بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Kafalah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah
kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang
yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini kami hadirkan pembahasan tentang kafalah agar
kita mengetahui praktek kafalah yang sesuai syari’at, semoga Allah Subhaanahu
wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
A. Ta’rif (definisi) Kafalah dan dalil disyariatkannya
Kafalah artinya siapnya seseorang
menanggung terhadap ashiil (orang yang ditanggung) dalam tuntutan terhadap
jiwa, hutang, barang atau pekerjaan. Hal ini merupakan ta'rif fuqaha' madzhab
Hanafi. Sedangkan menurut ulama yang lain, bahwa kafalah artinya menanggung dua
tanggungan; tuntutan dan hutang. Kafalah disebut juga hamaalah, dhamaanah
dan za'aamah.
Dalil disyariatkan kafalah adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.
Dalam Al Qur’an disebutkan:
Penyeru-penyeru itu berkata, "Kami kehilangan piala Raja, dan
siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (Terj. Yusuf: 72) Maksud za’im pada ayat tersebut adalah kafil
(penjamin) dan dhamiin (penanggung).
Dalam As Sunnah disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
الْعَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ
وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ
“Barang pinjaman itu harus dikembalikan, orang yang menjamin harus
membayar jaminannya dan hutang itu harus dibayar." (HR. Tirmidzi dan Abu
Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahiihah no. 610)
Para ulama juga sepakat bolehnya
kafalah karena butuhnya manusia kepadanya dan untuk menghindarkan madharat dari
orang yang berhutang.
B. Rukun-rukun kafalah
Rukun kafalah ada lima,
yaitu: shighat, kafil (penjamin), makful lahu (orang yang berhak diserahkan
kepadanya kafalah itu), makful ‘anhu/ashiil (orang yang dijamin) dan makful
bihi (sesuatu yang wajib dibayarkan).
Shighatnya dipandang sempurna dengan adanya ijab dari kafil
(penjamin) itu sendiri, dan tidak tergantung pada makful lahu (orang yang
dibayarkan kepadanya).
Untuk kafil, maka disyaratkan harus orang yang ahlut
tabarru’ (boleh berkorban), baik laki-laki maupun wanita, karena kafalah
merupakan bentuk tabarru’at (pengorbanan). Atas dasar ini, maka tidak sah orang
gila, orang dungu atau anak-anak menjadi kafil, demikian pula orang yang dihajr
(dicegah melakukan tindakan) karena kurang akalnya, Jika kafalah dan
penanggungan itu dilakukannya, maka tidak sah. Adapun makful ‘anhu (orang yang
ditanggung), maka tidak disyaratkan harus baligh, berakal, hadir atau ridha
dengan kafalah. Oleh karena itu, boleh menanggung anak-anak, orang gila dan
orang yang tidak hadir.
Sedangkan makful bih bisa berupa
jiwa, hutang, barang atau pekerjaan yang wajib ditunaikan sebelumnya oleh orang
yang sekarang sudah ditanggung,
Sedangkan bentuk kafalah, maka ada yang dengan membawakan harta (disebut
juga Dhaman), dan ada yang menghadirkan jiwa orang yang berkewajiban
memenuhi hak harta kepada yang berhak, (disebut juga Kafalatul badan wal
wajh). Dan tidak disyaratkan harus mengetahui
berapa jumlah yang ditanggung, karena ia hanyalah menanggung untuk mendatangkan
badannya tidak hartanya.
C. Tanjiz, Ta'liq dan Tawqit dalam
kafalah
Kafalah dianggap sah baik dengan tanjiz, ta'liq maupun tawqit.
Dengan tanjiz misalnya adalah seorang kafil
mengatakan, "Saya tanggung si fulan sekarang atau saya akan menjaminnya."
Ulama berkata:
إذا قال الرجل : تحملت أو تكفلت أو ضمنت ، أوأنا حميل لك ، أو زعيم أو كفيل أو ضامن أو قبيل ، أو هو لك عندي
أو علي أو إلي أو قبلي ، فذلك كله كفالة
Apabila seseorang berkata, "Saya siap
menanggung’, ‘saya siap mengganti,’ ‘saya siap menjamin’, ‘saya penanggungmu’, ‘saya
penjaminmu’, ‘Saya kafilmu’, ‘saya siap menerima (untuk menjadi penjamin)’,
atau ‘itu untukmu dan biarkan saya yang menanggung’ atau ‘biarkan saya saja,’ ‘biarkan
kepada saya’ atau ‘dari pihak saya yang membayar,’ ini semua menunjukkan
kafalah.
Ketika kafalah telah terjadi, maka ia mengikuti hutang itu apakah
segera atau diberi tempo atau dicicil, kecuali jika hutang itu segera,
sedangkan si kafil mensyaratkan agar penagihan ditunda sampai waktu tertentu,
maka hal itu sah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memikul 10 dinar
terhadap seseorang yang diharuskan membayar dalam waktu sebulan, lalu Beliau
membayarkannya (hadits ini dishahihkan oleh oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih
Ibnu Majah dan Al Irwaa’ (1413)). Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa
hutang apabila seharusnya dibayar sekarang, tetapi si kafil siap menanggungnya
sampai waktu tertentu, maka sah dan si kafil tidaklah dituntut jika belum tiba
waktunya.
Dengan ta'liq misalnya seseorang berkata, "Jika
kamu meminjamkan kepada si fulan, maka saya akan menjadi penjaminmu,” hal ini
sebagaimana dalam ayat, “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya". (Terj. Yusuf: 72)
Sedangkan dengan tawqit, misalnya seorang berkata,
"Jika tiba bulan Ramadhan, maka saya akan menjadi penjaminmu,”
ini adalah madzhab Abu Hanifah dan sebagian ulama madzhab Hanbali.
Namun Imam
Syafi'i berpendapat, bahwa tidak sah ta'liq dalam kafalah."
D. Penuntutan kepada kafil dan ashiil (orang
yang sebelumnya sebagai penanggung) secara bersamaan
Kapan saja kafalah terjadi, maka boleh bagi pemilik
hak menuntut si kafil dan ashhil secara bersamaan, sebagaimana boleh baginya
menuntut siapa saja di antara keduanya yang dia mau karena hak itu tempatnya
banyak. Hal ini merupakan pandangan jumhur ulama.
E. Kafalah dengan menghadirkan harta
Kafalah ini terbagi menjadi
tiga:
1. Kafalah hutang, yakni seseorang berkewajiban
membayarkan hutang yang sebelumnya pada tanggungan orang lain.
Dalam hadits Salamah bin Al Akwa' disebutkan bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam enggan menyalatkan orang yang berhutang, lalu Abu
Qatadah berkata, "Shalatkanlah dia wahai Rasulullah, biarkan saya saja
yang menanggung hutangnya", maka Beliau pun menyatalkan[i]."
Untuk kafalah hutang disyaratkan sbb.:
a) Hutang tersebut memang masih ada ketika hendak
ditanggung, baik hutang karena meminjam, hutang karena belum membayar, hutang
karena belum menggaji maupun hutang belum memberi mahar. Oleh karena itu, jika
ternyata tidak ada maka tidak sah, karena menanggung sesuatu yang tidak wajib
tidaklah sah sebagaimana seseorang berkata, "Juallah kepada si fulan, biarkan
saya yang membayar, atau ‘pinjamkanlah kepadanya, biarkan saya yang akan
menggantinya,” hal ini merupakan madzhab Imam Syafi'i, Muhammad bin Al Hasan
dan ulama madzhab Zhahiri. Namun Abu Hanifah, Malik dan Abu Yusuf membolehkan
menanggung sesuatu yang tidak wajib.
b) Hutang tersebut memang diketahui. Jika hutangnya
tidak diketahui, maka menjadi gharar, sehingga jika seorang berkata, "Saya
akan menanggung untukmu apa yang menjadi tanggungan si fulan," padahal
keduanya tidak mengetahui jumlahnya. Hal ini merupakan madzhab Imam Syafi'i dan
Ibnu Hazm. Namun Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat sahnya menanggung
sesuatu yang majhul (tidak diketahui).
2. Kafalah barang atau kafalah untuk menyerahkan
sesuatu, yakni seseorang berkewajiban menyerahkan barang tertentu yang ada pada
tangan orang lain. Misalnya kesiapan untuk mengembalikan barang rampasan kepada
pemiliknya atau menyerahkan barang kepada pembeli, maka dalam hal ini
disyaratkan barangnya memang ditanggung oleh ashiil (orang pertama yang
berkewajiban menanggung) sebagaimana pada barang yang dirampas. Jika tidak
ditanggung seperti 'aariyah (pinjaman) dan wadii'ah (barang titipan), maka
kafalah tidak sah.
3. Kafalah dark (memperoleh), yakni kafalah untuk
memperoleh harta yang dijual dan mendapatkannya sehingga selamat dari bahaya
karena sebab yang mendahului jual beli, yakni kafalah tersebut untuk hak
pembeli terhadap penjual ketika telah tampak mustahik barang itu, misalnya
barang yang dijual adalah milik selain penjual atau digadaikan.
F. Kembalinya kafil (menuntut) kepada oarng yang
ditanggungnya (ashiil)
Apabila kafiil telah memenuhi kewajiban yang sebelumnya ditanggung
oleh ashiil seperti hutang, maka kafiil kembali kepada ashiil jika tanggungan
itu dengan izinnya, karena ia mengeluarkan hartanya untuk hal yang bermanfaat
bagi ashiil dengan izinnya. Hal ini termasuk yang telah disepakati imam yang
empat, namun mereka berbeda pendapat jika kafiil menanggung orang lain tanpa
perintahnya? Menurut Imam Syafi'I dan Abu Hanifah, bahwa ia telah bertathwwu'
(bersuka rela) sehingga tidak boleh menuntut, sedangkan menurut pendapat yang
masyhur dari Imam Malik bahwa ia berhak menuntut, adapun Imam Ahmad ia memiliki
dua riwayat pendapat. Sedangkan Ibnu Hazm berkata, "Si kafiil tidak boleh
menuntut hal yang telah dibayarkannya baik dengan perintahnya maupun tanpa perintahnya
kecuali jika orang yang ditanggung meminjam hutang kepadanya (untuk
membayar)."
Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Abu Tsaur dan
Abu Sulaiman sama seperti pendapat Ibnu Hazm.
G. Di antara hukum-hukum yang terkait dengan kafalah
1.
Kafalah sah dengan menghadirkan badan setiap
manusia yang berkewajiban membayarkan hak harta.
2.
Kafalah tidak sah untuk menghadirkan jiwa/badan
orang yang terkena had.
Hal itu, karena hudud
dasar pijakannya adalah berusaha digugurkan dan ditolak berdasarkan syubhat,
sehingga tidak perlu ketat dan tidak mungkin dilakukan jika orangnya ternyata
tidak bersalah.
Namun menurut kawan-kawan Imam Syafi'i bahwa kafalah
itu sah dengan membawakan seorang yang berhak menerima hukuman jika terkait
dengan hak anak Adam seperti qishas dan had qadzaf (menuduh) karena hal itu
adalah hak yang mesti, adapun jika had terkait dengan hak Allah, maka tidak sah
kafalahnya.
3.
Kafil telah lepas tanggung jawab dengan kematian orang yang dijamin
(untuk dibawakan) yang sulit dihadirkannya. Demikian Juga
ketika diserahkan orang yang dibawanya kepada pemilik hak di tempat penerimaan
dan sesuai waktunya, karena ia datang membawa sesuatu yang memang harus dipikul
kafil, jika kesulitan membawakan orangnya padahal masih hidupnya atau orang itu
tidak ada dan telah lewat waktu di mana pada waktu itu masih mungkin dibawakan,
maka kafiil menanggung bebannya berupa hutang, berdasarkan keumuman sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam “Az Za’iim ghaarim” (Kafil itu
membayarkan), Kecuali jika ia mensyaratkan hanya membawakan orangnya tidak
harus hartanya dan ia menyebutkan dengan tegas syarat itu, hal ini merupakan
madzhab ulama Maliki dan penduduk Madinah.
Adapun ulama madzhab Hanafi berkata, "Kafil
ditahan sampai mau mendatangkan orang itu atau mengetahui sudah meninggal, dan
tidak menanggung harta kecuali jika ia mensyaratkan untuk menanggungnya."
Demikian juga si kafil lepas tanggung jawab jika si
makful menyerahkan diri.
4.
Si kafil tidaklah lepas tanggung
jawab karena makful lahu (pemilik hak) meninggal, bahkan makful lahu digantikan
oleh ahli warisnya yang menggantikan posisi dalam tuntutannya untuk
menghadirkan makful ‘anhu (ashiil).
5.
Kafil adalah orang yang membayar dan
menanggung jika ashil (orang yang asalnya menanggung) mengulur-ulur pembayaran
sehingga tidak melunasi atau bangkrut.
6.
Termasuk masalah kafalah juga
adalah bahwa dibolehkan menjamin untuk mengenalkan seseorang seperti jika
seorang datang untuk berhutang, lalu orang yang diminta pinjamannya mengatakan
“Saya tidak mengenalmu, sehingga saya tidak bisa memberimu pinjaman,” lalu yang
lain mengatakan, “Biarkan saya jamin tentang siapa dirinya dan di mana
tinggalnya,” maka ia harus membawakannya ketika tidak ada, tidak cukup hanya
menyebut namanya dan tempatnya. Namun jika kesulitan membawakannya ketika hidupnya,
maka ia menanggung bebannya. Karena dialah orang yang mendorong pemberi
pinjaman untuk memberikan pinjamannya dengan jaminan, “mengetahui siapa
dirinya”, seakan-akan ia mengatakan, “Saya jamin kedatangannya ketika anda
butuhkan,” sehingga hal ini sama seperti jika mengatakan “Saya jamin untukmu
badannya.”
7.
Kafalah sah dengan jiwa, yaitu dengan siapnya
kafil menghadirkan makful ‘anhu (orang yang dijamin) kepada makful lahu atau ke
majlis hukum atau semisalnya.
8.
Termasuk hak makful lahu (pemilik
hak) membatalkan 'akad kafalah secara sepihak, meskipun si ashiil atau kafil
tidak ridha, namun hak ini tidak bisa dimiliki oleh ashiil maupun kafiil.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa
aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin
Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah, Al Fiqhul Muyassar (oleh beberapa ulama), Al Mulakhkhas
Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), dll.
[i] Jumhur ulama berpendapat
sahnya mengkafalahkan mayyit, dan tidak boleh diambil dari harta mayit lagi.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhari dan Ahmad.
0 komentar:
Posting Komentar