Adab Terhadap Tamu

Senin, 04 Juni 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫آداب الضيافة‬‎
Adab Terhadap Tamu
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang adab terhadap tamu, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Perintah memuliakan tamu
Ahli Ilmu menyebutkan beberapa adab ketika menjamu dan menerima tamu yang perlu dipelajari dan dipraktekkan, karena amalan ini didasari dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, demikian pula sebagai kebiasaan positif dan mulia bangsa Arab yang diwarisi dari generasi ke generasi sebagai bentuk memuliakan tamu.
Dalam Al Qur’an disebutkan kisah bagaimana Nabi Ibrahim alaihis salam memuliakan tamu,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ (24) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (25) فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ (26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (27) فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ (28) فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (29) قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (30)
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (Yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?--(ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, "Salaamun." Ibrahim menjawab, "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal."--Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.--Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, "Silahkan anda makan."--(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. mereka berkata, "Janganlah kamu takut," dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).--Kemudian istrinya datang memekik lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata, "(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul."--Mereka berkata, "Demikianlah Tuhanmu berfirman" Sesungguhnya Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.” (Qs. Adz Dzaariyat: 24-30)
Sedangkan dalam hadits disebutkan sebagai berikut,
Dari Abu Syuraih Al Ka’biy, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ، وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ، فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ، وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka muliakanlah tamunya dan menjamunya sehari-semalam. Menjamu itu tiga hari, selebihnya adalah sedekah. Tidak halal bagi tamu tinggal bermalam hingga membuat tuan rumah keberatan.”
Ibnul Atsir dalam An Nihayah berkata, “Maksudnya dijamu tiga hari, dimana pada hari pertama ia bersusah-payah menjamunya dengan memberikan kebaikan dan kesenangan yang mudah baginya, lalu pada hari kedua dan ketiga disiapkan hidangan yang ada padanya, dan tidak lebih di luar kebiasaannya, kemudian memberikan kepadanya perbekalan makan yang bisa dikonsumsinya untuk perjalanan sehari-semalam yang biasa disebut ‘jizah’ yakni seukuran untuk perjalanan musafir dari satu rumah singgah ke rumah singgah yang lain.”
Al Khaththabi rahimahullah berkata, “Maksud hadits tersebut adalah apabila tamu singgah di rumahnya, hendaknya ia menjamunya dan melebihkan makanan untuknya yang ada padanya sehari-semalam, sedangkan pada dua hari setelahnya disiapkan untuknya apa yang padanya (seadanya). Jika telah berlalu tiga hari, maka berarti ia telah memenuhi haknya, selebihnya merupakan sedekah.” (Fathul Bari 10/549)
Adab Terhadap Tamu
Berikut beberapa adab terhadap tamu:
1. Menyambut tamu
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika kedatangan delegasi Abdulqais berkata,
مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِيْنَ جَاءُوْا غَيْرَ خَزَايَا وَلَا نَدَامَى
“Selamat datang delegasi yang hadir tanpa membuat kami rendah apalagi menyesal.”
2. Tamu memiliki adab yang baik
Abul Laits As Samarqandi berkata, “Tamu berkewajiban empat hal: pertama, duduk di tempat yang disiapkan. Kedua, ridha ketika tuan rumah menyiapkan seadanya. Ketiga, tidak bangun (pergi) kecuali dengan izin tuan rumah. Keempat, mendoakan tuan rumah ketika pergi.” (Al Fatawa Al Hindiyyah, 5/344).
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Termasuk adab tamu adalah tidak menentukan makanan dari pihaknya. Jika diberi pilihan antara dua makanan, maka dia pilih yang paling ringan, kecuali jika dia mengetahui bahwa hal itu mudah bagi penjamu (tuan rumah).” (Al Adabusy Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 3/208).
3. Jika ada tamu yang tidak diundang, maka perlu minta izin kepada penjamu.
Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Mas’ud radhiyallahu anhu ia berkata,
كَانَ مِنَ الأَنْصَارِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو شُعَيْبٍ، وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لَحَّامٌ، فَقَالَ: اصْنَعْ لِي طَعَامًا، أَدْعُو رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ، فَدَعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ، فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ، وَهَذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا، فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ، وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتَهُ» قَالَ: بَلْ أَذِنْتُ لَهُ
“Ada seorang Anshar yang bernama Abu Syu’aib, ia punya budak penjual daging, ia pernah berkata kepada budaknya, “Buatkanlah aku makanan, agar aku dapat mengundang lima orang termasuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Maka ia mengundang lima orang termasuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian ada orang yang ikut dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda (kepada Abu Syu’aib), “Engkau telah mengundang lima orang termasuk aku, namun orang ini mengikuti kami. Jika engkau mau, engkau boleh izinkan, dan jika engkau mau, engkau boleh biarkan.” Abu Syu’aib berkata, “Bahkan aku mengizinkannya.”
4. Tidak takalluf (menyusahkan diri) dalam menjamu tamu
Dalam menjamu tamu pelaksanaannya dikembalikan kepada uruf (kebiasaan yang berlaku).
Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Qais, bahwa Salman pernah kedatangan seseorang, lalu ia mengundangnya untuk makan makanan yang ada padanya, Salman berkata, “Kalau bukan karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kami bersikap takalluf (membebani diri) untuk saudaranya, tentu kami akan bersikap takalluf untukmu.” (Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah menyatakan, bahwa hadits ini berkemungkinan untuk dihasankan karena sejumlah jalurnya).
4. Meminta izin ketika akan masuk, dan segera pulang setelah selesai makan agar tidak memberatkan tuan rumah, kecuali jika tua rumah senang jika dirinya tetap bersamanya.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.” (Qs. Al Ahzab: 53)
5. Mendoakan tuan rumah yang telah memberinya jamuan makanan
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari hadits Anas radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam datang menemui Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu anhu, lalu Sa’ad menyiapkan roti dan minyak, lalu Beliau makan, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ
“Orang-orang yang berpuasa berbuka di sisimu, orang-orang baik memakan makananmu, dan para malaikat mendoakanmu.” (Dishahihkan oleh Al Albani)
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari hadits Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang dan singgah di rumah ayahku, lalu ayahku menghidangkan makanan kepada Beliau dan menyebutkan tentang makanan hais (terbuat dari kurma dan keju atau tepung) yang dihidangkan pula kepada Beliau, lalu ayahku menyiapkan minuman, maka Beliau minum dan memberikan minum kepada orang yang berada di sebelah kanan Beliau, serta memakan kurma dan membuang bijinya dengan punggung dua jarinya, yaitu telunjuk  dan jari tengah (ke tempat yang lain). Saat Beliau bangun, maka ayahku ikut bangun dan memegang tali kekang untanya sambil berkata, “Berdoalah kepada Allah untukku.” Kemudian Beliau berdoa,
«اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيمَا رَزَقْتَهُمْ، وَاغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ»

“Ya Allah, berilah berkah tehadap rezeki yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampuni mereka, dan sayangi mereka.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim dan Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga pernah berdoa,
اَللَّهُمَّ، أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي، وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِي
“Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan, dan berilah minum orang yang memberiku minum.” (Hr. Muslim)
6. Mendahulukan tamu daripada keluarganya
Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seorang yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (mengeluhkan dirinya yang sedang kesusahan), lalu Beliau meminta jamuan kepada istri-istrinya, namun istri-istrinya menjawab, “Kita tidak memiliki apa-apa selain air.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah yang mau membawa orang ini (ke rumahnya) dan menjamunya?” Lalu salah seorang Anshar berkata, “Saya.” Maka ia pergi dengannya menemui istrinya, ia berkata, “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Istrinya menjawab, “Kita tidak memiliki apa-apa selain makanan untuk anak-anak kita.” Ia (suaminya) menjawab, “Siapkanlah makananmu, nyalakan lampu dan tidurkanlah anak-anakmu ketika mereka hendak makan malam.” Maka istrinya menyiapkan makanannya, menyalakan lampunya dan menidurkan anak-anaknya, lalu ia berdiri seakan-akan sedang memperbaiki lampunya, kemudian ia memadamkannya. Keduanya (Suami dan istri) seakan-akan memperlihatkan kepada tamunya bahwa keduanya makan, sehingga keduanya tidur malam dalam keadaan lapar. Ketika tiba pagi harinya, maka ia mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau bersabda, “Tadi malam Allah tertawa atau takjub melihat perbuatan kamu berdua.” Maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan ayat, “Dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Terj. QS. Al Hasyr: 9).
7. Melayani tamunya dan menampakkan rasa gembira kepadanya karena kedatangannya, berbicara dengan pembicaraan yang disukai tamunya, dan mendekatkan hidangan kepada mereka.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman mengisahkan tentang Nabi-Nya Ibrahim alaihis salam, “Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, "Silahkan anda makan." (Qs. Adz Dzariyat: 27)
8. Mendahulukan yang lebih tua usianya, kemudian yang berada di sebelah kanan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika kedatangan minuman bersabda,
اِبْدَءُوا بِالْكَبِيرِ
“Mulailah dengan yang lebih tua.” (Hr. Abu Ya’la dalam Musnadnya 4/315 no. 2425, Al Hafizh berkata, “Sanadnya kuat.” (Lihat Fathul Bari 10/89)).
Akan tetapi jika keadaan mereka sama, maka didahulukan yang berada di sebelah kanan.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah datang ke rumah kami ini, lalu meminta air, maka kami perahkan susu kambing untuk Beliau dan aku campurkan dengan air sumur ini, kemudian aku berikan kepada Beliau. Ketika itu, Abu Bakar di sebelah kiri, Umar di depannya, sedangkan orang Arab badui di sebelah kanannya. Setelah Beliau selesai minum, maka Umar berkata, “Ini Abu Bakar (dulu),” namun Beliau mendahulukan sisa minumannya kepada orang Arab badui, lalu Beliau bersabda, “Yang berada di sebelah kanan (didahulukan). Yang berada di sebelah kanan (didahulukan). Ingatlah dahulukan sebelah kanan!” Anas berkata, “Itu adalah sunnah.” Dia mengucapkan sebanyak tiga kali.
Namun sebagian Ahli Ilmu berpendapat didahulukan orang yang berada di sebelah kanan secara mutlak, lihat lebih rincinya dalam Silsilah Ash Shahihah (4/76) karya Syaikh Al Albani.
9. Dianjurkan mengantar tamu hingga di depan pintu
Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam pernah mengunjungi Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah. Abu Ubaid berkata, “Saat aku hendak berdiri, maka ia (Imam Ahmad) ikut berdiri bersamaku,” lalu aku berkata, “Jangan engkau lakukan wahai Abu Abdillah,” Imam Ahmad berkata, “Asy Sya’bi berkata, “Termasuk sempurnanya kunjungan seseorang adalah engkau berjalan bersamanya sampai pintu rumah dan engkau pegang hewan kendaraannya.”
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dari kisah Abu Thalhah dapat dipetik pelajaran –yakni kisah Anas tentang Abu Thalhah-, “Aku mendengar suara lemah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan laparnya, maka Abu Thalhah pergi hingga berjumpa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,. Kemudian Beliau bersama beberapa sahabat masuk ke rumahnya…dst.” Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa adab orang yang menjamu adalah keluar bersama tamu ke pintu rumahnya sebagai penghormatan untuknya.” (Fathul Bari 9/528)
10. Mengundang makan orang-orang yang saleh
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلا تَقِيٌّ
“Jangan berteman kecuali dengan orang mukmin, dan jangan makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (Dishahihkan oleh Al Albani)
11. Melakukan obrolan malam dengan tamu dan keluarga
Imam Bukhari membuat bab tentang hal ini dan membawakan hadits Abu Bakar yang di sana disebutkan, “Bahwa ia pernah pergi mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu Beliau kembali mendatangi tamu-tamunya dan makan malam dengan mereka.”
12. Tidak mengganggu tamu dalam bentuk apa pun, baik berupa ucapan maupun perbuatan, dan hendaknya tamu pulang dalam keadaannya jiwanya puas serta memaafkan tuan rumah dalam hal kekurangan yang terjadi padanya (Lihat Muntaqal Adab Asy Syar’iyyah karya Syaikh Majid Al Ausyan hal. 108-109).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: At Tarbiyah ala Manhaj Ahlissunnah wal Jama’ah (Dr. Ahmad Farid), Maktabah Syamilah versi 3.45, http://www.alukah.net/social/0/107678/#ixzz5GyC3ktjM, dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger