بسم
الله الرحمن الرحيم
Menjama’ Shalat
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Berikut
ini merupakan penjelasan tentang menjama’ shalat agar diketahui oleh kita bersama,
sehingga kita dapat mempraktekkannya pada tempat-tempatnya dan tidak begitu gampang
menjama’ shalat ketika bukan pada tempatnya, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala
menjadikan risalah ini bermanfaat, Allahumma aamiin.
Menjama’ shalat
Jama' artinya menggabungkan dua
shalat dalam satu waktu. Jika di waktu shalat pertama disebut Jam'ut
taqdim dan jika di waktu shalat kedua disebut Jam'ut ta'khir.
Shalat yang bisa dijama’ adalah shalat
Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya.
Menjama' shalat dibolehkan dalam
keadaan-keadaan berikut:
- Ketika safar
Dalilnya adalah hadits berikut:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ
جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ
أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلُ ذَلِكَ إِنْ
غَابَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ
لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا
Dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam ketika berada di perang Tabuk, saat matahari tergelincir
(sudah tiba waktu Zhuhur) sebelum Beliau berangkat, maka Beliau menggabung
antara shalat Zhuhur dengan ‘Ashar. Tetapi ketika berangkat sebelum matahari
tergelincir, maka Beliau menunda shalat Zhuhur sehingga Beliau singgah untuk
shalat ‘Ashar (bersama Zhuhur). Shalat Maghrib juga Beliau lakukan seperti itu;
yaitu jika matahari tenggelam sebelum Beliau berangkat, maka Beliau menggabung
antara shalat Maghrib dengan Isya (di waktu Isya), tetapi jika Beliau berangkat
sebelum matahari tenggelam, maka Beliau menunda shalat Maghrib sehingga singgah
untuk shalat Isya, lalu Beliau menggabung antara keduanya (Maghrib dengan Isya
di waktu Isya). (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, lihat Shahih Abi Dawud
1067).
Menjama’ dua shalat di salah satu waktunya
boleh, baik ia dalam keadaan sudah singgah maupun dalam keadaan masih dalam
perjalanan. Namun sebaiknya jika sudah singgah melakukan shalatnya pada
waktunya masing-masing dan tidak menjama’ kecuali jika dibutuhkan[i].
Dalam menggabung shalat tidak disyaratkan
harus berturut-turut (muwaalah) kalau pun diselangi sesuatu tidak mengapa,
namun lebih utama melakukannya secara muwaalah (berturut-turut) sebagaimana
yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Ketika hujan
Boleh menjama’ shalat Zhuhur dan ‘Ashar
atau Maghrib dan ‘Isya ketika hujan (termasuk dingin yang sangat, angin
kencang, jalan bersalju atau berlumpur), baik
dengan Jam’ut taqdim maupun Jam’ut ta’khir. Dalilnya adalah hadits
berikut:
عَنْ
نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا جَمَعَ الأُمَرَاءُ بَيْنَ
الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى الْمَطَرِ جَمَعَ مَعَهُمْ .
Dari Naafi’, bahwa Abdullah bin Umar
apabila para pemimpin melakukan jama’ antara Maghrib dengan Isya ketika hujan,
maka ia ikut menjama’ bersama mereka. (Shahih, HR. Malik, Al Irwa’ 3/40)
Dari Musa bin ‘Uqbah, bahwa Umar bin ‘Abdul
‘Aziz menjama’ antara Maghrib dan Isya yang terakhir ketika hujan, dan
sesungguhnya Sa’id bin Al Musayyib, Urwah bin Az Zubair, Abu Bakar bin
Abdurrahman dan para syaikh zaman itu melakukan shalat bersama mereka dan tidak
mengingkarinya.” (Shahih, HR. Baihaqi, Al Irwa’ 3/168,169).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Boleh menjama’ shalat karena (jalan) berlumpur banyak, angin kencang di malam
yang gelap dsb. meskipun hujan tidak turun menurut pendapat yang paling shahih
dari dua pendapat ulama, dan hal itu lebih baik dilakukan daripada shalat di
rumahnya, bahkan meninggalkan menjama’ shalat dengan mengerjakan shalat di
rumah adalah bid’ah menyelisihi sunnah, karena sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah mengerjakan shalat lima
waktu di masjid-masjid dengan berjama’ah. Hal itu juga lebih baik daripada
shalat di rumah dengan kesepakatan kaum muslimin. Shalat di masjid-masjid
dengan menjama’ adalah lebih baik daripada shalat di rumah-rumah meskipun
dipisah (tidak dijama’) menurut kesepakatan para imam yang membolehkan jama’
seperti Malik, Syafi’i dan Ahmad.”
Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy dalam Minhajul
Muslim berkata, “Sebagaimana penduduk negeri juga boleh menjama’ Maghrib
dan Isya di masjid pada malam yang hujan, dingin yang sangat atau angin (yang
kencang) jika mereka kesulitan kembali untuk shalat Isya di masjid, karena Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menjama’ antara shalat Maghrib dan Isya di malam
yang hujan.”
Faedah:
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz pernah ditanya:
“Terkadang ketika menjama’ antara Maghrib dan ‘Isya karena hujan, ada sebagian
jamaah yang hadir (terlambat). Ketika itu, imam melakukan shalat Isya,
orang-orang itu (yang datang terlambat) langsung masuk ke dalam shalat bersama
imam dengan mengira bahwa ia (imam) melakukan shalat Maghrib, lalu apa sikap
yang harus mereka lakukan?”
Ia menjawab, “Mereka harus duduk setelah rakaat
ketiga (tidak bangkit bersama imam), membaca tasyahhud dan doa lalu melakukan
salam bersama imam. Kemudian mereka lakukan shalat ‘Isya setelahnya untuk
mencapai keutamaan berjamaah dan (dapat) mengerjakan shalat secara tertib
dimana hal itu adalah wajib…dst.” (Dari Fataawa Muhimmah tata’allaq bish
shalaah hal. 96)
- Karena sakit
Bagi orang yang sakit dibolehkan menjama’
Zhuhur dan ‘Ashar atau Maghrib dan ‘Isya apabila terasa berat dipisah (tidak
dijama’), karena ‘illat (sebab) dibolehkan menjama’ adalah masyaqqah (kesulitan),
apabila ada kesulitan maka boleh menjama’. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma, “Beliau bermaksud untuk tidak menyulitkan umatnya.”
Menjama’ ketika sakit bisa dengan jama'
taqdim maupun ta'khir, namun sebaiknya ia melakukan jama' shuuriy yaitu dengan
shalat Zhuhur di akhir waktu dan shalat ‘Ashar di awal waktu serta shalat
maghrib di akhir waktu dan shalat ‘isya di awal waktu. (ini disebut jama’
shuuwriy) sehingga ia tetap shalat pada waktunya.
Termasuk dalam hal ini adalah orang yang
beser, orang yang menyusui yang kerepotan, orang yang terluka dimana darahnya
tidak berhenti-berhenti atau orang yang mimisan (selalu keluar darah dari
hidung), juga sakit lainnya yang jika dikerjakan shalat tanpa dijama’ shuwriy
akan mengakibatkan kepayahan yang sangat dan lemah[ii].
- Menjama’ Ketika di ‘Arafah dan Muzdalifah
Para ulama sepakat bahwa menjama’ shalat
Zhuhur dan ‘Ashar ketika di ‘Arafah dengan jam’ut taqdim (di waktu Zhuhur) di
mana setelahnya ia wuquf, dan menjama’ shalat Maghrib dan ‘Isya dengan jam’ut
ta’khir (di waktu ‘Isya) di Muzdalifah adalah sunnah (yang tidak ada pilihan
lain selainnya). Hal ini beradasarkan riwayat yang sahih dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, bahwa Beliau shalat Zhuhur dan ‘Ashar di Arafah dengan satu
kali azan dan dua iqamat, dan ketika Beliau mendatangi Muzdalifah, maka Beliau
shalat Maghrib dan Isya di sana dengan satu kali azan dan dua iqamat (HR. Abu
Dawud (1906)).
- Kebutuhan mendesak
Dalilnya adalah hadits berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ
فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ فَسَأَلْتُ سَعِيدًا لِمَ
فَعَلَ ذَلِكَ فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ أَرَادَ
أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِه
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma ia
berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Zhuhur dan
‘Ashar dengan dijama’ di Madinah bukan karena khawatir (sesuatu) maupun safar.”
Abuz Zubair berkata: Aku pun bertanya kepada Sa’id, “Mengapa Beliau melakukan
hal itu?” Ia menjawab: Aku juga bertanya kepada Ibnu ‘Abbas seperti yang engkau
tanyakan, maka ia menjawab, “Beliau bermaksud untuk tidak menyulitkan umatnya.”
(HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
(5/219) berkata, “Jamaah dari kalangan imam berpendapat bolehnya menjama’
shalat ketika tidak safar karena dibutuhkan, bagi orang yang tidak
menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab dari
kalangan kawan Imam Malik. Al Khaththabiy menceritakan dari Al Qaffal, Asy
Syaasyi Al Kabir dari kalangan kawan Imam Syafi’i dari Abu Ishaq Al Marwaziy
dari jamaah Ahli Hadits, dan hal itu dipilih oleh Ibnul Mundzir. Hal ini juga
diperkuat oleh perkataan Ibnu Abbas, “Beliau bermaksud untuk tidak
menyulitkan umatnya.” Ia tidak menyebutkan alasannya karena sakit atau
lainnya, wallahu a’lam.”
Faedah/catatan:
Menurut pendapat yang rajih, tidak bisa
dijama’ antara shalat Jum’at dengan shalat ‘Ashar. namun kalau seorang musafir
shalat Zhuhur (karena tidak wajib baginya shalat Jum’at) maka boleh menjama’
dengan ‘Ashar.
Wallahu
a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Wajiiz (Syaikh
Abdul ‘Azhim bin Badawi), Al Malkhas Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al
Fiqhul Muyassar, Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Saabiq), dll.
[i] Ibnul Qayyim
dalam Al Hadyu berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak selalu menjama’
dalam safarnya seperti yang dilakukan kebanyakan manusia, Beliau juga tidak
menjama’ ketika singgahnya. Beliau hanyalah menjama’ ketika perjalanan berat
dan ketika berangkat sehabis shalat sebagaimana dalam hadits-hadits perang
Tabuk…dst.”
[ii] Termasuk juga
boleh menjama' orang yang mengkhawatirkan akan tertimpa sesuatu (seperti
bahaya) terhadap dirinya, hartanya dan
kehormatannya jika tidak dijama'.
0 komentar:
Posting Komentar