بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh
Hajr (4)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Sebelumnya telah dibahas sebagian masalah hajr dan
berikut ini lanjutannya. Semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Q. Menyampaikan kepada
hakim ketika menyerahkan harta itu kepada orang yang sebelumnya dihajr
Di antara ulama ada yang
mensyaratkan harus melaporkan kepada hakim dan menetapkan kecerdasannya di
hadapannya lalu harta itu diserahkan kepadanya. Namun ada yang berpendapat
bahwa hal itu diserahkan kepada ijtihad washiy (orang yang diberi wasiat). Syaikh
Sabiq dalam Fiqhus Sunnah berpendapat, bahwa pendapat pertama lebih
layak di zaman kita.
R. Hilangnya hajr
terhadap orang yang gila
Penghajran orang yang gila
juga dapat hilang dengan dua sebab:
1. Hilangnya gila
dan kembali berakal
2.
Sudah cerdas, sebagaimana pada anak kecil ketika telah baligh.
Penghajran orang yang
safih (kurang akal) juga akan hilang dengan hilangnya sifat safih yang ada pada
dirinya dan kembali cerdas dalam tindakannya terhadap hartanya.
S. Siapakah yang
memegang harta orang yang dihajr?
Tiga golongan di atas
(anak, kecil, orang gila dan yang kurang akal) ketika masih dihajr hartanya
diurus oleh bapaknya, jika bapaknya orang yang adil dan cerdas, karena rasa sayang
pada dirinya yang tinggi. Setelah bapak adalah Al Washiy (orang yang diberi
wasiat), karena ia adalah wakilnya. Jika tidak ada washiy, maka kewalian
berpindah kepada hakim. Kakek, ibu dan semua 'ashabahnya tidak ada hak kewalian
kecuali jika mendapat wasiat.
Washiy adalah orang yang
diserahkan mengurus orang yang dihajr baik pengangkatannya oleh kerabat maupun
oleh hakim, ia harus seorang yang terkenal baik agamanya, keadilannya dan
kecerdasannya baik laki-laki maupun wanita. Umar radhiyallahu 'anhu sendiri
pernah mewasiatkan kepada Hafshah radhiyallahu 'anha.
T. Bagaimanakah cara
mengurusnya?
Yang wajib dilakukan
washiy adalah mengurus harta anak yatim dan orang yang dihajr dengan cara yang
mengembangkannya dan menambahnya serta mengurus dengan hal yang lebih
menguntungkan mereka. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
wur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOÏKuø9$# wÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr&
“Dan janganlah kamu
dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat..“ (Al An‘aam: 152)
Maksudnya janganlah
mengurus harta anak yatim kecuali dengan
cara yang memberi maslahat dan mengembangkannya. Ayat ini meskipun terhadap
anak yatim, sebenarnya orang yang kurang akalnya (safih), dan orang gila juga
sama berdasarkan qias.
Bagi wali anak yatim juga
harus menjaga harta orang yang diurusnya, tidak meremehkannya atau
mempertaruhkannya atau bahkan memakannya secara haram. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqn=óÁuyur #ZÏèy ÇÊÉÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (An Nisaa’: 10)
Ibnu Katsir mengatakan,
“Jika mereka memakan harta anak yatim tanpa sebab, sebenarnya yang mereka makan
adalah api yang menyala-nyala di perut mereka pada hari kiamat.”
Anak-anak itu tidak
sanggup menjaga hartanya serta membelanjakannya dengan cara yang
mengembangkannya, maka Allah mengangkat untuk mereka wali yang akan mengurus
mereka dan memperhatikan maslahat mereka. Allah juga memberikan bimbingan kepada
para wali, yaitu dengan dilarangnya para wali memberikan harta kepada
orang-orang yang masih kurang mampu dalam mengurus harta, agar orang-orang itu
tidak merusak hartanya atau menyia-nyiakannya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan janganlah kamu
serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada
dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (An Nisaa’:
5)
Al Haafizh Ibnu Katsir
mengatakan, “Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang memberikan kesempatan
orang-orang yang kurang akalnya mengelola harta yang Allah jadikan sebagai
pokok kehidupan bagi manusia, yakni yang dengannya kehidupan mereka bisa
terjamin, berupa perdagangan dsb. Dari ayat ini diambil hukum hajr terhadap
orang-orang yang kurang akal.”
Ibnu Abbas mengatakan,
“Ketika Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya “Dan janganlah kamu dekati harta
anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat (Terj. Al An’am: 152).“
dan firman-Nya “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”, (Terj.
An Nisaa’: 10) maka orang-orang yang memiliki anak yatim pergi, ia pun
memisahkan makanannya, memisahkan minumannya, sehingga ada yang tersisa, lalu
ditahan sisanya itu sampai dimakan (anak yatim) atau dibiarkan hingga busuk.
Orang-orang pun merasa kesulitan, lalu mengadukan hal itu kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Allah menurunkan ayat:
Dan mereka bertanya
kepadamu tentang anak yatim, katakalah, "Mengurus urusan mereka secara
patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah
saudaramu.” (Terj. Al
Baqarah: 220)
Ibnu Abbas berkata,
“Mereka pun akhirnya mencampur makanan mereka dengan makanannya (yakni dengan
makanan anak yatim) dan minuman mereka dengan minumannya.”
Termasuk berbuat baik pada
harta anak yatim adalah mendagangkannya agar mendapatkan laba dan agar
berkembang. Si wali juga berhak memberikan harta itu kepada orang yang mau
mendagangkanya dengan jalan mudhaarabah (bagi hasil). Aisyah radhiyallahu 'anha
pernah mendagangkan harta Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq. Umar radhiyallahu
'anhu pernah mengatakan, “Dagangkanlah harta anak yatim agar tidak dimakan
zakat.”
Syaikhul Islam berkata,
“Dan dianjurkan memuliakan anak yatim, memasukkan rasa senang kepadanya dan
menghilangkan rasa rendah darinya. Menyenangkan hatinya adalah termasuk
maslahatnya yang paling besar.”
Wali anak yatim juga
berhak membelikan hewan kurban jika anak yatim tersebut termasuk orang yang
mampu. Si wali pun berhak mengajarkannya dengan bayaran dari harta anak yatim,
karena hal ini termasuk hal yang bermaslahat baginya.
Jika wali anak yatim
fakir, ia berhak mengambil harta anak yatim seukuran pelayanan terhadap harta
anak yatim. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Barang siapa (di
antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan
harta anak yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka boleh ia makan harta
itu menurut yang patut.” (Terj.
An Nisaa’: 6)
Ayat ini menunjukkan,
bahwa wali yang kaya tidak ada hak terhadap harta anak yatim, dan bahwa
pahalanya kewaliannya akan dibalas oleh Allah. Jika hakim menentukan sedikit
bagian untuknya, maka ia boleh memakannya. Adapun jika walinya miskin,
sedangkan ia menjaga harta anak yatim dan memeliharanya, maka ia boleh memakan
secara ma’ruf, yaitu upah standar sesuai yang ia lakukan untuk anak yatim. Ibnu
Katsir mengatakan, “Ayat itu turun berkenaan tentang wali anak yatim yang
mengurusnya dan memperbaiki (keadaannya) jika ia perlu makan dari hartanya.”
Aisyah mengatakan,
“Diturunkan ayat ini tentang wali anak yatim yakni, “Barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut” yakni seukuran kepengurusannya terhadap anak yatim.”
Para fuqaha’ mengatakan, “Ia (wali anak
yatim) berhak mengambil yang paling kecil di antara dua hal; sebagai upah
standarnya atau sesuai kebutuhannya.”
Memakan harta anak yatim
melebihi ukuran yang ma’ruf (israf) hukumnya haram, Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:
"Dan janganlah
kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.” (Terj. An Nisaa’: 6)
Dari 'Amr bin Syu'aib dari
bapaknya dari kakeknya bahwa ada seorang yang datang kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dan berkata, "Sesungguhnya saya fakir tidak memiliki
sesuatu dan pada saya ada seorang anak yatim?" Beliau bersabda,
كُلْ مِنْ مَالِ
يَتِيْمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلاَ مُبَادِرٍ وَلاَ مُتَأَثِّلٍ
"Makanlah dari harta
anak yatimmu dengan tidak berlebihan dan tergesa-gesa (membelanjakannya) serta
tidak mengumpulkan harta.” (HR. Abu
Dawud, Syaikh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud berkata, “Hasan shahih.”)
Maksudnya adalah
dilarangnya mengambil harta melebihi upah standar.
Contoh memakan harta anak
yatim secara ma'ruf (patut/wajar) adalah:
1. Ia
mengambilnya, namun sifatnya hanya sebagai pinjaman.
2. Ia memakannya
sesuai kebutuhan tanpa berlebihan.
3. Ia mengambilnya
ketika melakukan sesuatu untuk anak yatim.
4. Ia mengambilnya
ketika terpaksa, jika ia sudah mampu, nanti akan dibayarnya, namun jika ia
tidak mampu, maka menjadi halal (Lihat tafsir Zaadul Masir karya Ibnul
Jauzi pada tafsir ayat ini).
U. Menolak menjadi
wali ketika merasakan kelemahan
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي
أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ
عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
Dari Abu Dzar bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, "Wahai Abu Dzar,
sesungguhnya saya melihatmu lemah, sesungguhnya saya ingin kamu memperoleh
seperti yang aku peroleh, maka janganlah kamu menjadi pemimpin terhadap dua
orang dan janganlah kamu menjadi wali anak yatim." (HR. Muslim)
V. Nafkah terhadap anak kecil
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang
baik." (Terj. An NIsaa': 5)
Wali bagi anak yatim juga
memberikan nafkah kepadanya dari hartanya secara ma'ruf.
Al Qurthubiy
berkata, "Washiy menafkahi anak yatim sesuai harta dan keadaanya. jika ia
masih kecil dan hartanya banyak, maka diadakan wanita yang menyusui dan
menghadhanahkan (mengasuh) dan dilapangkan nafkah untuknya. Jika sudah besar,
maka ditentukan pakaian yang halus, makanan yang enak dan diadakan pelayan.
Jika tidak seperti itu, maka disesuaikan. Jika keadaannya di bawah lagi, maka
dihidangkan makanan dan pakaian yang sederhana sesuai kebutuhan. Jika anak
yatim itu fakir tidak memiliki harta, maka bagi imam harus mengurusnya dari
Baitul maal. Jika imam tidak melakukannya, maka wajib dilakukan oleh kaum
muslimin yang lebih khusus lagi dst. Dan ibunya lebih khusus lagi, ia wajib
menyusukan dan mengurusnya, dan tidak menuntut (bayaran) kepadanya serta tidak
kepada seseorang."
W. Bolehkah washiy,
istri dan khaazin (penjaga) bersedekah tanpa izin?
Washiy, isteri dan khaazin tidak ada hak bersedekah
dari harta anak yatim itu kecuali dengan izin pemilik harta; dan hanya sedikit saja
yang tidak merusak harta.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ
مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ كَانَ لَهَا أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ
وَلِزَوْجِهَا أَجْرُهُ بِمَا كَسَبَ وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ لَا يَنْقُصُ
بَعْضُهُمْ أَجْرَ بَعْضٍ شَيْئًا
Dari Aisyah
radhiyallahu 'anha, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Apabila seorang wanita mengeluarkan sesuatu dari makanan
suaminya tanpa merusak, maka ia akan memperoleh pahala karena infaknya,
demikian juga suaminya memperoleh pahala karena usahanya, dan penyimpannya juga
memperoleh pahala tanpa dikurangi sedikit pun pahala yang satu dengan yang
lain." (HR. Muslim)
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul
Muyassar (oleh beberapa ulama), Al Malkhas Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan),
Fiqhus Sunnah (Syaikh Saabiq), dll.
0 komentar:
Posting Komentar