بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Ijarah (bagian 3)
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah,
kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan
pembahasan tentang ijaraah, kami berharap kepada Allah agar Dia menjadikan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahhumma aamin.
Menyewa ibu susu
Suami memberi bayaran dengan
menyewa istrinya untuk menyusui anaknya adalah tidak boleh, karena hal itu
merupakan hal yang wajib dilakukannya dan tanggung jawabnya antara dia dengan
Allah Ta’ala[i].
Adapun
menyewa ibu susu selain ibu kandungnya, maka hal itu boleh dengan bayaran
tertentu. Demikian juga dibolehkan dengan bayaran memberinya makan dan pakaian,
dan ketidakjelasan upah dalam hal ini tidaklah menimbulkan perselisihan.
Kebiasaan berjalan, yakni seringnya berlaku saling menghargai dengan para ibu
susu dan memberikan kecukupan bagi mereka karena sayang kepada anak.
Namun
disyaratkan harus diketahui lamanya penyusuan, mengetahui si anak secara
langsung dan di mana tempat disusukannya. Allah subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
“Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Terj.
QS. Al Baqarah: 233)
Kedudukan
ibu susu itu seperti orang sewaan khusus. Oleh karena itu, ia tidak boleh
menyusukan anak yang lain.
Bagi
ibu susu itu harus melakukan penyusuan dan mengerjakan hal yang dibutuhkan anak
seperti memandikannya, mencuci bajunya, memasak makananannya, sedangkan bagi
bapak harus memberi nafkah makanan dan hal yang dibutuihkan si anak seperti
minyak dan wewangian. Jika si anak meninggal atau ibu susu tersebut meninggal,
maka batallah ijarah. Hal itu, karena manfaat saat ibu susu meninggal menjadi
hilang dengan hilang tempat (menyusui). Di samping itu, jika si anak meninggal
bagaimana bisa dipenuhi apa yang diakadkan itu.
Menyewa dengan upah makanan dan
pakaian
Para
ulama berbeda pendapat tentang menyewa dengan bayaran makanan dan minuman,
sebagian ulama ada yang membolehkan sedangkan yang lain melarang. Alasan orang
yang membolehkan kisah Nabi Musa ‘alaihis salaam yang menyewakan dirinya selama 8 atau 10
tahun agar farjinya terpelihara dan perutnya tercukupi.
Inilah
yang dipegang oleh Imam Malik dan ulama madzhab Hanbali, sedangkan Abu Hanifah
membolehkan hanyalah jika yang menyewakan dengan upah makanan dan pakaian itu
adalah ibu susu bukan pembantu. Sedangkan Imam Syafi’i, Abu Yusuf, Muhammad,
ulama madzhab Hadawi dan Al Manshur billah berpendapat bahwa hal itu tidak sah,
karena tidak jelas bayarannya.
Sedangkan
ulama madzhab Maliki yang membolehkan menyewa seseorang dengan bayaran makanan
dan pakaian, bahwa hal itu sesuai ‘uruf yang berlaku. Mereka berkata, “Kalau
sekiranya ada seorang yang berkata, “Potongilah (panen) tanamanku, dan kamu
akan memperoleh setengahnya atau tumbuklah dia atau peraslah minyak, maka miliknya
itu setengahnya, “ maka boleh. Namun jika yang dikehendaki adalah setengah yang
keluar daripadanya, maka tidak boleh karena tidak jelas.
Menyewakan tanah[ii]
Sah
menyewakan tanah, namun disyaratkan harus menerangkan untuk apa disewa seperti menanam
atau membangun. Jika untuk bercocok tanam, maka harus diterangkan apa yang akan
ditanam, kecuali jika mu’jir (pemberi sewaan) mengizinkan menanam semaunya.
Jika syarat tersebut belum terpenuhi, maka ijarah menjadi fasid, karena manfaat tanah bisa berbeda sesuai bedanya bangunan
dan tanaman sebagaimana berbedanya penundaan pohon yang ditanam, ia pun berhak
menanam tanaman lain selain yang disepakati dengan syarat bahaya yang
ditimbulkan sama seperti bahaya yang ditimbulkan dari tanaman yang disepakati itu atau kurang
dari itu. Sedangkan Dawud berpendapat, “Ia tidak berhak begitu.”
Menyewakan binatang
Sah
menyewakan binatang, namun disyaratkan jelas lamanya atau tempatnya sebagaimana
disyaratkan harus jelas untuk apa disewakan seperti untuk dipakai mengangkut
atau dikendarai serta harus jelas barang apa yang diangkut dan siapa yang
menungganginya. Jika hewan yang disewa itu binasa, jika disewa dalam keadaan
bercacat, lalu binasa maka batallah ijaarah. Tetapi, jika disewa dalam keadaan tidak
bercacat, lalu binasa maka tidak batal ijaarah. Bagi pemberi sewaan hendaknya
menggantikan hewan yang lain, ia tidak berhak membatalkan akad, karena ijarah
terletak pada manfaat yang masih dalam tanggungan, dan pemberi sewaan belum
selesai memenuhi kewajibannya dari akad, dan hal ini telah disepakati di antara
para fuqaha’ madzhab yang empat.
Mempersewakan rumah untuk ditempati
Mempersewakan
rumah untuk ditempati membolehkan dimanfaatkan tempatnya baik akan ditempati
oleh penyewa maupun ditempati yang lain dengan mengi’aarahkan (meminjamkan)
atau mengijarahkan (menyewa) dengan syarat orang yang menempatinya tidak
menimpakan bahaya kepada bangunan atau merusaknya seperti tukang besi dsb.
Hendaknya orang yang menyewakan (mu’jir) menyempurnakan manfaat agar musta’jir
(penyewa) dapat memanfaatkannya sesuai ‘uruf.
Mempersewakan barang sewaan
Bagi
musta’jir (penyewa) diperbolehkan menyewakan barang yang disewakan. Jika berupa
binatang, maka wajib baginya menerangkan bahwa pekerjaan yang dilakukan harus
sama atau hampir sama dengan pekerjaan yang karenanya ia menyewa agar tidak
memadharratkan binatang. Dan boleh baginya menyewakan barang yang disewakan
apabila telah dipegangnya dibayar dengan bayaran yang sama atau lebih atau
kurang, ia pun berhak mengambil sesuatu yang biasa disebut dengan khulw.
Binasa barang yang disewakan
Barang
yang disewakan adalah amanah di tangan musta’jir, karena ia memegangnya untuk
memperoleh manfaat yang memang berhak. Ketika binasa, maka ia tidak menanggung
kecuali jika dia melampaui batas atau meremehkan dalam menjaganya. Barang siapa
yang menyewa binatang untuk ditunggangi, lalu ia menarik kepala hewan dengan
kekang seperti yang biasa yang dilakukan, maka ia tidak menanggung apa-apa.
Ajiir (pekerja atau orang yang
disewa)
Ajiir
ada yang khaas dan ada yang 'aam.
Ajiir
khaas adalah orang yang disewa dalam waktu tertentu untuk bekerja dalam waktu
tersebut. Jika waktunya tidak diketahui, maka ijarah menjadi fasid (batal).
Bagi masing-masing, yakni ajiir (orang sewaan) maupun musta'jir (penyewa)
berhak membatalkan ijarah kapan saja mereka mau.
Dalam
ijarah, jika ajiir menyerahkan dirinya kepada musta'jir (penyewa) dalam waktu
tertentu, maka ajiir dalam kondisi ini tidak berhak selain upah mitsil
(standar) sesuai masa dia bekerja.
Sedangkan
ajiir khaas (khusus) dalam masa yang telah diakadkan tidak boleh bekerja untuk
selain musta'jirnya. Jika dalam masa tersebut ia bekerja untuk selainnya, maka
upahnya berkurang sesuai amalnya.
Si
ajiir berhak menerima upah kapan saja ia menyerahkan dirinya dan tidak menolak
bekerja di mana ia memang disewa untuk itu.
Demikian
juga ia berhak menerima upah secara sempurna jika pembatalan dari pihak
musta'jir sebelum selesai masa yang
telah disepakati dalam akad selama di sana tidak ada udzur yang menghendaki
untuk dibatalkan, misalnya si ajir tidak sanggup bekerja atau sakit yang tidak
memungkinkan untuk melanjutkan. Jika terdapat udzur berupa cacat atau ketidak
sanggupan, lalu musta'jir membatalkan ijarah, maka ajiir tidak berhak selain
upah selama masa kerjanya, dan musta'jir tidak wajib membayar sempurna.
Sedangkan
ajir khaas (khusus) seperti wakil, yakni bahwa dirinya menjadi amiin
(penanggung jawab) terhadap amal yang dibebankan padanya, sehingga ia tidak
menanggung sesuatu yang rusak kecuali jika dia melampaui batas atau meremehkan.
Jika ia meremehkan atau melampaui batas, maka ia menanggung seperti amin
(penannggung jawab) lainnya.
Ajiir
Musytarik
Ajiir
Musytarik maksudnya adalah ajiir yang bekerja lebih dari satu pekerjaan, yakni
ia ikut serta dalam memberikan manfaat, seperti tukang celup/warna, tukang
jahit, tukang besi, tukang kayu dan tukang penatu (penyeterika). Tidak berhak
bagi orang yang menyewanya untuk mencegah pekerjaannya untuk orang lain, ia
(ajir) pun tidak berhak memperoleh upah kecuali dengan bekerja.
Lalu,
apakah tangannya menjadi tangan penanggung atau tangan yang diamanahkan?
Ali,
Umar, Syuraih, Abu Yusuf, Muhammad dan ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa
tangan ajir musytarik adalah tangan penanggung, sehingga ketika ada yang
binasa, maka ia menanggung meskipun ia tidak melakukan sikap melewati batas
atau meremehkan, hal ini untuk menjaga harta manusia dan memelihara maslahat
mereka.
Imam
Baihaqi meriwayatkan dari Ali radhiyallahu 'anhu bahwa ia pernah menanggung
tukang celup dan tukang pembuat barang, ia berkata, "Tidak akan baik
manusia kecuali dengan cara seperti itu."
Ia
juga meriwayatkan bahwa Imam Syafi'i rahimahullah pernah menyebutkan
bahwa Syuraih pergi untuk menanggung tukang celup, ia menanggung tukang celup
yang rumahnya terbakar, lalu tukang itu berkata: "Engkau menanggung
diriku, padahal rumahku terbakar?!" Maka Syuraih berkata: "Bagaimana
menurutmu, jika seandainya rumah orang lain terbakar, tentu kamu akan
meninggalkan upahmu untuknya."
Imam
Abu Hanifah dan Ibnu Hazm berpendapat, bahwa tangannya adalah tangan amanah.
Oleh karena itu, ia tidaklah menanggung kecuali jika ia melampaui batas atau
meremehkan. Inilah pendapat yang shahih dari pendapat ulama madzhab Hanbali dan
yang shahih dari pendapat Imam Syafi’i.
Ibnu
Hazm berkata, “Ajiir musytarik
maupun yang bukan musytarik tidak menanggung apa-apa, demikian pula bagi
pembuatnya sama tidak menanggung, kecuali jika telah jelas ia melampaui batas
atau menyia-nyiakannya.”
Pembatalan
ijaarah dan waktu habisnya
Ijaarah
merupakan akad yang mesti, di mana masing-masing pelaku akad tidak memiliki hak
membatalkan, karena ia merupakan akad mu'aawadhah (timbal balik), kecuali jika
ada sesuatu yang mengharuskan dibatalkan seperti adanya 'aib sebagaimana akan diterangkan
nanti.
Oleh
karena itu, ijaarah tidaklah batal karena meninggalnya salah satu pelaku akad
dengan masih selamatnya yang diakadkan, dan akan digantikan oleh ahli warisnya
baik yang meninggal mu'jir (penyewa) atau musta'jir (ajiir), berbeda dengan
pendapat ulama madzhab Hanafi, Zhahiri, Asy Sya'biy, Ats Tsauri dan Al Laits
bin Sa'ad.
Demikian
juga tidak batal dengan dijualnya barang yang disewakan kepada musta'jir
(ajiir) atau kepada yang lain dan diterima oleh pembeli jika bukan musta'jir
pembelinya setelah habis masa ijaarah.[iii]
Ijarah
menjadi batal karena sebab-sebab berikut:
1. Datang
tiba-tiba cacat terhadap yang diijarahkan, di mana ketika itu ada di tangan
musta'jir atau tampak aib yang sudah lama.
2. Jika barang
yang disewakan binasa. Misalnya ketika disewakan hewan, ternyata hewannya mati
atau ketika disewakan rumah, ternyata rumahnya roboh atau ketika tanah
disewakan, lalu aliran arnya tersendat.
3. Binasa sesuatu
yang karenanya disewakan, seperti baju yang diminta untuk dijahit, karena
bagaimana akan dilanjutkan jika sudah binasa.
4. Hilangnya
tujuan ijarah yang karenanya akad ijarah dilakukan. Misalnya menyewa dokter
agar menyembuhkannya, lalu ternyata sudah sembuh terlebih dahulu, hal ini
menjadi batal karena bagaimana menjalankan akadnya.
5. Sudah selesai manfaat
yang karenanya akad dilakukan atau pekerjaan selesai atau waktunya sudah habis,
kecuali jika di sana terdapat 'udzur yang menghalangi untuk dibatalkan,
misalnya waktu ijarah tanah untuk digarap habis sebelum tanaman diketam
sehingga masih di tangan musta'jir dengan upah mitsil (standar) sampai ia
selesai mengetam walaupun harus memaksa mu'jir untuk mencegah madharrat bagi
musta'jir karena dicabut tanaman sebelum tiba waktunya.
6. Ulama madzhab
Hanafi berkata, "Boleh membatalkan ijarah karena uzur yang timbul meskipun
dari pihaknya, misalnya seseorang menyewakan kedai untuk dagang, lalu ternyata
hartanya terbakar atau dicuri atau dirampas atau ia bangkrut, sehingga ia pun
berhak membatalkan ijarah."
7. Siapa saja yang
disewa untuk mengerjakan suatu pekerjaan, lalu ia sakit. Maka ia menyiapkan
orang lain untuk menggantikan posisinya, kecuali jika sebelumnya mensyaratkan
agar pekerjaan itu dikerjakan olehnya saja, karena tujuan utama terkadang tidak
tercapai jika dengan pekerjaan orang lain. Ketika ini musta’jir tidak mesti
menerima pekerjaaan orang lain, akan tetapi ia diberi pilihan antara tetap
bersabar dan menunggu sampai pekerja sembuh atau dibatalkan karena kesulitan
mendapatkan haknya.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al
Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar,
Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iriy), dll.
[i] Ini adalah madzhab imam yang tiga,
Malik menambahkan: “Bahkan si isteri wajib dipaksa melakukan hal itu, kecuali
jika ia wanita terhormat dan tidak biasa menyusukan orang yang sepertinya”,
Ahmad berkata: “Bisa sah.”
[ii] Lebih jelasnya lihat masalah
muzaara’ah.
[iii] Hal ini merupakan madzhab Malik dan
Ahmad. Abu Hanifah berkata, "Tidak boleh dijual kecuali dengan ridha
musta'jir atau ia punya hutang yang ditahan oleh hakim karena sebab itu, maka ia
menjual untuk menutup hutangnya.”
0 komentar:
Posting Komentar