Fiqh Fara’idh (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫علم المواريث‬‎
Fiqh Faraa’idh (2)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:

Berikut ini merupakan lanjutan fiqh fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya.

VII. As-habul Furudh

As-habul Furudh adalah orang yang mendapatkan bagian yang ditentukan. Mereka yang termasuk As-habul Furudh adalah:

A.      As-habul Furudh dari kalangan laki-laki

1.      Ayah

-   1/6, Jika bersama furu’/keturunan yang laki-laki (anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki).

-   1/6 dan ashabah (sisa). Jika bersama furu’ yang perempuan (tanpa ada laki-lakinya).

-   Ashabah. Jika tidak ada furu’/keturunan laki-laki atau perempuan (anak/cucu dari anak laki-laki).

2.      Suami

-   ¼ Jika bersama furu’.

-   ½ jika tidak bersama furu’.

3.      Kakek (ayahnya ayah dst. ke atas).

       Ia seperti ayah, hanya saja ia sebagai ‘ashabah jika tidak ada ayah dan tidak ada furu’. Dia terhalang (mahjub) ketika masih ada ayah.

4.      Saudara seibu

-   1/6, jika seorang diri dan tidak ada ahli waris ushul maupun furu’.

-   1/3, Jika dua orang atau lebih dengan dibagi rata, (yang laki-laki tidak lebih dari wanitanya).

-   Mahjub (tertutup), jika ada ahli waris dari kalangan ushul maupun furu’.

B.       As-habul Furudh dari kalangan perempuan

1.    Istri

-   ¼, jika tidak ada furu’.

-   1/8, jika ada furu’ (Jika jumlah istri lebih dari satu, maka mereka mengambil secara rata dari 1/4 atau 1/8 itu.).

2.    Ibu

-  1/3, Jika tidak ada furu’ dan sejumlah (lebih dari satu) orang saudara.

-  1/6, apabila: (a) Jika ada furu’, atau (b) Ada sejumlah (lebih dari satu) saudara, baik pria maupun wanita.

-  1/3 dari sisa, Jika bersama ayah dan suami atau isteri[i].

3.    Nenek (ibunya ibu atau ibunya ayah).

-   1/6, jika tidak ada ibu. Jika jumlahnya banyak maka 1/6 itu dibagi rata.

-   Mahjub (tertutup), Jika ada ibu atau nenek yang lebih dekat kepada si mayit (seperti ibunya ayah).

4.    Anak perempuan

-   ½, Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki.

-   2/3, Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki.

-   ‘Ashabah, Jika bersama anak laki-laki, yakni bagian seorang laki-laki dua bagian wanita.

5.    Cucu perempuan dari anak laki-laki

-    ½, Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan.

-    2/3 (dibagi rata), Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu laki-laki.

-    1/6, Jika bersama seorang anak perempuan (tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki) menyempurnakan 2/3.

Contoh:

Seorang wafat meninggalkan: 1 anak perempuan, 1 cucu perempuan, dan 1 saudara perempuan. Pembagiannya: 1 anak perempuan ½, cucu perempuan 1/6, dan sisanya untuk saudari.

-    Ashabah (sisa), Jika bersama dengan cucu laki-laki; untuk laki-laki dua bagian perempuan.

-    Mahjub (tertutup), jika: (a) Jika ada anak laki-laki, (b) Jika ada dua puteri atau lebih, kecuali jika bersama mereka ada cucu laki-laki dari anak laki-laki yang sederajat atau di bawah mereka sehingga mereka menjadi 'ashabah.

6.    Saudari kandung

- 1/2, Jika seorang diri dan tidak ada anak/cucu,  ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung.

- 2/3, Jika 2 orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu,  ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung.

- ‘Ashabah bi ghairih, Jika bersama saudara laki-laki sekandung dan tidak ada orang-orang di atas (ushul maupun furu’ yang laki-laki), bagian seorang laki-laki adalah dua bagian perempuan.

- ‘Ashabah ma’a ghairih, Jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh.

- Mahjub (terhalang), Ketika ada ahli waris furu’ yang laki-laki seperti anak/cucu dan ketika ada ahli waris ushul seperti ayah.

7.    Saudari seayah

-     ½, Jika sendiri dan tidak ada anak atau cucu, saudara seayah, saudari sekandung dan ayah/kakek.

-     2/3, Jika ada 2 orang atau lebih dan tidak ada anak atau cucu, saudara dan ayah/kakek.

-     1/6, Jika bersama-sama dengan seorang saudari kandung, tanpa saudara laki-laki.

-     Ashabah bighairih, Jika ada saudara laki-laki seayah, seorang laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan.

-     ‘Ashabah ma’al ghair, Jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh.

8.    Saudari seibu

-       1/6, Jika sendiri, dan tidak ada furu’ maupun ushul (anak/cucu/ayah/kakek).

-       1/3, Jika dua orang atau lebih, dan tidak ada furu’ maupun ushul.

-       Mahjub (terhalang), Jika ada furu’ maupun ushul.

Contoh Singkat Perhitungan Fara’idh

Harta peninggalan si mayit Rp. 300.000, ahli waris: Saudari seibu, saudari sekandung, dua saudari seayah dan seorang ibu, maka:

 

 

Ahli waris

Fardh

AM = 6

Dari 300.000

Saudari seibu

1/6

1/6 x 300.000

50.000

Saudari sekandung

½

3/6 x 300.000

150.000

2 saudari seayah

1/6

1/6 x 300.000

50.000

Seorang ibu

1/6

1/6 x 300.000

50.000

 

Catatan:

-    Untuk mengetahui fardh (bagiannya dalam warisan), maka lihat bagian As-habul Furudh.

-    AM adalah singkatan dari Asal Masalah, yakni angka yang disimpulkan dari fardh-fardh yang ada. Seperti dari 1/6, ½, 1/6 dan 1/6 AM-nya adalah 6. AM dalam ilmu Matematika seperti KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil).

VIII. Ashabah

Ashabah (orangnya disebut ‘ashib) adalah yang mengambil semua harta ketika hanya sendiri atau sisa dari pembagian kepada as-habul furudh, dan ia tidak mendapatkan apa-apa jika tidak ada sisa dari pembagian kepada as-habul furudh. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Hubungkanlah faraa’idh (bagian warisan) kepada orang yang berhak. Selebihnya kepada laki-laki yang terdekat.”

Ashabah ada tiga macam:

1.    ‘Ashabah binafsih.

Dinamakan ‘ashabah binafsih karena sejak awal ia sebagai ‘ashabah. Mereka adalah setiap laki-laki yang dalam hubungannya dengan si mayit tidak diselingi wanita. Yang menjadi ‘ashabah bi nafsih secara berurutan adalah:

a.    Bunuwwah (anak dst. ke bawah), dinamakan juga furu’.

b.    Ubuwwah (bapak dst. ke atas), dinamakan juga ushul.

c.    Ukhuwwah (saudara sekandung dan seayah serta anak-anaknya), dinamakan juga hawasyi qaribah (dekat).

d.    'Umuumah (paman sekandung dan seayah serta anak-anaknya), dinamakan juga hawasyi ba’idah (jauh).

Lebih jelas urutan di atas adalah: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, (3) ayah, (4) kakek dari ayah dan seterusnya ke atas, (5) saudara laki-laki kandung, (6) saudara seayah, (7) anak saudara kandung, (8) anak saudara seayah, (9) paman kandung, (10) paman seayah, (11) anak paman kandung, (12) anak paman seayah.

e.    Mu’tiq (yang memerdekakan laki-laki atau perempuan).

f.     ‘Ashabah mu’tiq.

g.    Baitul maal.

Jika semuanya ada maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak dan ayah. Yang lainnya mahjub (terhalang). Tetapi yang menjadi ‘ashabah hanya anak, sedangkan ayah menjadi shaahib fardh/as-habul furuudh yaitu mendapatkan 1/6.

2.    ‘Ashabah bighairih.

Yaitu ahli waris wanita yang awalnya mendapatkan bagian tertentu (as-habul furuudh), tetapi berubah mengambil sisa semua harta karena ada ahli waris lain yang menariknya menjadi ‘ashabah. Ahli waris yang menarik itu disebut mu’ashshib. Dalam hal ini fardh(bagian)nya tidak berlaku, dan ia hanya berbagi dengan mu’ashshibnya (laki-laki mendapatkan dua bagian, sedangkan wanita satu bagian). Mereka ini ada empat perempuan:

a.          Anak perempuan sekandung, mu’ashibnya (yang menjadikan ‘ashabah) adalah anak laki-laki yang sekandung dengannya (laki-laki mendapatkan dua bagian, sedangkan wanita satu bagian).

b.          Cucu perempuan dari anak laki-laki, mu’ashibnya adalah:

ü  Cucu laki-laki.

ü  Cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki jika diperlukan (akan diterangkan setelah ini insya Allah).

c.          Saudari sekandung, mu’ashibnya adalah saudara sekandung

Contoh:

Seorang meninggalkan anak perempuan, ibu, istri, saudara dan saudari kandung.

Pembagiannya:

Asal Masalah

24 x 3[ii]

72

Anak Perempuan

½

12

36

Ibu

1/6

4

12

Istri

1/8

3

9

Saudara kandung

Sisa

5

10

Saudari kandung

5

 

d.          Saudari seayah, mu’ashibnya adalah saudara seayah.

Contoh anak perempuan sebagai shahib fardh (memperoleh bagian tertentu):

Seorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan, ibu, dan istri. Pembagiannya:

 

Asal Masalah

24

Anak Perempuan

½

12

Ibu

1/6

4

Istri

1/8

3

Contoh anak perempuan sebagai ashabah bighairih:

Asal Masalah

24 x 3[iii]

72

Ibu

1/6

4

12

Istri

1/8

3

9

Anak Perempuan

Sisa

17

17

Anak laki-laki

34

Cucu perempuan mu’ashibnya adalah cucu laki-laki baik saudaranya, maupun sepupunya. Sedangkan keponakannya cicit laki-laki tidak menjadi mu’ashshibnya kecuali kalau diperlukan. Misalnya tanpa cicit laki-laki tersebut ia tidak mendapatkan bagian.

Contoh ketika ia tidak memerlukan cicit laki-laki sebagai mu’ashshib: anak perempuan, cucu perempuan, dan cici laki-laki.

 

Asal Masalah

6

Anak perempuan

½

3

Cucu Perempuan

1/6

1

Cicit laki-laki

sisa

2

Di sini ia tidak memerlukan cicit laki-laki, karena sudah mendapatkan bagiannya sendiri.

Contoh ketika ia memerlukan cicit laki-laki sebagai mu’ashshib: 2 anak perempuan, cucu perempuan, dan cicit laki-laki.

Asal Masalah

3 x 3

9

2 anak perempuan

2/3

2

6

Cucu Perempuan

Sisa

1

1

Cicit laki-laki

2

 

3.    ‘Ashabah ma’a ghairih.

‘Ashabah ma’a ghairih adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ‘ashabah, tetapi orang lain itu tidak bersama-sama menerima ‘ashabah.

‘Ashabah ma’a ghairih hanya 2 orang saja:

a.     Saudari kandung baik seorang diri atau lebih bersama putri atau cucu perempuan dari anak laki-laki,

b.     Saudari seayah baik seorang diri atau lebih bersama putri atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

Ia menjadi ashabah dengan syarat: (1) tidak ada mu’ashshib (yang menjadikannya ashabah), (2) tidak ada hajib (yang menghalanginya), (3) bersama anak keturunan perempuan muwarrits (yang meninggal dunia) sebagaimana diterangkan di atas.

Saudari kandung atau seayah jika sendiri mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh. Tetapi jika saudari kandung atau seayah lebih dari satu, maka mengambil dengan dibagi rata. Perlu diperhatikan, saudari kandung menghalangi saudari seayah, dan saudari seayah menghalangi anak saudara secara mutlak seperti halnya saudara seayah.

Contoh saudari kandung sebagai ashabah ma’a ghairih :

Seorang wafat meninggalkan anak perempuan, ibu, saudari kandung, dan saudari seayah.

Pembagiannya: Anak perempuan ½, ibu 1/6, saudari kandung sisa sebagai ‘ashabah ma’a ghairih, sedangkan saudari seayah mahjub oleh saudari kandung.

Jika saudari kandung tidak sebagai ashabah ma’a ghairih, maka ia tidak menghalangi ahli waris laki-laki. Contoh:

Seorang wafat meninggalkan ibu, istri, saudari kandung, dan saudara seayah, maka pembagiannya adalah:

Ibu mendapatkan 1/6 (karena ada dua orang saudara), istri mendapatkan ¼, saudari kandung mendapatkan ½, dan saudara seayah mendapatkan sisa.

Pembagian Ahli Waris dari sisi furudh dan ashabah

Pembagian Ahli Waris dari sisi furudh dan ashabah ada 4 macam:

Pertama, yang mendapatkan warisan secara ashabah saja. Jumlahnya ada 12 orang, semuanya laki-laki, kecuali satu, yaitu: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki dari anak laki-laki, (3) saudara kandung (4) saudara seayah (5) anak laki-laki dari saudara kandung (6) anak laki-laki dari saudara seayah (7) paman kandung (8) paman seayah (9) anak laki-laki dari paman kandung (10) anak laki-laki dari paman seayah (11) Lelaki yang memerdekakan,  dan (12) wanita yang memerdekakan.

Kedua, yang mendapatkan warisan secara furudh saja. Jumlah mereka ada 7 orang, yaitu: (1) Suami, (2) Istri, (3) Ibu, (4) Nenek dari ibu, (5) Nenek dari ayah, (6) Saudara seibu, dan (7) saudari seibu.

Ketiga, yang mendapatkan warisan terkadang dengan furudh, dan terkadang dengan ashabah, dan terkadang dengan kedua-duanya. Jumlah mereka hanya 2 orang, yaitu: (1) Ayah, (2) Kakek.

Keempat, yang mendapatkan warisan terkadang dengan furudh, dan terkadang dengan ashabah, namun tidak mungkin mendapatkan kedua-duanya. Jumlah mereka ada 4 orang, yaitu: (1) Anak perempuan, (2) Cucu perempuan dari anak laki-laki, (3) Saudari kandung, (4) Saudari seayah.

Mewarisi dari dua jalur

Terkadang seseorang memiliki dua jalur kewarisan dari orang lain. Misalnya seorang gadis menikah dengan anak laki-laki dari saudara laki-laki ayahnya.

Jika demikian, maka statusnya adalah suami sekaligus anak paman. Ia mendapatkan bagian suami, yaitu ½ atau ¼, serta menjadi ashabah dan mengambil sisa harta jika tidak ada yang menghajb(menghalangi)nya.

Contoh: seorang wanita meninggalkan suami yang sekaligus anak pamannya, dan anak perempuan.

Pembagiannya:

Asal Masalah

4

Anak Perempuan

½

2

Suami

¼

1

Anak paman

Sisa

1

Dengan demikian, suami mendapatkan 2 bagian, satu bagian sebagai suami, dan bagian lain sebagai anak paman.

Jika ada hajib (yang menghalangi), maka ia hanya mendapatkan bagian sebagai suami dan bagiannya sebagai anak paman gugur. Misalnya ia bersama anak perempuan dan anak saudara laki-laki istrinya. Pembagiannya:

Asal Masalah

4

Anak Perempuan

½

2

Suami

¼

1

Anak Paman

Mahjub oleh anak saudara

0

Anak Saudara

Sisa

1

Masalah Musyarrakah

Masalah musyarrakah adalah masalah yang dihukumi oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, masalah ini terdiri dari: (1) Suami, (2) Ibu atau seorang nenek atau lebih, (3) beberapa saudara seibu, dan (4) seorang saudara kandung atau lebih –Lelaki semua atau bersama perempuannya- (bukan perempuan saja, dan bukan pula beberapa saudara seayah).

Awalnya, Umar memberikan penyelesaian sebagai berikut: suami mendapatkan bagian ½, ibu atau nenek mendapatkan bagian 1/6, beberapa saudara seibu mendapatkan bagian 1/3 dari sisa, dan saudara kandung terhalangi, yakni tidak mendapatkan apa-apa karena tidak ada sisa.

Namun kemudian, saudara kandung datang kepada Umar dan berkata, “Bukankah kami semua seibu dengan saudara dan saudari seibu, dan kami hanya berbeda ayah? Anggaplah ayah kami batu, atau keledai, atau dibuang ke laut, atau dilupakan, akan tetapi bukankah kami menjadi saudara yang sama ibunya?” Umar pun berkata, “Kalau demikian, kamu, serta saudara dan saudari seibu mendapatkan bagian 1/3 yang dibagi secara rata.”

Syarat Musyarrakah: (1) Tidak ada furu secara mutlak, (2) Tidak ada ushul lelaki, (3) Ada suami, (4) Ada ibu, atau ada seorang nenek atau lebih yang mendapatkan bagian 1/6, (5) Ada beberapa saudara seibu secara mutlak, (6) Ada beberapa saudara kandung; lelaki semua atau bersama perempuan; bukan perempuan semua.

Contoh:

Ahli Waris

Putusan 1

Putusan 2

Suami

½

½

Ibu/seorang nenek atau lebih

1/6

1/6

Beberapa saudara seibu

1/3

1/3 dibagi rata

Seorang saudara kandung/lebih, atau seorang saudari kandung bersama saudara kandung/lebih

X

 

Hanabilah dan Hanafiyyah

Malikiyyah dan Syafi’iyyah

Catatan: Tidak ada masalah musyarrakah selain seperti di atas.

Bersambung…

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraaji’: Minhaajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy), Al Fiqhul Muyassar, Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid  Saabiq), Al Faraa’idh (A. Hassan), Belajar Mudah Ilmu Waris (Anshari Taslim, Lc) dll.


[i] Yaitu dalam 2 masalah Umariyatain (Nisbat kepada Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu, karena dia memutuskan demikian di masa khilafahnya)/Gharraawain (2 masalah yang sangat terang) setelah dibagikan bagian salah seorang suami atau isteri. yaitu:

1.     Si mayit meninggalkan suami, ibu dan ayah, asal masalah(kpk)nya adalah 6, untuk suami ½ (dari 6) yaitu 3, untuk ibu 1/3 dari sisa yaitu 1, dan untuk ayah sisanya yaitu 2.

2.     Si mayit meninggalkan Istri, ibu dan ayah, masalahnya adalah 4, untuk istri 1/4 yaitu 1, untuk ibu 1/3 dari sisanya yaitu 1, dan untuk ayah sisanya yaitu 2.[i]

Misalnya harta peninggalan si mayit berjumlah Rp. 600.000, ahli warisnya suami, ibu dan ayah, maka:

Ahli waris

Fardh

AM = 6

(KPK dari 2 dan 3)

Bagiannya dari 600.000

Suami

½

3/6 x 600.000

300.000

Ibu

1/3 dari sisa

2/6 x 300.000

100.000

Ayah

Sisanya

-

200.000

Namun menurut Ibnu Abbas dan beberapa tabi’in bahwa memutuskan masalahnya itu sbb:

1.       Suami mendapatkan ½, ibu mendapatkan 1/3 dari jumlah harta, bukan dari sisa, sedangkan ayah mendapatkan selebihnya sebagai ‘ashabah. Jadi dibagi 6; suami mendapatkan 3 (1/2 dari 6 =3), ibu mendapatkan 2 (1/3 dari 6 = 2) dan ayah sisanya yaitu 1.

2.       Istri mendapat ¼, ibu mendapatkan 1/3 dari jumlah harta, bukan dari sisa, sedangkan ayah mendapatkan selebihnya sebagai ‘ashabah. Jadi dibagi 12; istri mendapatkan 3 (yakni ¼ dari 12), ibu mendapatkan 4, dan ayah mendapatkan sisanya yaitu 5.

Dengan pembagian seperti ini, maka si ayah terkadang mendapatkan lebih dari ibu dan terkadang kurang, namun dengan pembagian Umariyatain, maka ayah selamanya mendapatkan lebih dari ibu, namun dijawab oleh orang yang memegang pendapat Ibnu Abbas bahwa yang namanya ‘ashabah itu tidak tentu; terkadang mendapatkan lebih dan terkadang kurang. Akan tetapi kaedah umum antara ahli waris laki-laki dan wanita yang satu tingkat (sama-sama orang tua), maka selayaknya bagian laki-laki dua kali bagian wanita, sehingga masalah Umariyatain di atas itulah yang lebih tepat, wallahu a’lam.

[ii] Angka 3 diperoleh dari ashabah yang dianggap tiga kepala; laki-laki 2 bagian, sedangkan perempuan 1 bagian. Asal masalah x 3 inilah tas-hihnya (penyelesainnya).

[iii] Angka 3 diperoleh dari ashabah yang dianggap tiga kepala; laki-laki 2 bagian, sedangkan perempuan 1 bagian. Asal masalah x 3 inilah tas-hihnya (penyelesainnya).

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger