بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh 'Ariyah
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
pembahasan tentang 'aariyah, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamiin.
Ta'rif (pengertian) 'Ariyah
I'aarah (meminjamkan 'ariyyah) adalah pembolehan
memanfaatkan barang oleh pemiliknya kepada orang lain dengan masih tetapnya
barang itu setelah dimanfaatkan tanpa
adanya bayaran. Barang yang dipinjamkan disebut 'aariyyah, misalnya
seseorang meminjam mobil dari orang lain untuk dipakai safar, lalu ia
mengembalikannya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka tidak
termasuk ‘Aariyah barang yang tidak boleh dimanfaatkan, sehingga tidak halal dipinjamkan.
Dan tidak termasuk ‘Aariyah jika tidak
mungkin dimanfaatkan kecuali dengan habisnya barang tersebut. Misalnya makanan
dan minuman.
‘Aariyah disyari’atkan berdasarkan Al
Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, “Tolong-menolonglah kamu di atas kebaikan dan
ketakwaan, janganlah tolong-menolong di atas dosa dan pelanggaran.” (QS. Al
Maa'idah: 2)
Berdasarkan ayat ini, maka memberikan
'aariyah kepada orang yang membutuhkan merupakan ibadah yang membuahkan pahala,
karena ia masuk ke dalam keumuman tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa.
Allah Ta'ala juga berfirman, “Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”
(Terj. QS. Al Maa’un: 7)
Dalam ayat ini Allah mencela orang-orang yang enggan
meminjamkan barang kepada orang yang membutuhkan. Berdasarkan ayat ini di
antara ulama ada yang berpendapat bahwa ‘Ariyah hukumnya wajib. Hal ini adalah
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yakni apabila pemiliknya orang yang
kaya.
Dalam As Sunnah, Anas radhiyallahu 'anhu
pernah berkata:
كَانَ فَزَعٌ بِالْمَدِينَةِ، فَاسْتَعَارَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَسًا مِنْ أَبِي طَلْحَةَ يُقَالُ لَهُ المَنْدُوبُ،
فَرَكِبَ، فَلَمَّا رَجَعَ قَالَ: «مَا رَأَيْنَا مِنْ شَيْءٍ، وَإِنْ وَجَدْنَاهُ
لَبَحْرًا
“Suatu ketika ada hal yang menggemparkan di Madinah, lalu Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam meminjam kuda milik Abu Thalhah yang bernama “Al
Mandub”, Beliau pun menaikinya. Ketika kembali, Beliau bersabda, “Kami tidak
melihat apa-apa, kami hanya menemukan ada kuda yang berlari kencang.”
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga
pernah meminjam baju besi kepada Shafwan bin Umayyah.
'Ariyah dianggap jadi (sah) dengan semua yang
menunjukkan demikian baik dari perkataan maupun perbuatan.
Syarat sah 'Aariyah
Untuk keabsahan ‘Aariyah disyaratkan 4 syarat:
1.
Orang yang memberikan ‘Aariyah
memang layak bertabarru' (bersedekah). Oleh karena itu tidak sah ‘Aariyah dari
anak-anak, orang gila dan orang dungu.
2.
Orang yang meminjam juga layak.
3.
Manfaat barang 'aariyah adalah
mubah. Oleh karena, itu tidak dibolehkan memberikan pinjaman budak muslim
kepada orang kafir, juga buruan dan semisalnya kepada orang yang ihram. Karena
ada ayat “Wa laa ta’aawanuuu ‘alal itsmi wal ‘udwaan.”
4.
Bisa dimanfaatkan barang tersebut
dengan masih tetapnya barang.
Meminjamkan barang 'ariyah dan
menyewakannya
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa
musta'ir (orang yang meminjam) berhak meminjamkan kepada orang lain 'aariyahnya
meskipun pemiliknya tidak mengizinkan jika memang tidak berbeda dalam
penggunaan. Sedangkan menurut ulama madzhab Hanbali bahwa kapan saja 'ariyah
sempurna, maka bagi musta'ir boleh memanfaatkannya sendiri atau orang yang
menduduki posisinya, hanyasaja tidak boleh menyewakan dan meminjamkannya kecuali
dengan izin pemiliknya. Oleh karena itu, jika ternyata dipinjamkan tanpa
izinnya, lalu barang tersebut binasa di orang kedua, maka pemiliknya berhak
meminta ganti kepada siapa saja di antara keduanya yang ia mau, dan orang kedua
wajib menanggung, karena ia yang menerimanya dengan siap menanggungnya dan
ternyata barang pun binasa di tangannya, sehingga ia harus menanggung.
Kapankah mu'ir (pemberi pinjaman) menarik
'ariyahnya?
Bagi mu'ir berhak menarik 'ariyahnya kapan saja ia mau
selama tidak menyebabkan madharrat (bahaya) bagi musta'ir. Jika dalam
menariknya menimbulkan madharrat bagi musta'ir, maka ditunda sampai madharrat
itu tidak menimpa musta'ir. Misalnya seseorang mengariyahkan perahu untuk
membawa barangnya, maka pemberi ‘ariyah tidak bisa menariknya ketika perahu itu
masih di lautan. Demikian juga jika seseorang memberikan ‘aariyah berupa
dinding agar ditaruh di atasnya ujung-ujung kayu, maka pemberi ‘ariyah tidak
bisa menarik jika kayu-kayu itu masih di atasnya.
Wajibnya mengembalikan 'ariyah
Musta’ir (peminjam ‘aariyah) wajib menjaga ‘ariyahnya
melebihi dirinya menjaga hartanya agar bila dikembalikan nanti tetap
terpelihara, Allah berfirman, “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (Terj.
QS. An Nisaa’: 58)
ayat ini menujukkan wajibnya mengembalikan amanah, di
mana salah satunya adalah ‘aariyah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
juga bersabda:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلَا
تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah
amanah kepada orang yang memberimu amanah, dan jangan mengkhianati orang yang
mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Abu Dawud dan Tirmidzi -ia menshahihkannya- meriwayatkan dari Abu Umamah bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الْعَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ "
“Ariyah
itu (harus) dikembalikan.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul
Jami' no. 4116)
Dalil-dalil ini menunjukkan wajibnya menjaga amanah
orang dan wajibnya mengembalikan barang kepada pemiliknya dalam keadaan selamat.
Di samping itu, bolehnya dimanfaatkan adalah dalam batas yang sesuai 'uruf
(kebiasaan yang berlaku), sehingga tidak boleh memberlakukannya melewati batas
sampai membuatnya rusak atau memberlakukannya untuk hal yang tidak cocok karena
pemiliknya tentu tidak mengizinkan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala juga berfirman,
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Terj. QS. Ar
Rahman: 60)
Meminjamkan sesuatu yang tidak
memadharratkan mu'ir dan si musta'ir dapat mengambil manfa'at
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang
seseorang mencegah temboknya dari tancapam kayu di dindingnya selama tidak ada
madharrat yang membahayakan dinding. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu menyebutkan
bahwa rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَيَمْنَعُ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ
خَشَبَةً فِي جِدَارِهِ
“Janganlah
salah seorang di antara kamu melarang tetangganya menancapkan kayu di
dindingnya.”
Abu Hurairah selanjutnya berkata, “Mengapa saya melihat
kalian malah berpaling darinya. Demi Allah, saya akan melemparnya ke pundakmu.”
(HR. Malik)
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami maksud
hadits tersebut apakah menunjukkan sunat memberikan kesempatan kepada tetangga
menancapkan kayunya pada dinding tetangganya atau menunjukkan wajib. Dalam hal
ini ada dua pendapat bagi Imam Syafi'i dan kawan-kawan Imam Malik, namun yang
paling sahih di antara keduanya adalah menunjukkan sunat, dan pendaat inilah
yang dipegang oleh Abu Hanifah dan orang-orang Kufah. Pendapat kedua menyatakan
wajib, di mana pendapat ini dipegang oleh Imam Ahmad, Abu Tsaur dan para ahli
hadits, dan itulah zhahir hadits tersebut.
Orang yang berpendapat menunjukkan sunat berkata, bahwa
zhahir haditsnya adalah mereka diam tidak mau mengamalkan, maka Abu Hurairah
-di mana saat itu ia menjabat sebagai gubernur- berkata, “Kenapa saya melihat
kalian malah berpaling darinya.”, hal ini menunjukkan bahwa bahwa sabda Beliau
itu menunjukkan sunat; tidak wajib. Kalau seandainya wajib, tentu mereka tidak
akan berpaling dari mengamalkannya, wallahu a'lam.
Termasuk ke dalam bagian ini adalah semua yang bisa
dimanfaatkan musta'ir dan tidak memadharratkan si mu'ir, maka dalam hal
tersebut sama tidak boleh dicegah. Jika ternyata pemiliknya menolak, maka hakim
bertindak. Hal ini berdasarkan riwayat Malik,
أَنَّ الضَّحَّاكَ بْنَ خَلِيفَةَ سَاقَ خَلِيجًا
لَهُ مِنَ الْعُرَيْضِ، فَأَرَادَ أَنْ يَمُرَّ بِهِ فِي أَرْضِ مُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ،
فَأَبَى مُحَمَّدٌ، فَقَالَ لَهُ الضَّحَّاكُ: لِمَ تَمْنَعُنِي، وَهُوَ لَكَ مَنْفَعَةٌ
تَشْرَبُ بِهِ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَلَا يَضُرُّكَ، فَأَبَى مُحَمَّدٌ، فَكَلَّمَ فِيهِ
الضَّحَّاكُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَدَعَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مُحَمَّدَ بْنَ
مَسْلَمَةَ فَأَمَرَهُ أَنْ يُخَلِّيَ سَبِيلَهُ، فَقَالَ مُحَمَّدٌ: لَا، فَقَالَ
عُمَرُ: " لِمَ تَمْنَعُ أَخَاكَ مَا يَنْفَعُهُ، وَهُوَ لَكَ نَافِعٌ، تَسْقِي
بِهِ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَهُوَ لَا يَضُرُّكَ، فَقَالَ مُحَمَّدٌ: لَا وَاللَّهِ.
فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ لَيَمُرَّنَّ بِهِ، وَلَوْ عَلَى بَطْنِكَ، فَأَمَرَهُ عُمَرُ
أَنْ يَمُرَّ بِهِ، فَفَعَلَ الضَّحَّاكُ
“Bahwa
Adh Dhahhak bin Khalifah pernah mengarahkan sungai kecilnya dari 'uraidh (jalan
sempit di pinggir bukit), aliran itu hendak melewati tanah Muhammad bin
Maslamah, maka Muhammad menolaknya, lalu Adh Dhahhak berkata kepadanya, “Mengapa
kamu melarangku padahal ada manfaat bagimu, kamu dapat menyiram (kebun) baik
pertama atau terakhir dan tidak memadharratkamu?” Tetapi Muhammad tetap enggan,
maka Adh Dhahhak mengadukan masalah tersebut kepada Umar bin Khathathab. Umar kemudian
memanggil Muhammad bin Maslamah dan memerintahkannya untuk membiarkan saja.
Tetapi Muhammad berkata, “Tidak bisa”, Umar berkata, “Mengapa kamu cegah
saudaramu dari hal yang memberikan manfaat baginya dan bermanfaat pula bagimu.
Kamu dapat menyiram dengannya di awal dan akhirnya, dan hal itu tidak memadharratkanmu."
Tetapi Muhammad tetap berkata, “Tidak bisa”, maka Umar berkata, “Demi Allah, ia
harus mengalirkannya meskipun melewati perutmu," maka Umar memerintahkan
Adh Dhahhak melakukannya hal tersebut, Adh Dhahhak pun melakukannya.”
Demikian juga berdasarkan hadits Amr bin Yahya Al
Maaziniy dari bapaknya bahwa ia berkata, “Di kebun milik kakekku ada sebuah sungai kecil milik Abdurrahman bin
'Auf, ia (Abdurrahman) pun ingin mengalihkannya ke tepi kebun, namun pemiliknya
mencegah, lalu ia mengadukan kepada Umar bin Khathathab, maka Umar menetapkan
agar Abdurrahman bin 'Auf tetap mengalihkannya.”
Pendapat di atas juga pendapat Imam Syafi'i, Ahmad, Abu
Tsaur, Dawud dan jama'ah ahli hadits. Adapun Abu Hanifah dan Malik berpendapat
bahwa tidak bisa diputuskan seperti itu, karena 'aariyah tidak bisa diputuskan
dengannya. Namun hadits-hadits di atas menguatkan pendapat pertama tadi.
Musta'ir menanggung
Kapan saja musta'ir sudah menerima 'ariyah, lalu barang
'ariyah itu binasa, maka ia menanggungnya baik ia bersikap meremehkan atau
tidak. Namun ulama madzhab Hanafi dan ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa
musta'ir (peminjam) tidak menanggung kecuali jika ia meremehkan, berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيْرِ غَيْرِ الْمُغِلِّ
ضَمَانٌ ، وَلاَ الْمُسْتَوْدَعِ غَيْرِ الْمُغِلِّ ضَمَانٌ
“Bagi
musta'ir yang tidak khianat tidak menanggung, demikian juga bagi orang yang
dititipkan sesuatu tidak menanggung kecuali jika khianat.” (HR. Daruquthni)
Dengan demikian, jika barang itu binasa ketika dimanfaatkan
secara wajar (ma’ruf), maka musta'ir (peminjam) tidak menanggung. Karena mu’iir
(pemberi ‘aariyah) telah mengizinkannya untuk dipakai. Dan segala yang muncul
setelah diizinkan, maka tidak ditanggung.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa
‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa
ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah dll.
0 komentar:
Posting Komentar