بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh
Hajr (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Sebelumnya telah dibahas sebagian masalah hajr dan
berikut ini lanjutannya. Semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
L. Bagian kedua dari
macam-macam hajr; yaitu penghajran kepada seseorang untuk kepentingan diri
orang itu dengan menjaga hartanya.
Oleh karena agama kita
adalah agama kasih sayang, dimana tidak ada sesuatu yang bermaslahat kecuali ia
mendorong kepadanya, dan tidak ada sesuatu yang di sana terdapat bahaya kecuali ia memperingatkannya.
Di antara buktinya adalah bahwa Islam memberikan tempat kepada seseorang yang
memang sudah layak bertindak dan melakukan perdagangan dalam batas-batas yang
mubah dan usaha yang baik, di mana padanya terdapat maslahat baik bagi individu
maupun masyarakat.
Adapun jika seseorang
belum layak mencari usaha dan belum layak berdagang karena masih kecil atau
kurang akalnya atau bahkan akalnya hilang, maka Islam mencegahnya melakukan
tindakan, mengangkat orang yang diberi wasiat untuk menjaga harta dan
mengembangkannya, sampai penghalang itu hilang, setelah itu hartanya boleh
diserahkan secara sempurna kepadanya. Allah Ta’ala berfirman:
wur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# @yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ (#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuø9$# #Ó¨Lym #sÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷$$sù öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr& (
“Dan janganlah kamu
serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada
dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik----Dan ujilah anak
yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya.“ (An
Nisaa’: 5-6)
Ayat ini menunjukkan
bolehnya hajr terhadap orang yang safih (dungu). Ibnul Mundzir berkata,
"Kebanyakan para ulama setiap kota
berpendapat bahwa hajr itu berlaku kepada semua orang yang dapat membuat
hartanya sia-sia baik anak kecil atau orang dewasa."[i]
Dalam Nailul Awthaar
disebutkan, dalam Al Bahr disebukan, "Dungu yang menghendaki dihajr
menurut orang yang menetapkan hajr adalah mengeluarkan harta untuk kefasikan
atau untuk yang tidak ada maslahat di sana, tidak ada tujuan agama maupun dunia
seperti membeli sesuatu seharusnya seharga 1 dirham malah membelinya dengan
harga 100 dirham, ia tidak mengarahkannya untuk memakan yang baik dan memakai
yang berharga dan harum berdasarkan firman Allah Ta'ala, “Katakanlah,
"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki
yang baik?" Katakanlah, "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang
yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari
kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui." (Al A'raaf: 32)
Demikian
juga ia tidak dinafkahkan untuk ibadah.”
Inilah yang dimaksud “Penghajran
untuk kepentingan diri orang itu dengan menjaga hartanya,” karena
maslahat itu kembali kepadanya. Hajr ini mencakup dzimmah (menanggung) dan
mencakup hartanya. Oleh karena itu, ia tidak boleh melakukan tindakan terhadap
hartanya baik dengan jual-beli, infak dsb. ia pun tidak menanggung hutang,
menangggung dhaman, kafalah dsb. karena semua itu mengakibatkan hilangnya harta
orang.
Dan tidak sah juga
tindakan yang dilakukan oleh orang yang tidak safih terhadap mereka yang safih
(dungu), yaitu dengan memberikan hartanya untuk jual beli, pinjaman, titipan
maupun ‘ariyah. Siapa saja yang melakukan demikian, maka ia berhak menariknya,
jika masih ada barangnya. Namun jika barangnya sudah binasa oleh mereka yang
safih atau mereka merusaknya, maka barang tersebut sia-sia, orang yang safih
tidaklah menanggungnya. Karena pemilik barang bersikap remeh dengan menguasakan
barangnya kepadanya dan menyerahkan kepada mereka dengan keridhaan dan
pilihannya sendiri.
Adapun jika orang yang
dihajr karena masih kecil dsb. melakukan tindak kezaliman kepada orang lain
atau harta orang lain, maka ia menanggung, dan menanggung ganti rugi atau denda
yang diakibatkan kezalimannya. Karena orang yang dizalimi tidaklah meremehkan
dan tidak pula memberi izin kepada mereka.
Dalam ka’idah fiqh
dijelaskan:
ِانَّ ضَمَانَ الْإِتْلَافِ يَسْتَوِي فِيْهِ
الْأهْلُ وَغَيْرُهُ
“Sesungguhnya menanggung barang yang rusak itu berlaku sama,
baik orang yang layak maupun yang belum layak.”
Ibnul Qayyyim mengatakan,
“Anak kecil, orang gila dan orang yang tidur
menanggung barang yang mereka rusak, hal ini termasuk syari’at yang umum
yang maslahat ummat tidak akan sempurna tanpanya. Kalau seandainya mereka tidak
menanggung kezaliman karena ulah tangan mereka, tentu sebagian mereka akan
merusak harta sebagian yang lain, dan mengaku bahwa hal itu mereka lakukan
karena kekeliruaan dan ketidak sengajaan.”
M. Tindakan orang yang
dungu
Perbuatan orang yang dungu
sebelum dihajr dianggap boleh sampai ada kepututsan penghajran. Jika keluar
hukum penghajran, maka tindakannya tidak sah, karena memang itulah konsekwensi
hajr; sehingga tidak sah jual belinya, waqf maupun iqrarnya.
N. Iqrar orang yang
dungu terhadap dirinya
Ibnul Mundzir berkata,
"Semua orang yang kami hapal dari kalangan ahli ilmu telah sepakat bahwa
iqrar orang yang dihajr terhadap dirinya adalah boleh, jika ia berzina,
mencuri, meminum khamr, menuduh zina, atau membunuh, dan bahwa hudud tetap
ditegakkan kepadanya, bahkan jika ia melakukan thalaq tetap diberlakukan
menurut kebanyakan ulama. Jika ia beriqrar terhadap suatu harta, maka sah iqrarnya,
hanyasaja tidak diambil harta itu kecuali telah selesai hajr.”
O. Menampakkan hajr
terhadap orang yang dungu dan muflis
Termasuk hal yang
dianjurkan adalah menampakkan hajr terhadap orang yang dungu dan muflis agar
orang-orang mengetahui sehingga mereka tidak tertipu dan dapat bermu'amalah di
atas pengetahuan.
P. Hajr terhadap anak
kecil
Sebagaimana hajr dilakukan
terhadap orang yang dungu karena dungunya, hajr juga diberlakukan terhadap anak
kecil, ia dicegah melakukan tindakan dalam hartanya untuk menjaganya dari
hilang sia-sia. Hajr terhadap anak kecil akan hilang dengan dua syarat:
1.
Mencapai masa baligh (lihat tanda-tandanya setelah ini)
2.
Dapat dirasakan telah cerdas
Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman, "Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya." (An
Nisaa': 6)
Ayat
ini turun berkenaan dengan Tsaabit bin Rifaa'ah dan pamannya. Yakni Rifa'ah
ketika wafat dan meninggalkan anaknya yang masih kecil, lalu paman Tsaabit
datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,
"Sesungguhnya putera saudaraku menjadi anak yatim dalam pangkuanku, apa
saja yang halal bagiku dari hartanya dan kapan aku menyerahkan kepadanya? Maka
Allah menurunkan ayat tersebut.
Tanda-tanda baligh
1.
Keluar mani ketika sadar atau tidurnya (mimpi), lihat surah
An Nuur: 59.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ
النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
Diangkat pena dari tiga orang; anak
kecil sampai mimpi, orang yang tidur sampai bangun dan orang yang gila sampai sadar.
(HR. Abu Dawud, lihat Shahihul Jami’ no. 3512)
Ali radhiyallahu 'anhu menyebutkan
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ
"Tidak
dianggap yatim lagi setelah baligh." (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7609)
2. Mencapai usia
15 tahun sebagaimana di hadits Ibnu Umar berikut, “Aku menawarkan diri kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (untuk ikut perang) pada peperangan Uhud,
ketika itu aku berumur 14 tahun. Namun Beliau tidak mengizinkanku, lalau pada
peperangan Khandaq, aku juga menawarkan diri kepada Beliau, sedangkan aku berusia
15 tahun, maka Beliau mengizinkan aku.” (Muttafaq ‘alaih)
Ketika
Umar bin Abdul 'Aziz mendengar hal itu, ia pun segera menuliskan surat kepada para
gubernurnya agar tidak boleh ada yang maju kecuali bagi orang yang telah
mencapai usia 15 tahun.
Imam
Malik dan Abu Hanifah berkata, "Tidaklah dihukumi orang yang belum mimpi
sebagai orang yang baligh sampai mencapai 17 tahun. Sedangkan dalam sebuah
riwayat menurut Abu Hanifah dan inilah yang paling masyhur, yaitu 19 tahun. Ia
juga berkata, "Untuk gadis sampai 17 tahun." Sedangkan Dawud berkata,
"Baligh itu tidaklah berdasarkan usia selama belum mimpi (maka ia belum
baligh), meskipun sudah berusia 40 tahun."
Namun
yang rajih insya Allah adalah 15 tahun berdasarkan dalil di atas.
3.
Tumbuh bulu kemaluan.
Dalam
perang Bani Quraizhah untuk mengenali seseorang bahwa ia termasuk penyerang
dengan memperhatikan tumbuhnya bulu kemaluan.
4.
Sudah haidh atau bisa hamil bagi wanita. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ
صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Allah tidak akan meneriman shalat orang yang haidh kecuali
dengan khimar (kerudung).” (HR. Tirmidzi dan ia menghasankannya).
Adapun syarat
kedua, yaitu rusyd (cerdas), maka maksudnya kemampuan mengurus dengan baik
harta dan menjaganya dari hilang sia-sia, sehingga dalam mu'amalah ia tidak
tertipu sekali dan tidak mengarahkan hartanya untuk yang haram.
Apabila
seseorang sudah baligh namun belum cerdas, maka kewalian terhadap harta masih
terus berjalan sampai dirasakan sudah cerdas tanpa melihat usia tertentu agar
sejalan dengan zhahir Al Qur'an berbeda dengan pendapat Abu Hanifah, dan hajr
bisa diulang lagi jika tampak kedunguan setelah sebelumnya cerdas, karena
bahaya orang yang dungu sebagaimana diterangkan Al Jashshaas dapat merembet ke
mana-mana, misalnya ketika ia habiskan hartanya secara mubadzdzir, maka akan
menjadi musibah dan beban bagi manusia serta baitul maal. Hal ini dari sisi
kewalian terhadap harta. Adapun kewalian terhadap diri telah lepas dengan
balighnya dia dan berakalnya serta menjadi seorang mukallaf.
Ibnu
Abbas pernah ditanya, "Kapankah habis anak yatim tidak dianggap yatim
lagi?" Ia menjawab: "Sesungguhnya seseorang yang tumbuh janggutnya,
ada yang lemah mengurus diri dalam menerima dan mengeluarkan; jika ia telah
memberikan untuk dirinya hal yang baik yang diambil oleh orang-orang, maka
telah hilang keyatimannya."
Sa'id bin
Manshur meriwayatkan dari Mujahid tentang firman Allah Ta'ala, “Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta).” (An Nisaa’: 6)
Ia
berkata, “(Menurut) akal harta tidak diserahkan kepada anak yatim meskipun
sudah tua usianya sampai dirasakan kecerdasan darinya."
kecerdasan anak kecil
dapat diketahui dengan cara dites, diberikan sedikit barang agar ia
mengurusnya, jika ia sudah berkali-kali mengurus dan ternyata tidak merugikan
dirinya, juga tidak mengeluarkannya untuk yang haram atau yang tidak ada
faedahnya. Ini menunjukkan bahwa anak itu sudah cerdas. Wallahu a’lam.
Bersambung…
Marwan bin Musa
[i] Abu Hanifah berkata,
"Tidaklah dihajr orang yang baligh berakal kecuali jika merusak hartanya.
Jika seperti itu, maka penyerahan harta kepadanya dicegah sampai ia berusia 25
tahun. Jika telah mencapai usia tersebut, maka harta diserahkan bagaimana pun
keadaannya, baik ia merusak harta atau pun tidak." Namun Imam Malik
berkata, "Jika ia belum cerdas setelah baligh, maka hajr tidaklah
dihilangkan daripadanya meskipun ia sudah tua."
0 komentar:
Posting Komentar