بسم الله الرحمن الرحيم
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Sedih terasa hati ini, menyaksikan keadaan kaum muslimin saat ini yang
sudah berani meninggalkan shalat. Bagaimana hati tidak merasa sedih? Masjid-masjid
di negeri yang mayoritas muslim ternyata sedikit sekali pemakmurnya. Kalau pun
ada hanya beberapa orang saja, dan paling banyak hanya satu shaf. Terutama pada
shalat lima
waktu selain shalat Maghrib. Bahkan ada masjid yang tidak dikumandangkan suara
azan karena kesibukan masyarakatnya terhadap dunia, padahal tidak ada satu
kampung pun yang tidak ditegakkan di sana
shalat berjamaah kecuali setan akan menguasainya. Bagaimana umat Islam akan
jaya seperti dahulu, sedangkan ajarannya yang agung sudah diremehkan dan
ditinggalkan?
Oleh karena itu, mudah-mudahan risalah ini membuat kita menyadari
betapa tingginya kedudukan shalat dalam Islam.
Kedudukan shalat dalam Islam
Shalat memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Shalat adalah
tiang agama, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
رَأْسُ
الْاَمْرِ الْاِسْلاَمُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ
الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Pokok perkara adalah Islam, tiangnya shalat dan puncaknya jihad
fii sabiilillah.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Shalat merupakan amal shalih yang paling dicintai Allah. Dari Ibnu
Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, “Amal apa yang paling dicintai Allah Ta’ala?” Beliau
menjawab, “Shalat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau
menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”
Beliau menjawab, “Berjihad fii sabiilillah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Shalat adalah amal saleh yang pertama kali dihisab pada hari
kiamat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَوَّلُ
مَا يُحَاسَبُ عَلَيْهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ فَإِنْ صَلُحَتْ
صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
“Pertama kali yang dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat
adalah shalat. Jika baik shalatnya, maka baiklah seluruh amalnya dan jika
buruk, maka buruklah seluruh amalnya.” (HR. Thabrani, lih. Shahihul Jami’ no.
2573)
Shalat adalah wasiat terakhir Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada umatnya, Beliau bersabda:
اَلصَّلاَةَ
الصَّلاَةَ ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Jagalah shalat, jagalah shalat dan berbuat baiklah kepada budak
yang kalian miliki.” (HR. Thabrani, lih. Shahihul Jami’ no. 3873)
Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kita menjaganya baik
ketika hadhar (tidak safar) maupun ketika safar, ketika suasana aman maupun
suasana mencekam. Dia berfirman:
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa
(Ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.---Jika kamu
dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.
Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana
Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (terj. Al Baqarah: 238-239)
Bahkan dalam kondisi perang, Allah Subhaanahu wa Ta'aala tetap
memerintahkan kita menjaganya (lih. An Nisaa’: 102-103).
Demikian juga dalam kondisi sakit, kewajiban shalat tidak gugur,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صَلِّ قَائِمًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ
فَقَاعِدًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah sambil berdiri! Jika tidak bisa,
maka sambil duduk, jika tidak bisa, maka sambil berbaring.” (HR. Bukhari)
Kepada para orang tua, Islam memerintahkan mereka menyuruh anaknya
shalat sejak berusia tujuh tahun dan memerintahkan mereka memukul anaknya
ketika meninggalkannya saat berusia sepuluh tahun. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغُوْا سَبْعًا ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا
إِذَا بَلَغُوْا عَشْرًا ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berusia
tujuh tahun. Pukullah mereka (ketika meninggalkannya) saat berusia sepuluh
tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Hakim, Hakim
berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim.”)
Terhadap orang-orang yang menunda shalat sampai lewat waktunya
Allah Ta’ala mengancam akan mendapatkan “Al Ghayy” (kesesatan atau lembah di
neraka jahannam). Dia berfirman:
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan
menemui kesesatan.” (terj.
Maryam: 59)
Sa’id bin Al Musayyib rahimahullah berkata, “Orang itu
tidak shalat Zhuhur kecuali setelah tiba waktu ‘Ashar, tidak shalat Ashar
kecuali setelah tiba waktu Maghrib, tidak shalat Maghrib kecuali setelah tiba
waktu Isya dan tidak shalat Isya kecuali setelah tiba waktu Subuh dan tidak
shalat Subuh kecuali setelah terbit matahari. Orang yang meninggal dalam
kondisi terus-menerus seperti ini dan tidak bertobat, maka Allah ancam dengan al
ghayy, yaitu lembah di neraka Jahannam yang sangat dalam dan busuk rasanya.”
Jika orang yang menunda shalat sampai tiba waktu shalat berikutnya
sudah seperti ini keadaannya, lalu bagaimana dengan orang yang meninggalkan
shalat? –na’uudzu billahi min dzaalik-.
Neraka, itulah tempat orang yang meninggalkan shalat. Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar
(neraka)?"--- Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk
orang-orang yang mengerjakan shalat--Dan kami tidak (pula) memberi Makan orang
miskin,---Dan kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang
membicarakannya,---Dan kami mendustakan hari pembalasan,---Hingga datang kepada
Kami kematian". (ter. Al
Muddatstsir: 42-47)
Umat Islam juga tidak berselisih bahwa meninggalkan shalat dengan
sengaja termasuk dosa-dosa besar yang sangat besar, dan bahwa dosanya lebih
besar di sisi Allah daripada dosa membunuh, mengambil harta, zina, mencuri dan
meminum khamr.
Ibnul Qayyim ketika menjelaskan hadits bahwa orang yang
meninggalkan shalat akan dikumpulkan bersama Fir’aun, Qarun, Haman dan Ubay bin
Khalaf -di antara ulama ada yang mencacatkan hadits ini- berkata, “Orang
yang meninggalkan shalat ada yang meninggalkannya karena disibukkan mengurus
hartanya, kerajaannya, kekuasaannya atau perniagaannya (bisnisnya). Barang siapa
yang meninggalkannya karena disibukkan oleh hartanya, maka dia akan bersama
Qarun. Barang siapa yang meninggalkannya karena disibukkan oleh kerajaannya,
maka dia akan bersama Fir’aun. Barang siapa yang meninggalkannya karena
disibukkan oleh kepemimpinannya maka dia akan bersama Haman dan barang siapa
yang meninggalkannya karena disibukkan oleh perniagaannya maka dia akan bersama
Ubay bin Khalaf.”
Pada hari kiamat nanti, orang-orang yang meninggalkan shalat tidak
akan sanggup sujud kepada Allah Ta’ala ketika manusia semuanya dipanggil untuk
sujud. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud;
maka mereka tidak kuasa,-- (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah,
lagi diliputi kehinaan. dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk
bersujud, sedangkan mereka dalam keadaan sejahtera.” (terj. Al Qalam: 42-43)
Sa’id bin Al Musayyib rahimahullah berkata: “Dahulu mereka (di
dunia) mendengar “Hayya ‘alash shalaah-Hayya ‘alal falaah”, namun mereka tidak
mendatangi padahal mereka sehat-sentosa.”
Keutamaan shalat
Di antara keutamaan shalat adalah, bahwa dengan
shalat Allah Ta'ala akan menggurkan dosa-dosa seseorang, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ
الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهَرٍ جَارٍ غَمْرٍ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ
يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ
“Perumpamaan shalat yang lima
waktu adalah seperti sebuah sungai yang dalam dan mengalir; yang berada di
depan pintu rumah salah seorang di antara kamu, ia mandi di sana setiap hari lima kali.” (HR. Muslim)
Al Hasan berkata, “Sehingga tidak tersisa lagi kotoran.”
Perhatikanlah, bagaimana Islam memuliakan shalat dan meninggikan
setinggi-tingginya, lalu apakah pantas seorang muslim meninggalkannya?
Hukum orang yang meninggalkan shalat
Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya
adalah kafir berdasarkan kesepakatan para ulama. Tetapi orang yang meninggalkan
shalat, namun masih mengakui kewajibannya maka para ulama berselisih, di antara
mereka ada yang mengkafirkan dan ada juga yang tidak mengkafirkan. Ulama yang
mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat beralasan dengan beberapa hadits,
di antaranya:
بَيْنَ
الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Batas pemisah antara seseorang dengan kekufuran adalah
meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
اَلْعَهْدُ
الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian yang mengikat kami dengan mereka adalah shalat. Barang
siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad dan para pemilik
kitab Sunan)
Sedangkan ulama yang tidak mengkafirkannya menakwil hadits di atas
bahwa yang menjadikan kafir adalah jika meninggalkannya karena mengingkarinya
atau mentakwil kufur di sana
dengan kufur asghar (kecil), demikian juga beralasan dengan hadits berikut:
«
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْعِبَادِ فَمَنْ
جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ
لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ
بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ
أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ » .
“Lima
shalat yang Allah Azza wa Jalla wajibkan kepada hamba-hamba-Nya. Barang siapa
yang mengerjakannya dan tidak mennyia-nyiakannya sedikit pun karena meremehkan
haknya, maka di sisi Allah ia mempunyai janji untuk dimasukkan-Nya ke dalam
surga. Namun barang siapa yang tidak mengerjakannya, maka tidak ada perjanjian (masuk
surga) di sisi Allah. Jika Allah menghendaki diazab-Nya dan jika Dia
menghendaki, maka akan dimasukkan-Nya ke dalam surga.” (Shahih, HR. Malik,
Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Nasa’i)
Ulama yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat dari
kalangan sahabat di antaranya adalah Umar bin Khathab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas,
Mu’adz bin Jabal, dll. Sedangkan dari kalangan selain sahabat di antaranya
adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Raahawaih, Ibnul Mubaarak, Ibrahim An
Nakha’iy, Al Hakam bin ‘Utaibah, Ayyub As Sikhtiyaaniy, Abu Dawud Ath
Thayaalisiy, Ibnu Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dll. Di zaman sekarang, di antara
ulama yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat adalah Syaikh Ibnu
‘Utsaimin, Syaikh Shaalih Al Fauzaan dll.
Sedangkan ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan
shalat di antaranya adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Di
zaman sekarang, di antara ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan
shalat adalah Syaikh Al Albani dan murid-muridnya, termasuk juga pengarang
kitab Al Wajiz Syaikh Abdul ‘Azhim .
Perselisihan tentang hukum orang yang meninggalkan shalat adalah
perselisihan yang diakui di kalangan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga
sekarang. Murid-murid Syaikh Al Albani rahimahumullah dalam risalah mereka “Mujmal
Masaa’ilil Iman Al ‘Ilmiyyah” berkata:
-
Orang
yang meninggalkannya –karena mengingkari- maka ia kafir keluar dari Islam, kami
tidak mengetahui adanya perbedaan di antara ulama tentang masalah ini.
Termasuk juga –yakni sebagai orang yang
murtad dan kafir- orang yang hendak dihukum mati, lalu ia lebih memilih mati
daripada mengerjakan shalat.
-
Perbedaan
antara Ahlus sunnah –para pengikut manhaj salaf- terjadi dalam hal orang yang meninggalkan shalat karena malas;
tidak menyangkal dan mengingkarinya, sebagaimana hal ini telah dinukil oleh
lebih dari seorang ahli ilmu, seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i, ini adalah
riwayat yang masyhur dari imam Ahmad.
-
Orang
yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat secara mutlak, tidaklah
menuduh orang yang menyelisihinya sebagai murji’ah, bahkan hal itu tidak boleh
baginya.
Dan orang yang tidak mengkafirkan orang yang
meninggalkan shalat karena malas tidaklah menuduh orang yang menyelisihinya
sebagai khawarij, bahkan tidak layak menuduh begitu.
Mereka
juga menjelaskan, “Oleh karena itu, perselisihan tentang (hukum) orang meninggalkan shalat tentang
mana yang benar adalah perselisihan yang diakui di kalangan Ahlus sunah dan hal
itu tidaklah merusak persaudaraan seiman…dst.” (Lih. Buku Mujmal Masaa’ilil Iiman
tentang shalat)
Ulama yang mengkafirkan orang yang
meninggalkan shalat berbeda pendapat apakah saat ia meninggalkan sebagian shalat
atau meninggalkan seluruh shalat. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa
orang yang meninggalkan sebagian shalat jika ia berazam untuk mengqadha’nya,
maka ia tidak kafir, namun telah melakukan dosa yang sangat besar. Tetapi jika
ia meninggalkan keseluruhannya, maka ia kafir. Wallahu a’lam.
Khaatimah (Penutup)
Anda telah mengetahui kedudukan shalat dalam Islam, maka jika anda
termasuk orang yang meninggalkan shalat, segeralah bertobat, karena sesungguhnya
pintu tobat masih terbuka selama matahari belum terbit dari barat dan selama
ajal belum datang. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
Katakanlah, "Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas
terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (terj. Az Zumar: 53)
Marwan bin Musa
Maraaji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
sayyid Saabiq), Minhaajul Muslim (Abu Bakar Al Jazaa’iriy), Sabiilun najaah
(Syaikh Abul Hasan As Sulaimaaniy), Al Kabaa’ir (Imam Adz Dzahabiy), Tafsir
Ibnu Katsir, Mujmal masaa’ilil iimaan (murid-murid Syaikh Al Albani
rahimahumulah).
0 komentar:
Posting Komentar