بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqih Jihad (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘aalamin, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada
keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat,
amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan tentang fiqh jihad yang
telah dibahas sebelumnya, dan pada kali ini kita akan membahas tentang hukum
para tawanan kafir, pembagian ghanimah, dan tempat pengalihan harta fai’.
A. Hukum tawanan orang-orang
kafir
Kebanyakan Ahli Ilmu berpendapat, bahwa tawanan orang-orang
kafir yang laki-laki diserahkan urusannya kepada imam (pemimpin) kaum muslimin,
ia tinggal memilih yang bermaslahat bagi Islam dan kaum muslimin, yaitu antara
membunuh, menjadikan budak, membebaskan tanpa tebusan, atau menerima tebusan
baik berupa harta, manfaat (jasa) atau
menebus dirinya dengan tawanan yang muslim. Adapun wanita dan anak-anak
mereka, maka dijadikan budak karena tertawan dan menjadi seperti harta yang
lain yang disatukan dengan ghanimah. Imam tidak diberikan pilihan berkenaan denganmereka (wanita dan anak-anak), dan tidak boleh membunuh mereka karena ada
larangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalil pilihan membunuh tawanan orang-orang kafir yang
laki-laki adalah firman Allah Ta’ala:
“Tidak patut, bagi
seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka
bumi.” (Al Anfaal: 67)
Di ayat ini
Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan, bahwa membunuh kaum musyrik dalam
perang Badar adalah lebih utama daripada menawan dan menebus diri mereka.
Demikian juga berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk (Mekah) pada tahun penaklukkannya,
sedangkan Beliau memakai topi besi, saat Beliau melepasnya, lalu datang
seseorang dan berkata, “Sesungguhnya Ibnu Khathl bergantungan di tirai Ka’bah.”
Maka Beliau bersabda, “Bunuhlah dia.” (HR. Bukhari)
Dalil untuk
menjadikannya budak adalah hadits Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallahu 'anhu
tentang kisah Bani Quraizhah ketika mereka turun (dari bentengnya) dengan
syarat yang memberikan keputusan adalah Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu 'anhu,
maka ia memutuskan bahwa yang berperang dibunuh dan anak-anak ditawan (HR.
Bukhari).
Sedangkan
dalil membebaskan tanpa tebusan atau membebaskan dengan tebusan adalah firman
Allah Ta’ala:
“Apabila kamu bertemu
dengan orang-orang kafir (di medan
perang) maka pancunglah batang leher mereka, sehingga apabila kamu telah
mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan setelah itu kamu boleh membebaskan
mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.” (Qs. Muhammad: 4)
Dan
sepatutnya bagi imam melakukan yang lebih bermaslahat bagi kaum muslimin di
antara beberapa perkara tersebut karena tindakannya adalah untuk orang lain,
oleh karenanya ia hendaknya memilih yang lebih bermaslahat.
B. Membagikan
ghanimah
Ghanimah
artinya harta rampasan perang, disebut juga Anfaal (bentuk jama’ dari kata nafl
yang artinya tambahan), karena ghanimah menambah harta kaum muslimin.
Dasar
disyariatkan membagikan harta ghanimah adalah firman Allah Ta’ala:
فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا
طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka makanlah dari
sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal
lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Al Anfaal:
69)
Allah Subhaanahu
wa Ta'aala menghalalkan ghanimah untuk umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam saja; tidak umat-umat terdahulu. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ
وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي
“Dihalalkan
ghanimah untukku, dan dia tidak dihalalkan untuk seorang pun sebelumku.” (HR.
Muslim)
Ghanimah
mencakup harta yang dapat dipindahkan, para tawanan dan tanah. Jumhur ulama
berpendapat, bahwa harta ghanimah dibagi kepada lima bagian:
Bagian
pertama, bagian imam, yaitu 1/5 dari
ghanimah, dikeluarkan oleh imam atau wakilnya, dan seperlima ini dibagikan
sesuai yang diterangkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam firman-Nya:
“Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya
seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan ibnussabil,” (Al Anfaal:
41)
Maksudnya:
seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada:
a. Allah dan
Rasul-Nya. Bagian ini menjadi fai’ yang dimasukkan ke dalam Baitulmal dan
dibelanjakan untuk maslahat kaum muslimin. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, “Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya,
hartaku dari yang diberikan Allah hanya seperlima, dan seperlima itu
dikembalikan kepada kamu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i, dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Irwaa’ul Ghalil no. 1240). Beliau menjadikannya
untuk semua kaum muslimin.
b. Kerabat
Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu Bani Hasyim dan Bani Muthalib, dan
seperlima ini dibagikan di antara mereka sesuai kebutuhan.
c. Anak
yatim, yaitu orang yang ayahnya meninggal sebelum ia baligh, baik laki-laki
maupun wanita, baik yang kaya maupun yang miskin.
d. Fakir
miskin.
e.
Ibnussabil, yaitu musafir yang terputus di tengah perjalanannya, sehingga
diberikan kepadanya harta untuk menyampaikannya ke tempat tujuan.
Adapun
empat-perlima dari ghanimah itu, maka dibagikan
kepada yang ikut bertempur, yang terdiri dari laki-laki yang baligh, merdeka,
dan berakal, dimana mereka mempersiapkan diri untuk perang, baik melakukan
pertempuran secara langsung maupun tidak, baik orang yang kuat maupun lemah.
Hal ini berdasarkan perkataa Umar radhiyallahu 'anhu, “Al Ghanimah lima syahidal waq’ah.”
(artinya: Ghanimah itu untuk orang yang menghadiri peperangan.”
(Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan isnad
yang shahih, dan Abdurrazzaq dalam Mushannafnya).
Cara
pembagiannya adalah pejalan kaki diberikan satu bagian, sedangkan orang yang
berkuda diberikan tiga bagian (satu bagian untuknya dan untuk kudanya dua
bagian). Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam membagikan dalam nafl (ghanimah), untuk kuda dua bagian
dan untuk pejalan kaki satu bagian (HR. Bukhari dan Muslim), demikian pula
karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan demikian dalam perang
Khaibar, yaitu menjadikan untuk pejalan kaki satu bagian dan untuk pengendara
kuda tiga bagian (HR. Bukhari) hal itu karena jasa pengendara kuda lebih besar
daripada pejalan kaki.
Adapun
wanita, budak dan anak-anak jika mereka menghadiri peperangan, maka menurut
pendapat yang shahih adalah bahwa mereka diberi bagian sekedarnya (tidak
banyak) dan tidak diberlakukan pembagian seperti di atas. Hal ini berdasarkan
perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma kepada orang yang bertanya kepadanya,
“Sesungguhnya engkau telah menulis surat
kepadaku untuk bertanya tentang wanita dan budak yang menghadiri peperangan;
apakah mereka berdua diberi bagian? Sesungguhnya keduanya tidak mendapatkan
apa-apa, namun mereka diberikan sedikit (daripadanya).” (HR. Muslim)
Jika
ghanimah berupa tanah, maka imam diberi pilihan antara membagikan kepada orang-orang
yang mendapatkan ghanimah atau mewaqafkannya untuk maslahat kaum muslimin dan
mengenakan pajak yang berkelanjutan padanya yang diambil dari orang yang
memegangnya, baik orang muslim atau kafir dzimmiy, dimana pajak itu diambil
setiap tahun. Pilihan ini juga memperhatikan maslahat.
C. Tempat
Pengalihan Fai’
Fai’ adalah
harta yang diambil dari kafir harbi secara hak (benar) tanpa melalui
peperangan, seperti harta yang ditinggal lari oleh orang-orang kafir karena
ketakutan ketika mereka mengetahui kedatangan kaum muslimin.
Tempat
pengalihannya adalah untuk maslahat kaum muslimin sesuai yang dipandang oleh
imam, seperti memberi rezeki kepada para qadhi (hakim), muazin, para imam
masjid, para ahli fiqh, para pengajar dan lainnya yang termasuk maslahat bagi
kaum muslimin. Hal ini beradasarkan riwayat yang sah dari Umar radhiyallahu
'anhu ia berkata: Harta Bani Nadhir termasuk harta fai’ yang Allah berikan
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa perlu mengerahkan kuda
dan unta oleh kaum muslimin, maka diperuntukkan khusus untuk Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, oleh karenanya Beliau menafkahi keluarganya untuk nafkah
setahun, sedangkan sisanya Beliau alihkan untuk (keperluan) kuda dan senjata
sebagai persiapan (jihad) fii sabilillah (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena
itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala sebutkan semua golongan dari kaum muslimin
ketika menerangkan tempat pengalihan fai’, Dia berfirman:
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى
رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً
بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“Harta
rampasan fai’i[i]
yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa
negeri, adalah untuk Allah, rasul, kerabat (rasul), anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu
jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras
hukumannya. (Al Hasyr: 7)
Sehingga
imam mengambilnya tanpa batasan dan memberikan kepada kerabat berdasarkan
ijtihadnya dan memberikan sisanya untuk maslahat kaum muslimin.
Wallahu
a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa
man waalaah.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Fiqhul Muyassar,
Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (penyusun) dll.
[i] Fai-i ialah
harta rampasan yang diperoleh dari orang-orang kafir tanpa terjadinya
pertempuran, misalnya harta yang mereka tinggal lari karena takut kepada kaum
muslimin. Harta tersebut dinamakan fai’i yang artinya kembali, karena harta itu
kembali dari orang-orang kafir yang tidak berhak memilikinya kepada kaum
muslimin yang memiliki hak terhadapnya. Pembagian fa’i berlainan dengan
pembagian ghanimah (harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi
pertempuran). Pembagian Fai’i disebutkan pada ayat 7 surah ini, sedangkan
pembagian ghanimah disebutkan dalam surah Al Anfaal ayat 41.
Pembagian fa’i, berdasarkan ayat ke-7
surah Al Hasyr ini adalah dibagi menjadi lima
bagian:
-
1/5 untuk Allah dan Rasul-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam yang kemudian dialihkan untuk maslahat kaum
muslimin secara umum,
-
1/5 untuk kerabat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam (Bani Hasyim dan Bani Muththalib), dimana antara
laki-laki dan perempuannya disamaratakan. Bani Muththalib mendapatkan 1/5
bersama Bani Hasyim sedangkan Bani Abdi Manaf yang lain tidak, karena mereka
(Bani Muththalib) ikut serta dengan Bani Hasyim dalam masuknya mereka ke dalam
satu suku besar ketika orang-orang Quraisy mengadakan kesepakatan untuk
menjauhi dan memusuhi mereka; mereka menolong Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam berbeda dengan selain mereka. Oleh karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam menjelaskan tentang Bani Muththalib, “Sesungguhnya mereka tidak
berpisah denganku di masa Jahiliyyah maupun Islam.”
-
1/5 untuk anak-anak yatim yang
fakir, yaitu anak-anak yang ditinggal wafat bapaknya sedangkan mereka belum
baligh.
-
1/5 untuk orang-orang miskin,
dan
-
1/5 lagi untuk Ibnus Sabil,
yaitu orang asing yang terputus dalam perjalanan karena kehabisan bekal.
0 komentar:
Posting Komentar