بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Wadi'ah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Pada kesempatan ini kami
hadirkan pembahasan seputar wadi'ah (barang titipan), semoga Allah menjadikan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amiin.
Wadii’ah (Barang Titipan)
Wadii’ah
secara syara’ artinya nama untuk harta titipan yang dititipkan oleh pemilik
atau wakilnya kepada orang yang menjaganya tanpa bayaran.
Hukum
wadi'ah
Menitipkan
barang dan minta dititipkan hukumnya boleh, dan dianjurkan menerimanya bagi
orang yang merasa mampu menjaganya. Bagi penerimanya wajib menjaganya di tempat
yang terpelihara yang standar atau sesuai dengan keadaan barang tersebut secara
'uruf (kebiasaan yang berlaku).
Wadi'ah
merupakan amanah yang dititipkan pada muuda' (penerima titipan), di mana ia
wajib mengembalikannya ketika diminta oleh pemiliknya. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
"Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya." (Al Baqarah: 283)
"Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya." (An Nisaa': 58)
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ
تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
"Tunaikanlah
amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu
mengkhianati orang yang mengkhianatimu." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' 5/381).
Dianjurkan
menerima wadii’ah jika ia melihat dirinya dapat dipercaya dalam hal ini dan
mampu menjaganya, karena ada pahala yang besar di sana, berdasarkan hadits:
وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِى عَوْنِ أَخِيه
“Dan Allah akan
menolong seorang hamba, jika hamba itu mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Adapun
jika ia merasa tidak mampu menjaga maka makruh menerimanya.
Syarat
sah wadii'ah
Untuk
keabsahan wadii’ah disyaratkan dari orang yang ja'izut tasharruf (boleh bertindak)
kepada orang yang sama ja'izut tasharruf, yaitu orang yang baligh, berakal dan
cerdas. Karena iedaa’ adalah mewakilkan pemeliharaan. Oleh karena itu, jika
seorang yang ja'izut tasharruf menitipkan barangnya kepada anak kecil, orang
gila, atau orang yang dungu, kemudian barang itu dibinasakannya, maka tidak
ditanggung, karena hal ini disebabkan sikap remehnya.
Menanggung
barang titipan
Muuda'
(orang yang dititipi) tidaklah menanggung barang titipan kecuali jika dia
meremehkan atau melakukan jinayat (berindak salah) terhadap barang titipan
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni.
لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَوْدَعِ غَيْرِ المُغِلِّ
ضَمَانٌ
"Bagi orang
yang dititipi yang bukan pengkhianat tidaklah menanggung."
Amr
bin Syu'aib juga meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أُوْدِعَ وَدِيْعَةً فَلاَضَمَانَ عَلَيْهِ
"Barangsiapa
yang dititipkan wadii'ah, maka dia tidaklah menanggungnya." (HR. Ibnu
Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Daruquthni disebutkan:
لاَ ضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمَنٍ
"Orang
yang diamanahi tidaklah menanggung." (Hadits ini dinyatakan hasan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 7518)
Abu
Bakar radhiyallahu 'anhu pernah memutuskan tentang wadii'ah yang berada dalam
sebuah kantong, lalu hilang karena bolongnya kantong tersebut bahwa ia (orang
yang dititipi) tidak menanggungnya. Bahkan Urwah bin Az Zubair pernah meminta
dititipkan kepada Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam harta dari harta milik bani Mush'ab, lalu
ternyata harta tersebut tertimpa musibah ketika masih berada di Abu Bakar atau
sebagian harta itu, maka Urwah mengutus seseorang untuk memberitahukan,
"Bahwa kamu tidak perlu menanggungnya. Kamu hanyalah orang yang
diamanahi." Lalu Abu Bakar berkata, "Saya telah mengetahui bahwa saya
tidak menanggung, akan tetapi nanti orang-orang Quraisy menyebutkan bahwa
diriku sudah tidak amanah", lalu Abu Bakar menjual harta miliknya dan
melunasinya.
Menerima
ucapan muuda' (penerima titipan) dengan sumpahnya
JIka
muuda' mendakwakan binasanya barang titipan tanpa kesengajaan daripadanya, maka
ucapannya diterima dengan sumpahnya. Ibnul Mundzir berkata, "Telah
berijma' orang yang kami hapal daripadanya bahwa muuda' jika menyimpannya, lalu
ia ingat ternyata barangnya hilang, maka ucapan (yang dipakai) adalah
ucapannya."
Dakwaan
dicurinya barang titipan
Dalam
Mukhtashar Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah disebutkan, "Barang siapa
mendakwakan bahwa dirinya menjaga barang titipan bersama hartanya, lalu
wadii'ah itu tercuri namun hartanya tidak, maka ia (si muuda')
menanggung." Oleh karena itu, Umar radhiyallahu 'anhu menanggung wadii'ah
milik Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu ketika Umar mendakwakan bahwa barang
titipannya hilang, namun harta milik Umar masih ada.
Barang
siapa meninggal, namun di sisinya masih ada wadii'ah milik orang lain
Barang
siapa meninggal dan ternyata di sisinya masih ada wadii'ah milik orang lain,
tetapi wujudnya tidak ada, maka ia menjadi hutang yang harus dibayar dari harta
tarikah (peninggalan)nya. Jika ada surat dengan tulisannya, di mana di sana
terdapat ikrar (pengakuan) wadi'ah milik orang lain, maka wadii'ah itu diambil
dan surat itu dipakai sandaran. Hal itu, karena tulisan dianggap sebagai ikrar
jika memang tulisannya dapat dikenali.
Kesimpulan
hukum yang terkait dengan wadii'ah
1. Jika barang
titipan itu binasa tanpa keteledorannya, maka ia tidak menanggung. Adapun orang
yang teledor terhadap pemeliharaan barang titipan, maka ia harus menanggung
jika binasa.
2. Penerima
titipan harus menjaganya di tempat terjaga yang standar atau sesuai barang
tersebut secara 'uruf sebagaimana hartanya dijaga.
3. Jika barang
titipan berupa hewan, maka muuda' harus memberinya makan. Jika tidak diberi
makan tanpa ada perintah dari pemiliknya, lalu hewan itu mati, maka muuda'
harus menggantinya, karena memberi makan hewan adalah diperintahkan. Di samping
dia harus menanggungnya, dia juga berdosa karena tidak memberi makan dan minum
kepada hewan tersebut hingga mati, karena wajib baginya memberi makan dan minum
sebagai pemenuhan terhadap hak Allah Ta'ala, dimana hewan tersebut memiliki
kehormatan.
4. Penerima
wadii’ah juga dibolehkan menyerahkan wadi’ah kepada orang yang biasa menjaganya
seperti isteri, budak, penjaga harta dan pelayannya. Jika barang titipan binasa
pada mereka ini tanpa keteledoran, maka mereka tidak menanggung. Adapun jika
penerima titipan menyerahkan kepada orang asing, lalu barang itu binasa, maka
penerima titipan harus mengganti. Kecuali jika menitipkan kepada orang asing
karena darurat. Misalnya ia akan wafat atau hendak safar dan khawatir terhadap
barang itu jika dibawa safar, maka tidak mengapa. Dan ia tidak menanggungnya
jika binasa. Jika khawatir bahaya pada barang titipan, atau penerima titipan
hendak safar, maka ia wajib menyerahkan barang titipan kepada pemiliknya atau
wakilnya. Jika tidak ditemui pemilik atau wakilnya, maka ia bawa dalam safar
kalau memang hal itu lebih dapat menjaganya. Jika safar tidak dapat lebih
menjaganya, maka ia serahkan kepada hakim atau kepada orang terpercaya. Hal
itu, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika hendak berhijrah, maka
Beliau menitipkan barang titipan milik Ummu Ayman radhiyallahu 'anha yang ada
padanya dan memerintahkan Ali untuk mengembalikan kepada keluuarganya
(sebagaimana diriwayatkan oleh Baihaqi (6/289) dan dihasankan oleh Syaikh Al
Albani dalam Irwaa'ul Ghalil (5/384)).
5. Penerima
titipan adalah orang yang diamanahi. Perkataannya diterima ketika ia mengaku
bahwa ia telah menyerahkan kepada pemiliknya atau orang yang mengganti
posisinya, dan diterima juga perkataanya jika ia mengaku binasa harta titipan
tanpa keteledoran darinya dengan sumpahnya. Hukum asalnya adalah ia lepas
tanggungan dari semua itu jika tidak ada qarinah (tanda) yang menunjukkan
kedustaannya. Demikian juga jika barang titipan binasa dengan sebab yang tampak
seperti terbakar, maka perkataannya tidak diterima kecuali jika ia membawakan
bukti adanya kebakaran itu.
6. Jika pemilik
barang meminta barang itu diserahkan kepadanya, maka ia harus mengembalikan.
Jika terlambat tanpa udzur lalu barang itu binasa, maka ia harus menanggung.
Wallahu a’lam.
Faedah:
Di
zaman sekarang ada istilah wadaa'I mashrafiyyah (penitipan di bank), yaitu
dengan menitipkan sejumlah uang di bank sampai waktu tertentu atau tidak
dibatasi, kemudian pihak bank mengelola uang yang dititipkan ini, lalu
memberikan kepada pemiliknya bunga yang tetap, maka dalam kondisi ini wadi'ah
tersebut menjadi qardh (pinjaman) karena
bank jadi memiliki uang itu, digantungkan kepadanya jaminannya dan ia (pihak
bank) berjanji akan mengembalikan serupa dengannya ketika diminta. Ini termasuk
bentuk riba. Oleh karena itu, hendaknya kaum muslim tidak terjun di dalamnya.
Adapun penitipan tanpa bunga seperti yang disebut dengan Al Hisab Al Jaariy,
maka tidak apa-apa, karena ia tidak mengambil lebih dari pokok hartanya. Tetapi
jika seseorang dipaksa mengambil kelebihannya dan ia terpaksa menyimpan di
bank-bank seperti itu, dimana ia akan terkena
madharrat jika meninggalkannya, maka ia mengambil kelebihan itu dan
mengeluarkannya untuk maslahat umum kaum muslimin. (Lihat Al Fiqhul Muyassar
hal. 249)
Wallahu a’lam wa shallallahu
‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Fiqh
Muyassar, Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq) dll.
0 komentar:
Posting Komentar