Fiqh Fara’idh (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫علم المواريث‬‎

بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Faraa’idh (1)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:

Waris-mewarisi hukumnya wajib berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (7)

 “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Qs. An Nisaa’: 7)

Rincian bagian yang diperoleh ahli waris disebutkan dalam Al Qur’an di surah An Nisaa: 11, 12, dan 176.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ

“Hubungkanlah faraa’idh (bagian warisan) kepada orang yang berhak. Selebihnya kepada laki-laki yang terdekat.” (Hr. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang memiliki hak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani berkata, “Hasan shahih,” dalam Shahih Abi Dawud (2870) -Maktabah Syamilah)

I. Ta’rif (definisi) Ilmu Faraa’idh

Faraa’idh adalah bentuk jama’ dari kata fariidhah, yang artinya fardh (ketentuan). Fardh secara syara’ artinya bagian yang ditentukan secara syara’ untuk mustahik (orang yang berhak menerimanya).

Dengan demikian, ilmu Faraa’idh adalah ilmu tentang harta warisan, hukum-hukum  yang berkenaan dengannya dan mengetahui perhitungan yang dapat mencapai kepada pembagiannya sesuai syariat.

II. Tarikah (Harta warisan)

Tarikah mencakup harta yang berupa uang, benda atau barang maupun hak-hak yang dimiliki si mayit[i].

Harta warisan terbagi dua:

-      Harta warisan yang dapat dibagi. Misalnya uang, tanah yang harga dan isinya sama, dsb.

-     Harta yang tidak bisa dibagi sama rata. Misalnya bangunan, tanah yang berbeda isinya, barang perkakas, kendaraan, dan lainnya.

Harta yang dapat dibagi, bisa langsung diberikan berdasarkan bagiannya masing-masing. Akan tetapi, harta yang tidak bisa dibagi, harus diuangkan terlebih dahulu. Kalau tidak, maka hanya akan diperoleh angka bagian di atas kertas dalam bentuk nisbah (persentase). Artinya masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya, memiliki saham (bagian) atas harta tersebut.

Catatan:

a.       Tidak mesti harta yang tidak bisa dibagi harus dijual untuk diuangkan, bahkan jika ahli waris setuju dikira-kirakan nilainya, lalu ada yang memiliki harta itu dan siap memberikan hak ahli waris yang lain berupa uang sesuai bagian haknya yang ada pada harta itu, maka tidak mengapa.

b.       Jika ada shulh (perdamaian), sehingga ada yang merelakan sebagian haknya setelah mengetahui bagiannya, maka tidak mengapa.

Ada empat hal yang perlu diambil dari tarikah:

1.   Biaya mengurus jenazahnya, seperti biaya kafan, hanuth (benda pengawet mayit), biaya memandikan, menguburkan, dsb.

2.   Melunasi hutang. Tentunya hutang kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala  harus didahulukan (seperti zakat mal, zakat fitri, kaffarat dan nadzar), kemudian hutang kepada manusia.

3.   Menunaikan wasiat dengan syarat tidak melebihi 1/3.

4.   Waris-mewarisi, yakni berpindahnya harta si mayit kepada orang yang hidup sepeninggalnya sesuai pembagian yang diterangkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.

Catatan: Terkadang ada hak orang lain pada harta si mayit yang berupa ‘aini (barang atau benda), seperti hak pembeli untuk menerima barang yang dibelinya dan hak penggadai pada barang gadainya yang ada di tangan si mayit. Hak-hak ini harus didahulukan sebelum pengurusan jenazah karena terkait dengan benda itu sebelum menjadi harta warisan (tarikah).

III. Sebab saling waris-mewarisi

Sebab saling mewarisi ada tiga:

1.   Nasab (kerabat/keluarga). Misalnya ahli waris adalah ushul (kerabat pihak atas si mati, seperti bapak, kakek, dst. ke atas), atau furu’ (kerabat pihak bawah si mati seperti anaknya, cucunya, dst. ke bawah) dan hawasyinya (kerabat garis menyimpang, seperti saudara dan anak-anaknya dst. ke bawah, paman dan anak-anaknya dst. ke bawah). Lihat dalilnya di surah An Nisaa’: 33.

2.   Menikah. Maksudnya ‘akad yang sah terhadap istri meskipun belum digauli atau belum berduaan dengannya (lihat dalilnya di surah An Nisaa’: 12). Demikian pula terjadi saling waris-mewarisi dalam thalaq raj’i, dan dalam talak ba’in ketika suami mentalaknya pada saat ia sakit yang membawa kepada kematiannya.

3.   Hubungan walaa’ (karena pemerdekaan budak). Misalnya seseorang memerdekakan seorang budak laki-laki atau wanita, sehingga ia mempunyai hubungan dengannya. Oleh karena itu, jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris, maka yang memerdekakan dapat mewarisinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Al Walaa’ liman a’taqa” (Wala’ itu untuk orang yang memerdekakan).” (Hr. Bukhari, Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

     Namun orang yang dimerdekakan tidaklah mewarisi harta orang yang memerdekakan berdasarkan ijma’.

Catatan:

Jika seorang muslim meninggal dunia dan tidak memiliki Ahli waris pun, maka hartanya diserahkan ke Baitul Mal, dan digunakan untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin. Demikianlah menurut ulama madzhab Syafi’i, namun menurut ulama madzhab Hanbali, diberikan kepada Dzawul Arham, dan yang yang rajih (kuat) bahwa yang didahulukan adalah kepada Dzawul Arham. Dan akan diterangkan nanti siapa yang termasuk Dzawul Arham insya Allah.

IV. Penghalang waris-mewarisi

Terkadang ada sebab waris-mewarisi, namun ada penghalang yang menghalanginya, sehingga ia tidak mendapatkan harta warisan. Penghalang itu adalah:

1.    Kafir. Oleh karena itu, kerabat yang muslim tidak mewarisi kerabat yang kafir, demikian pula sebaliknya, kerabat yang kafir tidak mewarisi kerabat yang muslim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

      “Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.” (Hr. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Daruquthni dan Hakim)

2.    Pembunuhan. Oleh karena itu, orang yang membunuh tidaklah mewarisi orang yang dibunuhnya sebagai hukuman terhadap kejahatannya jika pembunuhan yang dilakukan atas dasar kesengajaan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيْرَاثِ شَيْئٌ

      “Pembunuh tidaklah mendapatkan apa-apa dari harta warisan.” (Hr. Daruquthni (4102), Baihaqi (6/220) dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwaa’ul Ghalil no. 1671).

3.    Perbudakan. Oleh karena itu, seorang budak tidak mewarisi harta kerabatnya, karena harta itu akan menjadi milik tuannya. Ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi, baik sebagai budak sempurna atau kurang (seperti separuhnya budak[ii], budak mukatab (yang hendak memerdekakan dirinya dengan membayar biaya tertentu kepada tuannya) serta ummul walad (budak wanita yang melahirkan anak bagi tuannya)), semua ini masih berlaku hukum budak.

4.    Zina. Anak zina tidaklah mewarisi harta bapaknya dan bapaknya juga tidak mewarisi hartanya, tetapi yang mewarisinya adalah ibunya dan ahli waris yang lain selain bapaknya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Al Walad lil firaasy walil ‘aahir al hajar.” (artinya: Anak itu untuk kasur (ibunya), dan bagi pezina adalah batu).

5.    Li’aan. Anak dari suami-istri yang saling meli’an tidaklah mewarisi bapaknya yang bapaknya menolak anak itu sebagai anaknya, demikian pula bapak itu tidaklah mewarisi anak ini karena diqiaskan dengan anak zina.

6.    Tidak menangis sewaktu lahir si anak. Oleh karena itu, jika seorang anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan mati, ia tidak menangis ketika lahirnya, maka ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi karena tidak adanya kehidupan yang dilanjutkan oleh kematian setelahnya untuk dilakukan saling waris-mewarisi.

V. Syarat waris-mewarisi

Syarat sahnya waris-mewarisi adalah sebagai berikut:

1.     Tidak adanya penghalang yang telah disebutkan.

2.     Matinya orang yang akan diwarisi meskipun secara hukmi (dihukumi mati). Misalnya hakim memutuskan matinya orang yang hilang.

3.     Ahli waris hidup pada hari matinya muwarrits (orang yang akan diwarisi hartanya).

       Oleh karena itu, jika seorang wanita yang salah salah seorang anaknya ada yang meninggal, sedangkan si wanita ini memiliki janin di perutnya, maka janin ini berhak mendapat warisan dari saudaranya jika ketika lahir berteriak, karena hidupnya terwujud ketika saudaranya meninggal. Tetapi jika wanita ini hamil setelah wafat saudaranya, maka janin ini tidak memiliki hak waris dari saudaranya yang meninggal itu karena dia belum tercipta sebelumnya. Rincian tentang bagian warisan janin ada pembahasan secara khusus insya Allah.

VI. Laki-laki dan wanita yang menjadi ahli waris

A. Laki-laki yang menjadi ahli waris ada tiga golongan:

1.    Suami. Suami mewarisi istrinya yang wafat, meskipun istrinya ditalak apabila belum habis masa ‘iddahnya. Tetapi apabila sudah habis masa ‘iddahnya, maka suami tidak mewarisinya.

2.    Orang yang memerdekakan, atau ‘ashabahnya yang laki-laki ketika tidak ada orang yang memerdekakan.

3.    Kerabat. Mereka ini terdiri dari ushul, furu’ dan hawasyi.

      Ushul (keluarga pihak atas/leluhur) yaitu bapak, kakek, dst. ke atas. Furu’ (keluarga pihak ke bawah/turunan) yaitu anak, cucu, dst. ke bawah. Hawasyi (keluarga garis menyimpang), yaitu saudara dan anak-anaknya, saudara seibu, paman dan anak-anaknya baik paman tersebut sekandung maupun sebapak.

        No.

Ahli Waris Laki-Laki

1

الابن (Anak laki-laki)

2

ابن الابن (Cucu laki-laki dari anak laki-laki)

Adapun anak laki-laki dari anak perempuan, maka tidak termasuk Ahli Waris (dzawul arham)

3

الاب (Ayah)

4

الجد من جهة الاب (Kakek dari pihak Ayah)

Adapun kakek dari pihak ibu (ayahnya ibu), tidak termasuk ahli waris

5

الاخ الشقيق (saudara sekandung)

6

الاخ لاب (saudara seayah)

7

 الاخ لأم (saudara seibu)

8

ابن الاخ الشقيق (anak laki-laki saudara sekandung)

9

ابن الاخ لاب (anak laki-laki saudara seayah)

10

العم الشقيق (paman sekandung)

11

العم لاب (paman seayah)

12

ابن العم الشقيق (anak laki-laki paman sekandung)

13

ابن العم لاب (anak laki-laki paman seayah)

14

الزوج (suami)

15

المعتق (Laki-laki yang memerdekakan)

Mereka yang menjadi ahli waris ini tidak mungkin mewarisi bersama-sama harta peninggalan si mati, karena sebagian mereka memahjub (baca: menghalangi) yang lain. Misalnya bapak menghalangi kakek dan saudara seibu, anak menghalangi saudara, dan saudara menghalangi paman, dst. Oleh karena itu, jika mereka semua berkumpul, maka yang mewarisi dari kalangan laki-laki hanyalah tiga orang saja; suami, anak dan bapak.

Suami mendapatkan ¼, bapak mendapatkan 1/6, dan anak mendapatkan sisanya. Contoh: Harta yang ditinggalkan 12.000.0000, sedangkan Ahli Warisnya suami, anak, dan bapak, maka bagiannya:

Ayah 1/6 x 12.000.000 = 2.000.000

Suami ¼ x 12.000.000 = 3.000.000

Sisanya = 7.000.000

B. Wanita yang menjadi ahli waris ada tiga golongan:

1.       Istri,

2.       Wanita yang memerdekakan,

3.       Kerabat. Mereka ini terdiri dari ushul, furu’, dan hawasyi.

Ushul (kerabat ke atas dari pihak wanita) di sini yaitu ibu dan nenek, baik bagi ibu maupun bagi bapak.

Furu’ yaitu putri, cucu perempuan dari anak laki-laki, dst. ke bawah.

Hawasyi yaitu saudari secara mutlak (sekandung, seayah dan seibu).

 

        No.

Ahli Waris Laki-Laki

1

البنت (Anak perempuan)

2

بنت الابن (Cucu perempuan dari anak laki-laki)

Adapun anak perempuan dari anak perempuan tidak termasuk Ahli Waris, hanya termasuk Dzawul Arham. 

3

الام (Ibu)

4

الجدة من جهة الام (Nenek dari sebelah ibu/ibunya ibu)

5

الجدة من جهة الاب (Nenek dari sebelah ayah/ibunya ayah)

6

الاخت الشقيقة (saudari sekandung)

7

 الاخت لاب (saudari seayah)

8

الاخت لام (saudari seibu)

9

الزوجة (istri)

10

المعتقة (wanita yang memerdekakan)

Jika mereka ada semua tanpa ada ahli waris laki-laki satu pun, maka yang mendapatkan warisan hanya 5 orang, yaitu:

1.       Istri

2.       Anak perempuan

3.       Cucu perempuan dari anak laki-laki

4.       Ibu

5.       Saudari sekandung.

Contoh:

Harta yang ditinggalkan 12.000.000, maka pembagiannya:

Istri 1/8 x 12.000.000 = 1.500.000

Anak Perempuan ½ x 12.000.000 = 6.000.000

(hal ini jika anak perempuan hanya seorang. Jika dua orang anak perempuan atau lebih, maka bagiannya 2/3)

Anak perempuan dari anak laki-laki 1/6 x 12.000.000 = 2.000.000

Ibu mendapatkan 1/6 x 12.000.000 = 2.000.000

Sisanya untuk saudari kandung, yaitu 500.000.

Apabila semua ahli waris yang tersebut di atas ada semua, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, maka hanya 5 orang saja yang menerima warisan:

1.       Suami/Istri

2.       Ayah

3.       Ibu

4.       Anak (perempuan/laki-laki)

Contoh:

Harta yang ditinggalkan berjumlah 15.000.000 dan Ahli Warisnya adalah istri, ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki dan perempuan.

Pembagiannya:

Istri:  1/8  x 15.000.000 = 1.875.000

Ayah: 1/6 x 15.000.000 = 2.500.000

Ibu: 1/6 x 15.000.000 = 2.500.000

Sisanya yaitu 8.125.000 untuk anak laki-laki dan perempuan dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan, sehingga dianggap tiga kepala, yaitu laki-laki 2, wanita 1. Perhitungannya:

Anak Laki-laki: 2/3 x 8.125.000 = 5.416.666

Anak Perempuan: 1/3 x 8.125.000 = 2.708.333

Catatan:

Bibi dari pihak bapak (‘ammah) maupun dari pihak ibu (khaalah) tidaklah mewarisi. Demikian pula cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan, puteri saudara dan puteri paman tidaklah mewarisi.

Kesimpulan

Singkatnya, kerabat itu jika kita melihat kepada jihat(arah)nya terbagi menjadi tiga; Ushuul, Furuu' dan Hawaasyiy.

1.     Ushul (Leluhur si mayyit) adalah orang-orang, dimana si mayit berasal dari mereka seperti ayah dan ibu, mereka semua berhak mewarisi baik karena fardh (mendapatkan jumlah tertentu), maupun karena menjadi 'ashabah (sisa) selain dua golongan:

a.        Setiap laki-laki yang dihalangi oleh wanita antara dia (laki-laki) dengan si mayit seperti ayahnya ibu (yakni kakek dari sebelah ibu)[iii].

b.       Setiap wanita yang bersambung kepada laki-laki, namun antara dia (laki-laki) dengan si mayyit ada wanita misalnya ibu bagi ayahnya ibu (yakni neneknya ibu)[iv].

Kedua golongan ini masuk ke Dzawil arhaam[v].

2.     Furuu' (turunan) adalah ranting-ranting si mayyit misalnya adalah anak[vi], mereka (anak) berhak mewarisi baik karena fardh maupun karena menjadi 'ashabah kecuali anak yang bernasab kepada wanita seperti anak laki-laki dari puteri, anak perempuan dari puteri, maka itu semua termasuk Dzawil arham.

3.     Hawaasyiy (keluarga garis menyimpang) adalah ranting-ranting dari Ushul (leluhur) si mayyit seperti saudara[vii] dan paman[viii], mereka semua berhak mewarisi baik karena fardh, maupun karena menjadi 'ashabah selain dua golongan:

a.Setiap laki-laki yang bernasab kepada si wanita selain saudara seibu, contohnya adalah anak laki-laki dari saudari, anak laki-laki dari saudara seibu dan paman (‘amm) seibu serta khaalnya[ix].

b.       Seluruh wanita selain saudari seperti putri dari saudara laki-laki (baik sekandung, seayah maupun seibu), bibi dari pihak ayah, puteri paman dari pihak ayah dan puteri dari pihak ibu.

Kedua golongan ini termasuk Dzawil arham[x].

 

Lihat Tabel Ahli Waris di sini




Bersambung….

Marwan bin Musa

Maraaji’: Minhaajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy), Al Fiqhul Muyassar, Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid  Saabiq), Al Faraa’idh (A. Hassan), Belajar Mudah Ilmu Waris (Anshari Taslim, Lc) dll.


[i] Menurut sebagian ulama termasuk ke dalam tarikah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayyit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya, atau hak dia yang ada pada orang lain seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan atau barang baru yang diperoleh karena terbunuhnya dia, atau kecelakaan yang berupa santunan ganti rugi. Adapun barang yang tidak berhak diwarisi di antaranya adalah:

a.        Peralatan tidur untuk istri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada istrinya semasa hidupnya.

b.        Harta yang diwaqafkan oleh si mayyit, seperti kitab dan lainnya.

c.        Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya diserahkan kepada pemiliknya atau diserahkan kepada yang berwajib.

Perlu diketahui bahwa tidak termasuk tarikah adalah hibah dan wasiat.

Adapun hibah adalah pemberian yang dilakukan ketika si mayit masih hidup, sedangkan wasiat adalah pemberian yang dilakukan ketika si mayit sudah meninggal.

[ii] Sebagian ahli ilmu mengecualikan untuk yang separuh dirinya budak dan separuhnya lagi merdeka, menurut mereka, ia dapat mewarisi dan diwarisi sesuai bagian dirinya yang merdeka berdasarkan riwayat Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang budak yang separuhnya merdeka, “Ia mewarisi dan diwarisi sesuai bagian yang merdeka dari (diri)nya.” Sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni, namun kami belum mengetahui derajat hadits tersebut, wallahu a’lam.

[iii] Ini disebut juga kakek ghairu shahih.

[iv] Ini disebut juga nenek ghairu shahihah.

[v] Dzawil Arhaam atau Ulul Arhaam adalah kerabat selain dzawil furuudh dan selain ‘ashabah. Mereka mendapatkan warisan apabila tidak ada dzawil furuudh dan ‘ashabah.

[vi] Dan seterusnya ke bawah.

[vii] Dan anak-anaknya ke bawah.

[viii] Dan anak-anaknya ke bawah.

[ix] Yaitu ibu punya saudara laki-laki. Jika punya saudara perempuan disebut khaalah.

[x] Tentang Dzawil arham ini, Insya Allah ada pembahasan khusus.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger