بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Syuf’ah (bag. 2)
Segala puji bagi Allah,
shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya,
kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan
tentang pembahasan syuf’ah, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
G. Syarat-syarat Syuf’ah
Disyaratkan syarat-syarat berikut
untuk mengambil syuf'ah, yaitu:
1. Yang
disyuf'ahkan adalah sesuatu yang tidak dapat dipindahkan seperti tanah, rumah
dan sesuatu yang ikut menyatu seperti pohon, bangunan, pintu, rak serta segala
sesuatu yang masuk ke dalam jual beli jika disebut secara mutlak berdasarkan
hadits Jabir yang sudah disebutkan sebelumnya, di mana Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam menetapkan syuf'ah dalam semua yang disekutui selama belum
dibagi; baik rumah maupun kebun.
Hal ini merupakan madzhab jumhur
fuqaha' (ahli fiqh), namun penduduk Makkah dan ulama madzhab Zhahiri
menyelisihinya dan sebuah riwayat juga dari Ahmad, mereka berkata, ”Sesungguhnya
syuf'ah itu berlaku dalam segala sesuatu. Hal itu, karena madharrat yang
kemungkinan terjadi bagi sekutu dalam sesuatu yang tidak dapat dipindahkan bisa
juga timbul pada sesuatu yang dapat dipindahkan, juga berdasarkan hadits Jabir
radhiyallahu 'anhu juga, yaitu:
قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ شَيْئٍ
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf'ah pada segala sesuatu.
Ibnul
Qayyim berkata,
“Para perawi hadits ini adalah tsiqah.”
Demikian
juga berdasarkan hadits
Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallambersabda:
اَلشُّفْعَةُ فِي كُلِّ
شَيْءٍ
“Syuf'ah
ada pada segala sesuatu.”
Para
perawinya tsiqah, namun
hadits tersebut dianggap cacat karena mursal (terputus di akhir sanad). Thahawi meriwayatkan syahid hadits tersebut
dari hadits Jabir dengan isnad yang tidak ada masalah. Oleh karena itu, Ibnu
Hazm membela pendapat ini dan berkata, “Syuf'ah wajib dalam semua bagian yang dijual masih
bercampur; belum dibagikan antara dua orang atau lebih apa pun bentuknya, baik yang dapat dibagi
atau tidak,
baik tanah, satu pohon atau lebih, budak laki-laki maupun wanita, pedang,
makanan, hewan atau apa saja yang dijualbelikan.”
2. Syafii' (yang meminta syuf’ah) tersebut adalah sekutunya dalam sesuatu yang disyuf'ahkan, dan persekutuan terjadi
sebelum diadakan jual
beli, dan masing-masing sekutu bagiannya tidak terpisah dari yang lain, bahkan sama-sama
dimiliki. Jabir radhiyallahu 'anhu berkata:
قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا
وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
“Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf'ah dalam segala sesuatu yang belum dibagi; apabila batas-batas telah
ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf'ah.” (HR. Lima orang)
Maksudnya syuf'ah itu berlaku pada semua yang
masih dimiliki bersama dan bisa dibagi, apabila telah dibagi, batas-batas telah
jelas dan jalan-jalan
telah digariskan, maka tidak ada lagi syuf'ah.
Jika syuf'ah berlaku bagi sekutu,
demikian juga berlaku dalam
sesuatu yang bisa dibagi, sekutu ditekan untuk dibagikan dengan syarat ia dapat
memanfaatkan bagian yang dibagikan seperti ketika belum dibagikan. Oleh karena
itu, tidak berlaku syuf'ah pada sesuatu yang jika dibagikan manfaatnya malah hilang. Dalam Al Minhaaj disebutkan, “Segala sesuatu yang jika dibagi manfaatnya yang diinginkan
hilang seperti kamar mandi dan penggilingan, maka tidak ada syuf'ah di sana.”
Imam Malik
meriwayatkan dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman dan Sa'id bin Al
Musayyib bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf'ah
dalam segala sesuatu yang belum dibagi antara para sekutu, apabila batas telah
dibuat, maka tidak ada syuf'ah. Ini pula menjadi madzhab Ali, Utsman, Umar,
Sa'id bin Al Musayyib, Sulaiman bin Yasar, Umar bin Abdul 'Aziz, Rabii'ah,
Malik, Syaafi'i, Al Auzaa'iy, Ahmad, Ishaq dan Ubaidullah bin Al Hasan.
Dalam Syarhus
Sunnah disebutkan, “Ahli ilmu sepakat tentang berlakunya syufah bagi sekutu
dalam rumah yang bisa dibagikan apabila salah seorang sekutu menjual bagiannya
ketika belum dibagikan, bagi yang lain berhak mengambil syuf'ah dengan harga
yang sama ketika dijualbelikan. Jika
dijual dengan bayaran sesuatu yang bernilai seperti baju, maka ia mengambil dengan
nilainya.”
Adapun
tetangga, menurut mereka tidak ada hak syuf'ah, namun berbeda dengan ulama
Hanafi, mereka berkata, “Sesungguhnya syuf'ah itu tertib, ia berlaku bagi sekutu
yang belum melakukan pembagian sebagai urutan pertama, lalu sekutu yang sudah
melakukan pembagian apabila masih tersisa baik
pada jalan maupun pada halaman, kemudian tetangga yang menempel dengannya.”
Di antara ulama ada juga yang
bersikap tawassuth (pertengahan), mereka menetapkan syuf'ah saat bersama-sama dalam hak dari
hak-hak milik seperti jalan, air dsb. Dan mereka meniadakan syuf'ah ketika terpisah
masing-masing milik dengan adanya jalan, di mana di antara para pemilik tidak
ada persekutuan, mereka berdalih dengan hadits yang diriwayatkan oleh para
pemilik kitab sunan dengan isnad yang shahih dari Jabir, dari Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
الْجَارُ أَحَقُّ بِشُفْعَةِ
جَارِهِ ، يَنْتَظِرُ بِهَا وَإِنْ كَانَ غَائِبًا إِذَا كَانَ طَرِيْقُهُمَا وَاحِدًا
“Tetangga itu lebih berhak
memperoleh syuf'ah tetangganya, ia tunggui jika tidak ada di tempat apabila
jalannya satu.”
Ibnul Qayyim
berkata, “Pendapat ini ditunjukkan oleh hadits-hadits Jabir baik manthuq (teks)
maupun mafhumnya, dan hilanglah keputusan (lain) dan perselisihan.” ia juga
berkata, “Tiga pendapat yang ada dalam madzhab Ahmad, namun yang paling adil
dan paling baik adalah pendapat yang ketiga.”
3. Dikeluarkan sesuatu yang disyuf'ahkan dari milik
pemiliknya dengan ganti harta (bayaran), yakni dengan dijual belikan[i] atau semakna
barang yang dijual belikan seperti shulh karena iqrar atau karena tindakan
jinayat yang mengharuskan demikian atau pun hibah dengan dijual bayaran yang
ditentukan karena hal itu sesungguhnya adalah jual beli. Oleh karena itu, tidak
ada syuf'ah pada sesuatu yang dapat dipindahkan dari milik tanpa ada jual beli
seperti barang yang dihibahkan tanpa ganti atau barang yang diwasiatkan dan
yang diwariskan.
Dalam Bidayatul Mujtahid disebutkan:
“Dipersilisihkan syuf'ah dalam hal musaaqaat, yakni menukarkan tanah dengan
tanah, ada tiga riwayat tentang hal itu dari Imam Malik; boleh, tidak boleh dan
yang ketiga saling berpindah antara sekutu atau orang luar, ia tidak
berpendapat (saling berpindah) antara para sekutu, namun menurutnya (berpindah)
di antara orang-orang luar.”
4. Syafii'
(penuntut syuf’ah) menuntut untuk disegerakan, yakni syafii' apabila
mengetahui hendak dijual, maka ia harus meminta syuf'ah saat mengetahui kapan
saja ia bisa. Jika ia sudah mengetahui, tetapi permintaan syuf'ah ditunda tanpa
'udzur, maka gugurlah hak syuf'ahnya di sana.
Sebab demikian adalah karena jika syafii'
tidak meminta syuf'ah segera dan haknya dibiarkan begitu saja tertunda tentu
akan memadharratkan pembeli, karena miliknya tidak jelas akan terjual dan tidak
bisa melakukan usaha terhadapnya seperti dengan memakmurkan karena takut akan
hilang usahanya dan diambil dengan syuf'ah. Inilah yang dipegang oleh Abu Hanifah, dan inilah yang
rajih dalam madzhab Imam Syafi'i dan salah satu riwayat dari Ahmad[ii].
Hal ini, tentunya apabila syafii' tidak ghaib atau tidak mengetahui akan dijual atau tidak mengetahui hukumnya. Tetapi, apabila
syafii' ghaib atau tidak mengetahui akan dijual atau ia tidak mengetahui
hukumnya, yakni penundaan permintaan itu dapat menggugurkan syuf'ah, maka
syuf'ah pun tidak gugur.
Adapun
Ibnu Hazm dan lainnya berpendapat, bahwa syuf'ah merupakan haknya karena Allah
telah mewajibkannya, sehingga tidak gugur karena tidak diminta meskipun sudah berlalu
80 tahun atau lebih, kecuali jika ia menggugurkannya sendiri. Ia juga
berpendapat, bahwa pendapat syuf'ah itu untuk orang yang menekuninya merupakan
lafaz fasid, tidak boleh disandarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam hal seperti itu.
Imam Malik berpendapat, ”Tidak wajib
segera, bahkan waktu wajibnya diberi keleluasaan.”
Ibnu
Rusyd berpendapat, “Diperselsihkan tentang kata-kata itu apakah terbatas atau
tidak? Ada yang berkata, “Ia tidak terbatas dan tidak akan terputus
selama-lamanya kecuali jika pembeli sudah mengadakan bangunan atau merubah
banyak dengan pengetahuannya sedangkan dia hadir, mengetahui, tetapi diam saja.
Ada juga yang membatasinya sampai waktu tertentu, ada riwayat darinya yaitu
sampai setahun -inilah yang paling masyhur-, ada juga yang mengatakan lebih
dari setahun, bahkan ada yang mengatakan bahwa lima tahun masih tetap tidak
memutuskan hak syuf'ah.”
Ibnu Hubairah mengatakan, “Para
ulama sepakat, bahwa jika orangnya
tidak ada, maka orang yang tidak ada itu jika datang berhak menuntut syuf’ah.”
5. Hendaknya
syafii' menyerahkan kepada pembeli sejumlah uang sesuai 'akad, sehingga syafii'
mengambil syuf'ah sesuai harganya atau nilainya jika dinilaikan.
Dalam
hadits Jabir radhiyallahu 'anhu secara marfu' disebutkan:
هُوَ
أَحَقُّ بِهِ بِالثَّمَنِ
“Dia
lebih berhak terhadapnya dengan adanya bayaran.” (HR. Jauzajaaniy)
Jika tidak sanggup menyerahkan uang
semuanya, maka gugurlah syuf'ah.
Imam
Malik dan ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa bayaran jika memakai tempo
semuanya atau sebagiannya, maka syafii' memiliki hak menunda atau membayarnya
dengan dicicil sesuai yang disepakati dalam 'akad dengan syarat ia mampu atau
ia mendatangkan penjamin yang mampu untuknya, jika tidak demikian, maka wajib
diserahkan bayaran pada saat itu juga untuk memperhatikan maslahat pembeli. Sedangkan Imam Syafi'i dan ulama
madzhab Hanafi berpendapat bahwa syafii' diberikan pilihan, jika bayaran
dipercepat, maka syuf'ah dipercepat dan jika ditunda sampai waktu tertentu,
maka syuf'ah juga ditunda.
6. Syafii'
mengambil semua yang dijual, jika syafii' meminta hanya mengambil sebagian
saja, maka gugur haknya untuk semuanya. Jika ternyata syuf'ah dilakukan
terhadap lebih dari seorang syafii', lalu sebagiannya meninggalkan, maka bagi
sisanya harus mengambil semua agar jual beli yang dilakukan terhadap pembeli
tidak terpisah-pisah.
Bersambung…dst.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi
(Syaikh Shalih Al Fauzan), Fiqh Muyassar, dll.
[i] Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa syuf'ah tidak
ada kecuali jika dijual belikan saja berdasarkan zhahir hadits-hadits yang ada.
[ii] Riwayat yang paling sahih di antara dua riwayat dari
Abu Hanifah adalah bahwa permintaan syuf'ah tidak wajib segera setelah
mengetahui akan dijual. Hal itu, karena syafii' butuh memikirkan dahulu,
sehingga hal itu masih tetap diberlakukan. Tentunya, hal ini dengan menjadikan
khiyar untuknya selama ia masih berada di tempat di mana ia mengetahui akan
dijual, sehingga tidak batal syuf'ahnya kecuali apabila ia bangun dari
majlisnya atau menyibukkan diri dengan hal lain sehingga tidak meminta syuf'ah.
0 komentar:
Posting Komentar