بسم الله الرحمن الرحيم
<iframe width="420" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/4kEioZtz9gc" title="YouTube video player" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen></iframe>
Bimbingan Haji dan
Umrah (Bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada sahabatnya
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Sebelumnya telah disebutkan tatacara
umrah, dan untuk kali ini kami sebutkan tatacara haji.
2. Haji
Rukunnya: ihram,
wuquf di ‘Arafah, bermalam di Muzdalifah, thawaf ifadhah, dan sa’i antara Shafa
dan Marwah.
A. Hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah)
Di waktu Duha hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah), hendaknya seorang
muslim berihram untuk haji tamattu’ dari tempat di mana dia berada (seperti di
hotel). Ketika ihram haji, dia melakukan hal-hal yang sama ketika ihram untuk
umrah, seperti mandi, mewangikan badannya, bersih-bersih dst. (lihat tentang
umrah).
Selanjutnya seorang
muslim berniat di hatinya untuk masuk ke dalam ibadah haji dan disyariatkan
mengucapkan ”Labbaikallahumma hajjan.”
Setelah itu ia pergi
menuju Mina dan tinggal di sana, dan melakukan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib,
Isya dan Subuh pada waktunya masing-masing namun untuk shalat yang berjumlah
empat rakaat diqashar menjadi dua rakaat.
B. Hari Arafah (9 Dzulhijjah)
Ketika terbit matahari pada tanggal 9 Dzulhijjah, yaitu
pada hari ‘Arafah, maka ia pergi menuju Arafah dan dianjurkan baginya singgah
di Namirah (Namirah tidak termasuk ‘padang ‘Arafah) hingga Zuhur. Setelah itu
imam atau yang mewakilinya berkhutbah dengan khutbah yang sesuai dengan
keadaan saat itu, ia (imam) menerangkan kepada jamaah haji amal apa saja yang
disyariatkan bagi jamaah haji pada hari tersebut dan hari setelahnya.
Setelah mendengarkan khutbah di Namirah , ia
shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan diqashar dan dijama’ taqdim (di waktu Zhuhur).
Kemudian memulai wuquf di Arafah. Semua padang
Arafah adalah tempat wuquf selain lembah Uranah. Namun demikian, dianjurkan
bagi seseorang untuk berwuquf di belakang jabal ‘Arafah (bukit Arafah)[i]
menghadap ke kiblat, karena ia adalah tempat wuquf Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam. Hal itu jika memang memungkinkan.
Saat wuquf, hendaknya ia serius dalam berdzikr dan berdoa
Di antara dzikr yang dianjurkan pada
hari itu adalah ucapan:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dianjurkan bagi seorang yang berhaji wuquf di atas
kendaraannya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berwuquf di atas
untanya. Untuk zaman kita ini, mobil sama seperti hewan kendaraan sehingga ia
bisa menaiki mobilnya, kecuali jika tampaknya turun dari mobil lebih khusyu’.
Catatan:
Perlu diketahui, bagi orang yang naik haji tidak
diperbolehkan meninggalkan ‘Arafah
menuju Muzdalifah sebelum matahari tenggelam.
Setelah matahari tenggelam, maka ia menuju Muzdalifah
dengan tenang sambil memperbanyak talbiyah di jalan.
Ketika sampai di Muzfdalifah, maka ia shalat Maghrib
tiga rakaat dan Isya dua rakaat dengan dijama’, yaitu dengan satu kali azan dan
dua kali iqamat. Hal ini jika sampai langsung di Muzdalifah tidak terlambat. Namun
jika belum sampai di Muzdalifah diperkirakan setelah tengah malam, maka hendaknya
ia shalat Maghrib dan Isya di jalan saja agar tidak habis waktu Isya.
C. Hari Haji Akbar (10 Dzulhijjah)
Selanjutnya, ia bermalam di Muzdalifah sampai shalat
Subuh di sana ,
dan disunahkan baginya naik berwuquf di Masy’aril Haram (bukit di Muzdalifah) menghadap
ke kiblat dengan memperbanyak dzikrullah dan berdoa sambil mengangkat kedua
tangan sampai suasana terang. Ia pun hendaknya memungut
tujuh buah batu kecil[ii]
untuk melempar jamrah ‘Aqabah nanti.
Catatan:
- Jika
ia membawa kaum wanita atau orang-orang yang lemah, maka tidak mengapa
meninggalkan Muzdalifah menuju Mina ketika telah berlalu kira-kira 2/3 malam.
- Muzdalifah
merupakan tempat untuk berwuquf, akan tetapi disunahkan berwuquf di Masy’aril
Haram sebagaimana diterangkan sebelumnya.
Setelah itu, ia pergi ke Mina sambil memperbanyak
talbiyah ketika di jalan dan hendaknya ia mempercepat jalannya ketika berada di
lembah Muhassir, lalu ia menuju Jamrah Kubra (Jamrah ‘Aqabah) untuk melemparnya
dengan tujuh buah batu. Ukuran batunya kira-kira seukuran kacang.
Selanjutnya ia angkat tangannya untuk melempar jamrah
sambil mengucapkan, “Allahu akbar” dan dianjurkan ketika
melemparnya ia menjadikan kota Makkah di sebelah kirinya dan Mina di sebelah
kanannya karena pratek Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti itu.
Batu yang dilempar harus jatuh ke dalam
lubang, namun tidak mengapa jika setelah masuk lalu mental keluar, adapun jika
dilempar ke tiang yang tegak itu namun batunya tidak jatuh ke dalam lubang,
maka belum cukup.
Setelah selesai melempar, maka ia (yang berasal dari luar tanah haram) menyembelih
hadyunya dan dianjurkan baginya untuk makan darinya, menghadiahkan dan
menyedekahkannya. Waktu menyembelih ini berlangsung sampai tenggelam matahari
akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah), dan boleh menyembelih di malam hari, akan
tetapi lebih utama menyembelihnya segera setelah melempar Jamrah ‘Aqabah pada
hari raya (10 Dzulhijjah) karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
melakukan seperti itu. Jika ia tidak memperoleh hadyu, maka ia berpuasa 3 hari
ketika haji, dan dianjurkan pada tanggal 11, 12, dan 13, serta 7 hari ketika ia
pulang ke kampung halamannya.
Setelah selesai menyembelih, maka ia
mencukur gundul rambutnya atau memendekkannya, dan saat ini telah dihalalkan
bagi orang yang berhaji segala sesuatu yang sebelumnya haram ketika ihram
selain wanita. Hal ini disebut juga tahallul awwal.
Selanjutnya -setelah ia memakai minyak
wangi- ia menuju Mekah untuk melakukan thawaf ifadhah tanpa perlu beridhthiba’
(terbuka pundak kanan) dan tanpa perlu raml (jalan cepat dengan langkah pendek)
pada tiga putaran pertama, lalu shalatlah dua rak’at. Setelah thawaf, ia
melakukan sa’i haji tamattu’.
Jika ia telah melakukan thawaf ifaadhah dan
sa’i hajji, maka berarti ia telah tahallul secara sempurna (telah halal secara
sempurna yang sebelumnya haram di waktu ihram).
D. Hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah)
Setelah itu ia pulang ke Mina untuk menetap di sana pada tanggal 11 dan
12 Dzulhijjah berikut malamnya jika ia ingin segera pulang, dan dibolehkan
keluar dari Mina sebelum matahari terbenam (disebut Nafar Awwal).
Atau ia menetap di sana sampai dengan tanggal 13 Dzulhijjah
berikut malamnya, dan ini lebih utama (disebut Nafar Tsani).
Pada hari-hari itu, ia melempar jamrah yang tiga
setelah matahari tergelincir (waktu Zhuhur) dimulai dari jamrah shughra, selanjutnya wustha dan
kemudian kubra (‘Aqabah) dengan tujuh buah batu untuk setiap jamrah sambil
bertakbir ketika melemparnya.
Disunahkan baginya setelah melempar jamrah shugra untuk
maju ke depan lalu menghadap ke kiblat dan berdoa dengan doa yang panjang
sambil mengangkat kedua tangannya. Demikian pula disunahkan setelah melempar
jamrah wustha untuk maju ke depan dan menjadikan jamrah wustha di sebelah
kanannya dan menghadap ke kiblat serta berdoa dengan doa yang panjang sambil
mengangkat kedua tangannya. Adapun untuk jamrah Kubra, maka setelah melempar,
tidak perlu berdiri dan berdoa setelahnya karena Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam melakukan seperti itu.
Setelah seseorang mengerjakan ibadah hajinya dan
berniat ingin pulang ke kampungnya, maka ia wajib melakukan thawaf perpisahan
atau yang dikenal dengan thawaf wadaa’, setelah itu ia pulang
meninggalkan Mekah. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas, “Manusia
diperintahkan agar akhir dari ibadah haji mereka adalah thawaf di Baitullah,
namun diberi keringanan bagi wanita yang haidh.” (Muttafaq ‘alaih) Oleh karena
itu, wanita haidh dan nifas tidak wajib thawaf wada’.
Beberapa masalah yang perlu diketahui
a)
Anak kecil sah jika berhaji meskipun
belum baligh, akan tetapi kewajiban hajinya belum gugur, sehingga jika ia sudah
baligh, maka ia wajib berhaji lagi.
b)
Wali bagi anak kecil boleh yang
melakukan sebagian pekerjaan haji jika
anak itu tidak sanggup melakukannya, seperti melempar jamrah, dsb.
c)
Wanita haidh tetap melakukan semua
pekerjaan haji, tetapi ia tidak berthawaf di Baitullah kecuali apabila haidhnya
telah berhenti dan telah mandi, demikian juga wanita yang nifas.
d)
Wanita diperbolehkan mengkonsumsi
pil-pil pencegah haidh agar tidak datang haidhnya ketika melaksanakan ibadah
haji.
e)
Boleh melemparkan batu untuk menggantikan
orang tua yang lemah dan wanita jika mereka kesulitan melakukannya. Namun
hendaknya, wakil ini memulai melempar jamrah untuk dirinya baru kemudian untuk
orang yang dia wakili. Demikian juga dalam semua jamrah.
f)
Boleh menjadi badal haji bagi orang
yang suda tua atau yang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, namun
dengan syarat ia telah berhaji untuk dirinya.
Beberapa larangan ketika ihram
Larangan ketika ihram adalah sebagai berikut:
ü
Memakai pakaian yang
dijahit membentuk tubuh, seperti kemeja, gamis, jubah, koko, rompi dsb. (ini
untuk laki-laki).
ü Memakai penutup kepala, seperti sorban, peci
dsb.
ü Memakai wangi-wangian baik di badan atau di
pakaian.
ü Menggunting kuku (baik kuku tangan maupun
kuku kaki), menghilangkan rambut[iii] baik dengan dicukur maupun dengan digunting (baik
rambutnya sendiri maupun rambut orang lain).
ü
Jima’ (hubungan
suami-istri)[iv].
ü
Pendorong jima’ seperti
merayu, mencumbu, mencium dan memandang dengan penuh syahwat (meskipun tidak
sampai melakukan jima')[v].
ü
Membunuh binatang buruan
darat[vi].
ü
Melamar dan melakukan
‘akad nikah (baik menikahkan maupun menikahi/melakukan ‘akad nikah).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Muhammad
wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
[i] Sebagian orang
menyebutnya dengan jabal rahmah, namun yang benar adalah jabal ‘Arafah, dan ia
tidak memiliki keistimewaan tertentu daripada bagian yang lain di padang ‘Arafah. Oleh
karena itu, hendaknya kita tidak perlu menaikinya atau bertabarruk dengan
batu-batu di sana
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang jahil (tidak tahu).
[ii] Memungut batu untuk melempar jamrah ini bisa di mana saja, tidak mesti di
Muzdalifah.
[iii] Namun tidak mengapa menghilangkan rambut jika merasa terganggu dengannya,
tetapi wajib membayar dam fidyah sebagaimana dalam hadits Ka’b bin ‘Ujrah
ketika ditemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Hudaibiyah dalam keadaan
ihram ada banyak kutu di kepalanya sampai mengenai wajahnya, Beliau bertanya
kepadanya, “Apa binatang kecil (kutu) ini mengganggumu?” Ia menjawab,”Ya",
maka Beliau bersabda, “Cukurlah rambutmu atau berilah makan satu farq (3
sha’) kepada 6 orang miskin (yakni seorang miskin mendapat ½ sha’/ 1 ½
kg), atau puasa tiga hari atau menyembelih satu sembelihan (yakni
kambing).” (HR. Bukhari-Muslim). Dam fidyah juga wajib bagi yang mengerjakan
larangan ihram yang berupa memakai penutup kepala, menggunting kuku, memakai
minyak wangi dan memakai pakaian yang dijahit sesuai bentuk tubuh (lihat
Minhaajul Muslim oleh Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iri). Namun apabila melakukan
hal itu karena lupa atau tidak mengetahui hukumnya maka ia tidak dikenakan dam
fidyah.
[iv] Bagi yang
melakukannya hajinya batal. Hanyasaja ia tetap menyelesaikan pekerjaan hajinya
sampai selesai, dan pelakunya wajib menyembelih seekor unta, jika tidak
memperolehnya, maka dengan berpuasa 10 hari, dan ia wajib mengqadha’ di tahun
yang akan datang.
[v] Jika dilakukan maka dendanya adalah menyembeli seeekor kambing, atau berpuasa
selama tiga hari atau memberi makan 6 orang miskin.
[vi] Bagi yang melakukannya baik sengaja atau
lupa, maka ia harus mengganti dengan binatang ternak (unta, sapi atau kambing) seimbang
dengan binatang buruan yang dibunuhnya menurut keputusan dua orang yang adil
(lihat Al Ma’idah: 95) dengan melihat fisik hewan yang dibunuh itu, lalu
disembelih di tanah haram dan dagingnya dibagikan kepada fakir-miskin di tanah
haram. Tetapi Jika tidak ada
binatang yang dipakai untuk denda maka diuangkan berapa kira-kira harga
binatang ternak yang dijadikan dam jazaa’ itu, lalu dengan uang yang senilai
dengan binatang ternak itu, dibelikan makanan kemudian disedekahkan kepada
orang miskin (masing-masing orang miskin mendapat satu mud atau kira-kira 6 ½
ons dari makanan itu), jika tidak mampu maka dengan berpuasa. Misalnya, jika
menurut keputusan dua orang yang adil ia wajib
menyembelih seekor kambing, namun ia tidak memperolehnya, maka dengan memberi
makan enam orang miskin. Jika tidak memperolehnya, maka dengan berpuasa tiga
hari. Jika ia ternyata wajib menyembelih seekor sapi, tetapi tidak
memperolehnya, maka dengan memberi makan dua puluh orang miskin, dan jika tidak
memperolehnya, maka dengan berpuasa dua puluh hari. Jika ia menurut keputusan dua orang yang adil wajib
menyembelih seekor unta. Namun tidak memperolehnya, maka dengan memberi makan
30 orang miskin, dan jika tidak memperolehnya, maka dengan berpuasa selama tiga
puluh hari.”
0 komentar:
Posting Komentar