Targhib dan Tarhib Ramadhan

Selasa, 26 September 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫فضل صيام رمضان‬‎
Targhib dan Tarhib Ramadhan
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut hadits-hadits tentang keutamaan berpuasa Ramadhan, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Keutamaan Puasa
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُـ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، وَلاَ يَجْهَلْ ، فَإِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ ، أَوْ قَاتَلَهُ ، فَلْيَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، مَرَّتَيْنِ ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، وَ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ "
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, “Semua amal anak Adam adalah untuknya selain puasa, puasa itu untuk-Ku[i] dan Aku-lah yang akan membalasanya[ii]." Puasa itu perisai[iii], maka jika kamu sedang berpuasa, janganlah berkata rafats[iv], berteriak-teriak dan bersikap bodoh. Jika ada yang memaki atau mengajak bertengkar, katakanlah, “Saya sedang puasa” 2 x, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi (Allah) yang nyawa Muhammad di Tangan-Nya, sungguh bau mulut  orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari Kiamat daripada aroma kesturi. Bagi orang  yang berpuasa itu ada dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya dengan puasanya itu.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Nasa’i, dan lain-lain yang maknanya sama namun lafaznya berbeda)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي " " لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ "
2. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Semua amal anak Adam akan dilipatgandakan; satu kebaikan dibalas sepuluh semisalnya sampai tujuh ratus kali lipat.” Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku. Akulah yang akan membalasnya sendiri; dia meninggalkan syahwat dan makanannya karena-Ku.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bagi orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan; yaitu ketika berbuka dan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” (Hr. Muslim)
عَنْ سَهْلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " إِنَّ فِي الجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ: أَيْنَ الصَّائِمُونَ؟ فَيَقُومُونَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ "
3. Dari Sahl radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat pintu yang bernama Ar Rayyan, dimana melalui pintu itu orang-orang yang berpuasa akan masuk (ke surga) pada hari Kiamat, tidak ada yang masuk lewat pintu itu selain mereka, akan dikatakan, “Di mana orang-orang yang berpuasa?” Lalu mereka berdiri, hanya mereka saja yang masuk. Saat mereka telah memasukinya, maka pintu pun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang memasukinya.” (Hr. Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Tirmidzi. Ia (Tirmidzi) menambahkan, “Barang siapa yang memasukinya, maka tidak akan haus selama-lamanya.”)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَحِصْنٌ حَصِينٌ مِنَ النَّارِ "
4. Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Puasa adalah perisai dan benteng yang melindungi seseorang dari neraka.” (Hr. Ahmad dengan isnad yang hasan, dan Baihaqi)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ "، قَالَ: " فَيُشَفَّعَانِ "
5. Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Puasa dan Al Qur’an akan memberikan syafaat kepada seorang hamba pada hari Kiamat. Puasa akan berkata, “Ya Rabbi, aku telah mencegahnya dari makan dan mendatangi syahwatnya di siang hari, maka izinkan aku memberikan syafaat. Al Qur’an juga berkata, “Aku telah mencegahnya dari tidur di malam hari, maka izinkan aku memberikan syafaat.” Maka keduanya pun diberi izin.” (Hr. Ahmad, Thabrani dalam Al Kabir, para perawinya adalah para perawi yang dipakai hujjah dalam kitab shahih. Ibnu Abi Dunya dan lainnya juga meriwayatkan dalam kitab Al Juw’ dengan isnad hasan, demikian pula Hakim, ia berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim.” Dan dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Keutamaan Berpuasa Ketika Berjihad Fi Sabilillah
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا»
6. Dari Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah (atau karena Allah), maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ جَعَلَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ»
7. Dari Abu Darda radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaih wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, maka Allah akan mengadakan antara dia dengan neraka parit pemisah sebagaimana antara langit dan bumi.” (Hr. Thabrani dalam Al Awsath dan Ash Shaghir dengan isnad hasan, dan dinyatakan hasan lighairih oleh Al Albani).
Keutamaan Puasa Ramadhan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
8. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: «الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ»
9. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Shalat yang lima waktu, shalat Jumat yang satu ke shalat Jumat berikutnya, dan puasa Ramadhan yang satu ke puasa Ramadhan berikutnya akan menghapuskan dosa-dosa di antara keduanya apabila dia menjauhi dosa-dosa besar.” (Hr. Muslim)
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «احْضَرُوا الْمِنْبَرَ» فَحَضَرْنَا فَلَمَّا ارْتَقَى دَرَجَةً قَالَ: «آمِينَ» ، فَلَمَّا ارْتَقَى الدَّرَجَةَ الثَّانِيَةَ قَالَ: «آمِينَ» فَلَمَّا ارْتَقَى الدَّرَجَةَ الثَّالِثَةَ قَالَ: «آمِينَ» ، فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ سَمِعْنَا مِنْكَ الْيَوْمَ شَيْئًا مَا كُنَّا نَسْمَعُهُ قَالَ: " إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَرَضَ لِي فَقَالَ: بُعْدًا لِمَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَغْفَرْ لَهُ قُلْتُ: آمِينَ، فَلَمَّا رَقِيتُ الثَّانِيَةَ قَالَ: بُعْدًا لِمَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ قُلْتُ: آمِينَ، فَلَمَّا رَقِيتُ الثَّالِثَةَ قَالَ: بُعْدًا لِمَنْ أَدْرَكَ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ عِنْدَهُ أَوْ أَحَدُهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ قُلْتُ: آمِينَ
10. Dari Ka’ab bin Ujrah ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Siapkanlah mimbar!” Lalu Kami siapkan. Saat Beliau menaiki tangga, maka Beliau mengucapkan “Amin”, lalu naik tangga kedua Beliau juga mengucapkan “Amin”, dan ketika naik tangga yang ketiga, Beliau juga mengucapkan “Amin”. Saat Beliau turun, kami bertanya, “Wahai Rasulullah, pada hari ini kami mendengar darimu sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Jibril alaihis salam tampak ke hadapanku dan berkata, “Celakalah orang yang berjumpa bulan Ramadhan, namun dosa-dosanya tidak diampuni!” Aku menjawab, “Amin.” Saat aku menaiki tangga kedua, Jibril berkata, “Rugilah orang disebut namamu di sisinya, namun tidak bershalawat kepadamu!” Aku menjawab, “Amin.” Ketika aku naik tangga ketiga, ia berkata, “Celakalah orang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah satunya sudah tua, namun tidak membuatnya masuk surga.” Aku menjawab, “Amin.” (Hr. Hakim, ia berkata, “Shahih isnadnya,” dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Syaikh Al Albani menyatakan “Shahih lighairih.”)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ»
11. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah Azza wa Jalla mewajibkan kalian berpuasa. Pada bulan itu, pintu langit dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setan yang durhaka dibelenggu. Demi Allah, di dalamnya terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barang siapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka sungguh ia orang yang malang.” (Hr. Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ "
 12. Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jika tiba malam pertama bulan Ramadhan, maka setan-setan dan jin-jin durhaka dibelenggu (menurut Ibnu Khuzaimah kalimatnya “maka setan-setan durhaka dibelenggu”), pintu-pintu neraka ditutup sehingga tidak ada yang dibuka, dan pintu-pintu surga dibuka sehingga tidak ada yang ditutup. Ketika itu ada yang menyeru, “Wahai orang yang menginginkan kebaikan, datangilah!” Dan wahai orang yang menginginkan keburukan, berhentilah!” Banyak yang dibebaskan oleh Allah dari neraka, dan hal itu terjadi pada setiap malamnya (Hr. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَوْ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ - هُوَ شَكَّ، يَعْنِي الْأَعْمَشَ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ لِلَّهِ عُتَقَاءَ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، لِكُلِّ عَبْدٍ مِنْهُمْ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ "
13. Dari Abu Hurairah atau Abu Sa’id (Al A’masy rawi hadits ini ragu-ragu) ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan oleh-Nya (dari neraka) pada setiap siang dan malam (bulan Ramadhan), dan bagi setiap hamba memiliki doa mustajab.” (Hr. Ahmad, dinyatakan isnadnya shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Ancaman meninggalkan puasa Ramadhan
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُـ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أَتَانِيْ رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبُعِيْ فَأَتَيَا بِي جَبَلًا وَعْرًا فَقَالاَ اِصْعَدْ فَقُلْتُ إِنِّيْ لاَ أُطِيْقُهُ فَقَالاَ إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيْدَةٍ قُلْتُ مَا هَذِهِ اْلأَصْوَاتُ قَالُوْا هَذَا عَوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ثُمَّ انْطَلَقَ بِيْ فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلِّقِيْنَ بِعَرَاقِيْبِهِمْ مُشَقَّقَّةً أَشْدَاقُهُمْ تَسِيْلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ مَنْ هَؤُلاَءِ قَالاَ الَّذِيْنَ يُفْطِرُوْنَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
Abu Umamah Al Bahiliy radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua orang yang menghampiriku dan memegang  lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung yang sulit didaki. Keduanya berkata, "Naiklah" aku berkata, "Aku tidak sanggup mendaki." Keduanya berkata, "Kami akan memudahkannya untukmu." Maka aku pun naik. Ketika aku telah berada di tengah gunung tiba-tiba terdengar suara keras. Aku bertanya, "Suara apa ini?" Mereka menjawab, "Ini adalah jeritan penghuni neraka." Lalu aku diajak berjalan, tiba-tiba aku bertemu dengan beberapa orang yang tergantung dengan urat kakinya, sedangkan rahang mereka robek mengucurkan darah. Aku pun bertanya, "Siapakah mereka?" Keduanya menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum tiba waktunya." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kedua shahihnya, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihut Targhib no. 1005)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Shahih At Targhib wat Tarhib lil Mundziri (M. Nashiruddin Al Albani), Tuhfatul Ahwadzi (Abul Alaa M. Abdurrahman Al Mubarakfuri), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i] Dihubungkan kepada Allah adalah idhafat tasyrif yakni menunjukkan kemuliaan puasa di atas amalan yang lain.
[ii] Sampai di sinilah hadits qudsinya, selebihnya hadits nabawi.
[iii] Yakni penghalangnya dari maksiat dan dari api neraka.
[iv] kata-kata jorok yang menjurus ke jima’ atau berkata-kata kotor.

Kiat Mendidik Anak Menjadi Saleh

Sabtu, 23 September 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫كيف نربي أولادنا‬‎
Kiat Mendidik Anak Menjadi Saleh
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut beberapa kiat mendidik anak agar menjadi saleh, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Semua kita tentu menginginkan anaknya menjadi anak yang saleh; anak yang rajin beribadah kepada Allah, berbakti kepada orang tua, dan berakhlak mulia kepada sesama. Akan tetapi untuk mencapai ke arah sana, tidak cukup keinginan di hati tanpa ada usaha dari kita.
Banyak manfaat yang diperoleh orang tua ketika anaknya menjadi anak yang saleh, baik di dunia maupun di akhirat.
Di dunia, anak yang saleh akan berbakti kepada orang tuanya, meringankan bebannya, membahagiakannya, menyejukkan pandangan matanya, dan menafkahinya saat dirinya sudah tidak mampu bekerja dan berusaha, bahkan namanya pun menjadi harum karena kesalehan anaknya.
Adapun di akhirat, maka amal saleh dan doanya akan mengalir sampai kepadanya, permintaan ampunan anaknya juga akan sampai kepadanya sehingga dosa orang tuanya diampuni dan derajatnya semakin tinggi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، أَنَّى لِي هَذِهِ؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan meninggikan derajat seorang hamba yang saleh di surga, lalu ia berkata, “Ya Rabbi, darimana aku memperoleh hal ini?” Allah berfirman, “Karena permohonan ampunan anakmu untukmu.” (Hr. Ahmad dari Abu Hurairah, dan dinyatakan hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakannya.” (Hr. Muslim dari Abu Hurairah)
Bahkan, ia juga dapat berkumpul bersama anaknya di surga, dan tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi keluarga muslim, daripada berkumpul bersama di surga yang kekal abadi.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ
“Orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (di surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal mereka.” (Qs. Ath Thuur: 21)
Kiat Mendidik Anak Menjadi Saleh
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa untuk mendidik anak menjadi saleh tidak cukup keinginan di hati, bahkan harus ada usaha dan upaya dari kita, maka berikut ini beberapa upaya yang bisa kita lakukan agar anak kita menjadi anak yang saleh. Usaha tersebut ada yang sebelum seseorang menikah dan ada pula setelah menikah.
Sebelum menikah misalnya ia mencari istri yang salehah, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
تُنْكَحُ المَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita dinikahi seseorang karena empat; karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah yang baik agamanya, niscaya kamu beruntung.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Hal itu, karena istri kita yang akan senantiasa menampingi anak kita. Jika istri kita salehah, maka anak kita insya Allah akan ikut menjadi saleh.
Jika kita mendapatkan istri kita kurang salehah, maka langkah kita adalah mendoakannya dan mendidiknya. Jika kita tidak mampu mendidiknya, maka ajaklah ia untuk menghadiri majlis-majlis ta’lim agar mendapatkan terus taushiyah sehingga ia merubah jalan hidupnya.
Adapun setelah menikah dan memiliki anak, maka kiatnya adalah sebagai berikut:
1. Mendoakannya
Doa memiliki peranan penting dalam mendidik anak menjadi saleh. Lihatlah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam ketika ia berdoa,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Yaa Rabbi, berikanlah kepadaku anak yang termasuk orang-orang yang saleh.”
Maka Allah mengabulkannya, Dia berfirman,
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ
“Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang sangat sabar.” (Terj. Qs. Ash Shaaffaat: 101)
Allah memberikan kepadanya anak yang saleh, yaitu Ismail, bahkan dijadikan-Nya seorang nabi.
2. Mendidiknya di atas pendidikan Islam.
Tidak dapat tidak, orang tua harus mengajarkan dan mendidik anak dengan pendidikan Islam. Ia harus memperkenalkan kepada anaknya akidah yang benar, ibadah, adab dan akhlak, dsb. Hal ini sebagaimana Lukman mengajarkan hal itu kepada anaknya, lihat Qs. Luqman ayat 12-18.
Dan ingatlah  ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah  adalah benar-benar  kezaliman  yang besar" --Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada kedua orang orang tuanya;  ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah  kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. --Dan jika keduanya memaksamu untuk  mempersekutukan dengan  Aku  sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan  baik,  dan  ikutilah jalan   orang   yang  kembali  kepada-Ku,  kemudian  hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.---
Luqman melanjutkan kata-katanya lagi,
"Wahai anakku, sesungguhnya jika ada  seberat  biji  sawi,  dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan  mendatangkannya.  Sesungguhnya Allah Maha Halus  lagi Maha Mengetahui. ---Wahai anakku, dirikanlah shalat, suruhlah  mengerjakan yang   baik   dan cegahlah   dari  perbuatan yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya  yang  demikian itu  termasuk  hal-hal  yang diwajibkan .--Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia dan janganlah  kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Terj. Qs. Luqman: 12-18).
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mencantumkan kisah Lukman itu melainkan agar dijadikan pelajaran oleh para orang tua, dan agar mereka mengajarkan pendidikan agama kepada anak-anaknya.
Oleh karena itu, kenalkanlah kepada anak-anak kita tentang Allah dan keberkahan-Nya untuk diibadahi, seperti yang tertera di surat Al Fatihah dan surat Al Ikhlas. Kenalkan pula kepada mereka makna Laailaahaillallah dan Muhammad Rasulullah, agama Islam dan tingkatannya (Islam, Iman, dan Ihsan) berikut rukunnya dan penjelasan masing-masingnya. Demikian pula kenalkan kepada mereka Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dan ajarkanlah kepada mereka ibadah dan adab serta akhlak yang mulia (silahkan lihat di sini: http://wawasankeislaman.blogspot.co.id/2016/10/ajarkan-tauhid-sejak-dini.html )
Demikian pula hendaknya para orang tua menyuruh anaknya menutup aurat, seperti menyuruh puterinya menutup aurat dan memakai jilbab.
3. Memberikan teladan yang baik
Hendaknya orang tua memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya, karena anak memperhatikan perilaku orang tuanya. Jangan sampai ia memerintahkan anaknya berbuat baik, tetapi dirinya meninggalkannya, atau melarang anaknya berbuat buruk, tetapi dirinya malah mengerjakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, Padahal kamu membaca kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?” (Qs. Al Baqarah: 44)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الَّذِيْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَ يَنْسَى نَفْسَهُ مَثَلُ الْفَتِيْلَةِ تُضِيء ُلِلنَّاسِ وَ تُحَرِّقُ نَفْسَهَا
“Perumpamaan orang yang mengajar kebaikan kepada manusia namun ia melupakan dirinya sendiri adalah seperti sebuah sumbu, ia menerangi manusia, sedangkan dirinya sendiri terbakar.” (HR. Thabrani dari Abu Barzah dan Jundab, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 5837)
4. Membiasakan anak beribadah kepada Allah Ta’ala
Misalnya adalah membiasakan anak shalat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
مُرُوْا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي اْلمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak-anakmu shalat ketika berumur tujuh tahun, pukullah mereka jika meninggalkannya setelah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya.“ (Hr. Ahmad dan Abu Dawud, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
5. Melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar kepada mereka
Hendaknya seorang ayah tanggap dan tidak membiarkan prilaku buruk yang muncul pada diri anak dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar secara sabar dan kontinyu.  Apalagi dia adalah seorang pemimpin, dan akan dimintai pertanggung jawaban terhadap mereka yang di bawah pimpinannya. Jika seorang ayah tidak tanggap terhadap perilaku buruk pada anak, maka nantinya anak akan terbiasa berprilaku buruk, dan jika sudah seperti ini sangat sulit diarahkan.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), Mendidik Anak Secara Islam (Penulis), dll.

Sutrah Bagi Orang Yang Shalat

Rabu, 20 September 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫السترة في الصلاة‬‎
Sutrah Bagi Orang Yang Shalat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang sutrah bagi orang yang shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (Definisi) Sutrah
Sutrah artinya sesuatu yang diletakkan di depan orang yang shalat agar tidak dilewati.
Hukum sutrah
Dianjurkan bagi orang yang shalat menjadikan di depannya sutrah untuk menghalangi orang lain lewat di depannya serta menghalangi pandangannya dari melihat apa yang ada setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka shalatlah dengan sutrah, dan mendekatlah kepadanya.” (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika keluar (untuk shalat) pada hari raya, memerintahkan disiapkan tombak, lalu diletakkan di depannya untuk shalat menghadap kepadanya, sedangkan orang-orang di belakang Beliau. Beliau melakukan hal itu ketika safar, lalu diikuti oleh para pemerintah (setelahnya). (Hr. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Ulama madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat, bahwa dianjurkan menyiapkan sutrah bagi orang yang shalat adalah ketika dikhawatirkan akan dilewati seseorang. Jika dirasakan aman dari dilewati orang lain, maka tidak dianjurkan. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang, sedangkan di depan Beliau tidak ada apa-apa. (Hr. Ahmad, Abu Dawud, dan Baihaqi, ia berkata, “Hadits ini memiliki syahid dengan isnad yang lebih shahih daripada hadits ini dari Al Fadhl bin Abbas.” Namun hadits ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah karena beberapa alasan yang ia sebutkan di sana, di antaranya karena terdapat rawi bernama Hajjaj bin Arthah seorang mudallis dan ia melakukan ‘an’anah, sedangkan syahid yang disebutkan Baihaqi adalah munqathi (terputus) karena Abbas tidak berjumpa pamannya, yaitu Al Fadhl, wallahu a’lam).
Dengan sesuatu apa dianggap sebagai sutrah?
Sutrah tercapai dengan sesuatu yang dipancangkan oleh orang yang shalat meskipun dengan ujung sejadahnya.
Dari Shaburah bin Ma’bad ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَسْتَتِرْ لِصَلَاتِهِ، وَلَوْ بِسَهْمٍ
 “Apabilah salah seorang di antara kamu shalat, maka adakanlah sutrah meskipun dengan anak panah.” (Hr. Ahmad dan Hakim, ia berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim.” Haitsami berkata, “Para perawi Ahmad adalah para perawi kitab shahih.”)
Telah datang riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau terkadang shalat menghadap ke tiang yang ada di masjid, terkadang menghadap ke pohon, terkadang menghadap ke tempat tidur yang ketika itu di atasnya ada Aisyah radhiyallahu anha sedang berbaring tidur, dan terkadang menghadap ke kendaraannya sebagaimana Beliau juga pernah shalat menghadap ke kayu pelana.
Dari Thalhah ia berkata, “Kami pernah shalat, sedangkan hewan-hewan lewat di hadapan kami, lalu ia menyebutkan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda,
مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ تَكُونُ بَيْنَ يَدَيْ أَحَدِكُمْ، ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seukuran kayu pelana (kira-kira sejengkal) yang diletakkan di depan salah seorang di antara kalian (sudah cukup), lalu tidak masalah baginya sesuatu yang lewat di depannya.” (Hr. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan ia berkata, “Hasan shahih.”)
Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum
Hal ini berdasarkan hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya ia berkata, “Kami pernah turun bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari jalan tinggi Adzakhir (tempat yang berada dekat dengan Mekkah), lalu tiba waktu shalat, kemudian Beliau shalat menghadap ke dinding, menjadikannya sebagai kiblat, sedangkan kami shalat di belakangnya, lalu ada seekor anak kambing yang hendak lewat di hadapannya, maka Beliau berusaha menolaknya, sehingga perut Beliau menempel ke dinding, dan kambing itu pun lewat di belakangnya.” (Hr. Ahmad, dan Abu Dawud, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku pernah datang sambil menaiki keledai, dimana ketika itu aku hampir baligh. Saat itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat mengimami manusia di Mina, lalu aku lewat di depan sebagian shaf, aku lepas keledai untuk mencari makan, dan aku masuk ke dalam shaf, namun tidak ada seorang pun yang mengingkariku.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya lewat di depan makmum, dan bahwa sutrah hanyalah disyariatkan bagi imam dan orang yang shalat sendiri.
Anjuran mendekat kepada sutrah
Imam Al Baghawi rahimahullah berkata, “Ahli Ilmu menganjurkan agar seseorang mendekat kepada sutrah, dimana jarak antara dirinya dengan sutrah seukuran yang cukup untuk melakukan sujud, demikian pula antara shaf yang satu dengan shaf yang lain. Dalam hadits sebelumnya disebutkan, “Dan mendekatlah kepadanya.”
 Dari Bilal, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat, dimana jarak antara Beliau dengan dinding seukuran kurang lebih tiga hasta. (Hr. Ahmad, Nasa’i, dan Bukhari menyebutkan semakna dengan itu)
Dari Sahal bin Sa’ad ia berkata, “Jarak tempat shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan dinding seukuran jalan yang bisa dilewat kambing.”  (Hr. Bukhari dan Muslim)
Haramnya lewat di depan orang yang shalat (di bawah sutrahnya)
Hadits-hadits yang ada menunjukkan haramnya melewati orang yang shalat di bawah sutrahnya, dan bahwa hal itu termasuk dosa besar. Dari Busr bin Sa’id, ia berkata, “Sesungguhnya Zaid bin Khalid pernah mengutusnya menemui Abu Juhaim untuk bertanya kepadanya hadits yang didengarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang orang yang lewat di depan orang yang shalat, lalu Abu Juhaim berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
 “Kalau sekiranya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui hukuman yang menimpanya, tentu ia berdiri selama 40 lebih baik baginya daripada melewati orang yang sedang salat).” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Abu Nashr meriwayatkan dari Busr, ia berkata, “Aku tidak tahu, apakah Beliau bersabda, “40 hari, 40 bulan, atau 40 tahun,”
Dalam Fathul Bari disebutkan, “Zhahir hadits tersebut menunjukkan larangan lewat di depan orang yang shalat secara mutlak meskipun tidak mendapatkan jalan, bahkan hendaknya ia berhenti sampai orang yang shalat selesai melakukan shalat. Hal ini juga diperkuat oleh kisah Abu Sa’id yang akan datang. Maksud hadits di atas adalah kalau sekiranya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui seberapa besar dosa yang menimpanya karena melewati orang yang shalat, tentu ia lebih memilih berdiri dalam waktu tersebut agar tidak terkena dosa.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ibnu Hibban dan lainnya menyatakan, bahwa larangan yang disebutkan dalam hadits adalah ketika seseorang shalat memakai sutrah, jika tidak menghadap sutrah, maka tidak haram lewat di depannya.”
Abu Hatim Ibnu Hibban menyatakan demikian berdasarkan riwayatnya dalam shahihnya dari Muththalib bin Abi Wada’ah ia berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam seusai thawaf mendatangi pinggiran tempat thawaf, lalu shalat dua rakaat. Ketika itu antara Beliau dengan orang-orang yang thawaf tidak ada penghalang.”[i]
Ibnu Hibban juga berkata, “Dalam riwayat tersebut terdapat dalil bolehnya seseorang melewati orang yang shalat jika ia tidak shalat dengan sutrah, dan di dalamnya juga terdapat dalil yang jelas, bahwa ancaman keras berkenaan dengan orang yang lewat di depan orang yang shalat adalah ketika orang yang shalat memakai sutrah; bukan orang yang shalat tanpa memakai sutrah yang menghalanginya.”
Dalam Ar Raudhah disebutkan, “Kalau sekiranya seseorang shalat tanpa sutrah, atau ada sutrah namun dirinya berada jauh darinya, maka yang lebih shahih adalah ia tidak berhak menolaknya karena sikap remehnya, dan tidak haram ketika itu lewat di hadapannya, akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya.”
Disyariatkan menolak orang yang lewat di depan orang yang shalat
Jika orang yang shalat telah memakai sutrah, maka disyariatkan baginya untuk menolak orang yang lewat di hadapannya, baik manusia atau hewan. Tetapi jika lewat di atas sutrah, maka tidak disyariatkan menolaknya, dan tidak mengapa dilewati.
Dari Humaid bin Hilal, ia berkata, “Aku bersama kawanku pernah mengingat-ingat hadits, tiba-tiba Abu Shalih As Saman berkata, “Aku akan menyampaikan kepadamu hadits yang kudengar dari Abu Sa’id dan sikapnya yang kulihat. Saat aku dan Abu Sa’id Al Khudri shalat Jum’at dengan sutrah yang menghalangi manusia, tiba-tiba ada seorang pemuda dari Bani Abi Mu’aith hendak lewat di hadapannya, maka ia segera menolaknya di dadanya. Orang itu memperhatikan, dan ternyata ia tidak menemukan jalan selain melewati depan Abu Sa’id, maka ia mengulangi lagi dengan maksud dapat melewatinya, lalu Abu Sa’id menolaknya dengan tolakan yang lebih keras dari yang pertama, kemudian ia berhenti dan mendapat celaan dari Abu Sa’id, lalu ia mendatangi kerumunan orang, kemudian masuk ke rumah Marwan dan mengadukan kepadanya hal yang dialaminya, lalu Abu Sa’id juga masuk dan mendatangi Marwan, lalu Marwan berkata, “Ada apa engkau dengan putera saudaramu sehingga ia datang mengadukan tentang dirimu?” Abu Sa’id berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu alahi wa sallam bersabda,
«إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ»
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat ke sutrah yang menghalangi manusia, lalu ada seorang yang hendak melintas di hadapannya, maka tolaklah. Jika tetap hendak lewat di hadapannya, maka perangilah, karena dia adalah setan.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Sesuatu yang dapat memutuskan shalat
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ، وَالْمَرْأَةُ، وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ» قُلْتُ: يَا أَبَا ذَرٍّ، مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ؟ قَالَ: يَا ابْنَ أَخِي، سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ: «الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ»
Dari Abu Dzar ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka dapat menghalanginya jika ada sesuatu seukuran kayu pelana (kira-kira sejengkal). Jika tidak ada sesuatu seukuran kayu pelana, maka shalatnya dapat diputuskan oleh keledai, wanita (baligh), dan anjing hitam.” Aku pun bertanya, “Wahai Abu Dzar, mengapa anjing hitam, tidak anjing merah atau kuning?” Ia menjawab, “Wahai putera saudaraku, aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang hal itu sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku, lalu Beliau menjawab, “Anjing hitam adalah setan.” (Hr. Muslim)
Menurut Imam Ahmad, bahwa maksud memutuskan di hadits tersebut adalah membatalkan shalat seseorang. Namun menurut mayoritas ulama, bahwa shalat tidaklah batal karena sebab di atas. Mereka mentakwil maksud ‘memutuskan shalat’ pada hadits di atas kurang sempurnanya shalat karena disubukkannya hati karena perkara-perkara ini.
Menurut sebagian ulama, anjing hitam disebut setan adalah karena keadaannya yang suka menggigit, kotor, sedikit manfaatnya, dan sering mengantuk. Ada pula yang mengatakan, karena lebih berbahaya daripada yang lain. Ada pula yang menafsirkan hadits di atas, bahwa setan dapat merubah bentuk menjadi anjing hitam, wallahu a’lam.
Catatan:
Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Ibnu Baz rahimahullah,
“Saat saya berdiri melakukan shalat, tiba-tiba puteri saya yang usianya tiga tahun dan saudaranya yang berusia setahun setengah datang menghampiri saya, mereka bermain seperti yang biasa dilakukan anak-anak lainnya, lalu apa sikap saya terhadap mereka, apakah shalat saya sah ketika anak-anakku lewat di depanku dan di sekitarku?”
Jawab: Shalat tetap sah. Dan jika mudah mencegah mereka (anak-anak), maka itulah yang diinginkan syariat, yakni yang disyariatkan adalah mencegah orang yang lewat di depanmu, baik itu anak-anak, hewan, atau lainnya karena ada sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat menghadap sesuatu yang menghalanginya dari manusia, lalu ada seorang yang hendak lewat, maka cegahlah. Jika menolak, maka perangilah, karena ia adalah setan.” Maksudnya, jika mudah mencegah anak-anak atau hewan, hendaknya dicegah sesuai kemampuanmu. Namun jika engkau tidak mampu mencegahnya, maka tidak mengapa, kecuali jika yang lewat adalah wanita (baligh), keledai, atau anjing hitam, maka tiga hal itu dapat memutuskan shalat berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Akan diputuskan shalat seorang muslim oleh wanita, keledai, dan anjing hitam jika di depannya tidak ada seukuran cagak pelana,” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya). Adapun selain tiga hal ini, maka tidak memutuskan, tetapi mengurangi pahala. Apabila ada seorang laki-laki yang lewat, maka akan mengurangi pahala atau ada anak kecil yang lewat, maka dapat mengurangi pahala jika ia tidak menghalangi padahal mampu, atau hewan lainnya selain anjing hitam juga dapat mengurangi pahala. Tetapi tidak ada yang memutuskan selain tiga hal tersebut, yakni membatalkan shalat, yaitu wanita jika sempurna (baligh), keledai, dan anjing hitam. Adapun anak yang belum baligh, maka tidak memutuskan.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/14365/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%85%D8%B1%D9%88%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B7%D9%81%D8%A7%D9%84-%D8%A7%D9%85%D8%A7%D9%85-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B5%D9%84%D9%8A%D9%86)
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Haditsiyyah (www.dorar.net), Syarhun Nawawi ala Shahih Muslim (Imam Nawawi), Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (Muhammad Asyraf Al Azhim Abadi), dll.


[i] Namun hadits ini didhaifkan oleh Al Albani karena melalui riwayat Katsir bin Katsir bin Muththalib yang diperselisihkan isnadnya. Ibnu Uyaynah berkata, “Darinya, dari sebagian keluarganya, bahwa ia mendengar kakeknya, yaitu Muththalib...dst.” Ibnu Juraij berkata, “Telah mengabarkan kepadaku Katsir bin Katsir, dari ayahnya, dari kakeknya.” Sufyan berkata, “Aku pun pergi mendatangi Katsir dan bertanya, “Adakah hadits yang engkau riwayatkan dari ayahmu?” Ia menjawab, “Aku tidak mendengarnya dari ayahku. Bahkan sebagian keluargaku menceritakan kepadaku dari kakekku Muththalib.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Baihaqi. Ia juga berkata, “Ada yang mengatakan, dari Ibnu Juraij, dari Katsir , dari ayahnya ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku orang-orang terkemuka dari Bani Muththalib, dari Muththalib. Namun riwayat Ibnu Uyaynah lebih kuat.” Syaikh Al Albani menyatakan, “Poros riwayat ini ada pada sebagian keluarga Katsir, dan tidak disebutkan namanya sehingga majhul.”
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger