Hukum Shalat Dengan Tidak Thuma’ninah

Jumat, 24 Juli 2015

بسم الله الرحمن الرحيم

Hasil gambar untuk ‫الطمأنينة في الصلاة‬‎

Hukum Shalat Dengan Tidak Thuma’ninah

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Pada bulan Ramadhan yang lalu dishare sebuah video melalui media sosial dan internet tentang pelaksanaan shalat tarawih berikut witir dengan jumlah dua puluh tiga rakaat yang hanya memakan waktu 7 sampai 10 menit atau sampai 15 menit, di salah satu pondok Pesantren di Blitar Jawa Timur. Di video tersebut kita saksikan, bagaimana mereka melakukan shalat secara cepat sekali. Yang ingin kita kaji adalah, apa hukum melaksanakan shalat secara cepat seperti ini dalam pandangan hukum Islam (fiqh)?
Thuma’ninah merupakan rukun shalat
Perlu diketahui, bahwa thuma’ninah dalam shalat termasuk rukun shalat. Ini adalah pendapat ulama madzhab Syafi’i[i], ulama madzhab Hanbali[ii], pendapat Abu Yusuf salah seorang ulama madzhab Hanafi[iii], salah satu pendapat ulama madzhab Maliki[iv], pendapat Dawud[v], pendapat pilihan Ibnul Hammam dan muridnya Ibnu Amiril Haaj[vi], demikian pula menjadi pilihan Ibnu Abdil Bar[vii], Ibnu Taimiyah[viii], Ibnu Baz[ix], Ibnu Utsaimin[x], bahkan ada pernyataan ijma’ tentang hal ini[xi].
Dengan demikian, jumhur (mayorotas) fuqaha dari kalangan madzhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan menjadi pendapat Abu Yusuf kawan Abu Hanifah, berpendapat bahwa thuma’ninah merupakan fardhu atau rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpanya[xii].
Dalil bahwa thuma’ninah merupakan rukun shalat adalah hadits-hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ المَسْجِدَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فِي نَاحِيَةِ المَسْجِدِ، فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ، فَقَالَ: «وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، فَارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» فَقَالَ فِي الثَّانِيَةِ، أَوْ فِي الَّتِي بَعْدَهَا: عَلِّمْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ: «إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا»
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anha, bahwa ada seorang laki-laki masuk masjid, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan duduk di pojok masjid. Lalu orang itu shalat, kemudian datang kepada Beliau sambi mengucapkan salam, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Wa alaikas salam,” dan bersabda, “Kembalilah lagi dan lakukan shalat karena engkau belum shalat.” Maka orang itu kembali shalat, kemudian datang kepada Beliau sambi mengucapkan salam, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Wa alaikas salam,” dan bersabda, “Kembalilah lagi dan lakukan shalat karena engkau belum shalat.” Orang itu pun berkata pada kedua kali atau ketiga kalinya, “Ajarilah aku wahai Rasulullah.” Beliau pun bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadap kiblat, kemudian bertakbirlah. Lalu bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukulah sehingga engkau thuma’ninah ketika ruku. Lalu bangunlah, sehingga engkau berdiri lurus, kemudian sujudlah sehingga engkau thuma’ninah dalam keadaan sujud. Kemudian bangunlah sehingga engkau thuma’ninah dalam keadaan duduk, lalu sujudlah sehingga engkau thuma’ninah dalam keadaan sujud, dan bangunlah sehingga engkau thuma’niah dalam keadaan duduk. Lakukanlah seperti itu dalam semua shalatmu.” (HR. Bukhari (6251) dan Muslim (397))
عَنْ زَيْدِِ بْنِ وَهْبٍ الْجُهَنيِّ قَالَ : رَأَى حُذَيْفَةُ رَجُلًا لَا يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ، قَالَ: «مَا صَلَّيْتَ وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا»
Dari Zaid bin Wahb Al Juhanniy, ia berkata, “Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu pernah melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya, maka ia berkata, “Engkau belum shalat. Jika engkau mati (dalam keadaan seperti ini), maka engkau mati tidak di atas agama yang Allah ciptakan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam di atasnya. “ (HR. Bukhari (791))
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُجْزِئُ صَلَاةٌ لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ» 
Dari Abu Mas’ud ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak menyempurnakan tulang belakangnya ketika ruku dan sujud.”  (HR. Abu Dawud (855) namun lafaznya “Laa tujzi’u shalatur rajul hattaa yuqiima zhahrahu fir ruku was sujud”, Tirmidzi (265), Nasa’i (1027), Ibnu Majah (870), Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.” Ibnu Hazm berhujjah dengannya dalam Al Muhalla (3/257), dan dishahihkan oleh Ibnul Arabi dalam Ahkamul Qur’an (1/643), Syaukani dalam Nailul Awthar (2/280), dan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah (870)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَال: لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلاَ سُجُودَهَا
“Manusia yang paling buruk melakukan pencurian adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang mencuri shalatnya?” Beliau bersabda, “Yaitu ketika ia tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya.” (HR. Ahmad 5/310 cet. Al Maimaniyyah, Hakim (1/229) cet. Darul Ma’arif Al Utsmaniyyah dari hadits Abu Qatadah, dan dishahihkan oleh Hakim, serta disepakati oleh Adz Dzahabiy)
Hakikat dan Hikmah Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah tenang dan diam sejenak seukuran sekali tasbih setelah tetapnya anggota badan. Thuma’niah dalam ruku berarti diam sejenak setelah benar-benar ruku seukuran sekali tasbih, dst.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya shalat adalah makanan bagi hati sebagaimana gizi merupakan makanan bagi jasad. Jika jasad tidak mendapatkan gizi dengan sedikit makanan, maka hati juga tidak mendapatkan asupan makanan dengan shalat yang begitu cepat. Oleh karena itu, harus dilakukan shalat secara sempurna yang dapat membuat hati menjadi bersih.” (Majmu’ Fatawa 22/538)
Kesimpulan
1.     Thuma’ninah adalah rukun shalat, maka jika ditinggalkan menjadi TIDAK SAH shalatnya.
2.     Orang yang melakukan shalat secara tidak thuma’ninah dipandang menurut hukum Islam sebagai orang yang belum shalat.
3.     Memberikan contoh yang tidak baik dalam Islam adalah dosa, maka hendaknya orang yang mencontohkan shalat secara tidak thumani’nah apalagi memfatwakan bolehnya bertaubat darinya, karena yang demikian termasuk mencontohkan praktek yang tidak baik dalam agama ini, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ»
“Barang siapa yang mencontohkan sunnah yang baik dalam Islam (seperti menghidupkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah dimatikannya), maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi seikit pun pahala mereka. Dan barang siapa yang mencontohkan sunnah yang buruk (seperti mencontohkan tatacara ibadah yang tidak dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka ia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya seelahnya tanpa dikurangi sedikit pun dosa mereka.” (HR. Muslim (1017) dan Nasa’i (2554)).
Dalam lafaz Ibnu Majah disebutkan,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي، فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً، فَعُمِلَ بِهَا، كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا
"Barang siapa yang menghidupkan salah satu sunnahku, lalu dilakukan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mengadakan sebuah bid'ah, lalu dikerjakan oleh yang lain, maka ia akan menanggung dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa orang yang melakukannya." (HR. Ibnu Majah, dan dinyatakan shahih lighairih oleh Al Albani).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, http://www.dorar.net/enc/feqhia/3381,  http://www.alukah.net/sharia/0/68327/#ixzz3gpBrIrwx, Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh, KSA), Al Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah (Abdurrahman Al Jaziri), Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (Kementrian Waqaf dan Urusan Keislaman, Kuwait), dan lain-lain.


[i] Al Majmu’ 3/410 karya An Nawawi.
[ii] Al Furu’ 2/246 karya Ibnu Muflih dan Kasysyaful Qina’ 1/387 karya Al Bahuti.
[iii] Fathul Qadir 1/300 karya Al Kammal bin Al Hammam dan Hasyiyah Ibnu Abidin 1/464.
[iv] Syarh Mukhtashar Khalil 1/274 karya Al Kharsyi dan Hasyiyah Ash Shaawiy ‘ala Asy Syarhish Shaghir 1/316.
[v] Imam Nawawi berkata, “Wajib thuma’ninah ketika ruku, sujud, i’tidal setelah ruku, dan duduk antara dua sujud. Demikianlah yang dikatakan Malik, Ahmad, dan Dawud.” (Al Majmu’ 3/410)
[vi] Hasyiyah Ibnu Abidin 1/464.
[vii] Al Kaafi fii Fiqhi Ahlil Madinah 1/227.
[viii] Ibnu Taimiyah berkata, “Thuman’inah dalam shalat adalah wajib. Orang yang meninggalkannya telah melakukan kesalahan berdasarkan kesepakatan para imam, bahkan jumhur para imam dalam Islam, seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Yusuf kawan Abu Hanifah. Abu Hanifah dan Muhammad tidak berbeda pendapat bahwa orang yang meningalkan thuma’ninah telah melakukan kesalahan dan tidak baik shalatnya. Ia telah berdosa dan bermaksiat karena meninggalkan kewajiban.” (Majmu’ Fatawa 22/601).
[ix] Ibnu Baz berkata, “Hadits yang shahih ini menunjukkan bahwa thuma’ninah adalah rukun shalat dan kewajiban yang besar di dalamnya, dimana shalat tidak sah tanpanya. Barang siapa yang shalatnya cepat-cepat, maka tidak ada shalat baginya.” (Majmu Fatawa Ibnu Baz 25/163)
[x] Ibnu Utsaimin berkata, “Thuma’ninah pada rukun-rukun shalat termasuk rukun yang harus dikerjakan. Barang siapa yang tidak thumaninah ketika shalat, maka shalatnya batal.” (Majmu Fatawa wa Rasa’il Al Utsaimin 13/159)
[xi] Ibnu Taimiyah berkata, “Ini adalah ijma para sahabat radhiyallahu anhum, karena mereka shalat selalu thuma’ninah. Jika salah seorang di antara mereka melihat ada orang yang tidak thuma’ninah, maka ia segera mengingkari dan melarangnya, dan di kalangan mereka tidak ada yang mengingkari sahabat yang mengingkari orang yang tidak thuma’ninah. Ini menunjukkan kesepakatan mereka akan wajibnya tenang dan thuma’ninah dalam shalat. Mereka sepakat baik secara ucapan maupun tindakan mereka. ” (Majmu Fatawa 22/569)
[xii] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah 22/127.

Memenuhi Janji

Rabu, 22 Juli 2015

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الوفاء‬‎
Memenuhi Janji
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang akhlak wafa (memenuhi janji), semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kisah seseorang yang memenuhi janji
Anas bin Nadhr pernah absen dalam perang Badar, lalu ia bersedih karenanya. Selanjutnya ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak hadir pada perang pertama kali yang engkau lakukan terhadap kaum musyrik. Sungguh, jika Allah menghadirkan aku dalam memerangi kaum musyrik, tentu Allah akan melihat perbuatan yang aku lakukan." Demikianlah Anas bin Nadhr berjanji atas dirinya untuk berjihad dan memerangi kaum musyrik serta mengejar pahala yang luput pada perang Badar. Maka ketika tiba perang Uhud, kaum muslim terpukul mundur dan dalam barisan terjadi kekacauan, maka Anas berkata kepada Sa'ad bin Mu'adz, "Wahai Sa'ad bin Mu'adz! Surga, demi Tuhan Nadhr, aku menciumnya di balik bukit Uhud." Maka Anas maju melakukan penyerangan yang dahsyat hingga ia syahid di jalan Allah. Ketika itu, para sahabat menemukan delapan puluh luka pada tubuhnya, berupa sayatan pedang, tusukan tombak, lemparan panah, dan tidak ada seorang pun yang mengenali bahwa ia adalah Anas bin Nadhr selain saudarinya melalui tanda yang ada di jarinya. (Muttafaq 'alaih)
Oleh karena itu, para sahabat berpendapat, bahwa Allah telah menurunkan tentang Anas dan kawan-kawannya firman-Nya Ta'ala, "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)," (Terj. QS. Al Ahzaab: 23)
As Sayiyidah Khadijah radhiyallahu 'anha adalah seorang istri yang sangat sayang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan memberikan kasih sayangnya kepada Beliau, menyiapkan bantuan untuk Beliau serta rela memikul penderitaan dan ujian dalam menyebarkan dakwah Islam. Saat Khadijah radhiyallahu 'anha wafat, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selalu memenuhi janjinya untuknya, ia sering mengenangnya, bahkan Beliau bergembira ketika melihat salah seorang dari keluarganya dan memuliakan teman-temannya. Pernah suatu ketika Aisyah merasa cemburu dengannya, sedangkan Khadijah telah meninggal dunia, ia berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Bukankah ia hanya wanita yang sudah tua, dan Allah telah menggantimu dengan yang lebih baik darinya?" Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam marah dan bersabda kepadanya,
