Adab Meminta Izin dan Ketika Berada di Majlis

Senin, 30 Desember 2019
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫آداب فى المجلس‬‎
Adab Meminta Izin dan Ketika Berada di Majlis/Forum
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang adab meminta izin dan ketika berada di majlis atau forum, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Adab Meminta Izin
1. Hendaknya orang yang meminta izin memilih waktu yang tepat ketika meminta izin
2. Ketika mengunjungi sebuah rumah, hendaknya ia mengetuk rumah itu dengan pelan.
Dari Anas radhiyallahu anhu ia berkata, “Sesungguhnya pintu rumah Nabi shallallahu alaihi wa sallam diketuk dengan kuku.” (Hr. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad dan dishahihkan oleh Al Albani)
3. Tidak menghadap ke isi rumah
Yakni hendaknya ia menghadap ke sebelah kanan atau kiri agar pandangannya tidak jatuh kepada sesuatu yang ada di dalam rumah yang pemiliknya tidak suka dilihat. Di samping itu, meminta izin dilakukan untuk menjaga pandangannya.
4. Hendaknya orang yang meminta izin mengucapkan salam sebelum meminta izin
Dari Rib’i ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku seorang dari Bani Amir, bahwa ia meminta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedangkan Beliau berada di dalam rumah, ia berkata, “Boleh saya masuk?” Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada pelayannya,
اُخْرُجْ إِلَى هَذَا فَعَلِّمْهُ الِاسْتِئْذَانَ، فَقُلْ لَهُ: قُلِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، أَأَدْخُلُ؟
“Datangilah orang ini dan ajarkan kepadanya meminta izin, katakan kepadanya, “Ucapkanlah “As Salamu alaikum, bolehkah saya masuk?” (Hr. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
5. Hendaknya ia menyampaikan izin sebanyak tiga kali. Jika mendapatkan izin, silahkan masuk, dan jika tidak mendapatkan izin atau jawaban, maka hendaknya ia pulang.
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: جَاءَ أَبُو مُوسَى إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ هَذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ قَيْسٍ، فَلَمْ يَأْذَنْ لَهُ، فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ هَذَا أَبُو مُوسَى، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ هَذَا الْأَشْعَرِيُّ، ثُمَّ انْصَرَفَ، فَقَالَ: رُدُّوا عَلَيَّ رُدُّوا عَلَيَّ، فَجَاءَ فَقَالَ: يَا أَبَا مُوسَى مَا رَدَّكَ؟ كُنَّا فِي شُغْلٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «الِاسْتِئْذَانُ ثَلَاثٌ، فَإِنْ أُذِنَ لَكَ، وَإِلَّا فَارْجِعْ» قَالَ: لَتَأْتِيَنِّي عَلَى هَذَا بِبَيِّنَةٍ، وَإِلَّا فَعَلْتُ وَفَعَلْتُ، فَذَهَبَ أَبُو مُوسَى. قَالَ عُمَرُ: إِنْ وَجَدَ بَيِّنَةً تَجِدُوهُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ عَشِيَّةً، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ بَيِّنَةً فَلَمْ تَجِدُوهُ، فَلَمَّا أَنْ جَاءَ بِالْعَشِيِّ وَجَدُوهُ، قَالَ: يَا أَبَا مُوسَى، مَا تَقُولُ؟ أَقَدْ وَجَدْتَ؟ قَالَ: نَعَمْ، أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ، قَالَ: عَدْلٌ، قَالَ: يَا أَبَا الطُّفَيْلِ مَا يَقُولُ هَذَا؟ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ فَلَا تَكُونَنَّ عَذَابًا عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ إِنَّمَا سَمِعْتُ شَيْئًا، فَأَحْبَبْتُ أَنْ أَتَثَبَّتَ.
Dari Abu Burdah, dari Abu Musa Al Asy’ariy ia berkata, “Abu Musa pernah datang kepada Umar bin Khaththab dan berkata “As Salamu alaikum, ini Abdullah bin Qais,” namun Umar belum memberinya izin (belum memberikan jawaban). Ia berkata lagi, “As Salamu alaikum, ini Abu Musa. As Salamu alaikum, ini Al Asy’ariy, “ lalu Abu Musa pulang. Setelah itu, Umar berkata, “Hadapkanlah dia kepadaku. Hadapkanlah dia kepadaku!” Lalu Abu Musa datang, Umar pun berkata, “Wahai Abu Musa, mengapa engkau pulang? Tadi kami sedang sibuk.” Abu Musa menjawab, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Meminta izin itu tiga kali. Jika diizinkan silahkan masuk. Tetapi jika tidak, maka pulanglah.” Umar berkata, “Hendaknya engkau membawakan bukti terhadap hal ini. Kalau tidak, aku akan lakukan ini dan itu kepadamu.” Maka Abu Musa pergi. Umar berkata, “Jika ia mendapatkan bukti, maka kalian akan jumpai dia di dekat mimbar nanti sore. Jika ia tidak mendapatkan bukti, maka kalian tidak akan menjumpainya.” Di sore hari Abu Musa datang sehingga mereka menjumpainya. Umar berkata, “Wahai Abu Musa, apa yang akan kamu katakan? Apakah engkau telah membawakan buktinya?” Abu Musa menjawab, “Ya, yaitu Ubay bin Ka’ab.” Umar berkata, “Seorang yang adil.” Lalu ia berkata kepada Ubay, “Wahai Abu Thufail (panggilan Ubay), apa pendapatmu tentang yang dikatakannya ini?” Ubay menjawab, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda demikian wahai Ibnul Khaththab, maka janganlah engkau menjadi siksaan bagi para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Umar menjawab, “Subhanaallah. Aku hanya ingin lebih yakin terhadap hal yang aku dengar.” (Hr. Muslim)
6. Apabila seorang yang meminta izin ditanya tentang namanya, maka sebutlah nama dan panggilannya dan jangan katakan ‘saya’
Hal ini berdasarkan hadits Jabir ia berkata, “Aku datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam terkait dengan utang yang menimpa ayahku, lalu aku ketuk pintu, kemudian Beliau bertanya, “Siapa ini?” Aku menjawab, “Saya.” Beliau bersabda, “Saya. Saya.” Sepertinya Beliau tidak suka jawaban itu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
7. Hendaknya orang yang meminta izin pulang dengan hati yang puas jika dikatakan kepadanya “Pulanglah!”
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (27) فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (28)
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.--Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, "Kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. An Nuur: 27-28)
8. Orang yang meminta izin tidak boleh masuk ke dalam rumah jika tidak ada penghuninya.
Dalilnya adalah ayat di atas.
Adab di Majlis (Forum)
1. Hendaknya engkau memberi salam kepada orang-orang yang berada di majlis ketika masuk dan ketika keluar
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ، فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ، فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ الْأُولَى بِأَحَقَّ مِنَ الْآخِرَةِ»
“Apabila salah seorang di antara kamu tiba di majlis, maka ucapkanlah salam. Jika ia hendak berdiri, maka ucapkan pula salam, karena salam yang pertama tidaklah lebih berhak daripada salam yang terakhir.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
2. Duduk di tempat sampainya di majlis (tempat yang masih tersedia di majlis)
Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami ketika datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka salah seorang di antara kami duduk di tempat sampainya di majlis.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
3. Tidak membangunkan seseorang dari tempat duduknya lalu duduk di tempatnya, akan tetapi hendaknya ia memperluas majlis itu
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَقْعَدِهِ، ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا»
“Janganlah seseorang membangunkan orang lain dari tempat duduknya lalu ia duduk di situ, akan tetapi lapangkan dan luaskanlah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
4. Tidak duduk di tengah majlis
5. Tidak duduk di antara dua orang yang sedang duduk bersama kecuali dengan izin keduanya
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ اثْنَيْنِ إِلَّا بِإِذْنِهِمَا»
“Tidak halal bagi seseorang memisahkan dua orang yang sedang duduk kecuali dengan izin mereka berdua.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
6. Tidak duduk di tempat seseorang yang bangun karena suatu keperluan
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَجْلِسِهِ، ثُمَّ رَجَعَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
“Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari majlisnya, lalu ia kembali lagi, maka ia lebih berhak terhadapnya.” (Hr. Ibnu Majah dari Abu Hurairah, dishahihkan oleh Al Albani)
7. Tidak berduaan melakukan obrolan padahal ada orang yang ketiga
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ مِنْ أَجْلِ أَنْ يُحْزِنَهُ»
“Apabila kalian bertiga, janganlah dua orang melakukan obrolan meninggalkan yang lain. Hendaklah kalian bergaul dengan manusia, karena hal itu dapat membuat saudaranya  bersedih.” (Muttafaq alaihi)
8. Jangan terlalu banyak tertawa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ»
“Janganlah banyak tertawa, karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
9. Menjaga amanah majlis
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ بِالْحَدِيثِ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ»
“Apabila seseorang menyampaikan suatu pernyataan lalu ia menoleh (ke kanan atau ke kiri), maka itu tanda sebagai amanat (yang patut dirahasiakan).” (Hr. Abu Dawud dari Jabir bin Abdullah, dishahihkan oleh Al Albani)
10. Hendaknya tidak berdiri dari majlis dengan menampakkan hal yang bertentangan dengan perasaan di majlis
Misalnya berdiri sambil menguap, buang ingus,  atau bersendawa.
11. Tidak memata-matai dan mencari kesalahan
«إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَجَسَّسُوا، وَلَا تَنَافَسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا»
 “Jauhilah oleh kalian prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian berusaha menyimak pembicaraan orang lain, jangan cari-cari kesalahan mereka, janganlah saling berlomba-lomba mengejar dunia, janganlah saling hasad, janganlah saling membenci dan jangan saling berpaling. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Hr. Bukari dan Muslim)
12. Akhiri majlis dengan Kaffaratul majlis
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa salla bersabda,
مَنْ جَلَسَ فِي مَجْلِسٍ فَكَثُرَ فِيهِ لَغَطُهُ، فَقَالَ قَبْلَ أَنْ يَقُومَ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا كَانَ فِي مَجْلِسِهِ ذَلِكَ
“Barang siapa yang duduk di suatu majlis lalu banyak terjadi kegaduhan di situ, lalu ia mengucapkan sebelum bangun dari majlis itu, “Subhaanakallahumma ...dst. sampai wa atuubu ilaik (artinya: Mahasuci Engkau ya Allah sambil memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Aku meminta ampun dan bertobat kepada-Mu) melainkan akan diampuni hal yang terjadi di majlis itu.” (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Adabul Muslim Fil Yaumi wal Lailah (Darul Wathan), dll.

Kiat Memaksimalkan Bulan Ramadhan

Kamis, 26 Desember 2019
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن‬‎
Kiat Memaksimalkan Bulan Ramadhan
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah; amal saleh yang dilakukan pada bulan ini dilipatgandakan pahalanya. Bulan ini hanya setahun sekali. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita memaksimalkan bulan Ramadhan dengan berbagai ketaatan dan amal saleh. Berikut kiat memaksimalkan bulan Ramadhan, semoga Allah memudahkan kita semua melakukannya, aamiin.
Keutamaan Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan memiliki banyak keistimewaan, di antaranya: sebagai bulan diturunkan Al Qur’an, pintu surga dibuka pada bulan itu dan pintu neraka ditutup, setan-setan durhaka dibelenggu, bulan penuh ampunan, bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari Kiamat daripada wangi minyak kesturi, terdapat malam Lailatul Qadr yang lebih baik daripada seribu bulan, doa-doa dikabulkan, dan lain-lain.
Kiat Memaksimalkan Bulan Ramadhan
Menghadapi bulan Ramadhan kita memerlukan persiapan. Persiapan itu di antaranya:
1. Berdoa
Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Amr Al Auza’iy ia berkata, “Yahya bin Abi Katsir pada saat menjelang bulan Ramadhan berdoa,
اللهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِي رَمَضَانَ، وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلًا
"Ya Allah, jaga diriku hingga aku dapat memasuki bulan Ramadhan. Jagalah bulan Ramadhan itu untukku (hingga aku tidak merusak puasa di bulan itu), dan terimalah dariku amal-amalku."
(Hilyatul Awliya 3/69)
Ikhwah sekalian, jika kita perhatikan doa tersebut, maka kita akan mengetahui, bahwa doa yang kita panjatkan kepada Allah Ta’ala meliputi tiga hal:
Pertama, meminta kepada Allah Azza wa Jalla agar disampaikan ke bulan Ramadhan.
Mengapa demikian? Karena betapa banyak manusia yang mengira bahwa usianya masih panjang, namun ternyata ia tidak sampai ke bulan Ramadhan berikutnya.
Kedua, meminta kepada Allah Azza wa Jalla agar diberi taufik dan bantuan untuk dapat mengisi bulan Ramadhan dengan sebaik-baiknya.
Mengapa demikian? Karena betapa banyak orang yang telah memasuki bulan Ramadhan, namun ia tidak memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ia jadikan bulan Ramadhan seperti bulan-bulan lainnya; dimana dirinya tidak meningkatkan amal di bulan itu.
Ketiga, meminta kepada Allah Azza wa Jalla agar diterima amal ibadah yang dilakukannya pada bulan Ramadhan.
Mengapa demikian? Karena betapa banyak orang yang beramal pada bulan itu, namun amalnya tidak diterima.
Mungkin amal yang dilakukannya tidak ikhlas, tidak didasari dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah, ujub, atau mengiringi dengan perbuatan buruk yang menghapuskan amalnya, dan sebagainya, nas’alullahas salamah wal ‘afiyah.
2. Membiasakan diri beramal saleh
Jangan tunda beramal saleh nanti, bahkan mulailah membiasakan sebelum bulan Ramadhan. Seperti membiasakan membaca Al Qur’an, melakukan shalat sunah, berpuasa Sya’ban, dsb.
3. Mengetahui amal apa saja yang disyariatkan pada bulan Ramadhan
Semua amal saleh disyariatkan pada bulan Ramadhan, terutama sekali adalah:
a. Berpuasa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari, Muslim, dll.)
b. Shalat Tarawih. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
“Barang siapa yang melakukan qiyamullail (shalat tarawih) karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
c. Bersedekah, termasuk juga memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa memberi makan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dll. Shahihul Jaami' no. 6415)
d. Banyak membaca Al Qur’an
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Kedermawanan Beliau lebih tampak lagi di bulan Ramadhan ketika ditemui oleh Jibril. Jibril biasa menemui Beliau di setiap malam bulan Ramadhan lalu Beliau bertadarus Al Qur'an dengannya. Sungguh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dermawan terhadap kebaikan melebihi angin yang berhembus." (HR. Bukhari)
e. Berumrah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عُمْرَةٌ في رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً - أَوْ حَجَّةً مَعِي
“Berumrah di bulan Ramadhan (pahalanya) seperti berhajji atau berhaji bersamaku.” (HR. Bukhari-Muslim).
f. Beri’tikaf
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf selama sepuluh hari pada setiap bulan Ramadhan. Namun pada tahun dimana Beliau akan wafat, Beliau melakukannya selama dua puluh hari." (HR. Bukhari no. 2044)
g. Meningkatkan ibadah di sepuluh terakhir bulan Ramadhan dan mencari malam Lailatul Qadr
Dari Aisyah  radhiyallahu 'anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila memasuki sepuluh (terakhir bulan Ramadhan), menghidupkan malamnya, membangungkan keluarganya, sungguh-sungguh beribadah dan mengencangkan sarungnya." (HR., Muslim)
h. Memperbanyak dzikir, doa, dan istighfar
4. Melihat bagaimana kaum Salaf mengisi bulan Ramadhan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Termasuk petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam di bulan Ramadhan adalah memperbanyak berbagai macam ibadah. Ketika itu malaikat Jibril alaihish shalatu was salam menyimak Al Qur’an yang dibacakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan Beliau ketika ditemui malaikat Jibril lebih dermawan dengan kebaikan melebihi angin yang berhembus, sedangkan Beliau adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan. Beliau memperbanyak sedekah, berbuat ihsan, membaca Al Qur’an, shalat, dzikir, dan I’tikaf. Pada bulan Ramadhan, Beliau mengkhususkan dengan ibadah yang tidak dilakukannya pada bulan yang lain. Bahkan Beliau terkadang menyambung puasanya karena hendak memaksimalkan waktu-waktunya siang dan malam untuk beribadah.” (Zaadul Ma’aad fi Hadyi Khairil Ibaad 2/30).
Imam Bukhari rahimahullah ketika di awal bulan Ramadhan, maka kawan-kawannya berkumpul bersamanya, lalu ia mengimami mereka dan membaca pada setiap rakaatnya 20 ayat sampai ia khatamkan Al Qur’an. (Shifatush Shofwah 4/170).
Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa ia biasa mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali di luar shalat. Ar Rabi berkata, “Syafi’i biasa mengkhatamkan Al Qur’an dalam setiap bulannya 30 kali, dan pada bulan Ramadhan, Beliau mengkhatamkan sebanyak 60 kali di luar shalat.” (Shifatush Shofwah 2/255)
Mungkin seorang berkata, “Bukankah ada larangan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengkhatamkan Al Qur’an kurang dari tiga hari, namun mengapa sebagian ulama melakukannya?” Jawab: Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Larangan mengkhatamkan Al Qur’an kurang dari tiga hari tertuju kepada orang yanng merutikannya. Adapun jika dilakukan pada waktu-waktu utama seperti bulan Ramadhan khususnya malam-malam yang diharapkan terjadi malam Lailatul Qadr atau tempat-tempat utama seperti Mekkah bagi orang yang mendatanginya yang bukan termasuk penduduknya, maka dianjurkan memperbanyak membaca Al Qur’an saat itu sebagai bentuk memanfaatkan waktu dan tempat utama. Inilah pendapat Ahmad, Ishaq, dan para imam lainnya, dan inilah yang ditunjukkan oleh praktek para ulama yang lain.” Yakni di kalangan kaum salaf ada yang mengkhatamkan Al Qur’an kurang dari tiga hari, dan itu dilakukan pada bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh terakhirnya.
Al Hafizh Adz Dzahabi menyebutkan tentang Abu Muhammad Al Labban, bahwa ia mendapatkan bulan Ramadhan pada tahun 427 H di Bagdad. Ia shalat tarawih mengimami manusia di setiap malamnya. Seusai shalat ia masih saja shalat sampai tiba waktu fajar. Setelah selesai shalat, ia mengajarkan ilmu keada kawan-kawannya. Ia berkata, “Aku tidak meletakkan lambungku di bulan ini siang maupun malam.”
Thawus biasa lompat dari tempat tidurnya lalu bersuci, menghadap kiblat dan shalat hingga Subuh, ia berkata, “Mengingat neraka Jahannam membuat kaget tidur orang-orang yang biasa beribadah.”
As Sa’ib bin Yazid berkata, “Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dariy radhiyallahu anhuma mengimami manusia pada bulan Ramadhan. Ketika itu, bacaan imam sampai ratusan ayat, sehingga kami bersandar dengan tongkat karena lamanya berdiri, dan kami tidak selesai daripadanya kecuali beberapa saat menjelang fajar.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Dari Malik, dari Abdullah bin Abi Bakar ia berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, “Kami selesai dari shalat tarawih pada bulan Ramadhan, lalu para pelayan bersegera menyiapkan makanan karena khawatir tiba waktu fajar.” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwaththa)
Abu Utsman An Nahdi berkata, “Umar memerintahkan tiga qari untuk mengimami manusia pada bulan Ramadhan. Yang tercepatnya bacaannya disuruh membaca tiga puluh ayat (dalam satu rakaat), yang sedang disuruh membaca dua puluh lima ayat, sedangkan yang lambat disuruhnya membaca dua puluh ayat (dalam satu rakaat).” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf)
Dari Dawud bin Al Hushain, dari Abdurrahman bin Hurmuz, ia berkata, “Dahulu para imam membaca surah Al Baqarah dalam delapan rakaat. Ketika seorang imam membaca surah Al Baqarah dalam dua belas rakaat, maka manusia menganggapnya telah ringan.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Nafi berkata, “Ibnu Umar radhiyallahu anhuma melakukan shalat malam di rumahnya pada bulan Ramadhan. Ketika orang-orang telah selesai dari masjid, maka ia mengambil seeember air, lalu keluar ke masjid Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak pulang sampai shalat Subuh.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Dari Nafi bin Umar bin Abdullah, ia berkata, “Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku mengimami manusia di bulan Ramadhan dan membaca dalam satu rakaat surah Al Hamdulillahi Fathiris samaawaati (surah Al Fathir) dan semisalnya, namun tidak ada yang menyampaikan kepadaku bahwa hal itu berat bagi mereka.”
Dari Abdush Shamad ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Al Asyhab, ia berkata, “Abu Raja mengimami shalat kami pada bulan Ramadhan dan mengkhatamkan Al Qur’an setiap sepuluh hari.”
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma biasanya ketika berpuasa dan tidak berbuka kecuali bersama orang-orang miskin, dan ketika ada yang meminta-minta, maka ia bangun dan memberi bagian makanannya.
Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma berkata, “Apabila engkau berpuasa, maka hendaknya pendengaran dan penglihatanmu ikut berpuasa, demikian pula lisanmu dari berjata dusta dan perkara-perkara yang haram. Jauhilah menyakti tetangga. Hendaknya engkau tetap sopan dan tenang pada saat puasa, dan jangan jadikan antara hari puasamu dengan hari-hari biasanya sama.”
5. Menghadirkan perasaan, bahwa Ramadhan ini adalah Ramadhan terakhir kita
Hal itu karena betapa banyak orang yang tidak berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan berikutnya, dan bahwa Ramadhan sebelumnya ternyata sebagai Ramadhan terakhirnya. Akhirnya ia pun menyesal karena tidak memanfaatkan bulan Ramadhan sebelumnya dengan sebaik-baiknya.
6. Akhiri dengan Istighfar
Ikhwani fillah, istighfar adalah penutup berbagai amal saleh. Dengannya ditutup shalat, qiyamullail, majlis, dan lain-lain. Oleh karenanya, sudah sepatutnya kita akhiri puasa kita dengan istighfar. Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat ke berbagai negeri dan memerintahkan mereka untuk mengakhiri Ramadhan dengan istighfar dan zakat fitri, karena zakat fitri membersihkan orang yang berpuasa dari hal yang sia-sia dan kata-kata kotor, sedangkan istighfar menambal puasa yang bolong karena hal yang sia-sia dan kata-kata kotor.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ghibah adalah perkara yang membuat puasa seseorang bolong, sedangkan istighfar itu yang menambalnya. Oleh karena itu, barang siapa yang mampu datang pada hari Kiamat dengan membawa puasa yang telah ditambal, maka hendaklah ia lakukan. Maksudnya seperti yang dinyatakan Ibnul Munkadir, yaitu bahwa puasa itu perisai dari neraka selama tidak dibolongi, dan ucapan yang buruk itulah yang membuat perisai itu bolong, sedangkan istighfar itulah yang menambalnya.
7. Hadirkan perasaan khauf dan raja
Abdul Aziz bin Abi Dawud rahmahullah berkata, “Aku mendapati kaum salaf bersungguh-sungguh dalam beramal saleh, namun ketika mereka telah melakukannya, maka mereka merasa gelisah; apakah amal mereka diterima atau tidak?”
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah berkhutbah pada hari raya Idul Fitri, “Wahai manusia, kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, melakukan qiyamullail selama tiga puluh hari, dan sekarang kalian keluar meminta kepada Allah agar Dia menerima amalmu. Dahulu sebagian kaum salaf tampak bersedih pada hari raya, lalu dikatakan kepadanya, “Ini adalah hari bergembira dan bersuka ria!” Maka ia menjawab, “Engkau benar, akan tetapi aku adalah seorang hamba yang diperintah oleh Tuhanku untuk beramal karena-Nya, namun aku tidak tahu; apakah Dia menerima amalku atau tidak?”
Demikianlah kiat memaksimalkan bulan Ramadhan, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membantu kita untuk terus mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan memperbaiki ibadah kita kepada-Nya, aamiin.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah, Hilyatul Awliya (Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al Ashbahani), Latha’iful Ma’arif (Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab Al Hanbali),           Haalus Salaf fi Ramadhan (dari situs https://www.saaid.net/mktarat/ramadan/156.htm), dll.

Syarah Kitab Tauhid (58)

Rabu, 18 Desember 2019
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫لا تطروني كما أطرت النصارى عيسى‬‎
Syarah Kitab Tauhid (58)
Upaya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Dalam Menjaga Tauhid dan Menutup Jalan ke Arah Syirik
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak merujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
**********
Bab: Upaya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Dalam Menjaga Tauhid dan Menutup Jalan ke Arah Syirik
Dari Abdullah bin Asy Syikhkhir radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku pernah pergi dalam suatu delegasi Bani Amir mennemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu kami mengatakan,
أَنْتَ سَيِّدُنَا، فَقَالَ: «السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى» قُلْنَا: وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا طَوْلًا، فَقَالَ: «قُولُوا بِقَوْلِكُمْ، أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ»
“Engkau adalah sayyid (tuan) kami,” maka Beliau bersabda, “As Sayyid (tuan) yang sebenarnya adalah Allah Tabaraka wa Ta’ala.“ Kami juga mengatakan kepada Beliau, “Engkau adalah orang yang paling utama dan paling besar kebaikannya.” Beliau pun bersabda, “Ucapkanlah perkataan atau sebagian perkataan yang wajar, dan janganlah kalian terseret oleh setan.”
(Hr. Abu Dawud dengan sanad yang jayyid)
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya no. 4806 dan Ahmad dalam Musnadnya 4/25, dan dishahihkan oleh Al Albani.
Dalam bab ini diterangkan, bahwa tauhid tidak sempurna tanpa menjauhi segala perkataan dan perbuatan yang dapat membawa kepada sikap ghuluw (berlebihan) terhadap makhluk yang dikhawatirkan daripadanya jatuh ke dalam syirik.
Abdullah bin Asy Syikhkhir bin Auf bin Ka’ab bin Waqdan Al Harisyi adalah seorang sahabat yang masuk Islam pada saat Fathu (penaklukkan) Makkah yang kemudian tinggal di Basrah dan diangkat menjadi gubernurnya. Ia merupakan ayah dari seorang Ahli Fiqih, yaitu Mutharrif.
Hadits  di atas menerangkan, bahwa saat delegasi Bani Amir datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mereka memuji Beliau secara berlebihan, maka Beliau melarangnya sebagai bentuk beradab kepada Allah Azza wa Jalla dan untuk menjaga tauhid. Beliau juga menyuruh mereka untuk membatasi diri dengan lafaz-lafaz yang tidak ada ghuluw (berlebihan) dan agar tidak mengucapkan kata-kata yang menunjukkan ketidaksopanan seperti memanggil dengan kata ‘Muhammad’ tanpa memanggilnya dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Dalam hadits tersebut terdapat larangan bersikap ghuluw dalam memuji dan menggunakan lafaz-lafaz yang membebani diri yang terkadang membawanya jatuh ke dalam syirik.
Faedah:
Tentang sabda Rasulullah “As Sayyyid (tuan yang sebenarnya) adalah Allah,” Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menjawab dengan ‘sayyidukum’ (sayyid kalian) seperti yang disangka, karena Beliau membantah pernyataan mereka ‘sayyiduna’ (tuan kami) karena dua hal;
Pertama, karena jika as sayyid maknanya umum, yang diambil dari huruf ‘al’, dimana huruf ‘al’ mengandung arti umum, dimana artinya adalah bahwa ketinggian secara mutlak adalah milik Allah Azza wa Jalla, akan tetapi jika sayyid yang disandarkan kepada sesuatu menjadi sayyid bagi sesuatu itu seperti sayyid Bani Fulan (pemimpin Bani Fulan), sayyidul basyar (pemimpin manusia), dsb.
Kedua, agar tidak memberi kesan, bahwa nama yang disebutkan itu termasuk ke dalam jenis yang disandarkan kepadanya, karena sayyid segala sesuatu termasuk jenisnya. Dan As Sayyid adalah salah satu nama Allah Ta’ala yang menjadi bagian makna Ash Shamad sebagaimana yang ditafsirkan Ibnu Abbas, bahwa Ash Shamad adalah yang sempurna dalam ilmu, santun, dan ketinggiannya, dan sebagainya (Disebutkan oleh Ibnu Jarir).
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melarang mereka mengucapkan ‘Engkau adalah sayyiduna’ bahkan mengizinkan sehingga Beliau bersabda, “Ucapkanlah perkataan atau sebagian perkataan yang wajar,” akan tetapi Beliau melarang mereka dari hal itu agar tidak diseret oleh setan, sehingga mereka mengangkat dari sayyid khusus kepada sayyid yang umum dan mutlak, karena ‘kata sayyiduna’ ini khusus dan disandarkan, sedangkan kata “as Sayyid” adalah sayyid yang umum dan mutlak tanpa disandarkan kepada sesuatu.” (Lihat Al Qaulul Mufid 2/519)
Kesimpulan:
1.       Tawadhu dan beradabnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam kepada Allah Azza wa Jalla.
2.       Larangan bersikap ghuluw dalam memuji, apalagi memujinya secara langsung di hadapan.
3.       Kemuliaan dan ketinggian pada hakikatnya untuk Allah Azza wa Jalla, dan bahwa hendaknya meninggalkan memuji dengan kata ‘sayyid’.
4.       Larangan membebani diri dalam menyampaikan kata-kata, dan sepatutnya menyampaikan kata-kata yang sederhana.
5.       Menjaga Tauhid dari perkataan dan perbuatan yang dapat menodainya.
**********
Dari Anas radhiyallahu anhu, bahwa ada beberapa orang yang berkata, “Wahai Rasulullah, wahai orang yang paling baik di antara kami, wahai putra orang terbaik di antara kami, wahai tuan kami dan putra tuan kami,” maka Beliau bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ إِنِّي لَا أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيْهَا اللهُ تَعَالَى أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدُ اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Wahai manusia! Ucapkanlah kata-kata yang wajar bagi kalian semua dan jangan terbujuk oleh setan. Aku tidak suka kalian mengangkatku di atas kedudukan yang Allah Ta’ala tempatkan bagiku. Aku adalah Muhammad bin Abdullah, hamba dan utusan-Nya.” (Hr. Nasa’i dengan sanad yang jayyid)
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan oleh Nasa’i dalam Amalul Yaumi wal Lailah no. 248-249 dan Ahmad dalam Musnadnya no. 12551, dan dinyatakan isnadnya shahih sesuai syarat Muslim oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah.
Dalam Hadits  di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak suka dipuji dengan kata-kata tersebut agar tidak sampai berlebihan memuji Beliau, karena Allah Ta’ala telah menyempurnakan Beliau dengan kedudukan sebagai hamba-Nya, sehingga Beliau tidak suka dipuji secara berlebihan untuk menjaga posisi tersebut sekaligus membimbing umat agar meninggalkan hal itu sebagai bentuk nasihat dan menjaga tauhid. Beliau juga menyurruh mereka menyifati Beliau dengan dua sifat yang merupakan kedudukan tertinggi seorang hamba, yaitu hamba Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Beliau tidak suka diangkat melebihi posisi yang Allah telah tetapkan baginya.
Hadits tersebut menerangkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dipuji dengan selain sifat yang telah Allah sematkan dalam diri Beliau untuk menjaga tauhid dan menutup sikap ghuluw yang mengantarkan kepada kemusyrikan.
Kesimpulan:
1.       Larangan bersikap ghuluw (berlebihan) dalam memuji dan menyusahkan diri dengan menggunakan kata-kata yang berlebihan agar tidak membawa kepada kemusyrikan.
2.       Tawadhunya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan usaha keras Beliau dalam menjaga tauhid dari segala yang merusaknya.
3.       Beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
4.       Peringatan agar tidak terpedaya oleh tipu daya setan, dan bahwa terkadang ia datang dengan mengajak melakukan perbuatan yang berlebihan sehingga melewati batas syariat.
Bersambung....
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid  (Dr. Shalih Al Fauzan),  Al Qaulul Mufid (Syaikh M. Bin Shalih All Utsaimin), Maktabah Syamilah, dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger