بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Luqathah (bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para
sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang
luqathah, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
Keadaan barang yang ditemukan
Ketiga,
harta yang boleh dipungut dan harus diumumkan, seperti: emas, perak, harta
benda, dan hewan-hewan yang mudah ditangkap seperti kambing, ayam, dan anak
sapi. Maka untuk keadaan ketiga ini, jika orang yang menemukannya aman terhadap
dirinya jika memungutnya dan mampu mengumumkannya, maka boleh baginya
memungutnya.
Untuk yang ketiga
ini terbagi menjadi tiga macam:
1.
Hewan yang
bisa dimakan. Seperti anak unta, kambing dan ayam. Binatang-binatang yang
hilang ini wajib diumumkan. Jika pemiliknya tidak mencarinya, maka bagi penemunya
berhak mengambilnya.
Bagi
penemu jika mengambilnya harus mengutamakan yang terbaik bagi pemiliknya, yaitu
melakukan salah satu dari tiga hal ini:
a.
Memakannya,
namun ia wajib menanggung nilai (harganya) ketika pemiliknya datang.
Namun
ulama madzhab Maliki berpendapat, bahwa ia memiliki hewan itu saat mengambilnya
dan tidak perlu mengganti rugi meskipun pemiliknya datang. Hal itu karena
hadits yang datang, menyamakan antara serigala dan pemungutnya, sedangkan
serigala jelas tidak menanggungnya, demikian juga pemungutnya. Perbedaan
pandapat ini jika pemiliknya datang setelah hewan itu dimakan, namun jika
pemiliknya datang sebelum dimakan oleh
pemungutnya, maka berdasarkan kesepatakan ulama hewan tersebut wajib
dikembalikan.
b.
Menjualnya
dan menjaga harga (hasil penjualannya) untuk pemiliknya setelah mengenali
sifat-sifatnya.
c.
Menjaga
dan menafkahinya dengan hartanya, tetapi tidak ia miliki, sehingga ia nanti
meminta ganti nafkah yang dikeluarkan kepada pemiliknya ketika datang dan
menyerahkannya.
Hal
ini, karena ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang kambing
yang hilang, Beliau bersabda,
خُذْهَا فَإِنَّمَا هِيَ لَكَ أَوْ لِأَخِيكَ أَوْ
لِلذِّئْب
"Ambillah. Hewan
itu bisa untukmu, saudaramu, atau serigala." (Muttafaq 'alaih)
Maksud
hadits ini adalah, bahwa kambing tersebut lemah, siap binasa, dan keadaannya
bisa kamu yang mengambil, diambil oleh saudaramu, atau dimakan serigala.
Ibnul
Qayyim mengomentari hadits ini dengan mengatakan, “Dalam hadits tersebut
terdapat kebolehan memungut kambing. Jika berupa kambing dan pemiliknya tidak
datang, maka kambing itu menjadi milik pemungut. Oleh karena itu, ia diberikan
pilihan antara memakannya saat itu dan nantinya ia harus mengganti nilainya
atau menjual dan menjaga uang hasil penjualannya, atau membiarkannya[i] dengan
membiayai (untuk menjaganya) dari hartanya. Para
ulama juga sepakat bahwa kalau nanti datang pemiliknya sebelum dimakan oleh
pemungutnya, ia (pemiliknya) berhak mengambilnya.”
2.
Harta yang
dikhawatirkan rusaknya. Misalnya buah-buahan.
Maka penemunya
melakukan hal yang terbaik bagi pemiliknya seperti memakan harta itu dan
menyerahkan nilainya kepada pemiliknya. Atau menjualnya serta menjaga hasilnya
sampai datang pemiliknya.
3.
Seluruh
harta selain dua bagian di atas. Misalnya uang dan bejana. Ia harus menjaga
semuanya sebagai amanah. Ia pun mengumumkannya di tempat berkumpulnya orang.
Dan
tidak boleh memungut luqathah kecuali dirinya merasa aman terhadapnya dan
sanggup mengumumkannya pada barang yang butuh diumumkan.
Hal di atas
berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al Juhanniy radhiyallahu 'anhu, bahwa ia
berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَهُ عَنْ اللُّقَطَةِ، فَقَالَ: «اعْرِفْ
عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا، ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً، فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا
فَشَأْنَكَ بِهَا» قَالَ: فَضَالَّةُ الغَنَمِ؟ قَالَ: «هِيَ لَكَ أَوْ لِأَخِيكَ أَوْ
لِلذِّئْبِ» ، قَالَ: فَضَالَّةُ الإِبِلِ؟ قَالَ: «مَا لَكَ وَلَهَا، مَعَهَا سِقَاؤُهَا
وَحِذَاؤُهَا، تَرِدُ المَاءَ وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ حَتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا»
Pernah datang
seseorang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya
tentang luqatah, maka Beliau bersabda, "Kenalilah bungkusnya dan talinya,
kemudian umumkanlah selama setahun. Jika datang pemiliknya (maka berikanlah). Tetapi,
jika tidak, maka itu terserahmu. Orang itu berkata, "Bagaimana dengan kambing
yang hilang?" Beliau menjawab, “Itu bisa menjadi milikmu, saudaramu atau
serigala.” Lalu Beliau ditanya tentang unta yang hilang. Beliau menjawab, “Apa
urusanmu terhadapnya, ia memiliki tempat minum, sepatu, bisa datang ke tempat
air, memakan pohon dan akhirnya menemui pemiliknya.” (Muttafaq 'alaih)
Maksud
“Umumkanlah” adalah umumkanlah kepada orang-orang di tempat berkumpulnya mereka,
seperti di pasar-pasar, di pintu-pintu masjid dan tempat-tempat ramai.
Sedangkan maksud
selama “setahun” yakni selama setahun penuh. Pada pekan pertama dari saat
menemukannya ia umumkan setiap harinya, karena pada saat ini sangat diharapkan
pemiliknya datang, dan setelah lewat sepekan ia umumkan menurut kebiasaan yang
berlaku.
Hadits di atas
menunjukkan wajibnya mengumumkan. Dan maksud kita diperintahkan mengenali
bungkus dan talinya adalah mengenali sifat-sifatnya, sehingga jika ada orang
yang datang dan menyebutkan cirinya lalu sesuai dengan ciri yang kita kenali,
maka kita berikan kepadanya. Jika orang itu memberitahukan cirinya, namun
ternyata berbeda dengan yang kita kenali, maka tidak boleh kita berikan.
Pada kata-kata
“Jika kamu tidak mengenal (siapa pemiliknya)” terdapat dalil bahwa orang yang menemukan
luqathah memiliki luqathah itu setelah lewat setahun dan setelah mengumumkan,
akan tetapi ia tidak boleh menggunakannya sebelum kenal atau ingat
ciri-ciri/sifat-sifatnya. Yakni sampai ia mengenali tempatnya, talinya,
jumlahnya, jenisnya dan sebagainya, yang membedakan dengan yang lain. Jika
pemiliknya datang setelah lewat setahun dan menyebutkan cirinya yang sesuai
dengan yang kita kenali, maka kita serahkan.
Nafkah terhadap
luqathah
Biaya yang
dikeluarkan oleh pemungutnya, maka ia bisa meminta diganti kepada pemiliknya,
kecuali jika sebelumnya ia telah memanfaatkan barang luqathah tersebut baik dengan
ditunggangi atau pun diambil susunya.
Sikap kita ketika
menemukan luqathah:
1.
Jika kita
menemukan luqathah, maka jangan langsung mengambil kecuali jika ia merasa mampu
menjaganya dan mengumumkannya agar pemiliknya tahu. Jika dirinya tidak mampu
menjaga, maka ia tidak boleh mengambil. Jika ternyata mengambil, maka ia
seperti ghaasib (perampas), karena sama saja mengambil harta orang lain dengan
cara yang tidak diperbolehkan. Di samping itu, mengambilnya sama saja menghilangkan
harta orang lain.
2.
Sebelum diambil
ia harus ingat ciri wadahnya, talinya, jumlahnya, jenis, dan sifatnya.
3.
Ia harus
mengumumkannya selama setahun penuh. Pada pekan pertama ia umumkan setiap hari,
lalu setelahnya seperti biasa. Ia mengumumkan di tempat-tempat berkumpulnya
orang-orang seperti di pasar dan di pintu-pintu masjid, namun jangan
mengumumkan di dalam masjid, karena masjid tidak dibangun untuk ini. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ سَمِعَ رَجُلاً يَنْشُدُ
ضَالَّةً فِي اَلْمَسْجِدِ فَلْيَقُلْ: لَا رَدَّهَا اَللَّهُ عَلَيْكَ , فَإِنَّ اَلْمَسَاجِدَ
لَمْ تُبْنَ لِهَذَا
“Barang siapa yang
mendengar seseorang mencari hewan yang hilang di masjid, maka katakanlah,
“Semoga Allah tidak mengembalikan hewanmu.” Karena masjid tidak dibangun untuk
itu." (HR. Muslim)
4.
Penemu
luqathah berhak memiliki luqathah setelah diumumkan dan telah berlalu setahun.
Akan tetapi, ia tidak menggunakan barang itu kecuali setelah mengenali
sifat-sifatnya.
5.
Jika pemiliknya
datang dan mencirikannya sesuai cirinya, maka wajib diberikan tanpa perlu bukti
dan sumpah karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan demikian,
dan karena dengan menyebutkan cirinya adalah seperti bukti dan sumpah, bahkan
ciri yang disebutkannya kadang lebih jelas dan benar daripada bukti dan sumpah.
Si penemunya wajib mengembalikan beserta hasil perkembangannya baik yang
menyatu maupun terpisah.
6.
Jika
pemiliknya tidak datang setelah diumumkan setahun penuh, maka akan menjadi
milik penemunya. Namun sebelum digunakan ia tetap harus ingat betul cirinya,
sehingga jika suatu saat pemiliknya datang, dan menyebutkan cirinya, ia tinggal
mengembalikan jika masih ada atau menggantinya jika sudah habis dipakai.
7.
Para ulama
berbeda pendapat tentang luqathah di tanah haram. Apakah ia seperti luqathah di tanah halal yang dapat
dimiliki setelah diumumkan seteahun atau tidak secara mutlak? Di antara mereka
ada yang berpendapat bahwa barang itu
dimiliki berdasarkan keumuman hadits, sedangkan yang lain berpendapat bahwa
barang itu tidak dimiliki, bahkan wajib terus diumumkan dan tidak bisa dimiliki.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
وَلاَ تَحِلُّ لُقَطَتُهَا إِلاَّ لِمُعَرِّفٍ
“Dan tidak halal luqathahnya kecuali bagi yang akan mengumukannya.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah memegang pendapat ini, ia mengatakan, “Barang luqathah
tidak bisa dimiliki bagaimana pun karena ada larangannya dan wajib diumumkan
selama-lamanya.”
8.
Siapa saja
yang meninggalkan seekor hewan di padang pasir karena terhentinya baik karena
lemah dalam berjalan atau pemiliknya agak lemah, maka penemunya memilikinya
dengan mengambilnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam:
مَنْ وَجَدَ دَابَّةً قَدْ عَجَزَ عَنْهَا أَهْلُهَا
أَنْ يَعْلِفُوهَا فَسَيَّبُوهَا، فَأَخَذَهَا فَأَحْيَاهَا فَهِيَ لَهُ
"Barang siapa
yang menemukan hewan yang pemiliknya sudah tidak sanggup lagi memberinya makan,
lalu membiarkannya, kemudian ada orang yang mengambil dan mengurusnya, maka
hewan itu untuknya." (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Di
samping itu, hewan tersebut ditinggalkan karena pemiliknya tidak suka
kepadanya, maka dianggap seperti sesuatu yang ditinggalkan lainnya karena tidak
disukai.
9.
Jika anak
kecil dan orang dungu menemukan luqathah, lalu diambilnya. Maka walinya
menggantikannya dalam mengumumkan, ia juga wajib mengambilnya dari kedua orang
itu, karena keduanya tidak layak memegang amanah dan menjaga. Jika ia tidak mengambilnya,
bahkan membiarkan luqathah itu di tangan keduanya (anak kecil dan orang dungu),
lalu binasa, maka ia ganti, karena sama saja ia telah menyia-nyiakannya. Jika
walinya telah mengumumkan dan belum juga datang pemiliknya, maka barang
luqathah itu menjadi milik anak atau orang dungu itu yang tetap diperhatikan
sebagaimana halnya pada orang dewasa dan orang yang berakal.
10.
Jika ia
mengambilnya dari suatu tempat, lalu menaruh lagi di sana, maka ia harus menanggungnya, karena itu
adalah amanah yang diembannya, ia harus menjaga seperti halnya amanah yang lain
dan dengan membiarkannya berarti menyia-nyiakannya.
Kesimpulan:
1. Jika luqathah tersebut adalah sesuatu yang
ringan (tidak diminati mayoritas manusia), seperti: sebutir kurma dan anggur,
kain yang sudah usang, cemeti, dan tongkat, maka tidak mengapa dipungut dan
boleh dimanfaatkan pada waktu itu juga.
2. Jika luqathah termasuk sesuatu yang
diminati mayoritas manusia, maka harus diumumkan oleh pemungutnya selama
setahun di tempat-tempat umum. Jika telah diumumkan setahun, tetapi tidak
datang juga pemiliknya, maka pemungutnya boleh memanfaatkan atau menyedekahkan,
namun dengan niat mengganti jika suatu hari pemiliknya datang mencarinya.
3. Luqathah di tanah haram tidak boleh
dipungut, kecuali jika khawatir hilang. Jika dipungut karena khawatir hilang,
maka ia wajib mengumumkannya selama di tanah haram, dan apabila ia keluar dari
tanah haram, ia menyerahkannya kepada pemerintah dan tidak berhak dimiliki.
4. Luqathah jika berupa kambing yang hilang,
maka boleh dipungut dan dimanfaatkan dengan memperhatikan ketentuan yang telah
disebutkan sebelumnya. Tetapi jika berupa unta dan semisalnya, seperti keledai,
bighal, dan kuda, maka tidak boleh dipungut.
Wallahu a’lam, wa shallallahu
‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa
ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jazaa'iriy), Al Maktabatusy
Syamilah dll.
0 komentar:
Posting Komentar