وَاللهِ مَا أَبْدَلَنِيَ اللهُ خَيْرًا مِنْهَا؛ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ النَّاسُ، وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِيَ النَّاُس، وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِيَ النَّاُس، وَرَزَقَنِيَ اللهُ مِنْهَا الْوَلَدَ دُوْنَ غَيْرِهَا مِنَ النِّسَاءِ
"Demi Allah, Allah tidak menggantikan untukku yang lebih baik daripadanya. Ia beriman kepadaku saat manusia kafir, ia membenarkanku saat manusia mendustakan, dan membantuku dengan hartanya saat manusia enggan membantu, dan daripadanya Allah karuniakan aku anak; bukan dari istri yang lain." (HR. Ahmad, dan dinyatakan sebagai "Hadits shahih" oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah pada no. 24864)
Demikianlah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau selalu memberikan kesetiaan kepada istrinya Khadijah radhiyallahu 'anha.
Para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari kalangan kaum Anshar (mereka adalah penduduk Madinah) memberikan contoh yang mengagumkan dalam hal memenuhi janji. Mereka membai'at Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membela Islam, maka mereka memenuhi janjinya. Mereka memberikan makanan kepada saudara-saudara mereka kaum muhajirin dan ikut bersama mereka sampai sempurna kemenangan bagi agama Allah.
Dari 'Auf bin Malik radiyallahu 'anhu berkata, "Kami bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam jumlah sembilan, delapan, atau tujuh orang, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Maukah kalian membaiat Rasulullah?" Maka kami membentangkan tangan kami dan berkata, "Kami bai'at engkau wahai Rasulullah, tetapi dalam hal apa kami membaiatmu?" Beliau menjawab, "Yaitu agar kalian hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat lima waktu, dan taat." Kemudian Beliau mempelankan suaranya dan bersabda, "Dan janganlah kamu meminta-minta kepada manusia." 'Auf bin Malik berkata, "Sungguh, aku melihat orang-orang itu ketika jatuh cemeti salah seorang dari mereka (yang digunakan untuk mengarahkan hewan kendaraan), ternyata tidak ada seorang pun yang meminta orang lain mengambilkan untuknya." (HR. Muslim)
Apa itu memenuhi janji?
Memenuhi janji adalah seseorang memegang janji-janji dan kewajibannya. Allah Subhaanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk memenuhi janji, Dia Yang Maha Agung berfirman,
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
"Dan penuhilah janji, karena janji itu akan diminta pertanggungjawaban." (Terj. QS. Al Israa': 34)
Allah Ta'ala juga berfirman,
وَأَوْفُواْ بِعَهْدِ اللّهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ
"Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji." (Terj. QS. An Nahl: 91)
Macam-macam memenuhi janji
Memenuhi janji ada banyak macamnya, di antaranya:
1.       Memenuhi janji dengan Allah.
Antara manusia dengan Allah Subhaanahu wa Ta'ala ada perjanjian yang agung lagi suci, yaitu hanya menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan dengan sesuatu serta menjauhi menyembah setan dan mengikuti jejaknya. Allah 'Azza wa Jalla berfirman,
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَن لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ--وَأَنْ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
"Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai Bani Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu--Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus." (Terj. QS. Yaasiin: 60-61)
Oleh karena itu, manusia dengan fitrahnya yang lurus dan akalnya yang sehat merasakan bahwa alam semesta ini mempunyai Tuhan yang berhak disembah, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Inilah perjanjian antara kita dengan Allah Subhaanahu wa Ta'ala.
2.       Memenuhi ikatan perjanjian.
Agama Islam memerintahkan untuk menghargai ikatan perjanjian dan memberlakukan syarat-syarat itu ketika telah disepakati. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُرُوْطِهِمْ.
"Kaum muslim mengikuti syarat yang mereka sepakati." (HR. Bukhari)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengadakan perjanjian Hudaibiyah bersama kaum kafir, dan Beliau memenuhi konsekwensi perjanjian itu tanpa mengingkari atau mengkhianati, bahkan mereka (kaum kafir) itulah yang suka melanggar dan mengkhianati.
Seorang muslim selalu memenuhi janjinya selama dalam perjanjian itu terdapat ketaatan kepada Allah Rabbul 'aalamiin. Adapun apabila di dalamnya terdapat kemaksiatan dan bahaya bagi orang lain, maka tidak boleh dipenuhi perjanjian itu.
3.       Memenuhi takaran dan timbangan.
Seorang muslim selalu memenuhi timbangan dan tidak menguranginya, karena Allah Ta'ala berfirman menceritakan dakwah salah seorang Nabi-Nya, yaitu Syu’aib ‘alaihis salam,
وَيَا قَوْمِ أَوْفُواْ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلاَ تَبْخَسُواْ النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ
"Wahai kaumku! Cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka." (Terj. QS. Huud: 85)
4.       Memenuhi nadzar
Seorang muslim selalu memenui nadzarnya dan melaksanakan janjinya kepada Allah 'Azza wa Jalla. Nadzar adalah seseorang mewajibkan dirinya melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Di antara sifat penghuni surga adalah mereka memenuhi nadzarnya, Allah Ta'ala berfirman,
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
"Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana." (Terj. QS. Al Insaan: 7)
Namun disyaratkan nadzar itu harus dalam hal yang baik. Jika tidak demikian, maka tidak dilaksanakan.
5.       Memenuhi janji
Seorang muslim memenuhi janjinya dan tidak mengingkarinya. Jika ia menjanjikan sesuatu untuk saudaranya, maka ia penuhi janjinya itu dan tidak melanggarnya, karena ia mengetahui bahwa melanggar janji salah satu di antara sifat kaum munafik. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، َوإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
"Tanda orang munafik itu tiga; jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari, dan jika dipercaya ia khianat." (Muttafaq 'alaih)
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقاً ، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ فِيْهِ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا :مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
"Ada empat yang jika ada pada seseorang maka ia menjadi seorang munafik (sejati). Tetapi, jika hanya satu saja, maka dalam dirinya terdapat sifat munafik sampai ia meninggalkannya, yaitu: apabila berbicara berdusta, apabila berjanji mengingkari, apabila bertengkar ia berbuat jahat, dan apabila mengadakan perjanjian ia melanggar." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr)
Dalam Al Qur’an Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?--Sangat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 2-3)
Ayat ini merupakan celaan dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala kepada orang-orang yang menjanjikan sesuatu, namun ia tidak memenuhinya, atau berjanji melakukan sesuatu tetapi tidak melaksanakannya.
Melanggar janji dan khianat
Melanggar janji atau khianat adalah akhlak tercela. Contohnya adalah melakukan curang pada takaran dan timbangan, dsb. Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الخَائِنِينَ
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang khianat." (Terj. QS. Al Anfaal: 58)
Allah Ta'ala juga berfirman,
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
"(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka Itulah orang-orang yang rugi." (Terj. QS. Al Baqarah: 27)
Orang yang ingkar janji, akan ditampakkan aibnya ini di hadapan manusia yang lain pada hari Kiamat dan dipancangkan di atasnya bendera khianat. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
إِنَّ الغَادِرَ يُرْفَعُ لَهُ لِوَاءٌ يَوْمَ القِيَامَةِ، يُقَالُ: هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنِ بْنِ فُلاَنٍ
"Sesungguhnya orang yang ingkar janji akan dipancangkan bendera pada hari Kiamat, dimana kepadanya akan dikatakan, "Inilah pengkhianatan si fulan bin fulan."   
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qur'anul Karim, Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net), Modul Akhlak kelas 8 (penulis), dll.

Sunah-Sunah Shalat (3)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫سنن الصلاة‬‎

Sunah-Sunah Shalat (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang sunah-sunah shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Sunah-Sunah Shalat
3.     Isti’adzah (mengucapkan a’udzu billahi minasy syaithanirrajim)
Dianjurkan membaca isti’adzah bagi orang yang shalat setelah membaca doa istiftah dan sebelum membaca surat Al Fatihah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu hendak membaca Al Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An Nahl: 98)
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau pernah membaca (isti’adzah) dengan kata-kata,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، وَهَمْزِهِ، وَنَفْخِهِ، وَنَفْثِهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan yang terkutuk, dari serangannya, kesombongannya, dan syairnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani)
Ibnul Mundzir berkata, “Telah ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau membaca “Audzu billahi minasy syaithanir rajim” sebelum membaca surat.”
4.     Mensirrkan bacaan isti’adzah
Dan disunahkan membacanya secara sir (pelan). Dalam Al Mughni disebutkan, “Dan isti’adzah dibaca secara sir; tidak dijahar(keras)kan. Aku tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini.”
Akan tetapi Imam Syafi’i berpandangan boleh memilih antara menjaharkan dan mensirkan dalam shalat yang dijaharkan bacaannya. Memang ada riwayat menjaharkannya dari Abu Hurairah, tetapi melalui jalur yang dhaif.
Dan isti’adzah tidak disyariatkan kecuali pada rakaat pertama. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun pada rakaat kedua, memulai dengan membaca Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin (surat Al Fatihah) dan tidak diam terlebih dahulu.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, “Para fuqaha berbeda pendapat; apakah (pada rakaat kedua) merupakan tempat isti’adzah atau bukan? Namun mereka sepakat, bahwa rakaat kedua bukanlah tempat membaca doa istiftah. Dalam hal ini ada dua pendapat, dimana keduanya adalah riwayat dari Ahmad. Sebagian kawan-kawannya (yang semadzhab) menjadikan keduanya dasar, apakah bacaan (Al Qur’an) dalam shalat itu satu kesatuan, sehingga cukup satu isti’adzah atau setiap rakaat berdiri sendiri? Namun tidak ada perselisihan di antara kedua madzhab itu, bahwa doa istiftah cukup (sekali) untuk keseluruhan shalat. Dan mencukupkan diri dengan sekali isti’adzah lebih tampak (kuat) berdasarkan hadits shahih (di atas),” lalu Ibnul Qayyim menyebutkan hadits Abu Hurairah, kemudian berkata, “Sesungguhnya cukup sekali doa istiftah, karena mulut tidak berdiam antara dua bacaan, bahkan disela-selahi dzikr. Oleh karenanya, ia seperti satu bacaan ketika disela-selahi memuji Allah, bertasbih, bertahlil, bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dsb.”
Imam Syaukani berkata, “Yang lebih hati-hati adalah membatasi diri dengan apa yang disebutkan dalam As Sunnah, yakni isti’adzah di awal rakaat pertama saja.”
5.     Membaca aamin.
Disunahkan bagi orang yang shalat baik sebagai imam, makmum, atau munfarid (yang shalat sendiri) untuk mengucapkan Aamiin setelah membaca surat Al Fatihah, dimana ia menjahar(keras)kannya pada shalat yang dijaharkan dan mensirkan pada shalat yang disirkan.
Dari Nu’aim Al Mujmir ia berkata, “Aku shalat di belakang Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, lalu ia membaca, “Bismillahirrahmaanirrahim,” kemudian ia membaca Ummul Kitab, sehingga ketika ia selesai membaca waladh dhaallin, maka ia mengucapkan Aamiin, dan manusia (para makmum) pun mengucapkan Aamiin. Setelah itu Abu Hurairah berkata, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kalian.” (Disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq/tanpa sanad, demikian pula diriwayatkan oleh Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan As Siraj).
Dalam Shahih Bukhari disebutkan, “Ibnu Syihab berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Aamiin.”
Atha berkata, “Aamiin adalah doa. Ibnuz Zubair pernah membaca aamiin berikut para makmum yang berada di belakang sehingga di masjid terdengar suara keras.”
Nafi’ berkata, “Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan ucapan Aamiin dan ia mendorong manusia mengucapkannya. Aku juga mendengar hadits tentang Aamin dari Beliau.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membaca “Ghairil Maghdhubi ‘alaihim waladh dhaallin” mengucapkan Aamiin sehingga terdengar oleh shaf pertama yang berada di dekatnya. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, ia menambahkan, “sehingga terdengar oleh orang-orang yang berada di shaf pertama dan masjid terdengar suara keras.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim, ia berkata, “Shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim,” dan diriwayatkan pula oleh Baihaqi, ia berkata, “Hasan shahih,” demikian pula diriwayatkan oleh Daruquthni, ia berkata, “Isnadnya hasan.”)
Dari Wa’il bin Hujr ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat membaca “Ghairil Maghdhubi ‘alaihim waladh dhaallin” maka Beliau mengucapkan Aamin dengan memanjangkan suaranya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, namun lafaz Abu Dawud adalah rafa’a bihaa shautah (artinya: Beliau mengeraskan suaranya). Tirmidzi menyatakan hasan dan berkata, “Itulah yang dipegang oleh lebih dari seorang Ahli Ilmu dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in, dan generasi setelahnya. Mereka memandang, hendaknya seseorang mengeraskan suaranya saat mengucapkan Aamin dan tidak melirihkannya.” Al Hafizh berkata, “Sanad hadits ini shahih.”)
Atha’ berkata, “Aku menjumpai dua ratus para sahabat di masjid ini, saat imam mengucapkan “Waladh dhaaallin” aku mendengar suara keras mereka mengucapkan “Aaamiin.”
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ، مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَى السَّلَامِ وَالتَّأْمِينِ»
“Tidak ada sesuatu yang diirikan oleh orang-orang Yahudi terhadap kalian daripada irinya mereka terhadap salam dan ucapan aamiin.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Anjuran agar ucapan aamiin makmum bersamaan dengan ucapan aamiin imam
Dianjurkan bagi makmum mengucapkan aamiin bersamaan dengan imam, sehingga ia (makmum) tidak mendahuluinya dan tidak telat mengucapkannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
" إِذَا قَالَ الإِمَامُ: {غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7] فَقُولُوا: آمِينَ، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ "
“Jika imam mengucapkan “Ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh dhaallin” maka ucapkanlah “Aamiin” karena barang siapa yang ucapannya bersamaan dengan ucapan para malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Abu Hurairah juga meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَالَ الْإِمَامُ {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7] فَقُولُوا: آمِينَ؛ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ: آمِينَ، وَإِنَّ الْإِمَامُ يَقُولُ: آمِينَ، فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةَ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika imam mengucapkan “Ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh dhaalliin” maka ucapkanlah, “Aamiin” karena para malaikat juga mengucapkan “aamiin” dan imam juga mengucapkan aamiin. Barang siapa yang ucapan aamiinnya bersamaan dengan ucapan aamiin para malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dalam lafaz lain disebutkan,
إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika imam mengucapkan aamiin, maka ucapkanlah aamiin, karena barang siapa yang ucapan aamiinnya bersamaan dengan aamiin para malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Hadits ini bukanlah berarti imam lebih dulu mengucapkan aamiin. Kalimat “Jika imam mengucapkan aamiin, maka ucapkanlah aamiin,” adalah seperti ucapan “Jika ketua rombongan telah bersiap-siap berangkat, maka bersiap-siaplah,” yakni agar perjalanan kalian bersamaan dengannya.
Ucapan “Aamin” yakni dengan dipendekkan atau dipanjangkan alifnya bukanlah termasuk surat Al Fatihah, ia hanyalah doa yang artinya, “Ya Allah, kabulkanlah.
6.     Membaca surat atau ayat Al Qur’an setelah Al Fatihah
Disunahkan bagi orang yang shalat membaca satu surat atau beberapa ayat dari Al Qur’an setelah membaca surat Al Fatihah, yaitu pada dua rakaat shalat Subuh dan Jum’at, dua rakaat pertama shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan pada semua rakaat shalat sunah.
Dari Abu Qatadah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam shalat Zhuhur, yaitu dua rakaat pertama dengan membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) dan dua surat, sedangkan pada dua rakaat setelahnya membaca Ummul Kitab (saja). Terkadang Beliau memperdengarkan bacaan ayat kepada kami. Beliau biasa membaca lebih panjang rakaat pertama daripada rakaat kedua. Demikian pula pada shalat Ashar dan shalat Subuh.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, ia (Abu Dawud) menambahkan, “Menurut kami, Beliau melakukan demikian (memanjangkan rakaat pertama) agar manusia memperoleh rakaat pertama.”)
Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Penduduk Kufah mengadukan Sa’ad kepada Umar, lalu Umar menggantinya dengan Ammar (sebagai gubernur). Mereka mengadukan Sa’ad sampai menyebutkan, bahwa Beliau tidak bagus shalatnya, maka Umar pun mengutus seseorang untuk memintanya datang menghadapnya, lalu Umar berkata, “Wahai Abu Ishaq! Sesungguhnya mereka mengatakan, bahwa kamu tidak bagus shalatnya.” Abu Ishaq pun berkata, “Ketahuilah! Demi Allah, aku shalat dengan mereka mengikuti shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa menguranginya; aku shalat Isya dengan memanjangkan dua rakaat pertama dan meringankan dua rakaat kedua.” Maka Umar berkata, “Kami juga menganggapnya begitu terhadapmu wahai Abu Ishaq.” Maka Umar mengirimkan bersamanya seseorang atau beberapa orang ke Kufah, lalu orang itu bertanya kepada penduduk Kufah tentang Beliau (Abu Ishaq), dimana ia tidak meninggalkan satu masjid pun kecuali ditanyakan tentangnya, lalu mereka menyebut baik tentangnya, sehingga mereka tiba di masjid milik Bani ‘Abs, maka seseorang dari mereka yang bernama Usamah bin Qatadah yang dipanggil dengan nama Abu Sa’dah bangkit dan berkata, “Jika engkau meminta pendapat kami dengan nama Allah, maka ketahuilah, sesungguhnya Sa’ad tidaklah menjalankan pemerintahan secara adil, tidak membagi secara rata, dan tidak adil dalam memutuskan.” Sa’ad berkata, “Ketahuilah! Demi Allah, aku akan berdoa dengan tiga hal: ya Allah, jika hamba-Mu ini dusta, berdiri menyatakan demikian karena riya dan sum’ah, maka panjangkanlah umurnya, panjangkanlah kefakirannya, dan jatuhkanlah ia ke dalam fitnah.” Setelah doa Sa’ad tersebut, maka ketika ia ditanya tentang keadaannnya kenapa demikian, ia menjawab, “Saya adalah orang yang tua renta dan terkena fitnah akibat doa Sa’ad.” Abdul Malik berkata, “Aku menyaksikannya ternyata kedua alisnya telah panjang menutupi kedua matanya karena tua, namun ia masih saja mendatangi anak-anak perempuan di jalan menyentuhkan jarinya kepada mereka.” (HR. Bukhari)
Abu Hurairah berkata, “Setiap shalat Beliau membaca (surat yang lain setelah Al Fatihah), jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperdengarkan bacaannya kepada kami, maka kami juga memperdengarkannya kepada kalian, jika Beliau melirihkan bacaannya kepada kami, maka kami pun melirihkan bacaannya kepada kalian. Jika engkau hanya membaca Ummul Qur’an (Al Fatihah) saja, maka engkau telah sah. Jika engkau tambahkan, maka itu lebih baik.” (HR. Bukhari)
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Makbatah Syamilah versi 345, dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger