أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ»
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan, engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian, dan jangan memukul mukanya, jangan menjelekkannya, dan jangan meninggalkannya kecuali di rumah.” (Hr. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
3. Lembut kepada istri dan mengajaknya bercanda
عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ قَالَتْ: فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَيَّ، فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِي فَقَالَ: «هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ»
Dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa ia pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah safar, lalu aku berlomba lari dengan Beliau dan aku memenangkan perlombaan itu, namun ketika aku semakin gemuk, aku berlomba lari dengan Beliau, Beliau mengalahkanku, lalu Beliau bersabda, “Kemenangan ini sebagai ganti kekalahan perlombaan waktu itu.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
كُلُّ شَيْءٍ يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ فَهُوَ بَاطِلٌ إلَّا تَأْدِيبَهُ فَرَسَهُ وَرَمْيَهُ بِقَوْسِهِ وَمُلَاعَبَتَهُ امْرَأَتَهُ
“Semua permainan seseorang adalah batil kecuali melatih kudanya, melepas panah dari busuhnya, dan bercanda dengan istrinya.” (Hr. Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 4534)
4. Berhias untuk istri
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Aku suka berhias untuk istriku sebagaimana aku suka dia berhias untukku, karena Allah Ta’ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Qs. Al Baqarah: 228)
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)
5. Mengajarkan ilmu agama kepadanya atau memberikan fasilitas yang memadai untuk belajar agama, serta mendorongnya untuk taat beribadah.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. At Tahrim: 6)
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Qs. Thaha: 132)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ، فَإِنْ أَبَتْ، نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ، رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ، وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى، نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ»
“Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun malam lalu shalat malam dan membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan, maka ia percikkan air ke mukanya. Semoga Allah merahmati seorang istri yang bangun malam lalu shalat malam dan membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan, maka ia percikkan air ke mukanya.” (Hr. Abu Dawud, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
6. Memaklumi kekurangannya selama tidak melampaui batas syariat
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian apabila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Qs. An Nisaa: 19)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ»
“Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukminah. Jika ia tidak suka akhlaknya yang satu, mungkin suka kepada akhlaknya yang lain.” (Hr. Muslim)
Sebagian kaum salaf berkata, “Ketahuilah, bahwa bukanlah termasuk akhlak mulia kepada wanita hanya menahan gangguan diri terhadapnya, bahkan yang merupakan akhlak mulia adalah ketika menanggung gangguan darinya, santun (tidak lekas marah) terhadap sikap tidak terkendali dan marahnya karena mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
7. Bersikap tegas kepadanya ketika istri nusyuz (durhaka dan berani terhadap suami/melanggar aturan syariat) dalam rangka mendidiknya, bukan menyakitinya
Tahapannya adalah sebagai berikut:
a. Jika durhaka, berilah nasihat dengan baik.
b. Jika dinasihati belum membaik, maka dengan membelakanginya ketika tidur dalam satu ranjang. Jika belum patuh juga, maka dengan pisah ranjang dalam satu rumah,
c. Jika belum jera juga, maka pukullah dia pada selain muka dengan pukulan yang mendidik dan tidak menyakiti fisiknya.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[i], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[ii].” (Qs. An Nisaa’: 34)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Dan jangan memukul mukanya, jangan menjelekkannya, dan jangan meninggalkannya kecuali di rumah.” (Hr. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
8. Tidak melarang istri untuk hadir shalat berjamaah, tentunya dengan syarat mengenakan hijab dan tidak memakai wewangian
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ، وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلَاتٌ
“Janganlah kalian mencegah hamba-hamba Allah yang wanita dari mendatangi masjid-masjid Allah, namun hendaknya mereka keluar tanpa mengenakan wewangian.” (Hr. Abu Dawud, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
9. Memberikan hak istri untuk diajak bercanda dan bercengkerama
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menegur Abdullah bin Amr bin Ash, “Wahai Abdulah, aku mendapatkan berita bahwa engkau berpuasa di siang hari dan melakukan qiyamullail di malam hari (dalam waktu yang lama)?” Abdullah bin Amr menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,
«فَلاَ تَفْعَلْ، صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا»
“Jangan lakukan hal itu. Berpuasalah dan berbukalah, bangun malam dan tidurlah, karena jasadmu memiliki hak yang wajib engkau penuhi, matamu memiliki hak dan istrimu juga memiliki hak yang harus engkau penuhi.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
10. Bersikap adil apabila memiliki istri lebih dari satu
Yakni ia adil dalam perkara lahiriah seperti dalam hal makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan bermalam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ»
“Barang siapa yang memiliki dua istri, lalu ia lebih cenderung kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan badannya miring sebelah.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Etika Istri Bergaul Dengan Suami
1. Menaati perintah suami selama perintahnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya, “Siapakah wanita terbaik?” Beliau menjawab,
«الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ»
“Yang menyenangkan suaminya ketika suami memandangnya, menaatinya ketika suami memerintahkan, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya dengan melakukan hal yang tidak disukai suaminya.” (Hr. Nasa’i, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
«لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي المَعْرُوفِ»
“Tidak ada ketaatan dalam maksiat, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf (baik atau wajar).” (Hr. Bukhari)
«إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ»
“Apabila seorang wanita shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan menaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya, “Masuklah ke surga dari pintu surga mana saja yang engkau inginkan.” (Hr. Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 303)
2. Tidak keluar rumah kecuali dengan izin suaminya
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (Qs. Al Ahzab: 33)
3. Tidak memberi izin orang lain masuk ke rumah suami, kecuali dengan izinnya
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ»
“Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa sedangkan suami ada kecuali dengan izinnya, ia juga tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya kecuali dengan izinnya, dan sesuatu yang diinfakkannya tanpa izinnya –selama tidak merugikan harta suaminya- , maka ia (suami atau istri) memperoleh separuh pahala.” (Hr. Bukhari)
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ،
“Kewajiban mereka kepada kalian adalah mereka tidak mengizinkan orang-orang yang kalian tidak sukai untuk masuk ke rumah kalian (dan duduk di tempat khusus kalian). Jika mereka melakukan hal itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras dan membekas (tidak menimbulkan cacat). Mereka juga punya hak yang kalian harus penuhi, yaitu memberi mereka rezeki dan pakaian secara wajar.” (Hr. Muslim)
4. Menjaga harta suaminya, sehingga ia tidak menginfakkan harta suaminya kecuali dengan izinnya.
Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Dan seorang wanita tidak boleh menginfakkan sesuatu dari rumah (harta suaminya) kecuali dengan izinnya.”
Lalu ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak jugakah makanan?” Beliau bersabda, “Itu adalah harta kita yang paling utama.”
(Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani)
Kecuali jika hanya sedikit menurut uruf (kebiasaan yang berlaku), maka boleh bagi istri bersedekah tanpa harus meminta izin kepadanya. Hal ini berdasarkan hadits Asma binti Abu Bakar, bahwa ia pernah berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Zubair seorang yang keras, terkadang orang miskin datang kepadaku, maka bolehkah aku bersedekah kepadanya dari rumah(harta)nya tanpa izinnya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«ارْضَخِي ، وَلَا تُوعِي فَيُوعِيَ اللهُ عَلَيْكِ»
“Berikanlah sekedarnya, jangan engkau tahan sehingga Allah menahan karunia-Nya kepadamu.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
5. Tidak berpuasa sunah ketika ada suaminya kecuali dengan izinnya
Dalilnya telah disebutkan.
5. Pandai berterima kasih terhadap kebaikan suami dan tidak mengingkarinya
Allah Ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang salihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada  karena Allah telah memelihara (mereka).” (Qs. An Nisaa’: 34)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا، وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ
“(Pada hari Kiamat) Allah tidak akan melihat wanita yang tidak berterima kasih kepada suaminya, padahal ia selalu membutuhkannya.” (Hr. Nasa’i dalam Al Kubra, dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 289)
Beliau juga bersabda, “Aku melihat penghuni neraka kebanyakan adalah kaum wanita.” Para sahabat bertanya, “Mengapa demikian wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kekufuran mereka.” Lalu ada yang bertanya, “Apakah karena mereka kufur kepada Allah?” Beliau bersabda,
يَكْفُرْنَ العَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Mereka kufur kepada suami dan kufur kepada kebaikannya. Jika engkau telah berbuat baik kepadanya sepanjang waktu, lalu ia melihat kesalahan pada dirimu, maka ia berkata, “Aku tidak melihat kebaikan sedikit pun pada dirimu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
6. Berhias untuk suami
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah sebelumnya, yaitu ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang wanita yang terbaik, maka Beliau menjawab, “Yang menyenangkan suaminya ketika suami memandangnya.” (Hr. Nasa’i, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
7. Tidak menyakiti hati suami.
Oleh karena itu, seorang istri tidak marah-marah kepada anak-anaknya di hadapan suami, tidak mendoakan keburukan atas mereka, dan tidak memaki mereka, karena itu semua dapat menyakiti hati suami. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا، إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الحُورِ العِينِ: لَا تُؤْذِيهِ، قَاتَلَكِ اللَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya dari kalangan bidadari berkata, “Celaka engkau! Janganlah engkau sakiti dia, karena dia hanya sekedar tamu di sisimu, dan sebentar lagi dia akan berpisah denganmu dan mendatangi kami.” (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
8. Tidak menolak ajakannya untuk berhubungan intim
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu istri enggan, sehingga suami semalaman marah kepadanya, maka para malaikat akan melaknatnya hingga pagi hari.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
9. Tidak membuka rahasia hubungan intim
Dari Asma binti Yazid radhiyallahu anha bahwa suatu ketika ia pernah di dekat Nabi shallallahu alahi wa sallam, sedangkan kaum laki-laki dan wanita sedang duduk-duduk, lalu Beliau bersabda, “Boleh jadi seorang laki-laki ada yang menyampaikan apa yang dilakukannya dengan istrinya, dan seorang wanita menyampaikan apa yang dilakukannya dengan suaminya?” Maka semua terdiam, lalu aku berkata, “Ya, demi Allah wahai Rasulullah, kaum wanita melakukan hal itu dan kaum laki-laki juga sama.” Beliau bersabda, “Jangan kalian lakukan, perumpamaan hal itu adalah seperti setan laki-laki berjumpa dengan setan perempuan di jalan, lalu ia menyetubuhinya, sedangkan yang lain menyaksikan.” (Hr. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani dalam Adabuz Zifaf).
10.  Tidak meminta talak (cerai) kepada suami tanpa sebab.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ»
“Siapa saja wanita yang meminta talak kepada suami tanpa sebab, maka haram baginya mencium wangi surga.” (Hr. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
«المُخْتَلِعَاتُ هُنَّ المُنَافِقَاتُ»
“Wanita yang meminta talak tanpa sebab yang mendesak adalah wanita munafik.” (Hr. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Kutubus Sittah, Silsilah Ash Shahihah (M. Nashiruddin Al Albani), Al Wajiz  (Abdul Azhim bin Badawi), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), dll.


[i] Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami-istri. Nusyuz dari pihak istri seperti durhaka kepada suami, tidak mau menaatinya, menolak ajakannya ke kasur, dan meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[ii] Maksudnya untuk memberi pelajaran kepada istri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah diawali memberi nasehat. Jika nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka. Jika tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas.

Fiqih Menjamak Shalat

Minggu, 18 November 2018

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫جمع الصلاتين‬‎
Fiqih Menjamak Shalat
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan fiqih menjamak shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Menjamak Shalat
Menjamak shalat maksudnya menggabungkan dua shalat dalam satu waktu.
Boleh bagi orang yang shalat menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar, dan antara shalat Maghrib dan Isya, baik taqdim (di waktu pertama) maupun ta’khir (di waktu kedua) karena beberapa keadaan berikut:
1. Jamak ketika di Arafah dan Muzdalifah
Para ulama sepakat untuk menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak taqdim di waktu Zhuhur ketika berada di Arafah, dan menjamak antara shalat Maghrib dan Isya dengan jamak ta’khir di waktu Isya saat di Muzdalifah karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan demikian.
2. Menjamak ketika safar
Menjamak shalat ketika safar di salah satu waktunya adalah boleh menurut kebanyakan Ahli Ilmu, dan tidak ada bedanya baik ia sudah singgah (sudah berhenti dari perjalanan) maupun masih dalam perjalanan.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ، جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ، أَخَّرَ الظُّهْرَ، حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ، وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلُ ذَلِكَ، إِنْ غَابَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ، جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا
Dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika dalam perang Tabuk saat matahari telah bergeser (ke barat masuk waktu Zhuhur) sebelum Beliau berangkat, maka Beliau menggabung antara shalat Zhuhur dan Ashar (di waktu Zhuhur). Tetapi jika Beliau berangkat sebelum matahari bergeser (belum tiba waktu Zhuhur), maka Beliau menunda shalat Zhuhur hingga singgah untuk shalat Ashar (dengan shalat Zhuhur sebelumya di waktu Ashar). Pada shalat Maghrib juga seperti itu, yakni jika matahari telah terbenam sebelum berangkat, maka Beliau menggabung antara shalat Maghrib dan Isya (di waktu Maghrib), dan jika Beliau berangkat sebelum matahari terbenam, maka Beliau menunda shalat Maghrib hingga singgah untuk shalat Isya (dengan shalat Maghrib sebelumnya di waktu Isya); Beliau menjamak antara keduanya.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadits ini hadits hasan.”)
Dari Kuraib dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Maukah kalian aku beritahukan shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika safar?” Kami menjawab, “Ya, mau.” Ia berkata, “Keadaan Beliau ketika matahari telah bergeser (masuk waktu Zhuhur) di tempatnya, maka Beliau menggabung antara shalat Zhuhur dan Ashar. Demikian juga ketika telah tiba waktu Maghrib di tempatnya, maka Beliau menggabung antara shalat Maghrib dengan Isya. Tetapi ketika belum tiba waktu Maghrib di tempatnya, maka Beliau terus berangkat hingga ketika tiba waktu Isya, maka Beliau turun dan menggabung antara keduanya (shalat Maghrib dan Isya).” (Hr. Ahmad dan Syafi’i dalam Musnadnya, dan di sana ada tambahannya, “Apabila Beliau berangkat sebelum matahari bergeser, maka Beliau menunda shalat Zhuhur hingga Beliau gabung antara shalat Zhuhur dan Ashar di waktu Ashar.” Diriwayatkan pula oleh Baihaqi dengan isnad yang jayyid, ia juga berkata, “Menggabung antara dua shalat karena uzur safar termasuk perkara yang masyhur dan diamalkan di kalangan para sahabat dan tabi’in.”)
Imam Malik meriwayatkan dalam Al Muwaththa dari Mu’adz, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam suatu hari menunda shalat pada perang Tabuk, lalu keluar (dari kemah) dan shalat Zhuhur dan Maghrib dengan dijamak, lalu masuk ke tempatnya, kemudian keluar dan shalat Maghrib dengan Isya dengan dijamak.
Imam Syafi’i berkata, “Ucapannya “Lalu masuk kemudian keluar” menunjukkan telah singgah.
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni setelah menyebutkan hadits ini berkata, “Ibnu Abdil Bar berkata, “Hadits ini shahih dan kuat isnadnya. Para Ahli Sejarah menyatakan, bahwa perang Tabuk terjadi pada tahun ke-9 H. Dalam hadits ini terdapat dalil yang nyata dan hujjah yang kuat sebagai bantahan terhadap mereka yang mengatakan ‘tidak boleh jamak kecuali jika perjalanan berat dan bersegera’ karena Beliau menjamak saat sudah singgah; tidak masih dalam perjalanan, dan sudah berada di kemahnya; Beliau keluar dan shalat dua waktu secara jamak, lalu kembali ke kemahnya.” Imam Muslim juga meriwayatkan hadits tersebut dalam Shahihnya, di sana disebutkan, “Beliau shalat Zhuhur dan Ashar dengan dijamak, shalat Maghrib dan Isya dengan dijamak.” Berpegang dengan hadits adalah sesuatu yang seharusnya karena sahihnya, tegas dalam hukumnya, dan tidak ada yang menyelisihi. Di samping itu, jamak juga merupakan salah satu rukhshah (keringanan) dalam safar, sehingga tidak khusus dalam safar kondisi tertentu, sama seperti mengqashar dan mengusap sepatu, akan tetapi lebih utama adalah menta’khirkan.”
Dan tidak disyaratkan harus meniatkan untuk jamak dan qashar (mengurangi shalat 4 rakaat menjadi dua). Ibnu Taimiyah berkata, “Ini adalah pendapat jumhur ulama. Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika shalat dengan para sahabatnya baik dengan jamak maupun qashar tidak menyuruh seorang pun di antara mereka untuk berniat jamak maupun qashar, bahkan Beliau keluar dari Madinah ke Mekkah dan shalat dua rakaat tanpa menjamak; Beliau shalat Zhuhur bersama para sahabat di Arafah dan tidak memberitahukan mereka bahwa Beliau akan shalat Ashar setelahnya, lalu Beliau shalat Ashar, sedangkan mereka sebelumnya tidak berniat menjamak. Inilah jamak taqdim. Demikian pula ketika Beliau keluar dari Madinah dan shalat Ashar dua rakaat dengan para sahabat di Dzulhulaifah, Beliau tidak menyuruh mereka berniat qashar.”
Adapun muwalah (berurutan segera) antara dua shalat yang dijamak, maka yang sahih tidak disyaratkan demikian, baik di waktu pertama maupun waktu kedua, karena tidak ada batasan dalam syara. Di samping itu, harus memperhatikan hal itu dapat menggugurkan maksud adanya rukhshah (keringanan). Imam Syafi’i berkata, “Kalau seseorang shalat Maghrib di rumahnya dengan niat menjamak, lalu datang ke masjid, kemudian shalat Isya, maka boleh.”
Diriwayatkan sama seperti ini dari Imam Ahmad.
3. Menjamak karena hujan
Al Atsram meriwayatkan dalam Sunannya dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa ia berkata, “Termasuk Sunnah ketika hari turun hujan menggabung antara shalat Maghrib dan Isya.”
Dari Nafi, bahwa Abdullah bin Umar ketika para pemimpin menggabung antara shalat Maghrib dan Isya, maka ia juga ikut menggabung shalat bersama mereka.
Dari Hisyam bin Urwah, bahwa ayahnya, yaitu Urwah, Sa’id bin Al Musayyib, Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam bin Mughirah Al Makhzumi mereka semua menjamak antara shalat Maghrib dan Isya pada malam ketika turun hujan; mereka tidak mengingkari hal itu. (Diriwayatkan oleh Malik, lihat Al Irwa 3/40)
Dari Musa bin Uqbah, bahwa Umar bin Abdul Aziz menggabung antara shalat Maghrib dan Isya ketika turun hujan. Demikian juga Sa’id bin Musayyib, Urwah bin Az Zubair, dan Abu Bakar bin Abdurrahman, serta para syaikh zaman itu ikut shalat bersama mereka dan tidak mengingkari hal itu. (Diriwayatkan oleh Baihaqi, lihat Al Irwa 3/40).
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat Zhuhur dan Ashar dengan dijamak, demikian pula shalat Maghrib dan Isya dengan dijamak bukan karena khauf (ada hal yang mengkhawatirkan) dan bukan karena safar.” (Shahihul Jami no. 1068)
Ibnu Abbas juga berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggabung antara shalat Zhuhur dan Ashar, dan shalat Maghrib dengan Isya di Madinah bukan karena khauf maupun karena hujan.” (Hr. Muslim, Nasa’i, dan Abu Dawud)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa menjamak ketika hujan adalah hal yang sudah dikenal di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jika tidak demikian, tentu tidak ada faedahnya ditiadakan hujan sebagai sebab yang membolehkan jamak, demikian yang dijelaskan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi dalam Al Wajiz.
Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bolehnya bagi mukim menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar, serta antara shalat Maghrib dan Isya degan jamak taqdim saja dengan syarat turun hujan saat takbiratul ihram dalam shalat yang pertama sampai selesai, dan hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.
Menurut Imam Malik, boleh melakukan jamak taqdim di masjid antara shalat Maghrib dengan Isya karena hujan yang turun atau akan turun, demikian pula karena banyak lumpur di jalan dengan suasana yang gelap jika tanah berlumpur sangat banyak yang memberatkan manusia ketika mengenakan sandal, namun ia memakruhkan menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar karena hujan.
Menurut ulama madzhab Hanbali, bahwa boleh menggabung antara shalat Maghrib dengan Isya saja baik dengan jamak taqdim maupun ta’khir karena ada salju, air yang membeku, lumpur, dingin yang sangat, dan hujan yang membasahi baju, dan bahwa rukhshah ini khusus bagi orang yang shalat berjamaah di masjid yang datang dari tempat yang jauh, dimana ia merasa terganggu dengan hujan yang mengguyur jalan. Adapun bagi orang yang berada di masjid atau shalat di rumahnya secara berjamaah atau berjalan ke masjid sambil mengenakan pelindung tubuh, atau masjid berada di pintu rumahnya, maka tidak boleh menjamak.
Ibnu Taimiyah berkata, “Boleh menjama’ shalat karena (jalan) berlumpur banyak, angin kencang di malam yang gelap dan sebagainya meskipun hujan tidak turun menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama, dan hal itu lebih baik dilakukan daripada shalat di rumahnya, bahkan meninggalkan menjama’ shalat dan shalat di rumah adalah bid’ah menyelisihi Sunnah, karena Ssunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat lima waktu di masjid-masjid dengan berjama’ah, dan hal itu lebih baik daripada shalat di rumah dengan kesepakatan kaum muslimin. Shalat di masjid-masjid dengan menjama’ adalah lebih baik daripada shalat di rumah-rumah meskipun dipisah (tidak dijama’) menurut kesepakatan para imam yang membolehkan jama’ seperti Malik, Syafi’i dan Ahmad.”
Syaikh Abu Bakr Al Jaza’iriy berkata, “Sebagaimana bagi penduduk suatu kampung boleh menjamak Maghrib dan Isya di masjid ketika malam hujan, dingin yang sangat atau angin (kencang), ketika mereka kesulitan balik lagi untuk shalat Isya di masjid, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Maghrib dan ‘isya pada malam yang hujan.” (Minhajul Muslim hal. 190)
Faedah/Catatan:
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz pernah ditanya[i],
“Terkadang ketika menjamak antara  shalat Maghrib dan Isya karena hujan, ada sebagian jamaah yang hadir (terlambat), ketika itu imam melakukan shalat Isya, orang-orang itu (yang datang terlambat) langsung masuk ke dalam shalat bersama imam dengan mengira bahwa ia (imam) shalat Maghrib, lalu apa sikap yang harus mereka lakukan ?”
Ia menjawab, “Mereka harus duduk setelah rakaat ketiga (tidak bangkit bersama imam), membaca tasyahhud dan doa lalu melakukan salam bersama imam[ii]. Kemudian mereka lakukan shalat Isya setelah itu untuk mencapai keutamaan jamaah dan mengerjakan shalat secara tertib dimana hal itu wajib…dst.”
4. Menjamak karena sakit atau ada uzur
Imam Ahmad, Al Qadhi Husain, Al Khaththabi, dan Al Mutawalli salah seorang ulama madzhab Syafi’i berpendapat bolehnya menjamak shalat baik taqdim maupun ta’khir karena uzur sakit, karena kesulitan pada saat sakit lebih berat daripada hujan. Imam Nawawi berkata, “Hal ini sangat kuat sekali dalilnya.”
Dalam Al Mughni disebutkan, “Sakit yang membolehkan jamak adalah sakit yang ketika seseorang shalat merasakan kesulitan dan kelemahan.”
Ulama madzhab Hanbali memperluas lagi sebabnya. Mereka membolehkan jamak baik taqdim maupun ta’khir bagi orang yang beruzur dan bagi orang yang sakit. Mereka membolehkan wanita yang menyusui yang kesulitan mencuci pakaian di setiap waktu shalat dan wanita yang terkena darah istihadhah (darah penyakit), orang yang beser, dan orang yang tidak sanggup bersuci, serta orang yang mengkhawatirkan bahaya terhadap diri, harta, atau kehormatannya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Madzhab yang paling luas dalam hal jamak adalah madzhab Imam Ahmad; ia membolehkan jamak karena ada kesibukan sebagaimana dalam riwayat Nasa’i yang bersumber dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahkan menurutnya boleh menjamak bagi juru masak, tukang roti, dan sebagainya yang khawatir rusak hartanya.
5. Jamak karena ada kebutuhan (mendesak)
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim berkata, “Jamaah para imam berpendapat bolehnya menjamak ketika hadhar (tidak safar) karena ada kebutuhan selama tidak menjadikannya sebagai kebiasaan.”
Ini adalah pendapat Ibnu Sirin, Asyhab di antara kawan Imam Malik, dan Al Khaththabi menukil demikian dari Al Qaffal dan Asy Syasyi Al Kabir dari kalangan madzhab Syafi’I, juga dari Abu Ishaq Al Marwazi, Jamaah dari kalangan Ahli Hadits, serta menjadi pilihan Ibnul Mundzir.
Hal ini diperkuat oleh zhahir perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya,” di sana tidak disebutkan alasannya baik karena sakit atau sebab lainnya.
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata,
«جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَرٍ»
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zhuhur dan Ashar, shalat Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena khauf (khawatir sesuatu) dan bukan pula karena hujan.”
Lalu Ibnu Abbas ditanya sebabnya, ia menjawab, “Beliau tidak ingin menyusahkan umatnya.”
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat di Madinah tujuh rakaat (dengan dijamak) dan delapan rakaat (dengan dijamak), yaitu shalat Zhuhur dan Ashar, serta shalat Maghrib dan Isya.
Dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Syaqiq ia berkata, “Suatu hari Ibnu Abbas pernah berkhutbah di hadapan kami setelah shalat Ashar hingga matahari akan tenggelam dan telah tampak bintang-bintang, lalu orang-orang berkata, “Shalat dulu-shalat dulu!” Ada seorang dari Bani Tamim yang datang kepadanya dan terus mengucapkan, “Shalat dulu-shalat dulu!” Maka Ibnu Abbas berkata, “Celaka kamu! Apakah engkau hendak mengajarkanku Sunnah?” Lalu ia (Ibnu Abbas) berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar, serta shalat Maghrib dan Isya.”
Abdullah bin Syaqiq berkata, “Keterangan Ibnu Abbas itu masih menyisakan pertanyaan di hatiku, maka aku mendatangi Abu Hurairah, lalu ia membenarkan pernyataan Ibnu Abbas.”
Catatan:
Dalam Al Mughni disebutkan, “Apabila seseorang sudah melakukan dua shalat pada waktu pertama, lalu hilang uzur setelah selesai melakukannya sedangkan waktu kedua belum masuk, maka sudah cukup shalatnya dan tidak harus melakukan shalat lagi di waktu kedua, karena shalat dilakukan dalam keadaan sah dan cukup, dan telah lepaslah tanggung jawabnya sehingga tidak ada tanggungan lagi. Di samping itu, ia juga mengerjakan shalat fardhu di saat ada uzur sehingga tidak batal ketika uzur itu hilang setelahnya. Hukumnya sama seperti orang yang bertayammum kemudian memperoleh air setelah selesai shalat.”  
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh S. Sabiq), Al Wajiz (Abdul Azhim bin Badawi),  Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 345, dll.


[i] Fatawa muhimmah tata’allaq bish shalaah hal. 96.
[ii] Mungkin Syaikh Ibnu Baz mengqiaskan dengan shalat khauf –wallahu a’lam-.

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger