بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh
Syarikah (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang syarikah, kami
berharap kepada Allah agar Dia menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahhumma aamin.
G. Syarikah hewan
Ibnul Qayyim berpendapat bolehnya
syarikah dalam hewan, yakni hewan tersebut milik orang lain, lalu ada orang
lain yang siap mengurusnya dengan syarat keuntungan dibagi sesuai kesepakatan.
Dalam I'laamul Muwaqqi'iin disebutkan, "Menurut kami diperbolehkan
mughaarasah terhadap pohon kelapa atau lainnya, yakni ia menyerahkan tanahnya
dan berkata, "Tanamlah pohon ini dan itu, nanti hasilnya dibagi dua di
antara kita.” Hal ini sebagaimana bolehnya menyerahkan hartanya untuk
didagangkan dan nantinya keuntungan dibagi antara keduanya. Demikian juga sama
seperti menyerahkan tanah agar nanti ditanami dan hasil tanaman dibagi antara
keduanya, demikian juga sama seperti menyerahkan sebuah pohon untuk diurus dan
nanti buahnya dibagi di antara keduanya, dan sebagaimana (diperbolehkan juga)
menyerahkan sapi, kambing atau unta untuk diurus dan nanti susu serta anaknya
dibagi antara keduanya. Demikian juga sama seperti menyerahkan zaitun agar
diperas dan nantinya minyak dibagi di antara keduanya, sebagaimana (boleh juga)
menyerahkan hewannya untuk dipekerjakan dan nantinya upah yang diperoleh dibagi
di antara keduanya, sama seperti menyerahkan kudanya untuk berperang dan
nantinya bagian yang diperoleh dibagi di antara keduanya. Demikian juga seperti
ia menyerahkan pipa untuk mengambil air, dan nantinya air itu dibagi dua dan
hal-hal lain yang sama seperti itu. Semua syarikah ini adalah sah, telah
ditunjukkan kebolehannya oleh nash, qias, kesepakatan sahabat dan maslahat
manusia, dan tidak ada di sana
hal yang mengharuskan untuk diharamkan baik dari Al Qur'an, As Sunnah, Ijma',
Qiyas, maslahat dan makna yang shahih yang mengharuskan batalnya. Orang yang
melarang hal itu beralasan bahwa semua itu mereka kira termasuk ijarah,
sedangkan bayarannya majhul (tidak diketahui) sehingga menjadi batal. Kemudian
di antara mereka ada yang membolehkan musaaqaah dan muzaara'ah karena ada nas yang
datang tentangnya, dan membolehkan mudharabah berdasarkan ijma' tidak
selainnya. Di antara mereka ada yang hanya membolehkan mudharabah, ada juga
yang membolehkan hanya sebagian bentuk dari musaqah dan muzaara'ah, di antara
mereka juga ada yang tidak membolehkan jika sebagian asal kembali kepada 'amil
(pekerja) seperti alat takar tukang penggiling, dan membolehkan jika hasil
kembali kepadanya dengan masih tetapnya asal seperti susu dan anak-anaknya,
yang benar adalah bahwa semuanya adalah boleh. Inilah yang sesuai dengan
prinsip syari'at dan ka'idahnya, karena ia termasuk syarikah di mana si pekerja
sebagai sekutu bagi pemiliknya. Orang ini mengeluarkan harta, sedangkan orang
itu bekerja, dan rezeki yang Allah anugrahkan daripadanya maka dibagi di antara
keduanya. Hal ini menurut beberapa orang di antara kawan-kawan kami lebih layak
dibolehkan daripada ijarah (sewa) sampai-sampai Syaikhul Islam berkata,
"Syarikah ini lebih halal daripada ijarah,” ia berkata, "Hal itu,
karena dalam ijarah seorang penyewa menyerahkan hartanya, di mana kadang
maksudnya tercapai dan terkadang tidak, sehingga yang disewa untung dengan
harta itu sedangkan si penyewa berada dalam bahaya, karena bisa saja tanaman
sempurna atau gagal berbeda dengan syarikah, di mana dua orang sekutu untung
dan tidaknya sama, jika Allah memberi rezeki berupa hasil daripadanya maka
dibagi di antara keduanya, jika ternyata tidak memperoleh hasil, maka keduanya
sama-sama tidak memperoleh apa-apa. Hal ini merupakan keadilan yang sangat
tinggi. Tidak mungkin syari'at datang menghalalkan ijarah namun mengharamkan
syarikah seperti ini. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri merestui
mudharabah yang biasa terjadi sebelum Islam, sehingga para sahabatnya melakukan
mudharabah di masa Beliau maupun setelahnya. Umat pun sepakat tentang
kebolehannya. Beliau juga pernah menyerahkan Khaibar kepada orang-orang Yahudi
agar mereka mengurus dan memakmurkannya
dengan harta mereka dan nanti Beliau mendapatkan separuhnya, baik buah atau
tanaman. Adapun hal ini sama seperti itu. Selanjutnya, Beliau tidak menghapus,
tidak melarang dan para khalifah raasyidah serta para sahabat setelahnya juga
tidak melarang. Bahkan mereka melakukannya dengan menyerahkan tanah dan harta
kepada orang yang mengurusnya dengan imbalan hasil daripadanya, sedangkan
mereka sibuk berjihad dan lainnya. Tidak ada nukilan dari seorang pun di antara
mereka adanya larangan selain apa yang dilarang Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam saja." Kemudian ia berkata, "Oleh karena itu, tidak haram
selain yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, sedangkan Allah dan Rasul-Nya
tidaklah mengharamkan yang demikian, adapun kebanyakan para fuqaha melarangnya,
apabila seseorang dihadapkan hal seperti ini, dengan siapa dia berhujjah dalam
hal mengharamkan, yang ini yang disebutkan dalam kitab sedangkan yang itu
berdasarkan kata-kata mereka dan tidak ada yang menunjukkan kepadanya orang
yang melakukannya, padahal maslahat umat tidak bisa tegak tanpanya, sehingga ia
mencari jalan dengan berbagai upaya agar dapat sampai kepadanya. Jika demikian,
maka hal itu merupakan sikap mencari celah untuk mengerjakan apa yang
dibolehkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak diharamkannya kepada umat ini."
Beberapa contoh
syarikah yang diperbolehkan
Ibnu Qudamah menyebutkan
beberapa contoh syarikah yang diperbolehkan, ia berkata dalam Al Mughni, “Jika
tukang pemutih pakaian punya alat, sedangkan yang lain punya rumah, lalu
kedua-duanya bersekutu untuk bekerja menggunakan alat tersebut dan tempatnya di
rumah yang punya rumah tadi, dan usahanya dibagi antara keduanya, maka boleh,
sedangkan upahnya sesuai kesepakatan mereka berdua. Hal itu, karena syarikah
terjadi dengan kedua amalnya, sedangkan dengan amal/kerja seseorang berhak
memperoleh untung dalam syarikah. Adapun
dengan alat dan rumah tidaklah berhak apa-apa, karena keduanya hanyalah dipakai
untuk pekerjaan yang disekutui sehingga keduanya sama seperti dua hewan yang
disewa untuk membawa sesuatu yang siap dibawa. Jika syarikah batal, maka dibagi
hasilnya sesuai besar kecilnya kerja, biaya rumah dan alat. Jika yang satu
punya alat, sedangkan yang yang satunya lagi tidak punya apa-apa atau yang satu
punya rumah sedangkan yang satunya lagi tidak memiliki apa-apa, lalu keduanya
sepakat untuk bekerja dengan alat yang ada atau di rumah tersebut, dan upahnya
dibagi antara keduanya, maka boleh sebagaimana telah kami terangkan.
Ibnu Qudamah juga berkata,
"Jika seorang menyerahkan hewannya kepada orang lain agar orang lain itu
bekerja dengannya dan hasil yang dianugrahkan Allah dibagi 1/2, 1/3 atau berapa
saja yang mereka syaratkan maka sah.
Telah ada nash pada riwayat Al Atsram, Muhammad bin Abi Harb, Ahmad bin
Sa'id dan ada nukilah dari Al Auzaa'iy yang menunjukkan hal itu. Namun Al Hasan
dan An Nakha'iy memakruhkan hal itu,
adapun Imam Syafi'i, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir dan para pemegang ra'yu
berpendapat bahwa hal itu tidak sah, keuntungan semuanya diperuntukkan kepada
pemilik harta, karena memikul itulah yang berhak memperoleh ganti, sedangkan si
pekerja memperoleh upah mitsil (standar), karena hal itu bukan termasuk
syarikah kecuali jika sebagai mudharabah, dan mudharabah tidaklah sah dengan
barang. Karena mudharabah hanya mendagangkan barang, sedangkan yang ini tidak
boleh dijual dan dikeluarkan dari kepemilikan pemiliknya. Al Qaadhiy berkata,
"Hasilnya bahwa hal itu tidak sah karena mudharabah dengan barang tidak
sah, dengan demikian jika upah dari hewan karena hewan itu sendiri, maka upah
itu untuk pemiliknya dan jika ia bisa memikulkan sesuatu, lalu ia memikulkannya
di atasnya atau mengangkut sesuatu yang mubah di atasnya lalu dijual, maka upah
dan bayaran adalah untuk pemiliknya dan si pekerja hanya memperoleh upah mitsil
(standar) yang diberikan pemiliknya." Adapun menurut kami bahwa hal itu merupakan
barang yang berkembang dengan dipekerjakan sehingga sah saja diakadkan dengan
memperoleh sebagian dari hasil perkembangannya seperti beberapa dirham, dinar,
dan seperti halnya pohon dalam musaaqaah dan tanah dalam muzara'ah. Adapun
pendapat mereka bahwa hal itu bukanlah termasuk bagian syarikah dan bukan mudharabah,
maka kami jawab, "Ya, akan tetapi ia mirip seperti musaaqaah dan
muzaara'ah, karena ia menyerahkan harta itu kepada orang yang akan
mengerjakannya dengan memperoleh hasil dari berkembangnya namun tetap
barangnya. Dengan demikian nyatalah bahwa mengeluarkannya hanya karena sama seperti
mudharabah dengan barang adalah batal, karena mudharabah hanyalah dengan
didagangkan dan diolah dalam harta, sedangkan hal ini berbeda.”
Ibnu Qudamah juga berkata, "Abu Dawud menukilkan
dari Ahmad tentang orang yang menyerahkan kudanya agar nanti pemiliknya
memperoleh separuh dari ghanimah, ia menjawab, "saya harap tidak
apa-apa." Ishaq bin Ibrahim berkata, Abu Abdillah berkata, "Jika
hasilnya dibagi 1/2 atau 1/4 maka boleh,” dan inilah yang dipegang oleh Al
Auzaa'iy. Ia juga berkata, "Mereka (yakni sebagian fuqaha) berkata,
"Jika diserahkan jaring kepada penjaring ikan untuk menjaring ikan dan
nanti dibagi hasilnya separuh, maka hasil tangkapan itu untuk penjaring
sedangkan pemilik jaring hanyalah memperoleh upah mitsil (standar). Tetapi
qiyas yang disebutkan dari Ahmad menunjukkan sah syarikah itu dan rezeki yang
diperoleh dibagi sesuai syarat, karena ia merupakan barang yang dikembangkan
dengan kerja, sehingga sah saja diserahkan dan nanti ia memperoleh sebagian hasilnya
sebagaimana pada tanah."
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al Mulakhkhash
Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar dll.
0 komentar:
Posting Komentar