بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Ihyaa'ul Mawat (Menghidupkan Tanah Yang Mati) (Bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para
sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang
ihyaa'ul mawat, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
Membagi-bagi (iqtha') tanah, barang tambang
dan air
Bagi hakim (imam/pemerintah) yang adil
boleh memberikan sebagian tanah yang mati, barang tambang dan air kepada
sebagian orang selama di sana terdapat maslahat[1].
Hal ini, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberikan tanah Al
‘Aqiq kepada Bilal bin Al Harits, juga memberikan tanah kepada Wa’il bin Hujr
di Hadhramaut, dan memberikan tanah kepada Umar dan Utsman serta
sahabat-sahabat yang lain. Akan tetapi ia tidak memilikinya dengan ditetapkan
tanah untuknya sampai ia menghidupkannya, bahkan ia hanya lebih berhak daripada
yang lain. Jika ia menghidupkannya, maka tanah itu menjadi miliknya, tetapi
jika tidak bisa menghidupkannya, maka imam berhak menariknya dan memberikan
kepada yang lain yang sanggup menghidupkannya, karena Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu menarik kembali tanah-tanah yang diberikannya dari
orang-orang yang tidak sanggup menghidupkannya.
عَنْ عُرْوَةَ، أَنَّ عَبْدَ
الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ، قَالَ: " أَقْطَعَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَعُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَرْضَ كَذَا وَكَذَا "، فَذَهَبَ الزُّبَيْرُ
إِلَى آلِ عُمَرَ، فَاشْتَرَى نَصِيبَهُ مِنْهُمْ. فَأَتَى عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ
فَقَالَ: إِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ زَعَمَ: " أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْطَعَهُ وَعُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَرْضَ كَذَا
وَكَذَا "، وَإِنِّي اشْتَرَيْتُ نَصِيبَ آلِ عُمَرَ، فَقَالَ عُثْمَانُ: عَبْدُ
الرَّحْمَنِ جَائِزُ الشَّهَادَةِ لَهُ وَعَلَيْهِ
Dari Urwah bin Az Zubair bahwa Abdurrahman
bin Auf berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberikan
tanah kepadaku, demikian juga Umar bin Khaththab pernah memberikan tanah ini
dan itu. Zubair kemudian pergi ke keluarga Umar, lalu ia membeli bagiannya dari
mereka, maka ia mendatangi Utsman dan berkata, "Sesungguhnya Abdurrahman
bin 'Auf mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberinya
tanah, demikian juga memberi Umar bin KHaththab tanah ini dan itu, dan
sesungguhnya aku hendak membeli bagian keluarga Umar," maka Utsman berkata,
"Abdurrahman persaksiannya bisa diterima, ia berhak demikian dan berhak
menanggungnya." (HR. Ahmad. Pentahqiq Musnad Ahmad berkata, "Para
perawinya adalah tsiqah; para perawi dua syaikh (Bukhari dan Muslim) selain
Hammad bin Salamah, maka ia termasuk perawi Muslim, namun tentang mendengarnya
Urwah dari Abdurrahman bin 'Auf perlu direnungi.")
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ
وَائِلٍ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَقْطَعَهُ
أَرْضًا فِي حَضْرَ مَوْتَ
Dari 'Alqamah bin Waa'il bin Hujr dari
bapaknya, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberinya tanah di
Hadhramaut. (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih
At Tirmidzi no. 1116)
عَنْ عُمَرَ بْنِ دِيْنَارٍ
قَالَ : لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ
أَقْطَعَ أَبَا بَكْرٍ وَأَقْطَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
Dari 'Umar bin Dinar ia berkata: Ketika
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, Beliau memberi Abu Bakar
tanah dan memberi Umar bin Khaththab tanah.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَقْطَعَ النَّبِيُّ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَالَ بْنَ الْحَارِثِ الْمُزَنِيَّ مَعَادِنَ
الْقَبَلِيَّةِ، جَلْسِيَّهَا وَغَوْرِيَّهَا
Dari Ibnu Abbas ia berkata: Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberi barang tambang daerah Qabiliyyah
kepada BIlal bin Harits Al Muzanniy, baik bagian tinggi tanah tersebut maupun
bagian rendahnya." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Abu Yusuf berkata, "Atsar-atsar ini
datang menerangkan, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberikan
tanah kepada beberapa orang. Demikian juga para khalifah setelah Beliau
memberikan tanah juga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memperhatikan
maslahat melakukannya baik yang dilakukannya karena dapat melembutkan hati
mereka dengan Islam atau dapat memakmurkan tanah. Para khalifah juga memberikan
tanah karena melihat orang yang diberikan itu dapat memberi manfaat bagi Islam
dan membuat mundur musuh, dan mereka memandang bahwa yang utama adalah apa yang
mereka lakukan. Kalau bukan karena itu, tentu mereka tidak akan melakukan dan akan
memberikan hak muslim maupun mu'aahad."
Dicabutnya tanah jika tidak digarap
Hakim memberikan tanah karena adanya
maslahat, jika maslahat itu tidak terwujud, misalnya tidak digarap dan tidak
dikembangkan, maka dicabut tanah itu.
Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberikan tanah kepada
beberapa orang dari suku Muzainah atau Juhainah, namun mereka malah tidak
menggarapnya. Lalu datang orang lain yang mengarapnya, kemudian orang suku
Juhainah atau Muzainah menentang mereka dan mendatangi Umar bin Khaththab, maka
Umar berkata, "Kalau seandainya itu dariku atau dari Abu Bakar, tentu aku
akan menarik kembali, akan tetapi itu merupakan pemberian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam." Kemudian ia berkata, "Barangsiapa
yang memiliki tanah, lalu dibiarkan saja sampai tiga tahun dan tidak digarap,
kemudian ada orang lain yang menggarap, maka mereka lebih berhak."
Dari Al Haarits bin Bilal bin Haarits Al
Muzanniy dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
memberi tanah kepadanya di 'Aqiq Ajma'. Ketika tiba zaman Umar, ia berkata
kepada Bilal, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
tidaklah memberimu agar kamu membatasinya dari manusia, Ia memberimu hanyalah
agar kamu menggarapnya, maka ambillah bagian yang kamu sanggup menggarapnya dan
kembalikanlah sisanya."
Dengan demikian, orang yang diberikan tanah
tidaklah memilikinya hanya dengan diberikan saja (iqrha'), sampai ia mau
menghidupkannya. Hanya saja ia lebih berhak daripada yang lain. Jika dihidupkannya,
maka tanah tersebut menjadi miliknya. Namun jika tidak sanggup menghidupkannya,
maka imam boleh menarik kembali iqtha’(pemberian)nya, untuk diberikan kepada
yang lain yang mampu menghidupkannya karena Umar melakukan demikian.
Dan barang siapa yang lebih dulu ke tempat
tanah yang mubah bukan tanah yang mati seperti tanah tempat buruan dan kayu
bakar, maka dia lebih berhak terhadapnya apabila ia telah menghimpunnya.
Jika ada air yang mubah (tidak bermilik)
seperti air sungai dan air lembah melewati harta milik orang-orang, maka orang
yang berada pada bagian atas berhak mengambil air untuk menyiram tanaman
darinya, dan air itu di tahan sampai sebatas mata kaki. Lalu dilepas ke orang
yang berada di bawah yang berada dekat dengannya. Dan orang yang di bawah ini
pun melakukan hal yang sama dengan yang di atas dst. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
اَسْقِ يَا زُبَيْرُ ! ثُمَّ احْبِسِ الْمَاءَ حَتَّى يَصِلَ
إِلىَ الْجَدْرِ
“Alirkanlah
hai Zubair, kemudian tahanlah sampai kepada pembatas (sampai penuh).” (Muttafaq
'alaih)
Abdurrazzaaq menyebutkan dari Ma’mar dari
Az Zuhriy ia berkata, "Kami memperhatikan sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam “Kemudian tahanlah sampai kena pembatas.” Ternyata hal itu sampai
mata kaki.
Imam Abu Dawud dan lainnya meriwayatkan
dari Tsa'labah bin Abi Malik, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
memberikan keputusan terhadap aliran air Mahzur (sebuah lembah di Madinah), yaitu
agar yang berada di atas menahan airnya sebatas mata kaki, kemudian melepas
kepada orang yang berada di bawah (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani).
Adapun jika airnya dimiliki, maka dibagi
antara para pemilik seukuran kepemilikan mereka dan masing-masing bertindak
sesuai bagiannya.
Pemerintah
kaum muslimin juga berhak membatasi tanah khusus untuk gembala binatang ternak
Baitul Mal kaum muslimin, seperti kuda untuk jihad dan unta zakat selama tidak
memadharratkan kaum muslimin karena semakin sempitnya area mereka. Hal ini
berdasarkan riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
membatasi sumur untuk kuda kaum muslim. Oleh karena itu, bagi imam berhak
membatasi rerumputan di tanah yang mati untuk untka zakat dan kuda para
mujahid, hewan ternak jizyah, dan hewan yang hilang jika memang butuh demikian
dan tidak menyusahkan kaum muslim.
Beberapa
kesimpulan:
1. Barang siapa yang menghidupkan tanah
yang mati, maka berarti ia telah memilikinya.
2. Harim (yang masih terikat hak dan
pelengkapnya) dari suatu tempat yang makmur tidak bisa dimiliki dengan
dihidupkan, karena pemilik area yang dimakmuri berhak terhadap pelengkapnya
(fasilitas umum).
3. Imam bagi kaum muslim berhak
memberikan tanah yang mati kepada orang yang siap menghidupkannya.
4. Imam berhak membatasi rerumputan di
tanah yang mati untuk unta zakat dan kuda para mujahid jika ia butuh kepadanya
dan tidak menyempitkan kaum muslim. Hal ini hanya dilakukan oleh imam, dan hal
ini disyariatkan untuk maslahat umum. Dalilnya adalah hadits Ash Sh'ab bin
Jutsamah secara marfu' disebutkan, "Laa himaa illaa lillahi wa
lirasuulih," artinya: Tidak berhak membatasi selain Allah dan
Rasul-Nya. (HR. Bukhari)
Dan "Hima" artinya dibatasi
dan tidak boleh didekati.
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah
(beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al
Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Musnad Ahmad, Al Maktabatusy Syamilah dll.
[1] Namun jika di sana
tidak terdapat maslahat seperti yang dilakukan oleh pemerintah yang zalim
dengan memberikan bagian tanah karena urusan pribadi tanpa hak, maka tidak
boleh.
0 komentar:
Posting Komentar