Tanya-Jawab Masalah Agama (8)

Senin, 22 Februari 2021

 بسم الله الرحمن الرحيم



Tanya-Jawab Masalah Agama (8)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut tanya jawab berbagai masalah aktual, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

29. Pertanyaan: Assalamu alaikum Ustadz, afwan teman saya ada yang bertanya mengenai hukum reseller dan dropship bagaimana ya? Jazakallahu khai Ustadz.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Pada dasarnya hukum jual beli adalah halal sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

Dalam jual beli ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, di antaranya: 1. Saling ridha (tanpa ada paksaan) sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Qs. Al Baqarah: 29)

2. Tidak ada unsur riba, dalilnya seperti yang sudah disebutkan di atas.

3. Tidak ada tipuan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا، فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ: «مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟» قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: «أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ، مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي»

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melewati tumpukan makanan, lalu Beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan itu dan didapatinya jari-jarinya basah, maka Beliau bertanya, “Ada apa ini wahai pemilik makanan?” Ia mengatakan, “Terkena air hujan wahai Rasulullah,” maka Beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak letakkan di atas makanan agar diketahui manusia. Barang siapa yang menipu bukan termasuk golonganku.” (Hr. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

4. Barangnya bukan barang haram, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ»

"Sesunguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan patung." (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Tidak ada unsur gharar (ketidakjelasan).

Dalilnya hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli hashat (lemparan batu, seperti bagian yang kena lemparan batu itu yang jadi dibeli) dan jual beli gharar.

6. Tidak boleh menjual barang yang belum diterima.

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang barang langsung dijual dari tempat pembelian sampai dibawa para pedagang ke tempat mereka (Hr. Abu Dawud dan Daruquthni, dhasankan oleh Al Albani)

Sekarang kita perhatikan reseller dan dropship.

Reseller adalah model bisnis dimana penjual tidak harus mempunyai stok barang ketika bertransaksi dengan pelanggan. Namun seorang reseller harus sudah bekerjasama dengan pemilik toko apabila ada pesanan datang sehingga mendapatkan potongan harga.

Sedangkan dropship adalah model bisnis dimana pihak ketiga (di luar pemilik dan pembeli) bekerjasama dengan pemilik toko untuk menjualkan produk mereka. Namun, sang dropshipper tidak berhak untuk menentukan harga sebab sang pemilik produk yang akan melakukan pengiriman barang. Dengan kata lain, dropshipper hanya sebagai perantara saja.

Jika kita perhatikan gambaran reseller seperti yang diterangkan di atas, kita dapat mengetahui bahwa pada reseller barang yang dijual belum ada atau belum dimiliki, sedangkan dalam hadits disebutkan,

عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ؟ فَقَالَ: «لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»

Dari Hakim bin Hizam ia berkata, “Wahai Rasulullah, ada seorang yang hendak membeli sesuatu dariku namun tidak ada padaku, maka bolehkah aku belikan untuknya dari pasar?” Maka Beliau bersabda, “Janganlah engkau jual barang yang tidak ada pada sisimu.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)

Oleh karena itu, jika belum memiliki barang tidak boleh mengiklankan barang itu dan menerima langsung akad jual beli sampai barangnya ada.

Namun jika kedudukannya sebagai wakil pemilik toko, maka boleh. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

عَنْ عُرْوَةَ ابْنِ أَبِي الْجَعْدِ الْبَارِقِيَّ، قَالَ: «أَعْطَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِينَارًا يَشْتَرِي بِهِ أُضْحِيَّةً، أَوْ شَاةً فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ كَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ»

Dari Urwah bin Abil Ja’d Al Bariqi ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan hewan kurban atau seekor kambing, lalu ia membeli dua kambing, kemudian menjual salah satu kambing itu seharga satu dinar, kemudian ia datang kepada Beliau dengan membawa seekor kambing dan satu dinar, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendoakan keberkahan untuknya, sehingga jika seandainya ia membeli debu, ia bisa mendapatkan keuntungan di dalamnya.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Namun jika sebagai wakil, dia tidak boleh menyalahi apa yang diminta pihak yang diwakili, sehingga dia tidak boleh menetapkan harga sendiri ketika menjual barang tanpa izin dari supplier atau pemilik toko.

Adapun pada Dropship jika sebagai perantara atau makelar (dalam bahasa disebut simsar), maka hukumnya boleh, yaitu seseorang menjadi perantara antara penjual dan pembeli kemudian mendapatkan fee atau upah dari jasanya tersebut.

Imam Bukhari berkata, “Ibnu Sirin, Atha, Ibrahim, dan Al Hasan tidak mempermasalahkan simsar.”

Ibnu Abbas berkata, “Tidak mengapa seseorang berkata,”Juallah pakaian ini, jika lebih sekian dan sekian maka kelebihan itu untukmu.”

Ibnu Sirin berkata, “Jika seorang berkata, “Juallah barang ini dengan harga sekian. Untungnya untukmu sekian atau dibagi antara aku dan kamu,” maka hal ini tidak mengapa.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ»

“Kaum muslimin sesuai syarat kesepakatan yang diadakan di antara mereka.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)

Jika Dropshipper sebagai wakil, maka berlaku hukum wakil seperti yang diterangkan sebelumnya, uang juga diserahkan dan ia bisa mendapatkan fee atau upah, sehingga statusnya sebagai wakalah bil ujrah (ada imbalan terhadap jasanya).

Dan jika pada prakteknya menggunakan akad salam/salaf atau ada pesanan (pre order), yakni akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang sudah disepakati yang tidak menimbulkan pertengkaran dengan pembayaran tunai pada saat akad berlangsung kemudian barang dikirim nanti pada waktu yang ditentukan. Hal ini boleh. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ، فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ، وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ»

“Barang siapa yang melakukan salam pada suatu barang, maka hendaknya dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan sampai waktu yang jelas.”

Kesimpulan:

Jika seseorang tidak memiliki barang, atau tidak dapat menerima barang yang dibelinya sebelum menjualnya, atau belum menerima bayaran penuh dari pembeli, maka tidak bisa dilakukan transaksi jual beli kecuali sebagai wakil.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Maraji: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy) , https://www.islamweb.net/ar/fatwa/196515/ , https://www.alukah.net/sharia/0/49957/ , https://islamqa.info/ar/answers/259320/%D9%8A%D8%A8%D9%8A%D8%B9-%D8%B9%D9%84%D9%89-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D9%86%D8%AA%D8%B1%D9%86%D8%AA-%D8%B3%D9%84%D8%B9%D8%A9-%D9%84%D8%A7-%D9%8A%D9%85%D9%84%D9%83%D9%87%D8%A7-%D9%88%D9%8A%D8%B7%D9%84%D8%A8-%D9%85%D9%86-%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%88%D8%B2%D8%B9-%D8%B4%D8%AD%D9%86%D9%87%D8%A7-%D9%85%D8%A8%D8%A7%D8%B4%D8%B1%D8%A9-%D9%84%D9%84%D8%B2%D8%A8%D9%88%D9%86    https://stai-persis-bandung.ac.id/artikel-298-Hukum-Jual-Beli-Online-dengan-Sistem-Dropship-dalam-Islam.html , https://rumaysho.com/25175-solusi-syari-untuk-reseller-dan-dropshipper.html , dll.

Mengenal Manhaj Salaf

Rabu, 03 Februari 2021

 بسم الله الرحمن الرحيم



Mengenal Manhaj Salaf

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut pembahasan tentang manhaj salaf, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Pengantar

Manhaj As Salaf Shalih seperti kapal Nabi Nuh alaihis salam; siapa yang menaikinya akan selamat, sebaliknya yang meninggalkannya akan membawanya kepada kebinasaan. Yang demikian adalah karena Manhaj As Salaf Ash Shalih itulah Islam yang shahih.

Manhaj As Salaf Ash Shalih tidak seperti kaum Khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darahnya. Tidak juga seperti kaum Murji’ah yang menyingkirkan amal dari bagian iman.

Demikian pula manhaj As Salaf Ash Shalih tidak seperti kaum Mu’tazilah yang mendahulukan akal di atas wahyu. Tidak juga seperti Kaum Sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara dan dengan kehidupan sehiari-hari.

Kita mengetahui bahwa manhaj salaf itulah Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, karena salaf adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat, dan para tabiin.

Para sahabat radhiyallahu anhum adalah orang yang lebih memahami Islam. Mereka menerima agama ini; Al Qur’an dan As Sunnah langsung dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam; mereka mengimaninya, menerimanya, memahaminya, dan mengamalkannya. Kemudian cara beragama yang benar ini diikuti oleh para tabiin, lalu diikuti oleh Ahlussunnah wal Jamaah setelahnya sepanjang zaman. Inilah yang dimaksud manhaj.

Sejak dahulu telah bermunculan kelompok-kelompok yang menyelisihi manhaj Salaf atau Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti Khawarij, Qadariyyah, Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan seterusnya.

Definisi Manhaj As Salaf Ash Shalih

Manhaj secara bahasa artinya jalan yang terang dan lurus, baik kongkret (nyata) maupun abstrak (maknawi).

Sedangkan secara istilah adalah kumpulan kaidah umum atau khusus (terkait masalah tertentu), serta ushul (prinsip-prinsip) yang diambil dari Al Qur’an dan as Sunnah.

Kata manhaj disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

“Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Qs. Al Maidah: 48)

Dalam As Sunnah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا

“Kenabian akan ada di tengah-tengah kalian sesuai yang Allah kehendaki, lalu Allah mengangkatnya ketika Dia menghendakinya. Selanjutnya diteruskan oleh khilafah di atas jalan kenabian, dan hal itu terus berlangsung sesuai yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Dia menghendaki untuk mengangkatnya.” (Hr. Ahmad, dan dinyatakan isnadnya hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)

Maksudnya adalah khilafah itu berjalan di atas jalan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, yaitu para Khulafa Rasyidin radhiyallahu anhum.

Adapun ‘As Salaf’ secara bahasa artinya orang-orang terdahulu. Kata salaf juga disebutkan dalam Al Qur’an maupun As Sunnah.

Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلْآخِرِينَ

“Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian.” (Qs. Az Zukhruf 56)

Dalam ayat ini salaf diartikan dengan ‘pelajaran’.

Dalam hadits, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ أَرَى الأَجَلَ إِلَّا قَدِ اقْتَرَبَ، فَاتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي، فَإِنِّي نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

“Sepertinya ajal telah dekat, maka bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, karena sebaik-baik salaf bagimu adalah aku.” (Hr. Muslim)

Adapun secara istilah, salaf artinya generasi pertama umat ini yang terdiri dari para sahabat dan para imam yang berada di atas petunjuk pada tiga generasi pertama Islam, dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan bahwa mereka sebagai sebaik-baik umat ini, Beliau bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalalah pada generasiku, kemudian setelahnya dan setelahnya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, manhaj salaf adalah jalan atau cara beragama generasi pertama Islam baik dalam berakidah, beribadah, berakhlak, maupun bermuamalah.

Dalam akidah, misalnya dalam masalah Tauhid, dalam hal iman kepada hal-hal gaib, qadha dan qadar, yakni akidah mereka terkait qadha dan qadar, dsb.

Dalam beribadah, misalnya pengamalan mereka terhadap sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak berbuat bid’ah di dalamnya.

Termasuk pula tentang sumber rujukan mereka dalam beragama, dst.

Nama Lain Salaf

Nama lain salaf adalah Ahlussunnah wal Jama’ah, At Thaifah Al Manshurah, Ahlul Hadits wal Atsar, Ahlul Ittiba, dan Al Firqah An Najiyah.

Ahlussunnah wal Jama’ah

Mereka disebut Ahlussunnah wal Jama’ah karena berpegang dengan As Sunnah dan berhimpun di atasnya serta tidak berpecah belah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “As Sunnah yang wajib diikuti, dipuji pelakunya, dan dicela orang yang menyelisihinya adalah sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam baik dalam masalah akidah, ibadah, dan masalah agama lainnya. Hal itu dapat diketahui dengan melihat hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Lalu bagaimana diketahui Sunnah itu? Yaitu dengan melihat hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terkait dengan sabda maupun perbuatannya, serta ucapan atau perbuatan yang ditinggalkan Beliau. Selanjutnya memperhatikan apa yang dipegang generasi pertama Islam dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik.” (Majmu Fatawa 3/378)

Ahlussunnah berpegang dengan As Sunnah dan tidak berbuat bid’ah. Dan mereka tidak berkelompok-kelompok; dimana masing-masing kelompok ada amir(pemimpin)nya, bai’atnya, thariqah (jalan) dan manhaj tertentu dalam beragama. Salaf atau Ahlussunnah tidaklah demikian, bahkan salaf adalah satu kesatuan umat.

Memang di tengah-tengah Ahlussunnah ada imam (pemerintah), ada ulama yang mengajarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, ada komandan pasukan yang berjihad di jalan Allah dan berbaiat untuk berperang di jalan Allah, namun ini adalah baiat khusus; bukan baiat umum, seperti dalam peperangan. Demikian pula di tengah-tengah mereka ada ahli ibadah dan orang-orang yang zuhud.

Hal itu, karena salaf adalah satu umat; tidak berkelompok-kelompok meskipun di antara mereka ada yang ahli di bidang tertentu, bahkan di kalangan sahabat ada yang ahli pada bidang-bidang tertentu seperti Zaid di bidang Faraidh, Ali di bidang peradilan, Mu’adz dalam hal fiqih halal dan haram, Ubay bin Ka’ab di bidang qiraat, Khalid dalam hal jihad, dan Umar dalam berpolitik yang syar’i.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Berkumpulnya badan tidaklah berpengaruh apa-apa dan tidak mengandung arti apa-apa kecuali jika bersama dalam hal halal dan haram serta ketaatan. Dan orang yang berpendapat seperti pendapat jamaah kaum muslimin, maka berarti ia telah berpegang dengan jamaah mereka, dan orang yang menyelisihi apa yang dipegang jamaah kaum muslimin, maka berarti ia telah menyelisihi jamaah yang mereka diperintahkan untuk bersama dengannya.”

Imam Abu Syamah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Ketika ada perintah berpegang dengan Al Jamaah, maka maksudnya berpegang dengan kebenaran dan mengikutinya, meskipun yang berpegang hanya sedikit sedangkan yang menyelisihi banyak, seperti yang terjadi di akhir-akhir ini atau di sebagian negeri dan tempat. Generasi pertama yang tiga yang banyak jumlahnya, maka merekalah yang berada di atas jalan yang lurus dan agama yang benar.”

Ia juga berkata, “Hal itu karena kebenaran ada pada generasi pertama Islam di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tidak melihat kepada banyaknya orang yang berada di atas kebatilan setelah mereka.” (Ighatsatul Lahfan karya Ibnul Qayyim 1/69)

Ath Thaifah Al Manshurah

Adapun Thaifah Manshurah artinya kelompok yang mendapatkan pertolongan. Sebutan ini diambil dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

«لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ»

“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang tampil di atas kebenaran. Tidak membuat mereka risau orang-orang yang menelantarkan mereka sampai datang ketetapan Allah sedangkan mereka di atas itu.” (Hr. Muslim)

Ahlul Hadits wal Atsar

Mereka juga disebut Ahlul Hadits wal Atsar karena begitu semangatnya berpegang dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, memilah mana yang shahih dan mana yang dhaif, memahami maksudnya, dan mengamalkannya.

Ahlul Ittiba

Disebut demikian karena mereka berittiba (mengikuti) Al Qur’an dan As Sunnah.

Al Firqatun Najiyah

Disebut Al Firqatun Najiyah yang artinya golongan yang selamat, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً

“Dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya terancam di neraka kecuali satu golongan.”

Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda,

«مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي»

“Yang berada di atas jalanku dan jalan para sahabatku.” (Hr. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Albani)

Nama lain salaf atau Ahlussunnah wal Jama’ah yang disebutkan di atas dapat menghimpun semua kaum muslimin dan mencakup agama Islam, di samping ada dalilnya.

Selain itu, wala dan bara dalam manhaj ini tidak kepada kelompok tertentu, tetapi kepada siapa saja yang menempuh manhaj ini kapan pun dan di mana pun.

Mereka juga tidak ta’ashshub (fanatik) kepada seseorang selain Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karenanya mereka mengkritik orang-orang yang ta’ashshub kepada Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syaf’i, dan Imam Ahmad, meskipun para imam tersebut sebagai para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.

Perintah Mengikuti Manhaj Salaf

Dalil dalam Al Quran

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” (Qs. Al Baqarah: 137)

Menurut Ibnu Abbas, bahwa ayat tersebut tertuju kepada para sahabat radhiyallahu anhum.

Ayat tersebut menjadikan keimanan (akidah) para sahabat sebagai timbangan untuk memisahkan antara petunjuk dengan kesesatan, antara yang hak dengan yang batil.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. An Nisaa: 115)

Dalam ayat tersebut Allah mengancam orang-orang yang menentang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin dengan azab yang pedih.

Orang-orang mukmin di ayat tersebut terdepannya adalah para sahabat radhiyallahu anhum, dimana Allah Azza wa Jalla bersaksi terhadap keimanan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, bahkan Allah meridhai mereka. Dia berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (Qs. At Taubah: 100)

Oleh karena itu, Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata,

سن رسول الله وولاة الأمر بعده –يعني أبو بكر وعمر.. الخلفاء الراشدين- الخلفاء الراشدون سنوا بعده سنناً الأخذ بها اتباع لكتاب الله، واستكمال لطاعة الله، وقوة على دين الله، ليس لأحد من الخلق تغييرها ولا تبديلها، ولا النظر في شيء خالفها، من اهتدى بها فهو مهتدٍ، ومن استنصر بها فهو منصور، ومن تركها اتبع غير سبيل المؤمنين، وولاه الله ما تولى، وأصلاه جهنم وساءت مصيرا

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menetapkan Sunnah, demikian pula para pemimpin setelah Beliau (para khulafa Rasyidin). Para Khulafa Rasyidin (Abu bakar, Umar, Utsman, dan Ali) juga telah menetapkan sunnah. Berpegang dengannya adalah mengikuti Kitabullah dan menyempurnakan ketaatan kepada Allah, serta sebagai kekuatan dalam menjalankan agama Allah. Tidak ada seorang pun yang berhak merubah dan menggantinya, dan tidak perlu melihat kepada sesuatu yang menyelisihi sunnah itu. Barang siapa yang berpegang dengan sunnah itu, maka ia mendapatkan petunjuk, yang meminta bantuan kepadanya akan mendapatkan bantuan, dan barang siapa yang meninggalkannya maka sama saja mengikuti selain jalan orang-orang beriman, dan Allah akan membiarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, serta memasukkannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Hilyatul Awliya 6/324, dan Syarf As-habil Hadits: 5)

Dalil dalam Hadits

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ   وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena barang siapa yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.“ (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dia (Tirmidzi) berkata, “Hasan shahih”)

Sabda Beliau, “Karena barang siapa yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk” yakni siapa saja yang diberi umur panjang, maka ia akan melihat banyak perselisihan baik dalam masalah akidah, ibadah, manhaj (cara beragama), dsb. yang membuat seseorang kebingungan untuk memilih mana jalan yang harus ia ikuti, terlebih karena masing-masing golongan yang ada seakan-akan di atas kebenaran, bahkan berdalil meskipun sebenarnya salah dalam berdalil, maka karena sayangnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada umat ini, Beliau pun memberikan solusinya, yaitu Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu anhum yang mewakili keseluruhan para sahabat.

Imam Syathibiy rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, wajib bagi orang yang memperhatikan dalil syar’i untuk melihat apa yang difahami generasi terdahulu, dan apa yang mereka kerjakan, karena hal itu lebih membuatnya dekat dengan kebenaran.” (Al Muwafaqat 3/77)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً ، وَ إِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَ سَبْعِيْنَ ، ثِنْتَانِ وَ سَبْعُوْنَ فِي النَّارِ ، وَ وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَ هِيَ الْجَمَاعَةُ

“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang Ahli Kitab sebelummu telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan; tujuh puluh dua di neraka, dan satu di surga, yaitu Al Jamaa’ah.”

(HR. Abu Dawud (2/503-504), Darimiy (2/241), Ahmad (4/201), Hakim (1/128), Al Ajuriy dalam Asy Syarii’ah (18), Ibnu Baththah dalam Al Ibanah (2/108/2, 119/1), Al Laalikaa’i dalam Syarhus Sunnah (1/23/1) dari jalan Shafwan ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku Azhar bin Abdullah Al Hauzaniy dari Abu ‘Amir Abdullah bin Luhay dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Hakim berkata, “Sanad-sanad ini menjadikan hujjah tegak untuk menshahihkan hadits ini.” Adz Dzahabi menyetujuinya. Al Haafizh dalam Takhrij Al Kasysyaf (hal. 63) berkata, “Dan isnadnya hasan.”)

Al Jamaa’ah di sini adalah yang sejalan dengan kebenaran meskipun ia hanya sendiri –sebagaimana yang dikatakan Ibnu mas’ud radhiyallahu anhu-. Al Jamaah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ saaful ummah.

Berdasarkan hadits di atas, maka mereka yang menyelisihi Al Jamaa’ah mendapatkan ancaman dengan masuk ke dalam neraka. Meskipun begitu, kita tidak memvonis secara ta’yin (orang-perorang) bahwa si fulan di neraka, karena boleh jadi ia beristighfar dan bertobat, lalu Allah mengampuni dan menerima tobatnya, atau dia memiliki amal saleh yang menghapuskan keburukannya, atau didoakan dan dimintakan ampunan oleh kaum mukmin ketika ia masih hidup atau sudah meninggal, atau mendapatkan syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau mendapat cobaan dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan cobaan-cobaan di dunia yang menghapuskan kesalahannya, atau mendapat ujian ketika di kubur, atau ia mendapatkan ujian pada hari Kiamat dengan rintangannya yang menghapuskan kesalahannya, atau mendapatkan rahmat dari Allah Yang Maha Penyayang.

Demikian juga perlu diketahui, bahwa kalau pun tujuh puluh dua golongan ini masuk ke neraka, maka mereka tidak kekal di neraka, bahkan dibersihkan di neraka sesuai kadar penyimpangan dan kesesatannya.

Adapun golongan Syi'ah Rafidhah dan Ahmadiyyah, maka yang rajih, kedua golongan ini tidak termasuk  ke dalam tujuh puluh tiga ini karena akidah mereka sangat bertentangan sekali dengan akidah Islam, dimana golongan yang satu (Syi'ah) mengatakan bahwa Al Qur'an yang dipegang kaum muslim telah dirobah, dikurangi dan diberi tambahan, sedangkan golongan yang satu lagi (Ahmadiyyah) mengatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi, padahal tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalil dalam Ijma

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Telah tetap tentang wajibnya mengikuti kaum salaf rahmatullah alaihim berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’, dan ibrah (hasil pandangan) pun menunjukan demikian.” (Dzammut Ta’wil karya Al Maqdisi 1/35 no. 73)

Dalil dalam Atsar dan perkataan Ulama

Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Ikuti dan jangan berbuat bid’ah, karena kalian telah dicukupi. Semua bid’ah adalah sesat.”

Suatu ketika Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullah berbicara tentang para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ia berkata,

إنهم كانوا أبر هذه الأمة قلوبًا، وأعمقها علمًا، وأقلها تكلفا، قومًا اختارهم الله لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم، فتشبهوا بأخلاقهم وطرائقهم، فإنهم ورب الكعبة على الهدى المستقيم

“Mereka adalah orang yang paling baik hatinya di tengah umat ini, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit bebannya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam, maka ikutilah akhlak dan jalan mereka, karena demi Allah pemilik ka’bah, mereka berada di atas petunjuk yang lurus.”  

Imam Al Auza’i rahimahullah berkata, “Bersabarlah di atas sunnah dan berhentilah di tempat mereka (para sahabat) berhenti.”

Maksudnya dalam masalah yang mereka tidak selami, maka jangan menyelami. Ikuti perkataan mereka dan berhenti sebagaimana mereka berhenti, serta tempuhlah jalan Salafush Shalih terdahulu, karena hal itu sudah cukup bagimu sebagaimana cukup bagi mereka.” (Asy Syari’ah karya Al Ajurriy 1/355)

Ibnu Abi Zaid Al Qairawani berkata, “Mengikuti jalan orang-orang mukmin dan generasi terbaik umat ini (para sahabat) yang dikeluarkan ke tengah-tengah manusia merupakan keselamatan, kembali kepadanya merupakan penjagaan (dari kesesatan).”

Ia juga berkata, “Mengikuti Salafush Shalih merupakan keselamatan. Mereka adalah panutan dalam penafsiran dan penggalian hukum. Ketika terjadi perselisihan dalam masalah furu atau masalah yang terjadi, maka jangan keluar dari lingkaran jamaah mereka.” (Ats Tsamarud Dani 2/223)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Termasuk jalan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mengikuti atsar (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lahir maupun batin serta mengikuti jalan as Sabiqunal Awwalun dari kalangan kaum Muhajirin dan Anshar.” (Al Aqidah Al Wasithiyyah: 30)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani berkata, “Orang yang bahagia adalah orang yang mengikuti keadaan kaum salaf dan menjauhi yang diada-adakan oleh generasi belakang.”

Hukum menisbatkan diri kepada salaf

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan diri kepadanya. Bahkan hal itu wajib diterima secara disepakati, karena tidak ada keadaan madzhab salaf selain di atas kebenaran.” (Majmu Fatawa 4/149)

Khatimah

Di atas sebagai pengantar tentang manhaj salaf, dan bagi yang ingin mendalami lebih lanjut manhaj salaf, silahkan download buku ini: https://drive.google.com/file/d/1Wa7x9YJ2PoOsK2RXzm9AIzttEzj3iAqc/view?usp=sharing

Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.45, https://almunajjid.com/courses/lessons/246 , Untaian Mutiara Hadits (Penulis), https://majles.alukah.net/t175752/, dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger