Panduan Berkurban
Salah satu Sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam di hari raya Idul Adh-ha adalah berkurban.
Berikut ini ahkam (hukum-hukum) singkat yang berkaitan dengan kurban.
Ta’rif (definisi) kurban
Kurban atau Al Udh-hiyyah adalah istilah untuk hewan
yang disembelih pada hari nahar (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (11, 12
dan 13 Dzulhijjah) untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Dalil disyari’atkannya berkurban
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْ (2)
“Sesungguhnya Kami telah memberikan
kepadamu nikmat yang banyak.--Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan
berkurbanlah. (Terj. Qs. Al Kautsar: 1-2)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata
tentang tafsir ayat tersebut, “Yakni sebagaimana Kami telah memberikan kepadamu
kebaikan yang banyak, salah satunya adalah sungai (Al Kautsar di surga) yang
telah disebutkan sifatnya, maka kerjakanlah shalat yang fardhu dan sunat karena
Tuhanmu dan berkurbanlah dengan menyebut nama-Nya saja, tidak ada sekutu
bagi-Nya.”
Hikmah berkurban
Di antara hikmahnya adalah untuk
menghidupkan Sunnah bapak para nabi yaitu Ibrahim ‘alaihis salam, membantu
fakir miskin dan menghibur mereka, merekatkan hubungan baik antara orang kaya
dengan orang miskin, tanda syukur kepada Allah, dll.
Hukum berkurban
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ
يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barang siapa yang memiliki kemampuan, namun tidak mau
berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami (lapangan
shalat ‘Iid).” (Hadits hasan, Shahih Ibnu Majah 2532)
Sedangkan yang lain berpendapat
bahwa hukumnya sunah
mu’akkadah (sunah
yang sangat ditekankan) beralasan dengan hadits berikut:
« إِذَا رَأَيْتُمْ
هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ
شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ » .
“Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit tanda tanggal satu)
Dzulhijjah, sedangkan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka
tahanlah (jangan dicabut) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)
Kata-kata “Salah seorang di
antara kamu ingin berkurban” menunjukkan sunatnya.
Namun untuk kehati-hatian, hendaknya
seorang muslim tidak meninggalkannya ketika ia mampu berkurban.
Bagi orang yang memiliki hutang, hendaknya
mendahulukan membayar hutang karena wajibnya melepaskan dzimmah
(tanggungan/beban) ketika sudah mampu.
Adapun berhutang untuk berkurban,
maka jika tampaknya ia bisa membayar seperti orang yang memiliki penghasilan
tetap, ia boleh berhutang untuk berkurban. Namun jika tampaknya ia agak
kesulitan membayar hutang, maka ia tidak perlu berhutang agar ia tidak
terbebani dengan hal yang syara’ memberikan keringanan dalam kondisi ini.
Hewan yang bisa dikurbankan
Hewan yang bisa dikurbankan hanyalah
unta, sapi dan kambing atau domba. Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ
اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“Dan bagi setiap
umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama
Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka,”
(Terj. Qs. Al Hajj: 34)
Di antara hewan-hewan ini, yang
paling utama adalah unta, sapi kemudian kambing. Namun kambing lebih utama
daripada patungan tujuh orang untuk berkurban unta atau sapi.
Usia hewan yang akan dikurbankan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ تَذْبَحُوْا إِلاَّ مُسِنَّةً ، فَإِنْ
تَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَاذْبَحُوْا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ
“Janganlah kalian menyembelih kecuali yang musinnah. Namun jika
kalian kesulitan, maka sembelihlah biri-biri (domba) yang jadza’ah.” (HR.
Muslim dari Jabir radhiyallahu 'anhu)
Maksud “musinnah“ adalah hewan yang
sudah cukup usianya. Jika berupa unta, maka usianya
Dan jika berupa biri-biri/domba maka
yang usianya setahun atau lebih di atas itu. Namun
jika tidak ada biri-biri yang usianya setahun maka boleh yang mendekati setahun
(9, 8, 7 atau 6 bulan), tidak
boleh di bawah enam bulan –inilah yang dimaksud dengan jadza’ah-
Hewan yang tidak boleh dikurbankan
Termasuk syarat bisa dikurbankan adalah selamatnya
hewan tersebut dari cacat, yakni cacat yang mengurangi dagingnya. Misalnya
sakit, kurang anggota badannya dan kurus kering.
Berikut ini beberapa cacat yang menjadikan hewan
tersebut tidak bisa dikurbankan:
1. Hewan
sakit, yang jelas sakitnya.
2. Hewan
buta sebelah, yang tampak jelas butanya.
3. Hewan
pincang, yang tampak jelas pincangnya.
4. Hewan
yang kurus tidak bersumsum.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"أَرْبَعٌ لَا
تَجُوزُ فِي اْلاَضَاحِي: اَلْعَوْرَاءُ
اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ
اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَجْفَاءُ اَلَّتِي لَا
تُنْقِي"
“Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu:
hewan buta sebelah yang jelas butanya, hewan sakit yang jelas sakitnya, hewan
pincang yang jelas pincangnya dan hewan kurus yang tidak bersumsum.” (HR.
Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih”)
Oleh karena itu, jika buta sebelah matanya tidak begitu
jelas, misalnya di salah satu matanya ada putih-putih, namun tidak menutupi
matanya, maka masih sah berkurban dengannya. Termasuk ke dalam hewan yang jelas
buta sebelah adalah hewan yang kedua matanya buta, karena keadaannya lebih
parah lagi.
Sedangkan yang jelas sakitnya adalah
sakit yang tampak sekali pengaruhnya bagi hewan kurban tersebut. Misalnya
membuat hewan tersebut tidak mau makan atau penyakit tersebut membuatnya
semakin kurus. Termasuk ke dalam hewan yang jelas sakitnya adalah Al Jarbaa’,
yakni hewan yang jelas berkudis.
Demikian pula termasuk ke dalam hewan yang jelas
pincangnya
adalah Az Zamnaa, yaitu hewan yang lemah dalam berjalan karena terserang
penyakit, demikian juga hewan yang terpotong tangan atau kakinya.
Catatan:
Jika cacatnya ringan, maka tidak mengapa. Misalnya di
matanya ada titik kecil, atau pincangnya tidak membuat hewan tersebut
tertinggal dari sekawanan kambing lainnya, demikian juga jika kurusnya tidak
terlalu kurus.
Hadits di atas berdasarkan mafhumnya, jika cacatnya selain
empat hal tadi atau yang semakna dengannya maka sah saja untuk berkurban.
Oleh karena itu, jika telinganya terbelah atau robek atau tanduknya patah, maka
tidak mengapa dikurbankan, karena hal itu tidak mengurangi dagingnya, di
samping itu cacat pada hal-hal tersebut sangat sering ditemukan, namun
afdhalnya adalah selamatnya hewan tersebut dari cacat-cacat itu.
Catatan:
Jika hewan kurban itu cacat dengan cacat yang
menjadikannya tidak sah, misalnya pincang (yang sebelumnya tidak), maka jika
cacat pada hewan kurban itu karena keteledorannya, maka ia wajib menggantinya
dengan hewan kurban yang tidak cacat, namun jika cacat itu bukan karena
keteledorannya, maka bisa dikurbankan dan sah.
Waktu menyembelih
Menyembelih dilakukan setelah shalat ‘Ied dan tidak sah
sebelumnya. Jundab radhiyallahu 'anhu berkata,
صَلَّى النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ
النَّحْرِ ثُمَّ خَطَبَ ، ثُمَّ ذَبَحَ فَقَالَ :« مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ
يُصَلِّىَ فَلْيَذْبَحْ أُخْرَى مَكَانَهَا ، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ
فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ » .
“Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam shalat (‘Ied) pada hari nahar, lalu berkhutbah
kemudian berkurban. Beliau bersabda, “Barang siapa yang menyembelih sebelum
shalat, maka sembelihlah hewan lagi sebagai gantinya dan barang siapa yang
menyembelih, maka sembelihlah dengan nama Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan boleh pada hari-hari tasyriq baik di malamnya
maupun siangnya sampai habisnya hari-hari tasyriq, karena Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Kullu ayyamittasayriq dzab-h.” (artinya:
Setiap hari-hari tasyriq adalah (waktu) menyembelih). (HR. Ahmad, Baihaqi, Ibnu
Hibban, Daruquthni. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami'
no. 4537)
Cukupnya satu kurban untuk satu keluarga
Abu Ayyub radhiyallahu 'anhu berkata: “Dahulu seseorang
di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam berkurban dengan seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya. Mereka
pun makan dari kurban itu dan memberi makan orang lain darinya, namun
orang-orang sekarang bermegah-megah sehingga seperti yang kamu lihat.” (HR.
Ibnu Majah dan Tirmidzi, Tirmidzi menshahihkannya, demikian pula Syaikh Al
Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2563)
Bolehnya patungan dalam kurban unta dan sapi
Boleh hukumnya patungan dalam kurban unta dan sapi dari
tujuh orang -baik antara mereka ada hubungan kerabat maupun tidak- jika mereka
semua bermaksud untuk berkurban dan mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wa
Ta'aala. Jabir radhiyallahu 'anhu berkata, “Kami berkurban unta dan sapi
dari tujuh orang bersama Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah.” (HR. Muslim)
Catatan:
Bolehkah dalam patungan kurban sapi jumlah anggotanya
kurang dari 7 orang?
Jawab: Boleh, sebagaimana bolehnya seorang diri berkurban
dengan sapi. Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Jika jumlah anggota
kurang dari tujuh orang, maka sah, dan mereka melakukan amalan sunah karena kelebihan
yang mereka berikan, sebagaimana sah kurban unta dari orang yang seharusnya
berkurban dengan kambing, sehingga ia beramal sunah dengan kelebihan yang ia
berikan.” (Al Umm 2/244)
Al Kasani dalam Bada’iush Shana’i (5/71) berkata,
“Tidak diragukan lagi bolehnya kurban unta atau sapi ketika jumlah anggota
kurang dari tujuh orang, misalnya hanya dua orang, tiga orang, empat, lima,
atau enam orang pada hewan unta atau sapi. Hal itu, karena jika boleh tujuh
orang, maka kurang dari itu lebih boleh lagi. Demikian pula boleh sama jumlah
biaya atau berbeda yang dikeluarkan, misalnya sebagian di antara mereka ada
yang separuh, ada pula yang sepertiga, atau seperenam ketika jumlahnya tujuh
orang.”
Membagi-bagikan hewan kurban
Dianjurkan
membagi-bagikan kurban tiga bagian. Misalnya sepertiga dimakan orang yang
berkurban, sepertiga disedekahkan kepada orang fakir dan sepertiga lagi untuk
dihadiahkan kepada kerabat dan teman-teman atau tetangga. Kalau pun
disedekahkan semuanya maka tidak mengapa. Namun lebih utama adalah membagi
menjadi tiga bagian. Karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُوْا وَادَّخِرُوْا
وَتَصَدَّقُوْا
“Makanlah, simpanlah dan sedekahkanlah.”
(Bukhari dan Muslim)
Syaikh
Al Albani rahimahullah berkata, “Hewan kurban harus ada yang
disedekahkan tanpa ada batasan tertentu seperti yang disangka sebagian orang,
bahwa kurban harus dibagi tiga; sepertiga dimakan pada hari raya, sepertiga
disedekahkan, dan sepertiga lagi disimpan. Penetapan sepertiga ini tidak ada
dasarnya, dibagi tiga tanpa batasan tertentu memang ada riwayatnya, karena
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu aku melarang
kalian menyimpan daging hewan kurban. Ingatlah, sekarang silahkan makan,
sedekahkan, dan simpan.” (Hr. Muslim)
(Silsilatul
Huda wan Nur kaset no. 20)
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Bersedekah 1/3 dari hewan kurban
tidaklah wajib. Engkau boleh makan sebagian besar daging kurban dan menyisakan
sedikit untuk engkau sedekahkan, sedangkan sisanya engkau makan. Akan tetapi
yang utama adalah engkau sedekahkan, engkau hadiahkan, dan engkau makan.” (Fatawa
Nur Alad Darb kaset 321)
Catatan:
- Sebaiknya ia berkurban di tempatnya tanpa mengirim uang
ke suatu
tempat yang terlihat sangat membutuhkan agar orang-orang di
-
Kurban yang
dibagikan boleh sudah dimasak, boleh juga belum dimasak (dari Fatwa Lajnah
Daa’imah).
-
Tidak boleh menjual
bagian mana saja dari kurban itu, adapun bagi orang yang dihadiahkan kurban
atau diberikan sedekah dari kurban itu, maka urusannya terserah dia, dia boleh
menjualnya maupun menghibahkannya, karena itu miliknya tetapi ia tidak boleh
menjualnya kepada orang menghadiahkannya atau menyedekahkannya.
-
Tukang yang
menyembelihnya tidak boleh diberikan upah dari daging kurban itu, namun ia
boleh diberi upah dari lainnya sebagai imbalan atas jasanya. Ali radhiyallahu
'anhu mengabarkan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya untuk
mengurus unta-untanya dan menyuruhnya untuk dibagikan unta-unta itu baik
dagingnya, kulitnya maupun pakaiannya kepada orang-orang miskin dan tidak
memberikan jasa pemotongan dari kurban itu sedikitpun.” (HR. Muslim)
-
Diperbolehkan
memberikan daging hewan kurban kepada orang kafir yang bukan kafir harbi (yang
memerangi Islam), seperti kafir musta’min (meminta keamanan) dan kafir mu’ahad
(mengadakan perjanjian damai). (lihat Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Baz
18/47)
Dianjurkan menyembelih sendiri (tanpa mewakilkan)
Disunatkan bagi orang yang berkurban untuk menyembelih
sendiri, meskipun boleh mewakilkannya kepada seorang muslim yang lain.
Sebelumnya orang yang berkurban mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ اَكْبَرُ, اَللَّهُمَّ هَذَا
عَنِّيْ وَعَنْ آلِ بَيْتِيْ
Artinya: “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya
Allah, ini dariku dan keluargaku.”
Atau jika diwakilkan, maka wakilnya mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ اَكْبَرُ, اَللَّهُمَّ هَذَا
عَنْ...
Ia sebut nama orang yang berkurban.
karena Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyembelih seekor kambing
mengucapkan, “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, ini dariku dan
umatku yang tidak mampu berkurban.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Syaikh Al Albani
berkata, “Kurban yang Beliau lakukan dengan menyebutkan juga dari umatnya yang
belum sempat berkurban adalah termasuk kekhususan Beliau sebagaimana dikatakan
Al Haafizh dalam Al Fat-h.”
Hukum menghadiahkan
pahala kurban untuk mayit
Menurut jumhur fuqaha dari kalangan madzhab Hanafi,
Maliki, Hanbali dan sebagian ulama madzhab Syafi’i, bahwa berkurban dari mayit
hukumnya boleh meskipun si mayit tidak berwasiat demikian, dan bahwa pahalanya
akan sampai kepadanya dengan izin Allah Ta’ala. Dalam Shahih Muslim dari
Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
dihadirkan hewan kurban untuk disembelihnya, lalu Beliau membaringkannya dan
mengucapkan,
بِاسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ
مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah dari Muhammad,
keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad.”
Lalu Beliau mengurbankannya.
Sudah menjadi maklum, bahwa umat Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam termasuk pula mayitnya. Hal ini menunjukkan
bolehnya berkurban dari mayit. Termasuk pula berpuasa untuk mayit juga boleh
ketika si mayit meninggal dalam keadaan punya tanggungan puasa. Demikian pula
haji. Jika puasa yang merupakan ibadah badan dan haji yang merupakan ibadah
harta sampai pahalanya kepada mayit, maka sampainya pahala kurban kepada mayit
lebih patut lagi. Di samping itu, para ulama juga berpendapat sampainya sedekah
dari (atas nama) mayit, sedangkan kurban termasuk bagian sedekah.
Ulama madzhab Maliki berpendapat boleh secara umum namun
masih bercampur makruh, mereka berkata –sebagaimana dalam Syarh Mukhtashar
Khalil karya Al Khurasyi (3/42)- ,
“Makruh bagi seseorang berkurban dari mayit karena khawatir riya dan
berbangga-bangga, dan karena tidak ada dalilnya terhadap hal itu.”
Pemilik kitab Al Uddah dan Imam Al Baghawi
berkata, “Tidak sah berkurban dari mayit kecuali jika ia mewasiatkan, demikian
yang dikuatkan oleh Ar Rafi’i.” (Al Majmu 8/380), wallahu a’lam.
Kurban Dulu atau Aqiqah?
Menurut Syaikh Mahmud Syalabi sekjen fatwa di Darul Ifta
al Mishriyyah, ketika seseorang mendapatkan karunia Allah berupa kelahiran seorang
anak dan bersamaan dengan itu disyariatkan berkurban, dan ia tidak mampu
menyembelih untuk kedua-duanya (aqiqah dan kurban), maka kurban lebih didahulukan
di samping karena terbatasnya waktu kurban dan luasnya waktu aqiqah (Lihat: https://www.elbalad.news/3380797 )
Demikian juga menurut ulama madzhab Maliki dan Syafi’i
dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa tidak tidak bisa berkurban
sekaligus sebagai aqiqah. Alasannya adalah karena masing-masing ada sunnah yang
punya maksud berbeda.
Namun menurut ulama madzhab Hanafi –juga sebagai salah satu
riwayat dari Imam Ahmad-, yang juga merupakan pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad
bin Sirin, dan Qatadah, bahwa sah berkurban sekaligus sebagai aqiqah. Alasannya
adalah karena maksud dari keduanya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah
dengan menyembelih hewan, sehingga salah satunya bisa masuk ke yang lain
sebagaimana shalat tahiyyatul masjid masuk ke shalat qabliyyah bagi orang yang
baru masuk masjid.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim juga berpendapat demikian, ia
berkata, “Jika bersamaan antara kurban dengan aqiqah, maka sebuah keluarga
cukup satu saja dengan niat kurban dari dirinya, lalu ia sembelih kurban itu
dan masuk pula ke dalamnya aqiqah.”
Bagian yang dipotong ketika menyembelih hewan
Menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad bahwa yang dipotong
pada hewan sembelihan minimal tenggorokan (saluran pernafasan) dan kerongkongan (saluran makanan). Namun menurut Abu
Hanifah, bahwa penyembelhan tidak sah kecuali dengan memotong dua urat leher
dan hulqum (tenggorokan).
Sebagian ulama berpendapat, bahwa bagian yang mesti
dipotong adalah tiga dari empat bagian, bisa dua urat leher dan tenggorokan,
atau dua urat leher dan kerongkongan, atau kerongkongan dan tenggorokan serta
satu urat leher.
Menurut sebagian Ahli Ilmu, bahwa bagian yang lebih cepat
mematikan adalah dua urat leher, sehingga madzhab Abu Hanifah sangat tepat,
namun lebih utama adalah memotong empat bagian; dua urat leher, kerongkongan,
dan tenggorokan.
Kurban Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam
عَنْ أَنَسٍ t قَالَ : ضَحَّى
النَّبِيُّ r بِكَبْشَيْنِ
أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ ، وَسَمَّى وكَبَّرَ ، وَوَضَعَ
رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
Dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia
berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor kambing
jantan berwarna putih ada hitamnya dan bertanduk. Beliau menyembelih kedua
hewan itu dengan tangannya sendiri setelah menyebut nama Allah dan bertakbir,
dan Beliau menaruh kakinya di samping leher kambing tersebut.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hadits ini menunjukkan:
1. Hewan kurban jantan lebih utama dari
hewan kurban betina.
2. Hewan
kurban bertanduk lebih utama daripada yang tidak bertanduk (Al Ajamm).
3. Disyariatkan
mencari hewan kurban yang sifat dan warnanya bagus. Misalnya hewan kurban tersebut
gemuk dan bagus. Yang paling bagus adalah Al Amlah yaitu yang putih polos
atau ada hitamnya sedikit. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa hewan kurban
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di bagian perut, kaki dan sekitar matanya
berwarna hitam (HR. Muslim).
4. Mengucapkan
basmalah hukumnya wajib, sedangkan ucapan takbir hukumnya sunah.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Ahaadits ‘Asyri Dzil hijjah (Abdullah bin Shalih Al Fauzan), Fiqhus Sunnah (Syaih Sayyid Sabiq), Zaadul Ma’ad (Ibnul Qayyim), Malkhash Fiqhiy (Syaikh Shalih Al Fauzan), Subulus Salam (Imam ash Shan’ani), Minhaajul Muslim (Abu bakar Al Jazairiy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar