Fiqh Ihyaa'ul Mawat (1)



بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Ihyaa'ul Mawat (Menghidupkan Tanah Yang Mati) (Bag. 1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang ihyaa'ul mawat, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Ta'rif (pengertian) Ihyaa'ul Mawat
Mawat atau tanah yang mati maksudnya tanah yang tidak ada pemiliknya.
Para fuqaha’ (Ahli Fiqh) memberikan ta’rif bahwa mawat adalah tanah yang terlepas dari kekhususan dan kepemilikan yang terpelihara. Ada pula yang memberikan ta'rif, bahwa Ihyaa'ul mawaat adalah menyiapkan tanah yang mati yang belum digarap oleh yang lain dan menjadikannya bisa dimanfaatkan baik untuk dipakai tempat tinggal maupun dipakai bercocok tanam dsb. Dan ada pula yang memberikan ta'rif, bahwa tanah yang mati adalah tanah yang tidak dimiliki seseorang, tidak ada bekas penggarapan, atau tidak ada bekas kepemilikan dan penggarapan, dan tidak diketahui pemiliknya[i].
Dari ta’rif fuqaha' di atas dapat diketahui, bahwa tidak termasuk ke dalam mawat (tanah yang mati) dua masalah ini:
1.      Pertama, jika masih dalam kepemilikan yang terpelihara dari orang muslim dan orang kafir dengan adanya jual beli, pemberian, atau cara lainnya sehingga memilikinya.
2.      Kedua, yang terkait dengan maslahat milik orang yang terpelihara, seperti jalan, halaman, saluran air atau terkait dengan maslahat penduduk suatu desa seperti untuk penguburan mayit, tempat pembuangan sampah, lapangan khusus shalat ‘Iedain, area kayu bakar dan ladang rumput untuk gembala. Maka semua ini tidak bisa dimiliki dengan menghidupkannya.
3.      Dengan demikian, jika suatu tanah lepas dari kepemilikan yang terpelihara dan dari pengkhususan untuk hal tertentu, kemudian ada orang yang menghidupkannya, maka tanah itu menjadi miliknya. Hal ini berdasarkan hadits Jabir secara marfu’:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً  فَهِيَ لَهُ
“Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, ia menyatakan "Hasan shahih", dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Ajakan Islam untuk menghidupkan tanah yang mati
Islam mencintai manusia meluaskan bagiannya dalam menggarap dan bertebaran di muka bumi serta menghidupkan tanah yang matinya sehingga kekayaan mereka banyak dan mereka menjadi kuat. Oleh karena itu, Islam menyukai pemeluknya mendatangi tanah yang mati lalu menghidupkannya, menggali kebaikannya dan memanfaatkan keberkahannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً  فَهِيَ لَهُ
“Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”
Urwah pernah berkata, "Sesungguhnya bumi adalah milik Allah dan hamba-hamba juga hamba Allah. Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka dia lebih berhak kepadanya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  datang membawa ajaran ini."
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَلَهُ فِيْهَا أَجْرٌ، وَمَا أَكَلَهُ الْعَوَافِيُّ  فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
"Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka di sana ia akan memperoleh pahala dan tanaman yang dimakan binatang kecil (seperti burung atau binatang liar), maka hal itu menjadi sedekah baginya." (HR. Darimiy dan Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' (4/6))
Syarat menghidupkan tanah yang mati
Disyaratkan untuk sebuah tanah agar bisa dikatakan mati adalah dengan jauh dari keramaian, agar bukan termasuk milik mereka dan tidak ada dugaan milik mereka. Untuk mengetahui jarak jauh dari keramaian adalah dengan mengembalikannya kepada 'uruf.
Umumnya para fuqaha di setiap negeri berpendapat bahwa tanah itu dapat dimiliki dengan dihidupkan, meskipun mereka berselisih tentang syarat-syaratnya. Dan bahwa bukan termasuk mawat adalah tanah haram dan ‘Arafah, maka tanah ini tidak bisa dimiliki dengan dihidupkan, karena dapat mempersempit manasik.
Menurut penyusun Al Fiqhul Muyassar hal. 261, bahwa untuk sahnya menghidupkan tanah yang mati disyaratkan dua hal:
1.    Bukan milik seorang muslim. Jika ternyata milik seorang muslim, maka tidak boleh dihidupkan kecuali dengan izin yang syar'i.
2.    Orang yang menghidupkan tanah yang mati adalah seorang muslim. Oleh karena itu, orang kafir tidak boleh menghidupkan tanah yang mati di wilayah Islam.
Tentang izin dari hakim
Para fuqaha' sepakat bahwa menghidupkan merupakan sebab memiliki, namun mereka berselisih tentang apakah perlu izin hakim dalam menghidupkan tanah yang mati. Kebanyakan para ulama berpendapat, bahwa menghidupkan merupakan sebab memiliki tanpa ada syarat adanya izin dari hakim. Oleh karena itu, siapa saja yang menghidupkan, maka ia menjadi pemiliknya tanpa perlu izin dari hakim. Seorang hakim bahkan wajib menyerahkan haknya ketika ada laporan terjadi perselisihan kepadanya. Hal ini, berdasarkan riwayat Abu Dawud dari Sa'id bin Zaid bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya."
Berbeda dengan Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa menghidupkan memang menjadi syarat memiliki, akan tetapi disyaratkan harus ada izin dari imam atau pengakuannya.
Sedangkan Imam Malik membedakan antara tanah yang berdampingan dengan keramaian dengan tanah yang jauh dari keramaian. Jika berdampingan, maka harus ada izin dari hakim, namun jika jauh maka tidak disyaratkan izinnya, bahkan menjadi milik orang yang menghidupkannya.
Kapankah hak ini gugur?
Barang siapa yang menahan tanah dan memberinya tanda atau memagarinya dengan dinding, namun dia tidak menggarapnya, maka haknya menjadi gugur setelah lewat tiga tahun.
Dari Salim bin Abdullah, bahwa Umar bin Khaththab  radhiyallahu 'anhu pernah berkata di atas mimbar,
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثِ سِنِيْنَ
"Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan bagi pemberi batas tidak memiliki hak  setelah tiga tahun. "
Yang demikian, karena beberapa orang mudah membatasi, namun tidak mau menggarapnya."
Menghidupkan tanah orang lain tanpa sepengetahuannya
Sesungguhnya yang berjalan di masa Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdul 'Aziz adalah apabila seseorang menggarap tanah karena mengira bahwa tanah itu termasuk tanah yang mati, yakni tidak dimiliki siapa-siapa, lalu ternyata ada orang lain dan memastikan bahwa tanah itu miliknya, maka ia diberi pilihan, bisa menarik tanahnya dari si penggarap setelah diberikan upah garapannya atau memindahkan hak milik kepadanya setelah mengambil harganya.
Tentang hal di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ ، وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
"Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan bagi keringat yang zalim tidak ada hak[ii]." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Adh Dhiyaa', dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 5976)
Tercapainya menghidupkan tanah yang mati
Menghidupkan tanah yang mati itu tercapai dengan beberapa hal berikut:
1.    Jika ia memagarinya dengan dinding yang dapat menghalangi secara uruf, maka ia dikatakan telah menghidupkan. Hal ini berdasarkan hadits Jabir secara marfu’:
مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ , فَهِيَ لَهُ
“Barang siapa yang memagari tanah dengan sebuah dinding, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Adh Dhiyaa' dan dishahihkan oleh Ibnul Jaarud dan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 5952. Hadits serupa ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Samurah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' (1554)).
Hadits ini menunjukkan bahwa memagari tanah menjadikan dirinya memilikinya. Ukuran yang dianggap dalam hal ini adalah yang bisa disebut sebagai pagar atau dinding.
Adapun jika hanya menaruh di sekeliling tanah bebatuan, tanah atau dinding kecil yang masih bisa dilalui atau menggali parit di sekelilingnya, maka ia masih tidak bisa memiliki, namun ia lebih berhak menghidupkannya daripada yang lain. Dan ia tidak boleh menjualnya kecuali setelah dihidupkannya.
2.      2. Jika dilakukan penggalian sumur di tanah yang mati tersebut, sampai ditemukan air, maka ia dianggap telah menghidupkannya. Namun jika ia gali sumur, tetapi belum sampai menemukan airnya, ia masih belum bisa dikatakan memilikinya. Hanyasaja ia lebih berhak menghidupkan daripada yang lain, karena dialah yang memulai ingin menghidupkannya.
3.      3. Jika ia mengalirkan air ke tanah yang mati dari mata air atau sungai, maka ia dianggap telah menghidupkannya, karena pemberian manfaat dengan air itu lebih besar manfaatnya daripada sekedar memberi dinding.
4.      4. Jika ia menahan air yang senantiasa membanjiri tanah tersebut, sehingga tidak bisa digarap, lalu ia halangi masuknya air ke tanah itu sehingga bisa digarap, maka berarti ia telah menghidupkannya.
5.      5. Jika ia menanam pohon, sedangkan sebelumnya tanah itu tidak bisa ditanami pepohonan, lalu ia membersihkannya, kemudian menanamnya.
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa menghidupkan tanah yang mati tidak hanya dengan cara seperti di atas saja, bahkan kembalinya ke ‘uruf (kebiasaan yang berlaku). Jika orang-orang menganggap bahwa perbuatan ini atau itu dianggap menghidupkan tanah yang mati, maka berarti ia boleh memiliki tanah itu. Pendapat ini dipegang oleh para imam madzhab hanbali dan lainnya. Hal itu karena syara' datang menggantungkan memiliki dengan "menghidupkan" dan tidak menerangkannya, maka dalam hal ini dikembalikan kepada 'uruf.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Musnad Ahmad, Al Maktabatusy Syamilah dll.



[i] Lihat Al Mulakhkhash Al Fiqhiy, Fiqhus Sunnah, dan Al Fiqhul Muyassar fii Dhau'il Kitab was Sunnah, semuanya pada pembahasan Ihyaa'ul mawat.
[ii] Contoh keringat yang zalim adalah seseorang mendatangi tanah yang dihidupkan oleh orang lain dengan menanam pohon atau tanaman agar memiliki tanah itu.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger