بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh
Hajr (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Sebelumnya telah dibahas sebagian masalah hajr dan
berikut ini lanjutannya. Semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
H. Hajr
terhadap orang yang susah
Hajr
diberlakukan terhadap orang muflis apabila keadaannya belum jelas susahnya.
Jika telah jelas susahnya, maka ia tidak ditahan dan tidak dihajr, para
penagihnya juga tidak boleh memaksanya bahkan ia wajib diberi tangguh sampai ia
lapang. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.” (Al Baqarah: 280)
Imam Muslim meriwayatkan
bahwa ada seorang yang punya banyak hutang, buah-buah yang dibelinya terkena
musibah sehingga hutangnya menumpuk, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Bersedekahlah kepadanya", maka orang-orang pun bersedekah
kepadanya, namun ternyata belum cukup untuk melunasi. Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para penagihnya:
خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِكَ
"Ambillah yang kalian dapatkan, kalian hanya memperoleh itu
saja."
Menunggu orang yang susah
pahalanya berlipat ganda, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا
فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَهُ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ فَإِذَا حَلَّ
الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلاَهُ صَدَقَةٌ
“Barang siapa yang memberi tangguh orang yang susah, maka ia memperoleh
pahala sedekah pada setiap harinya sebelum tiba waktunya. Jika sudah tiba
waktunya, lalu ia memberi tangguh, maka ia mendapatkan pahala sedekah dua kali
lipat pada setiap harinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Hakim, dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6108)
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ
اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ
“Barang siapa yang memberi
tangguh orang yang susah atau menguranginya, maka Allah akan menanunginya pada
hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.”(HR. Ahmad dan Muslim)
عَنْ
حُذَيْفَةَ رضي الله عنهم قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم «
تَلَقَّتِ الْمَلاَئِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَقَالُوا
أَعَمِلْتَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَالَ لاَ . قَالُوا تَذَكَّرْ . قَالَ كُنْتُ
أُدَايِنُ النَّاسَ فَآمُرُ فِتْيَانِى أَنْ يُنْظِرُوا الْمُعْسِرَ
وَيَتَجَوَّزُوا عَنِ الْمُوسِرِ - قَالَ - قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ تَجَوَّزُوا
عَنْهُ » .
Dari Hudzaifah
radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Para malaikat bertemu dengan ruh
seorang yang hidup sebelum kamu lalu mereka berkata (kepadanya), “Pernahkah
kamu berbuat baik meskipun sedikit?” Dia menjawab, “Tidak.” Mereka berkata,
lagi, “Cobalah ingat,” Ia pun berkata, “Aku pernah memberi pinjaman kepada
orang lain, lalu aku memerintahkan pelayanku untuk memberi tangguh kepada orang
yang susah dan mempermudah yang mampu membayar.” Allah ‘Azza wa Jalla pun
berfirman, “Maafkanlah (kesalahan) dia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan lebih besar lagi
keutamaannya adalah jika sampai membebaskan orang yang kesulitan dari berhutang
berdasarkan ayat yang telah disebutkan.
I. Keadaan orang yang
berhutang
Dari penjelasan di atas
jelas dapat kita simpulkan, bahwa orang yang berhutang ada dua keadaan:
Keadaaan pertama, hutangnya diberikan tempo, maka
hutang ini tidak bisa dituntut sampai tiba waktunya, ia pun tidak mesti
membayar sebelum tiba waktunya. Jika harta miliknya kurang dari hutang yang
diberi tempo waktu pembayaran, maka tidak juga dihajr karena hal tersebut dan
ia pun tidak dicegah melakukan tindakan terhadap hartanya.
Keadaan kedua, hutang tersebut harus dibayar
segera. Maka ketika ini ada dua keadaan:
1.
Hartanya melebihi hutangnya, maka tidak dihajr
hartanya, akan tetapi diperintahkan untuk membayar hutangnya ketika dituntut
oleh para penagihnya. Jika ia enggan membayar maka dipenjarakan dan dita’zir
sampai mau membayar. Jika ia tetap memilih dipenjara dan ta’zir serta enggan
membayar hutangnya, maka hakim ikut campur terhadap hartanya dan melunaskan
hutangnya atau menjual hartanya yang butuh dijual untuk membayar hutangnya.
2.
Jika hartanya kurang dari hutang yang harus segera
dibayar, maka ia dicegah/dihajr dari melakukan tindakan terhadap hartanya
ketika para pemberi pinjaman menuntut demikian agar tidak memadharratkan
mereka, berdasarkan hadits Ka’ab bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr Mu’adz dan menjualkan hartanya (Diriwayatkan
oleh Daruquthni dan Hakim, ia pun menshahihkannya, Ibnu Shalaah mengatakan,
“Sesungguhnya ia hadits yang sah.”)
Jika dalam kondisi ini
sedang dihajr, maka hendaknya diumumkan bahwa ia sedang dihajr agar mereka
tidak bermuamalah dengannya sehingga harta mereka nantinya akan hilang sia-sia
(Lihat Al Mulakhkhash Al Fiqhi pada bab Fii Ahkaamil Hajr).
j. Beberapa hukum yang
terkait dengan hajr, di antaranya:
1.
Hak para penagih (ghurama’) tergantung dengan harta
yang ada sebelum dihajr dan tergantung hartanya yang baru setelah dihajr,
seperti mendapatkan warisan, denda akibat jinayat, wasiat, dsb. sehingga harta tersebut terkena hajr juga
seperti ketika belum dihajr. Oleh karena itu, tindakan pada hartanya tidak
boleh diberlakukan setelah dihajr apa pun bentuk tindakannya. Dan tidak sah
pengakuannya ada untuk orang lain pada sedikit hartanya, karena hak-hak ghurama
tergantung dengan satuan-satuan hartanya, sehingga tidak diterima pengakuannya.
Bahkan sebelum dihajr ia dilarang melakukan tindakan pada hartanya yang bisa
memadharratkan para pemberi hutang (ghurama’).
Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Apabila
hutang-hutangnya menghabiskan hartanya, maka tidak sah tabarru’nya (infaqnya)
yang memadharratkan para pemilik hutang, sama saja baik hakim menghajrnya
ataupun tidak menghajrnya, inilah madzhab Malik dan yang dipilih oleh guru kami
(yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).”
Ibnul Qayyim melanjutkan, “Inilah yang
benar, inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip madzhab tidak selainnya, bahkan
yang diinginkan oleh dasar-dasar syara’ dan ka’idahnya, karena hak ghurama’
terkait dengan hartanya, sehingga karena hal ini hakim menghajr. Kalau
seandainya hak ghurama tidak terkait dengan hartanya, maka hakim tidak bisa
menghajrnya, sehingga ia seperti orang yang sakit yang hampir meninggal. Dan
memberikan kesempatan orang yang berhutang ini untuk tabarru’ (berinfak) sama
saja membatalkan hak ghurama’, syari’at tidaklah datang seperti ini, ia datang
untuk menjaga hak pemilik hak dengan apapun caranya serta menutup pintu yang
mengarah kepada menyia-nyiakannya.”
2.
Siapa saja yang mendapatkan barangnya sama seperti
ketika ia menjualnya kepadanya atau mepinjamkannya atau menjadikan upahnya
sebelum orang yang berhutang ini dihajr, maka ia berhak mengambilnya dan
menariknya dari muflis. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam:
مَنْ أَدْرَكَ مَتَاعَهُ
عِنْدَ إِنْسَانٍ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ
“Barangsiapa yang mendapatkan barangnya
ada pada seseorang yang telah bangkrut, maka di lebih berhak terhadapnya.”
(Muttafaq ‘alaih)
Lihat juga selanjutnya 6 syarat boleh
mengambil barangnya itu pada pembahasan hajr sebelumnya.
3.
Terputusnya tuntutan setelah ia dihajr sampai selesai
penghajran. Oleh karena itu, barang siapa yang berjual beli kepadanya atau
meminjamkan sesuatu pada saat ini, maka penuntutan atau penagihannya dilakukan nanti
setelah hajr selesai.
4.
Hakim menjualkan hartanya, membagi-bagikan hasilnya
sesuai ukuran hutang para ghurama’ (penagih), karena inilah maksud dari
penghajran, menunda-nundanya adalah kezhaliman. Dan hakim membiarkan untuk muflis apa yang
dibutuhkannya berupa tempat tinggal, bahan makanannnya, dsb.
Adapun hutang yang diberi tempo
pembayaran, maka belum halal karena bangkrutnya, tidak bisa mendesaknya untuk
membayar segera, karena waktu pembayaran yang diberikan adalah hak muflis,
sehingga tidak gugur seperti hak-haknya yang lain, namun hutang tetap dalam
tanggungan si muflis.
Kemudian setelah hartanya dibagi-bagikan
kepada pemilik hak yakni hutang yang harus segera dibayar, jika setelah
dibayarkan tidak ada lagi sisanya, maka
hajr selesai tanpa keputusan hakim karena sebab yang mengharuskan dihajr sudah
hilang. Namun jika masih ada sisa hutangnya yang harus segera dibayar saat itu,
maka hajr tidak lepas kecuali dengan keputusan hakim, karena dialah yang
menetapkan hajr, maka dia juga yang menetapkan lepasnya ia dari penghajran.
k. Dibiarkan untuk
penghutang itu sesuatu yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya
Apabila hakim menjualkan
harta muflis karena permintaan para penagih, maka wajib disisakan untuk si
muflis harta untuk melangsungkan hidupnya, sehingga tidak boleh dijual rumahnya[i],
di mana ia membutuhkannya, juga disisakan harta untuk mengupah pembantu yang
bisa membantunya, atau jika ia pedagang, maka disisakan harta untuk ia
berdagang. Jika ia punya pekerjaan keterampilan, maka disisakan alat untuk
kerjanya. Hakim juga membiarkan untuk si muflis hal yang dibutuhkannya seperti
kebutuhan pokoknya dsb. Si muflis dan orang yang ditanggungnya juga berhak
memperoleh nafkah sederhana berupa makanan dan pakaian.
Imam Syaukani berkata,
"Boleh bagi para penagih mengambil semua yang mereka temukan padanya
kecuali sesuatu yang tidak dapat tidak sangat dibutuhkannya seperti rumah,
sesuatu yang menutupi aurat serta yang melindunginya dari dingin dan menjaganya
dari bahaya kematian karena lapar demikian juga orang yang ditanggungnya."
Imam Syaukani kemudian menyebutkan hadits Mu'adz, lalu Imam Syaukani berkata,
"Akan tetapi, tidak ada riwayat yang sah bahwa mereka (para penagih)
mengambil baju yang dipakainya atau mengusirnya dari rumah atau tidak
menyisakan sesuatu yang pokok yang dibutuhkan dia (si muflis) dan orang yang
ditanggungnya. Oleh karena itu, kami sebutkan bahwa hal itu termasuk yang
dikecualikan."
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar (oleh beberapa ulama), Al Malkhas
Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Fiqhus Sunnah (Syaikh Saabiq), Nailul
Awthaar (M. bin Ali Asy Syaukani), dll.
[i] Ini adalah madzhab Abu Hanifah dan Ahmad,
adapun Imam Syafi'I dan Malik berpendapat bahwa rumahnya boleh juga dijual
dalam keadaan seperti ini.
0 komentar:
Posting Komentar