Kaedah Penting Asma'ul Husna (13)

بسم الله الرحمن الرحيم
Kaedah Penting Asma'ul Husna
 (bag. 13)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang kaedah penting Asma'ul Husna, dan masih menyebutkan tanya-jawab. Semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
Mungkin seorang bertanya, "Ya, kita sudah mengetahui batilnya madzhab para pelaku takwil dalam masalah sifat Allah 'Azza wa Jalla. Tetapi, mereka yang melakukan takwil di antaranya adalah orang-orang yang bermadzhab Asyaa'irah, madzhab yang dipakai oleh umumnya kaum muslimin dalam berakidah. Maka, bagaimana madzhab mereka dikatakan batil?
Jawab: Terhadap pertanyaan ini, kita akan menjawab dengan beberapa jawaban:
1.  Banyaknya jumlah bukanlah menjadi pegangan, bahkan yang demikian tidak menunjukkan ma'shum (terjaga dari kesalahan). Yang ma'shum adalah ijma' mereka, bukan pada jumlah.
2.  Ijma' kaum muslimin pada zaman dahulu ternyata berbeda dengan apa yang dipegang oleh kaum muslimin pada umumnya di zaman sekarang. Para sahabat, tabi'in dan para imam sepakat unttuk menetapkan apa yang Allah Azza wa Jalla tetapkan untuk Diri-Nya atau ditetapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk-Nya berupa asma' wa shifat, serta menjalankan nash sesuai zhahirnya yang layak bagi Allah Ta'ala tanpa mentahrif, menta'thil, mentakyif dan mentamtsil. Di samping itu, Ijma mereka adalah hujjah.
3.  Orang-orang Asya'irah menyandarkan madzhab mereka kepada Abul Hasan Al Asy'ariy, padahal beliau telah rujuk dari akidahnya terdahulu, beralih kepada akidah Ahluss Sunnah wal Jama'ah; akidah yang diyakini oleh generasi pertama Islam.
     Imam Abul Hasan Al Asy'ariy mengalami tiga marhalah (tahapan) dalam berakidah:
     Pertama, marhalah I'tizal, yakni ia menganut paham Mu'tazilah selama empat puluh tahun, ia mendukung dan membela paham itu, hingga kemudian ia rujuk dan menyatakan dengan tegas sesatnya Mu'tazilah bahkan membantahnya dengan keras.
     Kedua, marhalah pertengahan antara Mu'tazilah dan Ahlussunnah. Ketika itu, ia mengikuti jejak Abu Muhammad Abdullah bin Sa'id bin Kullab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Al Asy'ariy dan orang-orang yang semisalnya merupakan barzakh (pemisah) antara salaf dan jahmiyyah, orang-orang mengambil dari mereka perkataan yang sahih dan ushul 'aqli (masalah akidah yang didasari akal), mereka mengira hal itu benar padahal salah."
     Di marhalah kedua inilah kaum mutaakhirin menisbatkan madzhab mereka kepada beliau.
     Ketiga, marhalah Ahlus sunnah, di mana ia mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana yang dinyatakannya dalam kitabnya Al Ibanah. Dan itulah kitabnya yang terakhir ditulis.
4.  Kebenaran tidak dapat ditimbang dengan orang, bahkan sebaliknya oranglah yang ditimbang dengan yang hak.
5.  Jika kita bandingkan antara orang-orang yang mengikuti jalan Asyaa'irah dengan orang-orang yang mengikuti jejak salaf (generasi pertama Islam), kita akan mendapatkan bahwa orang-orang yang mengikuti jejak salaf ternyata di atas mereka kedudukannya, lebih lurus jalannya dan memperoleh petunjuk. Mereka itu adalah imam yang empat, di atas mereka lagi ada tabi'in,  dan di atas mereka lagi ada sahabat. Mereka ini tidak megikuti jalannya kaum Asya'irah. Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata:
     "Kita tidak mengingkari bahwa sebagian ulama yang menisbatkan diri kepada Abul Hasan Al 'Asy'ariy memiliki kedudukan tinggi dalam Islam, membela Islam serta memperhatikan sekali kitab Allah sdan sunnah rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam baik riwayah maupun dirayah. Mereka berusaha memberikan manfaat kepada kaum muslimin dan membimbing mereka, akan tetapi yang demikian tidak berarti mereka ma'shum dari kesalahan dalam masalah yang mereka keliru di sana, demikian juga tidak mesti diterima semua yang mereka katakan, dan tidak boleh dihalangi keinginan menjelaskan kekeliruan mereka dan membantahnya karena hal itu termasuk menerangkan yang hak dan memberi petunjuk kepada makhluk. Kita juga tidak mengingkari bahwa sebagian dari mereka memiliki niat baik dalam pendapat yang dipegangnya, karena kebenaran masih samar terhadapnya. Akan tetapi, tidak cukup untuk diterima mengandalkan niat yang baik orang yang mengatakannya, bahkan harus sesuai syari'at Allah Azza wa Jalla. Jika ternyata menyalahi, maka orang yang mengatakannya wajib dibantah siapa pun dia, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Barangsiapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan itu tertolak.
     Jika orang yang mengucapkannya adalah orang yang dikenal memiliki sikap nasiihah (tulus) dan jujur dalam mencari yang hak, maka dimaafkan kekeliruannya. Namun jika tidak, maka disikapi dengan yang layak karena niat yang buruk dan kesalahannya."(Lih. Al Qawaa'idul  Mutsla hal. 82).
     Ibnul Jauziy dalam kitabnya Talbis Iblis (hal. 191) berkata: "…dan kami akan sebutkan sebagian berita yang sampai kepada kami tentang kesalahan sebagian orang. Allah mengetahui bahwa kami tidak bermaksud dalam menerangkan kesalahan orang yang salah selain untuk tujuan membersihkan syari'at serta karena rasa ghirah (kecemburuan) terhadap hal-hal yang dimasukkan (ke dalam agama), kami juga tidak berkewajiban apa-apa terhadap orang yang berkata-kata maupun yang berbuat (salah), selain karena amanah ilmu. Para ulama sendiri antara masing-masing mereka menerangkan kesalahan kawannya dengan maksud menerangkan yang hak, tidak untuk membuka aib orang yang salah, dan tidak perlu diperhatikan perkataan orang yang jahil ketika mengatakan, "Mengapa ia membantah si fulan…dsb." Hal itu, karena ketundukkan hanyalah kepada apa yang ada dalam syari'at, bukan kepada orangnya. Mungkin saja (orang yang dibantah) termasuk wali Allah dan termasuk penghuni surga, namun ia memiliki beberapa kesalahan. Kedudukan tersebut tidaklah menghalangi untuk menerangkan kesalahannya. Ketahuilah, orang yang berpandangan untuk tetap menghormati syaikhnya, namun tidak melihat dengan dalil apa yang muncul daripadanya seperti orang yang melihat apa yang dilakukan oleh Isa dengan tangannya shallallahu 'alaihi wa sallam berupa perkara-perkara yang luar biasa, ia juga tidak melihat kepada (keadaan) orang itu hingga akhirnya ia menggap Isa 'alaihis salam sebagai tuhan."
Hukum Para Ahlut Ta'wil (Pelaku Takwil)
Jika seorang berkata, "maka, apakah kalian mengkafirkan para pelaku takwil atau menganggap mereka fasik?"
Kita menjawab, "Menghukumi kafir atau fasik bukanlah kembalinya kepada kita, bahkan kembalinya kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Menghukumi kafir atau fasik termasuk hukum syar'i yang rujukannya adalah Al Qur'an dan As Sunnah. Oleh karena itu, kita harus benar-benar kokoh dalam menghukumi seperti itu. Kita tidak boleh menghukumi kafir atau fasik kecuali jika ada dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah tentang kekafiran atau kefasikannya. Hukum asalnya seorang muslim itu zhahirnya adil (tidak fasik); keislamannya masih tetap ada pada dirinya, demikian juga keadilannya, sampai benar-benar lepas keislaman dan keadilannya berdasarkan dalil syar'i. Kita juga tidak boleh mudah mengkafirkan atau menganggap fasik seseorang karena ada dua bahaya yang diakibatkan:
1.     Berdusta atas nama Allah dalam menetapkan hukum dan menghukumi seseorang dengan sifat tersebut.
2.     Terjatuh dalam ancaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya di bawah ini, jika ternyata saudaranya tidak seperti itu:
" إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا " وفي رواية : " إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
"Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka vonis itu bisa kembali kepada salah satunya." Dalam sebuah riwayat disebutkan: "Jika memang seperti yang dikatakannya (maka tidak berbalik ke arahnya), sebaliknya jika tidak seperti yang dikatakannya, maka akan kembali kepadanya."
وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
"Dan barang siapa yang memanggil seseorang, "Wahai orang kafir" atau "(Wahai) musuh Allah," padahal kenyataannya tidak demikian, maka akan berbalik kepadanya." (HR. Muslim)
Dengan demikian, sebelum menghukumi seorang muslim dengan kafir atau fasik ada dua hal yang perlu diperhatikan:
  1. Dalil dari Al Qur'an atau As Sunnah yang menunjukkan bahwa ucapan atau perbuatan ini dapat mengkafirkannya atau menjadikannya sebagai seorang yang fasik.
  2. Untuk memvonis orang tertentu (ta'yin) harus terpenuhi syarat-syarat untuk dikafirkan atau dianggap fasik serta hilangnya mawaani' (penghalang-penghalangnya).
Di antara syarat yang paling penting adalah ia sudah mengerti bahwa perbuatannya itu menjadikannya kafir atau fasik, dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:
$tBur šc%Ÿ2 ª!$# ¨@ÅÒãÏ9 $JBöqs% y÷èt/ øŒÎ) öNßg1yyd 4Ó®Lym šúÎiüt7ムOßgs9 $¨B šcqà)­Gtƒ 4 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« íOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ  
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, setelah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (At Taubah: 115)
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ  
"Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (Terj. QS. An Nisaa': 115)
Oleh karena itu, Ahli ilmu berkata, "Tidak boleh dikafirkan orang yang mengingkari kewajiban-kewajiban agama apabila ia baru masuk Islam sampai dijelaskan dulu kepadanya."
Adapun di antara penghalangnya adalah seseorang terjatuh ke dalam perbuatan yang mengkafirkan atau membuatnya fasik tanpa ada keinginan atau maksud dari dirinya. Contohnya:
a.    Seseorang dipaksa, sedangkan hatinya tidak tenteram dengannya. Dalilnya ada di surat An Nahl: 106.
b.   Ighlaq (tidak sadar), sehingga dirinya tidak menyadari apa yang diucapkannya karena keadaann dirinya sangat sedih, sangat senang, sangat takut dsb. Dalilnya adalah hadits dalam Shahih Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
"Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan tobat hamba-Nya daripada salah seorang di antara kamu yang menaiki unta di padang pasir yang luas. Tiba-tiba untanya pergi, padahal di atasnya ada makanan dan minumannya, sehingga ia pun berputus asa, ia datang ke sebuah pohon dan berbaring di bawah naungannya. Ketika dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba unta itu berdiri di dekatnya. Ia pun langsung memegang tali kendalinya dan berkata karena saking senangnya, "Ya Allah, Engkau hamba-Ku dan aku Tuhan-Mu," ia salah mengucapkan karena saking gembiranya."
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin (tahqiq Hani Al Haaj, cet. Maktabah Al 'Ilm, Cairo, th.1425 H).

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger