بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Ijarah (bagian 2)
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah,
kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan
pembahasan tentang ijaraah, kami berharap kepada Allah agar Dia menjadikan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahhumma aamin.
Upah
terhadap sebuah ketaatan
Adapun
upah terhadap ketaatan, maka para ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya.
Berikut ini di antara madzhab para ulama dalam hal tersebut:
Ulama
madzhab Hanafi
Ulama
madzhab Hanafi berpendapat,
"Ijarah (menyewa) terhadap
ketaatan seperti halnya menyewa orang lain untuk shalat, puasa, berhajji dan membaca Al Qur'an lalu menghadiahkan pahala
kepadanya, atau
untuk melakukan adzan,
mengimami manusia dsb. hal ini tidak boleh dan haram mengambil upah terhadapnya
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
اِقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَ
اعْمَلُوْا بِهِ وَ لاَ تَجْفُوْا عَنْهُ وَ لاَ تَغْلُوْا فِيْهِ وَ لاَ تَأْكُلُوْا
بِهِ وَ لاَ تَسْتَكْثِرُوْا بِهِ
"Bacalah
Al Qur'an, amalkanlah, jangan menjauh darinya, jangan berlebihan
terhadapnya, janganlah
makan dengannya dan janganlah menjadikan sarana untuk mengeruk kekayaan." (HR. Ahmad,
Thabrani, Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Shahihul Jami’ no. 1168)
Juga
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada 'Amr bin
'Aash:
وَاِنِ اتُّخِذْتَ
مُؤَذِّنًا فَلاَ تَأْخُذْ عَلَى الْاَذَانِ أَجْرًا
"Jika kamu
menjadi muazin, maka janganlah mengambil upah terhadap adzan."
Hal
itu juga, karena ibadah ketika telah dilakukan oleh pelaku, tidak boleh
mengambil upah dari orang lain. Termasuk hal yang sudah biasa di negeri Mesir
adalah wasiat dari yang meninggal untuk diadakan pengkhataman bacaan Al Qur'an
dan dzikr-dzikr tertentu (biasa disebut "tahlilan") dengan dibayar dan nanti pahalanya
dihadiahkan kepada ruh pemberi wasiat, ini semua tidak boleh secara syara',
karena pembaca Al Qur'an niatnya harta, sehingga ia tidak memperoleh pahala.
Para
fuqaha' menyebutkan bahwa upah yang diambil dari amalan taat adalah haram.
Namun di kalangan ulama muta'akhirin ada yang mengecualikan jika mengajarkan Al
Qur'an dan ilmu-ilmu syar'i, mereka memfatwakan bolehnya mengambil upah sebagai
istihsan karena hubungan dan pemberian yang biasa diberikan kepada mereka
terputus baik dari orang-orang yang mampu atau dari Baitul Maal
seperti di zaman dahulu
untuk menghindarkan
kesulitan dan kesempitan. Di samping itu, mereka juga membutuhkan penopang bagi
kehidupan mereka, dan jika mereka menyibukkan diri dengan bertani, berdagang
atau pertukangan niscaya akan menyia-nyiakan Al Qur'an dan syara' yang mulia
ini karena hilangnya orang-orang yang memikulnya. Oleh karena itu,
diperbolehkan memberikan upah terhadap ta'lim (pengajaran) yang mereka lakukan.”
Ulama madzhab Hanbali
Ulama madzhab Hanbali berkata,
"Tidak sah ijaarah terhadap azan, iqamat, mengajarkan Al Qur'an, fiqh,
hadits dan menggantikan hajji dan qadhi', dan hal itu tidaklah dilakukan
kecuali sebagai ibadah bagi pelakunya serta haram mengambil upah terhadapnya.
Namun mereka berpendapat boleh hukumnya mengambil rezeki dari Baitul Maal atau
jika ia menempati amalan yang manfaatnya mengena kepada yang lain seperti
qaadhi, mengajarkan Al Qur'an, hadits, fiqh, mewakilkan hajji, memikul
persaksian dan menyampaikannya, azan dsb. hal itu, karena yang demikian
termasuk maslahat bagi yang lain, dan apa yang diberikan bukanlah 'iwadh
(upah), tetapi sebagai rezeki untuk membantu mereka menjalankan ketaatran, dan
tidak mengeluarkannya dari ibadah serta tidak merusak keikhlasan. Karena jika begitu, tentu tidak
patut mengambil ghanimah dan salab.
Dengan
demikian boleh mengambil rezeki dari Baitul Maal terhadap amalan yang manfaatnya
bukan untuk dirinya saja, seperti hajji, adzan, jadi imam, mengajarkan Al
Qur’an, Fiqh, menjabat hakim dan juru fatwa. Karena ini sifatnya bukan ganti,
tetapi hanya membantu ketaatan kepada Allah dan tidak menjadikan hal itu keluar
dari ibadah serta tidak merusak keikhlasan.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Para fuqaha sepakat untuk membedakan antara
menyewa terhadap suatu ibadah dengan memberi rezeki orang-orangnya, memberi rezeki
mujahidin, para qadhi, muazin dan para imam adalah boleh tanpa ada perselisihan
lagi, adapun isti’jar (menyewa) maka tidak boleh menurut kebanyakan mereka.” Ia
juga mengatakan, “Dan apa saja yang diambil dari Baitul Mal, maka itu bukan
‘iwadh (ganti) dan upah, tetapi rezeki untuk membantunya menjalankan ketaatan.
Siapa saja yang beramal di antara mereka lillah, maka akan diberi pahala,
sedangkan rezeki yang diambilnya adalah untuk membantunya menjalankan ketaatan.”
Pendapat
ulama madzhab Maliki, ulama madzhab Syafi'i dan Ibnu Hazm
Ulama
madzhab Maliki, ulama madzhab Syafi'I dan Ibnu Hazm berpendapat bolehnya
mengambil upah dari mengajarkan Al Qur'an dan ilmu, karena hal itu merupakan
ijarah terhadap amal yang ditentukan dengan kerja yang ditentukan. Ibnu Hazm
berkata, “Ijarah terhadap mengajarkan Al Qur'an dan mengarjarkan ilmu baik
dengan bayaran bulanan atau secara jumlah (sekaligus) adalah boleh, demikian
juga pada ruqyah, mengcopi mushaf dan buku-buku agama, karena tidak ada nas
yang melarang hal itu, bahkan ada yang menunjukkan kebolehan."
Di
antara dalil yang menguatkan madzhab ini adalah hadits riwayat Bukhari dari
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, "Bahwa ada beberapa orang sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam yang melewati sebuah mata air, di mana di sana
tedapat seorang yang tersengat atau dalam keadaan selamat, lalu ada seorang
dari penduduk situ yang berkata, "Apakah di antara kalian ada yang mampu
meruqyah, karena di dekat air ada orang
yang tersengat atau selamat?" Maka salah seorang sahabat berangkat kepada
mereka lalu membacakan surat Al Fatihah dengan upah beberapa ekor kambing.
Setelah itu dibawakanlah kambing-kambing itu kepada para sahabat yang lain,
namun mereka tidak mau kepadanya dan berkata, "Apakah kamu mengambil upah
terhadap kitab Allah?" sehingga mereka datang ke Madinah dan berkata,
"Wahai Rasulullah, ia mengambil upah terhadap kitab Allah." Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya sesuatu
yang patut kalian ambil upah terhadapnya adalah kitab Allah."
Sebagaimana
para fuqaha' berbeda pendapat tentang mengambil upah terhadap pembacaan Al
Qur'an dan mengajarkannya, mereka juga berselisih tentang mengambil upah
terhadap haji, azan dan menjadi imam.
Imam
Abu Hanifah dan Imam Ahmad berkata, "Hal itu tidak boleh, seperti asalnya,
yakni tidak boleh mengambil upah terhadap ketaatan."
Imam
Malik berkata, "Sebagaimana dibolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al
Qur'an, maka boleh juga mengambilnya terhadap hajji dan azan. Adapun menjadi
imam, maka tidak boleh jika hanya menjadi imam saja. Namun jika disamping
sebagai imam juga menjadi mu'azin, maka boleh mengambil upah, dan upah itu
karena ia melakukan azan dan tinggal di masjid, bukan karena shalatnya."
Imam
Syafi'i berkata, "Boleh mengambil upah terhadap hajji, dan tidak boleh
jika menjadi imam dalam shalat fardhu." Demikian juga diperbolehkan dengan
kesepakatan menyewa orang untuk mengajarkan ilmu menghitung, menulis, bahasa,
adab, fiqh, hadits, membangun masjid dan sekolah-sekolah.
Menurut
ulama madzhab Syafi'i, diperbolehkan menyewa untuk memandikan mayit,
mentalqinkannya dan menguburkannya. Namun Abu Hanifah berpendapat tidak boleh
menyewa orang untuk memandikan mayit, tetapi diperbolehkan jika untuk
menggalikan kubur dan membawa jenazah.
Usaha
tukang bekam
Usaha
tukang bekam tidaklah haram, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
melakukan bekam dan memberikan upah kepada tukang bekam sebagaimana disebutkan
dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas. Kalau seandainya hal
itu haram, niscaya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memberinya
upah. Imam Nawawi berkata, "Para ulama menta'wil hadits-hadits yang
menerangkan larangan berbekam dengan makruh tanzih dan mengangkat diri dari
usaha yang rendah, mendorong untuk berakhklak mulia dan melakukan perkara
utama."
Syarat
agar upah disegerakan dan ditunda
Menurut
ulama madzhab Hanafi bahwa upah tidaklah dimiliki karena akad itu. Dianggap sah
jika ada syarat agar upah disegerakan atau ditunda sebagaimana sah juga jika
sebagian upah dibayar segera, sedangkan sebagian lagi ditunda sesuai kesepakatan
kedua belah pihak. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam,
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى
شُرُوْطِهِمْ
"Kaum
muslimin berjalan sesuai syarat mereka."
Jika
di sana tidak ada kesepakatan untuk menyegerakan atau menunda, tetapi upahnya
ditentukan waktunya, maka wajib dipenuhi setelah waktu itu selesai. Oleh karena
itu, barang siapa yang menyewa
rumah sebulan, lalu berjalan waktu sebulan, maka setelah berjalan waktu itu, ia wajib memberikan upahnya. Jika akad
ijarah terhadap suatu pekerjaan,
maka wajib dipenuhi upahnya ketika selesai bekerja.
Jika akad dilangsungkankan begitu saja tanpa ada syarat
menerima upah dan tidak disebutkan penundaan bayaran upah. Maka menurut Abu Hanifah dan Malik, "Sesungguhnya bayaran itu
wajib sebagian-sebagian
sesuai manfaat yang diterimanya."
Imam
Syaafi'i dan Ahmad berkata,
"Sesungguhnya bayaran/upah berhak karena adanya akad itu. Oleh karena itu,
jika pemberi sewaan menyerahkan barang sewaan kepada musta'jir (penyewa), maka
si mu’jir (pemberi
sewaan) berhak memperoleh seluruh upah, karena ia telah memiliki manfaat dengan
akad ijarah itu,
dan upah/bayaran wajib diserahkan agar ia menyerahkan barang kepadanya."
Keberhakan
upah/bayaran
Upah menjadi berhak dengan sebab-sebab berikut:
1. Selesai
beramal, berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Berikanlah orang sewaan upahnya sebelum keringatnya
kering."
2. Selesai dimanfaatkan
apabila ijarahnya berupa barang sewaan. Jika barangnya binasa sebelum dimanfaatkan,
dan belum berlalu waktu, maka ijarah menjadi batal.
3. Mampu
memanfaatkan, yakni
apabila berlalu waktu yang memungkinkan dimanfaatkan, meskipun tidak dimanfaatkan
oleh tindakannya.
4. Disegerakan
dengan perbuatannya atau kesepakatan kedua belah pihak untuk disegerakan
upahnya.
Apakah
upah gugur karena barang binasa dalam akad ijarah terhadap amal?
Apabila
orang sewaan bekerja dalam kepemilikan musta'jir atau di hadapannya, maka
pekerja berhak mendapatkan upah karena hal itu di bawah tangannya. Sehingga
setiap kali mengerjakan sesuatu, maka upah menjadi diserahkan kepadanya. Namun
jika pekerjaan di
tangan orang sewaan, maka ia tidak berhak upah karena binasa sesuatu di
tangannya, karena ia tidak menyerahkan pekerjaan. Hal
ini merupakan madzhab ulama Syafi'i dan Hanbali.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al Mulakhkhash
Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar, Minhajul Muslim
(Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iriy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar