بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh
Syarikah (1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan pembahasan tentang syarikah, kami
berharap kepada Allah agar Dia menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahhumma aamin.
A. Ta’rif (definisi) Syarikah
Syarikah secara bahasa artinya bercampur, berserikat
atau bersekutu. Adapun secara syara’, syarikah artinya berkumpul atau
bersekutu dalam hal keberhakan atau dalam hal bertindak.
Berkumpul dalam keberhakan misalnya bersekutu dalam
warisan, wasiat, atau hibah pada suatu barang atau manfaat. Hal ini dinamakan
juga syarikah amlak. Sedangkan yang kedua adalah berkumpul dalam bertindak,
yakni yang biasa dikenal dengan nama syarikah ‘uqud, dan inilah yang
akan dibahas lebih luas di sini, insya Allah. Para
fuqaha’ Hanafi memberikan ta’rif (definisi) untuk syarikah ‘uqud dengan, “Akad
antara dua orang yang bersekutu pada modal dan laba (keuntungan).”
B. Dalil disyariatkannya syarikah.”
Telah ada keterangan dari Al Qur’an atau As Sunnah yang
menunjukkan kebolehannya. Dalam Al Qur’an disebutkan, “Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim
kepada sebagian yang lain,” (Shaad: 24), Dia juga berfirman, “Maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,” (Ter. An Nisaa’: 12)
Zaid pernah berkata, "Saya dan Al
Barraa' adalah dua orang yang bersekutu.” (HR. Bukhari)
Para
ulama juga sepakat tentang kebolehan syarikah sebagaimana yang disebutkan oleh
Ibnul Mundzir.
Dalam bersyarikah ini, hendaknya diperhatikan memilih harta yang
halal untuk persekutuan, menjauhi harta haram atau bercampur antara harta yang halal
dengan yang haram.
Persekutuan antara orang muslim dengan orang
kafir diperbolehkan, namun dengan syarat orang kafir itu tidak sendiri
bertindak, ia harus di bawah pengawasan orang muslim, agar ia tidak
bermu’amalah secara riba atau bermu’amalah dengan yang haram.
Syarikah termasuk akad yang dibolehkan, di samping itu
masyarakat juga butuh melakukannya, terlebih dalam proyek-proyek besar yang
tidak bisa dilakukan oleh seorang saja.
C. Macam-macam syarikah amlak
Syarikah amlaak merupakan
persekutuan terhadap sesuatu tanpa adanya akad. Misalnya bersekutu dalam
memiliki tanah, dsb.
Syarikah amlaak ini ada
yang ikhtiyariyyah dan ada yang Jabriyyah. Ikhtiyariyyah
(pilihan) misalnya seorang menghibahkan kepada dua orang sebuah pemberian atau
memberi wasiat kepada keduanya sesuatu, lalu keduanya menerima sehingga barang
hibah atau wasiat tersebut menjadi milik keduanya secara bersekutu. Demikian
juga jika keduanya membeli sesuatu dengan hitungan pembayaran masing-masing
sehingga barang yang dibeli menjadi syarikah bagi keduanya sebagai milik.
Sedangkan Jabriyyah (paksaan) yaitu syarikah yang diperuntukkan kepada lebih
dari seorang dengan ditekan tanpa ada perbuatan dari para serikat untuk
memilikinya sebagaimana dalam warisan, karena syarikah untuk ahli waris tanpa
ada pilihan dari mereka sehingga menjadi sesuatu yang mereka sekutui untuk
dimiliki.
Hukum syarikah amlaak adalah bahwa tidak boleh
bagi seorang sekutu pun bertindak pada bagian kawannya tanpa izinnya, karena
tidak ada kekuasaan bagi salah satunya pada bagian yang lain, yakni seakan-akan
ia orang asing.
D. Macam-macam syarikah ‘uqud
Syarikah ‘uqud sebagaimana telah diterangkan adalah akad
antara dua orang yang bersekutu pada modal dan laba (keuntungan). Ia terbagi
kepada beberapa macam; yaitu syarikah ‘inan, syarikah mufawadhah, syarikah
wujuh, dan syarikah abdan.
E. Hukum syarikah ‘uqud dan rukunnya
Ulama madzhab Hanafi membolehkan
semua macam syarikah 'ukud seperti yang akan diterangkan nanti selama terpenuhi
syarat yang mereka sebutkan. Adapun ulama madzhab Maliki membolehkan semua
syarikah selain syarikah wujuh. Sedangkan ulama madzhab Syafi'i membatalkan
semua syarikah ‘uqud selain syarikah 'inaan, adapun ulama madzhab Hanbali
membolehkan semua syraikah 'uqud selain syarikah mufaawadhah.
Rukun syarikah ‘uqud adalah ijab (pernyataan bersekutu
dari pihak pertama) dan qabul (pernyataan menerima dari pihak kedua), sehingga
yang satu berkata, “Aku bersekutu denganmu dalam hal ini dan itu.” Yang kedua
berkata, “Saya terima (atau saya setuju).”
F. Pembahasan tentang masing-masing
syarikah
1. Syarikah ‘inan, yaitu dua orang atau
lebih berserikat (bersekutu) pada
harta milik keduanya dengan syarat keduanya
mendagangkannya dan keuntungan dibagi dua di antara keduanya. Tidak disyaratkan
dalam syarikah ini harus sama harta, tindakan maupun laba. Oleh karena itu,
boleh saja yang satu hartanya lebih banyak daripada yang lain, atau yang satu
siap bertanggung jawab tidak sekutunya yang lain, dan boleh juga keuntungannya
sama rata sebagaimana boleh juga berbeda sesuai kesepakatan. Jika di sana terdapat kerugian,
maka tergantung modal yang masuk.
Dalam
syarikah 'inaan bisa kedua-duanya sama-sama bekerja, atau salah satunya yang
bekerja, namun ia mendapatkan untung yang lebih.
Syarikah
‘inan seperti ini adalah boleh berdasarkan ijma’ sebagaimana disebutkan oleh
Ibnul Mundzir, yang diperselisihkan adalah dalam masalah sebagian
syarat-syaratnya.
Tindakan
masing-masing sekutu diberlakukan terhadap harta bersama dengan dihukumi milik
pada bagiannya dan perwakilan pada bagian kawan sekutunya. Karena lafaz
syarikah itu adalah izin terhadap kawan sekutu.
Para ulama sepakat bahwa boleh modal
dari mata uang yang dicetak, karena dahulu orang-orang bersekutu dengan
menggunakannya dari zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sampai
sekarang.
Para ulama berbeda pendapat jika modal
dalam syarikah ‘inan berupa barang-barang. Sebagian ulama mengatakan “tidak
boleh”, karena nilai salah satu harta ada yang lebih sebelum dijual, sedangkan
harta milik yang lain tidak lebih, sehingga salah satunya ikut serta
(bersekutu) dengan yang lain dalam berkembangnya harta miliknya. Namun ada yang
mengatakan “boleh” dan inilah pendapat yang benar, karena tujuan syarikah kedua
orang yang bersekutu adalah sama-sama bertindak dalam kedua harta yang dicampur
itu, dan untung dibagi antara mereka berdua, dan hal ini tercapai pada barang
seperti tercapai pada uang.
Untuk
sahnya syarikah ‘inan disyaratkan masing-masing sekutu mensyaratkan bagian
keuntungan dari harta bersama itu dengan keuntungan yang jelas seperti 1/3 atau
¼, dsb. karena keuntungannya dibagi antara mereka berdua. Tidak bisa berbeda keuntungan
kecuali dengan syarat dan pembatasan. Jika keuntungannya majhul (tidak
diketahui) atau salah satunya mensyaratkan untuk mendapatkan keuntungan tertentu
dari harta, atau mendapatkan keuntungan suatu waktu, maka tidak sah semua ini.
Karena bisa saja hanya satu bagian yang untung dan bagian yang lain tidak
untung, dan semua ini bisa mengakibatkan pertengkaran dan hasil kerja keras sekutu
yang satu sia-sia, dan jelas dilarang oleh
syari’at yang datang untuk menghindarkan mafsadat dan gharar (penipuan).
2. Syarikah Mufawadhah,
Mufawadhah artinya sama, dinamakan begitu karena sama
modal, keuntungan dan tindakan. Ada
juga yang mengatakan bahwa mufawadhah dari kata tafwidh, di mana
masing-masingnya menyerahkan kepada sekutunya dalam tindakan yang akan
dilakukan.
Mufawadhah adalah 'akad
antara dua orang atau lebih untuk sama-sama bersekutu dalam suatu amal
(pekerjaan) dengan syarat-syarat berikut:
a.
Sama hartanya, sehingga jika salah satu sekutu hartanya
lebih banyak, maka syarikahnya tidak sah. Oleh karena itu, jika salah satu
sekutu memiliki uang 100.000,- sedangkan yang lain di bawahnya, maka
syarikahnya tidak sah meskipun tidak dipergunakan dalam berdagang.
b.
Sama dalam tindakan, sehingga tidak sah syarikah antara
anak-anak dengan orang dewasa.
c.
Sama dalam hal agama, sehingga tidak sah syarikah
antara seorang muslim dengan non muslim
d.
Masing-masing syarikah menjamin yang lain dalam hal
yang wajib baginya seperti membeli dan menjual sebagaimana ia juga sebagai
wakil, sehingga tidak sah tindakan salah satu sekutu lebih banyak daripada
tindakan yang lain.
Apabila sudah sama dalam
semua sisi ini, maka sahlah syarikah itu dan masing-masing syarikah menjadi
wakil terhadap yang lain serta kafil (penjaminnya) di mana ia bisa menuntut
kawannya dengan 'akad itu dan menanyakan semua tindakannya. Syarikah ini
dibolehkan oleh ulama madzhab Hanafi dan Maliki, namun Imam Syafi'i tidak
membolehkannya, ia berkata, "Jika syarikah mufawadhah tidak batal, maka
tidak ada lagi hal yang batil yang aku kenal di dunia." Hal itu,
karena 'akad tersebut belum pernah datang dalam syara', dan terwujudnya
persamaan dalam syarikah ini adalah sesuatu yang sulit karena gharar dan
kemajhulan yang ada di dalamnya, adapun yang diebutkan dalam hadits "Faawidhuu'
fa 'innahu a'zhamu lil barakah" (bermufawadhahlah karena ia lebih
besar berkahnya) atau hadits yang berbunyi "Idzaa tafaawadhtum fa
ahsinul mufaawadhah" (Jika kalian bermufawadhah, maka perbaguslah
mufawadhahnya) adalah sama sekali tidak shahih.
Sifat mufawadhah menurut
Imam Malik adalah masing-masing menyerahkan kepada yang lain untuk bertindak;
baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, dan tangannya sama seperti
tangan dirinya, dan kawan sekutunya itu tidaklah berbuat kecuali dalam hal yang
memang karena itulah syarikah diadakan. Demikian juga tidak disyaratkan harta
mufawadhah harus sama hartanya, demikian juga tidak disyaratkan harta keduanya
harus dimasukkan semua ke dalam syarikah.
Menurut Syaikh Shalih Al
Fauzan, Syarikah ini adalah sah, karena menggabung antara berbagai macam
syarikah; seperti syarikah ‘inan, mudharabah, wujuh dan abdan. Jika
masing-masing syarikah itu sah jika terpisah, maka jika digabung bersamaan juga
sah.
Laba/untung dibagi sesuai syarat. Mereka semua
menanggung rugi sesuai kadar kepemilikan mereka masing-masing dengan
perhitungannya.
3. Syarikah wujuh,
yaitu bersekutunya dua orang atau lebih dengan tanpa modal tetapi hanya
bersandar kepada kedudukan dan kepercayaan para pedagang kepada mereka dengan
syarat laba yang mereka dapatkan dibagi dua. Dinamakan syarikah wujuh karena
tidak ada modalnya, yang dikorbankan hanyalah tanggungan, jabatan dan
kepercayaan para pedagang. Keduanya pun membeli dan menjual atas dasar itu, dan
membagi keuntungan yang didapatkan sesuai syarat berdasarkan hadits “Al
Muslimuun ‘alaa syuruuthihim” (artinya: kaum muslim itu sesuai syarat yang
mereka sepakati).
Menurut ulama Hanafi dan
Hanbali bahwa syarikah ini dibolehkan, karena ia merupakan salah satu amal (pekerjaan)
sehingga boleh diadakan syarikah terhadapnya dan sah juga perbedaan milik pada
sesuatu yang dibeli. Adapun keuntungan, maka dibagi sesuai kepemilikan mereka
terhadap barang tersebut. Adapun ulama madzhab Syafi'i dan Maliki membatalkan
syarikah ini, karena menurut mereka syarikah hanyalah berkaitan dengan harta
atau pekerjaan, sedangkan keduanya dalam syarikah ini tidak ada.
Masing-masing dari sekutu
adalah wakil bagi kawan sekutunya, penjamin dengan pembayarannya. Karena hal
seperti ini seperti syarikah untuk mewakilkan dan mengkafalahkan.
Ukuran yang dimiliki oleh
masing-masing dalam syarikah ini sesuai syarat, baik separuhnya, atau kurang
dari separuh atau bahkan lebih. Dan masing-masing menanggung kerugian sesuai
kepemilikannya dalam syarikah ini. Siapa yang memiliki separuh syarikah, maka
ia menanggung separuh syarikah…dst.
Masing-masing sekutu juga berhak mendapatkan laba
sesuai syarat, baik separuh, seperempat, sepertiga dsb. karena di antara dua
orang yang bersekutu ini ada orang yang lebih dipercaya dan disukai oleh para
pedagang serta lebih tahu cara-cara berdagang. Di samping itu pekerjaan
masing-masing kadang berbeda.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al Mulakhkhash
Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar dll.
0 komentar:
Posting Komentar