Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya
semua. Amma ba’du:
Waris-mewarisi hukumnya wajib
berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman,
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ
وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ
مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (7)
“Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
(Qs. An Nisaa’: 7)
Rincian bagian yang diperoleh ahli
waris disebutkan dalam Al Qur’an di surah An Nisaa: 11, 12, dan 176.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا
فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Hubungkanlah faraa’idh (bagian
warisan) kepada orang yang berhak. Selebihnya kepada laki-laki yang terdekat.”
(Hr. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى
كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan
hak kepada setiap yang memiliki hak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat untuk
ahli waris.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani
berkata, “Hasan shahih,” dalam Shahih Abi Dawud (2870) -Maktabah Syamilah)
I. Ta’rif (definisi) Ilmu Faraa’idh
Faraa’idh adalah bentuk jama’ dari kata
fariidhah, yang artinya fardh (ketentuan). Fardh secara syara’ artinya bagian
yang ditentukan secara syara’ untuk mustahik (orang yang berhak menerimanya).
Dengan demikian, ilmu Faraa’idh adalah ilmu
tentang harta warisan, hukum-hukum yang berkenaan
dengannya dan mengetahui perhitungan yang dapat mencapai kepada pembagiannya
sesuai syariat.
II. Tarikah (Harta warisan)
Tarikah mencakup harta yang berupa
uang, benda atau barang maupun hak-hak yang dimiliki si mayit[i].
Harta warisan terbagi dua:
-
Harta
warisan yang dapat dibagi. Misalnya uang, tanah yang harga dan isinya sama,
dsb.
- Harta yang tidak bisa dibagi sama rata.
Misalnya bangunan, tanah yang berbeda isinya, barang perkakas, kendaraan, dan
lainnya.
Harta
yang dapat dibagi, bisa langsung diberikan berdasarkan bagiannya masing-masing.
Akan tetapi, harta yang tidak bisa dibagi, harus diuangkan terlebih dahulu.
Kalau tidak, maka hanya akan diperoleh angka bagian di atas kertas dalam bentuk
nisbah (persentase). Artinya masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan
bagiannya, memiliki saham (bagian)
atas harta tersebut.
Catatan:
a.
Tidak mesti harta yang tidak bisa
dibagi harus dijual untuk diuangkan, bahkan jika ahli waris setuju
dikira-kirakan nilainya, lalu ada yang memiliki harta itu dan siap memberikan
hak ahli waris yang lain berupa uang sesuai bagian haknya yang ada pada harta
itu, maka tidak mengapa.
b.
Jika ada shulh (perdamaian), sehingga
ada yang merelakan sebagian haknya setelah mengetahui bagiannya, maka tidak
mengapa.
1. Biaya mengurus jenazahnya, seperti biaya kafan, hanuth (benda
pengawet mayit), biaya memandikan, menguburkan, dsb.
2. Melunasi hutang. Tentunya hutang kepada Allah Subhaanahu wa
Ta'aala harus didahulukan (seperti zakat
mal, zakat fitri, kaffarat dan nadzar), kemudian hutang kepada manusia.
3. Menunaikan wasiat dengan syarat tidak melebihi 1/3.
4. Waris-mewarisi, yakni berpindahnya harta si mayit kepada
orang yang hidup sepeninggalnya sesuai pembagian yang diterangkan dalam Al
Qur’an dan As Sunnah.
Catatan:
Terkadang ada hak orang lain pada harta si mayit yang berupa ‘aini (barang atau
benda), seperti hak pembeli untuk menerima barang yang dibelinya dan hak
penggadai pada barang gadainya yang ada di tangan si mayit. Hak-hak ini harus
didahulukan sebelum pengurusan jenazah karena terkait dengan benda itu sebelum
menjadi harta warisan (tarikah).
III. Sebab saling waris-mewarisi
Sebab saling mewarisi ada tiga:
1. Nasab (kerabat/keluarga). Misalnya ahli
waris adalah ushul (kerabat pihak atas si mati, seperti bapak, kakek,
dst. ke atas), atau furu’ (kerabat pihak bawah si mati seperti anaknya,
cucunya, dst. ke bawah) dan hawasyinya (kerabat garis menyimpang,
seperti saudara dan anak-anaknya dst. ke bawah, paman dan anak-anaknya dst. ke
bawah). Lihat dalilnya di surah An Nisaa’: 33.
2. Menikah. Maksudnya ‘akad yang sah terhadap
istri meskipun belum digauli atau belum berduaan dengannya (lihat dalilnya di
surah An Nisaa’: 12). Demikian pula terjadi saling waris-mewarisi dalam thalaq
raj’i, dan dalam talak ba’in ketika suami mentalaknya pada saat ia sakit yang
membawa kepada kematiannya.
3. Hubungan walaa’ (karena pemerdekaan budak).
Misalnya seseorang memerdekakan seorang budak laki-laki atau wanita, sehingga
ia mempunyai hubungan dengannya. Oleh karena itu, jika orang yang dimerdekakan
itu meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris, maka yang memerdekakan dapat
mewarisinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
“Al Walaa’ liman a’taqa” (Wala’ itu untuk orang yang memerdekakan).” (Hr.
Bukhari, Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Namun orang yang dimerdekakan tidaklah
mewarisi harta orang yang memerdekakan berdasarkan ijma’.
Catatan:
Jika
seorang muslim meninggal dunia dan tidak memiliki Ahli waris pun, maka hartanya
diserahkan ke Baitul Mal, dan digunakan untuk kepentingan Islam dan kaum
muslimin. Demikianlah menurut ulama madzhab Syafi’i, namun menurut ulama
madzhab Hanbali, diberikan kepada Dzawul Arham, dan yang yang rajih (kuat)
bahwa yang didahulukan adalah kepada Dzawul Arham. Dan akan diterangkan nanti
siapa yang termasuk Dzawul Arham insya Allah.
IV. Penghalang waris-mewarisi
Terkadang ada sebab waris-mewarisi, namun
ada penghalang yang menghalanginya, sehingga ia tidak mendapatkan harta
warisan. Penghalang itu adalah:
1. Kafir. Oleh karena itu, kerabat yang muslim
tidak mewarisi kerabat yang kafir, demikian pula sebaliknya, kerabat yang kafir
tidak mewarisi kerabat yang muslim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam,
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ
الْمُسْلِمَ
“Orang muslim tidak mewarisi orang kafir,
dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.” (Hr. Bukhari, Muslim, Tirmidzi,
Ahmad, Daruquthni dan Hakim)
2. Pembunuhan. Oleh karena itu, orang yang membunuh
tidaklah mewarisi orang yang dibunuhnya sebagai hukuman terhadap kejahatannya
jika pembunuhan yang dilakukan atas dasar kesengajaan. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيْرَاثِ شَيْئٌ
“Pembunuh tidaklah mendapatkan apa-apa
dari harta warisan.” (Hr. Daruquthni (4102), Baihaqi (6/220) dan dishahihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Irwaa’ul Ghalil no. 1671).
3. Perbudakan. Oleh karena itu, seorang budak tidak
mewarisi harta kerabatnya, karena harta itu akan menjadi milik tuannya. Ia
tidak mewarisi dan tidak diwarisi, baik sebagai budak sempurna atau kurang
(seperti separuhnya budak[ii],
budak mukatab (yang hendak memerdekakan dirinya dengan membayar biaya tertentu
kepada tuannya) serta ummul walad (budak wanita yang melahirkan anak bagi
tuannya)), semua ini masih berlaku hukum budak.
4. Zina. Anak zina tidaklah mewarisi harta
bapaknya dan bapaknya juga tidak mewarisi hartanya, tetapi yang mewarisinya
adalah ibunya dan ahli waris yang lain selain bapaknya. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Al Walad lil firaasy walil
‘aahir al hajar.” (artinya: Anak itu untuk kasur (ibunya), dan bagi pezina
adalah batu).
5. Li’aan. Anak dari suami-istri yang saling
meli’an tidaklah mewarisi bapaknya yang bapaknya menolak anak itu sebagai
anaknya, demikian pula bapak itu tidaklah mewarisi anak ini karena diqiaskan
dengan anak zina.
6. Tidak menangis sewaktu lahir si anak. Oleh
karena itu, jika seorang anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan mati, ia
tidak menangis ketika lahirnya, maka ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi
karena tidak adanya kehidupan yang dilanjutkan oleh kematian setelahnya untuk
dilakukan saling waris-mewarisi.
V. Syarat waris-mewarisi
Syarat sahnya waris-mewarisi adalah sebagai
berikut:
1. Tidak adanya penghalang yang telah disebutkan.
2. Matinya orang yang akan diwarisi meskipun secara hukmi
(dihukumi mati). Misalnya hakim memutuskan matinya orang yang hilang.
3. Ahli waris hidup pada hari matinya muwarrits (orang yang
akan diwarisi hartanya).
Oleh karena itu, jika seorang wanita yang
salah salah seorang anaknya ada yang meninggal, sedangkan si wanita ini
memiliki janin di perutnya, maka janin ini berhak mendapat warisan dari
saudaranya jika ketika lahir berteriak, karena hidupnya terwujud ketika
saudaranya meninggal. Tetapi jika wanita ini hamil setelah wafat saudaranya,
maka janin ini tidak memiliki hak waris dari saudaranya yang meninggal itu
karena dia belum tercipta sebelumnya. Rincian tentang bagian warisan janin ada
pembahasan secara khusus insya Allah.
VI. Laki-laki dan wanita yang menjadi
ahli waris
A. Laki-laki yang menjadi ahli waris
ada tiga golongan:
1. Suami. Suami mewarisi istrinya yang wafat,
meskipun istrinya ditalak apabila belum habis masa ‘iddahnya. Tetapi apabila
sudah habis masa ‘iddahnya, maka suami tidak mewarisinya.
2. Orang yang memerdekakan, atau ‘ashabahnya yang laki-laki ketika
tidak ada orang yang memerdekakan.
3. Kerabat. Mereka ini terdiri dari ushul, furu’
dan hawasyi.
Ushul (keluarga pihak
atas/leluhur) yaitu bapak, kakek, dst. ke atas. Furu’ (keluarga pihak ke
bawah/turunan) yaitu anak, cucu, dst. ke bawah. Hawasyi (keluarga garis
menyimpang), yaitu saudara dan anak-anaknya, saudara seibu, paman dan
anak-anaknya baik paman tersebut sekandung maupun sebapak.
No. |
Ahli
Waris Laki-Laki |
1 |
الابن (Anak laki-laki) |
2 |
ابن الابن (Cucu laki-laki dari
anak laki-laki) Adapun anak laki-laki
dari anak perempuan, maka tidak termasuk Ahli Waris (dzawul arham) |
3 |
الاب (Ayah) |
4 |
الجد من جهة الاب (Kakek dari pihak
Ayah) Adapun kakek dari
pihak ibu (ayahnya ibu), tidak termasuk ahli waris |
5 |
الاخ الشقيق (saudara sekandung) |
6 |
الاخ لاب (saudara seayah) |
7 |
الاخ لأم (saudara seibu) |
8 |
ابن الاخ الشقيق (anak
laki-laki saudara sekandung) |
9 |
ابن الاخ لاب (anak
laki-laki saudara seayah) |
10 |
العم الشقيق (paman sekandung) |
11 |
العم لاب (paman seayah) |
12 |
ابن العم الشقيق (anak
laki-laki paman sekandung) |
13 |
ابن العم لاب (anak
laki-laki paman seayah) |
14 |
الزوج (suami) |
15 |
المعتق (Laki-laki
yang memerdekakan) |
Mereka
yang menjadi ahli waris ini tidak mungkin mewarisi bersama-sama harta
peninggalan si mati, karena sebagian mereka memahjub (baca: menghalangi) yang
lain. Misalnya bapak menghalangi kakek dan saudara seibu, anak menghalangi
saudara, dan saudara menghalangi paman, dst. Oleh karena itu, jika mereka semua
berkumpul, maka yang mewarisi dari kalangan laki-laki hanyalah tiga orang saja;
suami, anak dan bapak.
Suami
mendapatkan ¼, bapak mendapatkan 1/6, dan anak mendapatkan sisanya. Contoh:
Harta yang ditinggalkan 12.000.0000, sedangkan Ahli Warisnya suami, anak, dan bapak,
maka bagiannya:
Ayah
1/6 x 12.000.000 = 2.000.000
Suami
¼ x 12.000.000 = 3.000.000
Sisanya
= 7.000.000
B. Wanita yang menjadi ahli waris ada
tiga golongan:
1. Istri,
2. Wanita yang memerdekakan,
3. Kerabat. Mereka ini terdiri dari ushul, furu’,
dan hawasyi.
Ushul (kerabat ke atas dari pihak
wanita) di sini yaitu ibu dan nenek, baik bagi ibu maupun bagi bapak.
Furu’ yaitu putri, cucu perempuan dari
anak laki-laki, dst. ke bawah.
Hawasyi yaitu saudari secara mutlak
(sekandung, seayah dan seibu).
No. |
Ahli
Waris Laki-Laki |
1 |
البنت (Anak perempuan) |
2 |
بنت الابن (Cucu perempuan dari anak laki-laki) Adapun anak perempuan
dari anak perempuan tidak termasuk Ahli Waris, hanya termasuk Dzawul
Arham. |
3 |
الام (Ibu) |
4 |
الجدة من جهة الام (Nenek
dari sebelah ibu/ibunya
ibu) |
5 |
الجدة من جهة الاب (Nenek
dari sebelah ayah/ibunya
ayah) |
6 |
الاخت الشقيقة (saudari sekandung) |
7 |
الاخت لاب (saudari seayah) |
8 |
الاخت لام (saudari seibu) |
9 |
الزوجة (istri) |
10 |
المعتقة (wanita
yang memerdekakan) |
Catatan:
Bibi dari pihak bapak (‘ammah) maupun
dari pihak ibu (khaalah) tidaklah mewarisi. Demikian pula cucu (laki-laki atau
perempuan) dari anak perempuan, puteri saudara dan puteri paman tidaklah
mewarisi.
Kesimpulan
Singkatnya, kerabat itu
jika kita melihat kepada jihat(arah)nya terbagi menjadi tiga; Ushuul, Furuu'
dan Hawaasyiy.
1.
Ushul (Leluhur si mayyit) adalah
orang-orang, dimana si mayit berasal dari mereka seperti ayah dan ibu, mereka
semua berhak mewarisi baik karena fardh (mendapatkan jumlah tertentu), maupun
karena menjadi 'ashabah (sisa) selain dua golongan:
a.
Setiap laki-laki yang dihalangi oleh wanita antara dia (laki-laki)
dengan si mayit seperti ayahnya ibu (yakni kakek dari sebelah ibu)[iii].
b.
Setiap wanita yang bersambung kepada laki-laki, namun antara dia
(laki-laki) dengan si mayyit ada wanita misalnya ibu bagi ayahnya ibu (yakni
neneknya ibu)[iv].
Kedua golongan ini masuk ke Dzawil arhaam[v].
2.
Furuu' (turunan) adalah ranting-ranting si mayyit misalnya adalah
anak[vi], mereka (anak) berhak
mewarisi baik karena fardh maupun karena menjadi 'ashabah kecuali anak yang
bernasab kepada wanita seperti anak laki-laki dari puteri, anak perempuan dari
puteri, maka itu semua termasuk Dzawil arham.
3.
Hawaasyiy (keluarga garis menyimpang) adalah ranting-ranting dari
Ushul (leluhur) si mayyit seperti saudara[vii] dan paman[viii], mereka semua berhak
mewarisi baik karena fardh, maupun karena menjadi 'ashabah selain dua golongan:
a.Setiap laki-laki yang
bernasab kepada si wanita selain saudara seibu, contohnya adalah anak laki-laki
dari saudari, anak laki-laki dari saudara seibu dan paman (‘amm) seibu serta
khaalnya[ix].
b.
Seluruh wanita selain saudari seperti putri dari saudara laki-laki
(baik sekandung, seayah maupun seibu), bibi dari pihak ayah, puteri paman dari
pihak ayah dan puteri dari pihak ibu.
Kedua golongan ini termasuk
Dzawil arham[x].
Lihat Tabel Ahli Waris di sini
Bersambung….
Marwan bin Musa
[i] Menurut sebagian
ulama termasuk ke dalam tarikah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si
mayyit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya, atau hak dia yang ada
pada orang lain seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan
diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan atau barang baru yang
diperoleh karena terbunuhnya dia, atau kecelakaan yang berupa santunan ganti
rugi. Adapun barang yang tidak berhak diwarisi di antaranya adalah:
a.
Peralatan tidur untuk istri dan
peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada istrinya semasa
hidupnya.
b.
Harta yang diwaqafkan oleh si mayyit,
seperti kitab dan lainnya.
c.
Barang yang diperoleh dengan cara
haram, seperti barang curian, hendaknya diserahkan kepada pemiliknya atau
diserahkan kepada yang berwajib.
Perlu diketahui bahwa tidak termasuk
tarikah adalah hibah dan wasiat.
Adapun hibah adalah pemberian yang
dilakukan ketika si mayit masih hidup, sedangkan wasiat adalah pemberian yang
dilakukan ketika si mayit sudah meninggal.
[ii] Sebagian ahli ilmu mengecualikan untuk yang separuh dirinya
budak dan separuhnya lagi merdeka, menurut mereka, ia dapat mewarisi dan
diwarisi sesuai bagian dirinya yang merdeka berdasarkan riwayat Ibnu Abbas
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang budak yang separuhnya
merdeka, “Ia mewarisi dan diwarisi sesuai bagian yang merdeka dari
(diri)nya.” Sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni, namun kami belum
mengetahui derajat hadits tersebut, wallahu a’lam.
[iii] Ini disebut juga kakek ghairu shahih.
[iv] Ini disebut juga nenek ghairu shahihah.
[v] Dzawil Arhaam atau Ulul Arhaam adalah kerabat selain dzawil
furuudh dan selain ‘ashabah. Mereka mendapatkan warisan apabila tidak ada
dzawil furuudh dan ‘ashabah.
[vi] Dan seterusnya ke bawah.
[vii] Dan anak-anaknya ke bawah.
[viii] Dan anak-anaknya ke bawah.
[ix] Yaitu ibu punya saudara laki-laki. Jika punya saudara
perempuan disebut khaalah.
[x] Tentang Dzawil arham ini, Insya Allah ada pembahasan
khusus.
0 komentar:
Posting Komentar