Adab Membaca Al Qur'an

Jumat, 27 April 2012
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫القران الكريم‬‎
Adab Membaca Al Qur'an
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika hendak membaca Al Qur'an, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
1.          Memiliki niat yang ikhlas karena mengharap keridhaan Allah dalam membaca dan mempelajarinya, bukan untuk mendapatkan dunia, bukan karena harta, kedudukan, juga bukan agar dimuliakan oleh kawan-kawan. Orang arif mengatakan, “Ikhlas itu membersihkan amal dari perhatian makhluk.”
2.          Dianjurkan menggosok giginya baik dengan siwak maupun sikat gigi lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا قَامَ يُصَلِّي أَتَاهُ الْمَلَكُ فَقَامَ خَلْفَهُ يَسْتَمِعُ الْقُرْآنَ وَيَدْنُوْ، فَلاَ يَزَالُ يَسْتَمِعُ وَيَدْنُوْ حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ فَلاَ يَقْرَأُ آيَةً إِلاَّ كَانَتْ فِي جَوْفِ الْمَلَكِ
"Sesungguhnya seorang hamba apabila berdiri shalat, maka malaikat mendatanginya dan berdiri di belakangnya mendengarkan Al Qur'an dan mendekatinya. Ia terus mendengarkan dan mendekati sampai meletakkan mulutnya di mulut orang itu. Oleh karena itu, tidaklah ia membaca Al Qur'an melainkan ayat itu ada dalam diri malaikat." (HR. Baihaqi dalam Al Kubra 1/38, Adh Dhiyaa' dalam Al Mukhtaarah (1/201), lihat Ash Shahiihah no. 1213)
3.          Sebaiknya ia membaca Al Qur’an dalam keadaan suci, baik suci dari hadats kecil maupun dari hadats besar.
4.          Hendaknya membaca Al Qur’an di tempat yang suci seperti di masjid dan di rumah. Oleh karena itu, banyak para ulama yang menganjurkan membacanya di masjid karena di masjid menggabung antara tempat yang bersih dan utama. Demikian juga hendaknya ia tidak membacanya di tempat yang kotor atau di tempat yang biasanya bacaannya tidak didengarkan dan diperhatikan.
5.          Sebaiknya duduk menghadap kiblat dengan sikap tenang, khusyu dan sopan. Namun jika ia membacanya dalam keadaan berdiri atau berbaring, maka diperbolehkan berdasarkan perkataan Aisyah radhiyallahu 'anha, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Al Qur’an, sedangkan kepala Beliau di pangkuanku.” (HR. Bukhari)
6.          Hendaknya memulai dengan membaca isti’adzah (A’uudzu billahi minasy syaithaanir rajiim) sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala di surah An Nahl: 98[i]. Demikian pula hendaknya ia memulai dengan basmalah pada setiap awal surah selain surah At Taubah atau Al Baraa’ah. Apabila kita membaca di tengah surat, maka kita boleh membaca basmalah, boleh juga tidak.
7.          Hendaknya membacanya dengan khusyu’ dan mentadabburinya, dan disukai mengulang sebagian ayat untuk tujuan tadabbur sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengulangi ayat “In tu’adzdzib-hum fa innahum ‘ibaaduk” (Al Maa’idah: 118) sampai pagi hari (Lihat Shifatu Shalatin Nabi oleh Syaikh Al Albani hal. 121 cet. Maktabah Al Ma'arif).
8.          Hendaknya membacanya dengan tartil (tidak cepat dan jelas huruf-hurufnya), karena hal ini membantunya untuk mentadabburi maknanya.
9.          Dianjurkan memperbagus suara semampunya ketika membaca Al Qur’an. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حُسْنًا
          “Hiasilah Al Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus menambah bagus Al Qur’an.” (HR. Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 3581)
10.      Hendaknya ia menghadirkan hati, mentadabburi (memikirkan) kandungan Al Qur’an, memperhatikan setiap ‘ibrah (pelajaran) dan merasakan ke dalam hati wa’d (janji) dan wa’id (ancaman) yang disebutkan dalam Al Qur’an. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا   
          “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
          Ibrahim Al Khawaash berkata, “Obat (hati) itu terletak pada lima perkara; membaca Al Qur’an dengan mentadabburi maknanya, mengosongkan perut (berpuasa), qiyamul lail, bertadharru’ (merendahkan diri kepada Allah dan berdoa) di waktu sahur dan bergaul dengan orang-orang saleh.”
11.      Hendaknya ketika sampai pada ayat rahmat, ia meminta kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala karunia-Nya, dan ketika sampai pada ayat azab, ia meminta perlindungan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala darinya.
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ . ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّى بِهَا فِى رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا . ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ « سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ »
          Dari Hudzaifah ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam, lalu Beliau memulai dengan surah Al Baqarah. Aku berkata (dalam hati), “Mungkin Beliau akan ruku’ pada ayat ke-100,” ternyata Beliau melanjutkannya, maka aku berkata (dalam hati), “Mungkin Beliau akan ruku’ setelah selesai satu surah,” ternyata Beliau melanjutkan dengan surah An Nisaa’ dan menyelesaikannya, kemudian melanjutkan dengan surah Ali Imran, Beliau membacanya dengan perlahan. Ketika sampai pada ayat yang di sana terdapat (perintah) bertasbih, maka Beliau bertasbih, dan ketika sampai sampai pada ayat yang terdapat permintaan, maka Beliau meminta. Ketika sampai pada ayat yang di sana butuh perlindungan, maka Beliau berlindung, kemudian Beliau ruku’ dan membaca, “Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim.” (HR. Muslim)
12.      Hendaknya ia menjauhi tertawa, ribut/gaduh dan obrolan, kecuali ucapan yang sangat dibutuhkan. Hal ini berdasarkan riwayat, bahwa Ibnu Umar apabila membaca Al Qur’an tidak melakukan pembicaraan sampai selesai membaca ayat yang hendak ia baca.
13.      Ketika dibacakan Al Qur’an hendaknya diam, tidak melakukan obrolan, lihat QS. Al A'raaf: 204.
14.      Menjahar(keras)kan suaranya apabila tidak mengganggu orang lain adalah lebih utama, karena manfaatnya mengena kepada orang lain, sedangkan manfaat yang dapat mengena kepada orang lain lebih utama daripada yang manfaatnya untuk diri sendiri. Di samping itu, hal tersebut dapat membangkitkan semangat orang yang membaca, membuatnya tetap ingat dan jaga (tidak tidur) serta dapat mengalihkan pendengarannya. Hal ini juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
« مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَىْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِىٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ » .  
          “Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidaklah mendengarkan sesuatu seperti yang didengar-Nya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang bagus suaranya, ia memperbagus suara dalam membaca Al Qur’an dan mengeraskannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
          Namun jika ia khawatir riya’, maka dalam keadaan seperti ini mensir(pelan)kan lebih utama.
15.      Hendaknya ia tidak mengeraskan bacaan Al Qur'an ketika di dekatnya ada yang sedang shalat agar tidak mengganggu shalatnya. Hal itu, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam suatu ketika pernah keluar mendatangi beberapa orang yang sedang shalat, dimana yang satu dengan yang lain saling mengeraskan bacaannya, lalu Beliau bersabda:
إِنَّ الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيْهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقُرْآنِ
          "Sesungguhnya orang yang shalat sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia memperhatikan apa munajatnya, dan jangalah satu sama lain saling mengeraskan Al Qur'annya." (HR. Malik, Ibnu Abdil Bar berkata, "Ia adalah hadits shahih.")
16.      Hendaknya tidak membaca dalam kondisi mengantuk.
17.      Ketika sampai pada ayat sajdah, hendaknya ia sujud sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
18.      Hendaknya tidak menulis Al Qur’an di dinding-dinding, karena Al Qur’an tidaklah diturunkan untuk menghiasi dinding atau tembok.
19.      Membaca Al Qur’an dengan melihat mushaf lebih utama daripada dengan hapalan, karena yang demikian dapat lebih memperhatikan. Imam As Suyuthiy rahimahullah berkata, “Membaca dari mushaf lebih utama daripada membaca dengan hapalan, karena melihat (ayat-ayat)nya merupakan ibadah yang dituntut.” (Al Itqan 1/304).
20.      Hendaknya ia memuliakan Al Qur’an. Oleh karena itu, hendaknya ia tidak meletakkannya di lantai, tidak menyerahkan kepada orang lain dengan cara melemparnya, dan tidak menyentuhnya dalam keadaan berhadats, terutama hadats besar.
21.      Hendaknya ia tidak mengkhatamkan Al Qur’an kurang dari tiga hari. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَفْقَهُهُ مَنْ يَقْرَؤُهُ فِي أَقَلِّ مِنْ ثَلَاثٍ
“Tidak akan paham orang yang mengkhatamkannya kurang dari tiga hari.” (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1157)
Faedah:
Setelah membaca Al Qur’an, kami belum mendapatkan dalil yang menganjurkan mengucapkan “Shadaqallahul ‘azhiim.” Oleh karena itu hendaknya seseorang bertawaqquf (diam) menunggu dalil yakni dengan tidak mengerjakan demikian, karena beramal harus di atas dalil. Yang kami dapatkan adalah, bahwa ucapan yang sesuai Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah selesai membaca Al Qur’an adalah,
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
“Mahasuci Engkau (ya Allah) sambil memuji-Mu. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Aku mohon ampunan dan bertobat kepada-Mu.”
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: مَا جَلَسَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجْلِسًا قَطُّ، وَلَا تَلَا قُرْآنًا، وَلَا صَلَّى صَلَاةً إِلَّا خَتَمَ ذَلِكَ بِكَلِمَاتٍ قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَاكَ مَا تَجْلِسُ مَجْلِسًا، وَلَا تَتْلُو قُرْآنًا، وَلَا تُصَلِّي صَلَاةً إِلَّا خَتَمْتَ بِهَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ؟ قَالَ: " نَعَمْ، مَنْ قَالَ خَيْرًا خُتِمَ لَهُ طَابَعٌ عَلَى ذَلِكَ الْخَيْرِ، وَمَنْ قَالَ شَرًّا كُنَّ لَهُ كَفَّارَةً: سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ "
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah duduk di suatu majlis, tidak pula membaca Al Qur’an, dan melakukan suatu shalat kecuali menutup dengan kalimat ini, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat dirimu tidak duduk di suatu majlis, membaca Al Qur’an, atau melakukan shalat melainkan engkau tutup dengan kalimat itu?” Beliau menjawab, “Ya. Barang siapa yang sebelumnya mengucapkan kebaikan, maka akan dicap dengan kebaikan itu, dan barang siapa yang sebelumnya mengucapkan keburukan, maka kalimat itu akan menjadi penebusnya, yakni, “Subhaanaka wabihamdika Laailaahaillaa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik.” (As Sunanul Kubra no. 10067 9/123)
Imam Nasa’i membuat bab terhadap hadits ini dengan kata-kata “Maa tukhtamu bihi tilawatul Qur’an,” (artinya: Kalimat penutup membaca Al Qur’an). Al Hafizh Ibnu Hajar dalam An Nukat (2/733) berkata, “Isnadnya shahih.” Al Albani dalam Ash Shahihah (7/495) berkata, “Isnad ini shahih pula sesuai syarat Muslim.”
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, Al Adzkar (Imam Nawawi), Al Mausu'ah Al Haditisiyyah Al Mushaghgharah dll.


[i] Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa membaca isti’adzah itu hukumnya sunat, namun Ar Raaziy menukilkan dari Atha’ bin Abi Ribaah bahwa hukumnya wajib baik dalam shalat maupun di luar shalat.

Fiqh Wasiat (4)

Kamis, 26 April 2012

بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Wasiat (bag. 4)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang wasiat, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Berwasiat dengan sepertiga harta
Wasiat dibolehkan dengan sepertiga harta, tidak boleh lebih, namun lebih baik kurang daripadanya dan telah tetap ijma' terhadapnya. Imam Bukhari, Muslim dan para pemilik kitab sunan meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqas radhiyallahu 'anhu ia berkata:
جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي وَأَنَا بِمَكَّةَ، وَهُوَ يَكْرَهُ أَنْ يَمُوتَ بِالأَرْضِ الَّتِي هَاجَرَ مِنْهَا، قَالَ: «يَرْحَمُ اللَّهُ ابْنَ عَفْرَاءَ» ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ؟ قَالَ: «لاَ» ، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ، قَالَ: «لاَ» ، قُلْتُ: الثُّلُثُ، قَالَ: «فَالثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ، وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ، فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ، حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ، وَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَكَ، فَيَنْتَفِعَ بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ» ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَئِذٍ إِلَّا ابْنَةٌ
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang menjengukku ketika aku di Makkah, padahal ia (Sa'ad) tidak suka meninggal di negeri tempat ia berhijrah daripadanya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Semoga Allah merahmati Ibnu Afraa,' aku berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkan aku berwasiat dengan semua hartaku?" Beliau menjawab, "Tidak boleh." Aku bertanya lagi, "Bagaimana jika separuh saja?" Beliau menjawab, "Tidak boleh." Aku berkata, "Kalau begitu sepertiga?" Beliau menjawab, "(Ya) sepertiga, itu pun sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan kepada ahli warismu dalam keadaan cukup lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada manusia, dan sesungguhnya berapa saja yang kamu keluarkan, ia adalah sedekah sampai suapan yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu. Semoga Allah mengangkatmu sehingga orang-orang mengambil manfaat darimu sedangkan yang lain merasakan madharrat." Ketika itu ia (Sa'ad) hanya mempunyai seorang anak perempuan[i]."
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata, "Sungguh, aku berwasiat seperlima lebih aku sukai daripada berwasiat dengan seperempat."
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "(Sungguh baik) jika sekiranya orang-orang mengurangi (wasiat) dari sepertiga menjadi seperempat, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sepertiga," dan sepertiga itu sudah banyak."
Faedah:
Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan dalam Al Mulakhkhash Al Fiqhi, bahwa jika seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya, lalu ada harta yang baru lagi setelah wasiat, maka harta yang baru masuk ke dalam hitungan wasiat, karena sepertiga itu dipandang ketika meninggal; pada harta yang ada ketika itu. 
Namun dalam masalah ini masih ada khilaf, sebagaimana akan diterangkan setelah ini.
Sepertiga dihitung dari semua harta
Jumhur ulama berpendapat, bahwa sepertiga itu dihitung dari semua harta yang ditinggalkan pemberi wasiat.
Imam Malik berkata, "Dihitung sepertiga dari harta yang diketahui pemberi wasiat tidak yang samar atau baru, atau yang tidak diketahuinya."
Apakah yang dijadikan patokan dalam hal sepertiga harta adalah ketika berwasiat atau ketika meninggal?
Imam Malik, An Nakha'i, dan Umar bin Abdul 'Aziz berpendapat, bahwa yang dijadikan patokan dalam sepertiga dari harta peninggalan adalah ketika wasiat. Namun Abu Hanifah, Ahmad, dan pendapat yang sahih dari pendapat ulama madzhab Syafi'i, bahwa yang dijadikan pegangan adalah sepertiga ketika meninggalnya. Ini adalah pendapat Ali dan sebagian tabi'in.
Berwasiat melebihi sepertiga
Pemberi wasiat ada yang memiliki ahli waris dan ada yang tidak. Jika ia memiliki ahli waris, maka tidak boleh berwasiat melebihi sepertiga sebagaimana telah diterangkan. Jika ia berwasiat lebih dari sepertiga, maka wasiatnya tidak dijalankan kecuali dengan izin para ahli waris. Hal itu, karena lebih dari sepertiga adalah hak mereka. Dan untuk dijalankan wasiat disyaratkan dua syarat:
1)    Harus dilakukan setelah pemberi wasiat meninggal. Karena jika sebelum meninggal pemberi wasiat, orang yang mengizinkan tidak memiliki hak yang menjadikan haknya diperhatikan. Jika ahli waris mengizinkan di saat masih hidup, maka ia (pemberi wasiat) berhak menarik kapan saja ia mau. Namun jika mengizinkannya setelah meninggal, maka wasiat dijalankan. Namun Az Zuhriy dan Rabii'ah berpendapat bahwa ia tidak boleh menarik kembali secara mutlak.
2)    Orang yang mengizinkan itu saat hendak mengadakan pemberian izin memang kamilul ahliyyah (sempurna kelayakan) tidak dihajr karena dungu atau pelupa. Kalau pun ia tidak memiliki ahli waris, ia (pemberi wasiat)tetap tidak boleh memberi wasiat melebihi sepertiga. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Namun ulama madzhab Hanafi, Ishaq, Syuraih dan Ahmad dalam sebuah riwayat, di mana hal ini juga merupakan pendapat Ali dan Ibnu Mas'ud,  membolehkan lebih dari 1/3, karena dalam keadaan seperti ini (tidak mempunyai ahli waris) tidak meninggalkan orang yang dikhawatirkan miskinnya. Di samping itu dalam ayat Al Qur'an wasiat disebutkan secara mutlak, namun As Sunnah membatasinya jika ia memiliki ahli waris, sehingga orang yang tidak memiliki ahli waris tetap berlaku kemutlakan wasiat dalam ayat Al Qur'an.
Dalam Al Mulakhkhash Al Fiqhi, Syaikh Al Fauzan berpendapat bolehnya berwasiat dengan semua harta bagi orang yang tidak memiliki ahli waris.
Batalnya wasiat
Wasiat menjadi batal dengan hilangnya salah satu syarat di antara syarat-syarat wasiat yang sudah disebutkan sebelumnya sebagaimana menjadi batal dengan sebab-sebab berikut:
1.       Apabila pemberi wasiat gila yang muthbiq[ii] dan gila itu menimpanya sampai meninggal.
2.       Apabila orang yang diberi wasiat meninggal sebelum si pemberi wasiat meninggal.
3.       Apabila barang yang diwasiatkan ditentukan, namun ternyata sudah binasa barang itu sebelum orang yang diberi wasiat menerima (qabul).
Sebagian hukum-hukum wasiat
1.     Hutang dan kewajiban syar'i seperti zakat dan kaffarat harus didahulukan sebelum wasiat. Ali radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan agar hutang didahulukan sebelum wasiat."
2.     Tidak dibenarkan berwasiat untuk mengerjakan hal yang haram, seperti seseorang yang hendak meninggal berwasiat agar diratapi mayatnya.
3.     Tidak sah berwasiat untuk memberikan harta ke tempat-tempat maksiat seperti tempat perjudian, tempat minuman keras, gereja, biara, tempat-tempat kemusyrikan, untuk memakmurkan kuburan dan meneranginya dsb.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Jika seorang kafir dzimmiy mewaqafkan sebagian hartanya untuk tempat peribadatan mereka (orang-orang kafir), maka tidak boleh bagi kaum muslim menghukumi sahnya, karena tidak boleh bagi mereka memutuskan hukum kecuali dengan apa yang Allah turunkan, dan di antara yang Allah turunkan adalah tidak tolong-menolong di atas kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan, maka bagaimana mereka ikut tolong-menolong terhadap waqaf ke tempat-tempat di sana mereka berbuat kufur?"
4.     Tidak sah wasiat untuk mencetak kitab-kitab yang telah dimansukh, seperti Taurat dan Injil atau mencetak buku-buku yang menyimpang, seperti buku orang-orang Zindiq dan orang-orang atheis.
5.     Wasiat sah untuk setiap orang yang sah memilikinya, baik ia muslim maupun non muslim.
Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu pernah memberikan pakaian kepada saudaranya yang musyrik.
Asma' menyambung tali silaturrahim dengan ibunya yang benci kepada Islam.
Namun wasiatnya harus mu'ayyan (ditentukan orangnya), tidak secara umum. Adapun jika umum (ghairul mu'ayyan), maka tidak sah, seperti seseorang berwasiat untuk orang-orang Yahudi atau Nasrani.
Namun tidak sah wasiat untuk orang kafir yang mu'ayyan jika sesuatu yang diwasiatkan adalah barang yang tidak boleh ia miliki atau kuasai, seperti mushaf Al Qur'an, budak yang muslim, atau senjata.
6.     Wasiat sah kepada janin yang memang terwujud sebelum keluarnya wasiat. Wujudnya dapat diketahui apabila si ibu melahirkan kurang dari enam bulan dari sejak keluarnya wasiat. Tetapi jika melahirkan dalam keadaan janinnya mati, maka batallah wasiat itu.
7.     Tidak sah berwasiat kepada janin yang belum terwujud.
8.     Wasiat tidak sah kepada sesuatu yang tidak sah memilikinya, seperti kepada jin, hewan, dan mayit.
9.     Jika tidak ditentukan batas sesuatu yang hendak diwasiatkan, misalnya ia berwasiat dengan saham yang ada di hartanya, maka dapat ditafsirkan bahwa saham itu adalah 1/6. Karena kata saham dalam bahasa orang Arab adalah 1/6, dan inilah yang dipegang oleh Ibnu Mas'ud dan Ali. Di samping itu, 1/6 adalah saham (bagian) terkecil, sehingga wasiat diarahkan kepada jumlah itu. Dan jika ia berwasiat dengan sesuatu dari hartanya, namun tidak menjelaskan ukurannya, maka ahli warisnya memberikan kepada orang yang mendapat wasiat sesuai kehendaknya dari harta yang bernilai, karena sesuatu yang tidak ada batasannya dalam bahasa maupun syara', bisa dikembalikan kepada sesuatu yang paling kecil dan bernilai.
10. Sah hukumnya wasiat orang kafir kepada orang muslim jika harta peninggalannya dari yang mubah. Jika dari yang haram, seperti khamr dan daging babi, maka tidak sah, karena seorang muslim tidak boleh mengurus hal itu.
11. Jika pemberi wasiat berpesan kepada mushaa ilaih (orang yang mendapat pesan), "Taruhlah sepertiga hartaku ke tempat yang engkau mau," atau, "Sedekahkanlah kepada yang engkau mau," maka tidak boleh bagi mushaa ilaih mengambil sedikit pun darinya, demikian juga tidak boleh ia ambil untuk keluarganya.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah, dll.



[i] Hal ini sebelum Sa'ad punya anak laki-laki, dan setelahnya ia punya anak laki-laki empat orang sebagaimana disebutkan oleh Al Waaqidiy. Bahkan ada yang mengatakan lebih dari sepuluh, sedangkan yang perempuan ada 12 orang.
[ii] Gila yang muthbiq adalah gila yang berlangsung terus dalam setahun menurut Muhammad, namun menurut Abu Yusuf bahwa gila yang berlangsung selama sebulan dan itulah yang difatwakan.

Fiqh Wasiat (3)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Wasiat (bag. 3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang wasiat, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Syarat orang yang diberi wasiat
Orang yang hendak diberi wasiat disyaratkan beberapa syarat berikut:
1.     Bukan ahli waris bagi si pemberi wasiat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
"Tidak ada wasiat untuk ahli waris." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan ia menghasankannya)
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
إِنَّ اللهَ أَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ ، فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
"Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada masing-masing yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris."
Adapun ayat yang berbunyi,
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمْ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa." (Terj. QS. Al Baqarah: 180)
Menurut jumhur ulama sudah mansukh. Imam Syafi'i berkata, "Sesungguhnya Allah Ta'ala menurunkan ayat wasiat dan menurunkan ayat warisan, bisa saja ayat wasiat masih tetap bersama ayat warisan dan bisa saja ayat warisan memansukhkan ayat wasiat."
Para ulama telah mencari sesuatu yang menguatkan di antara dua kemungkinan itu, akhirnya mereka mendapati dalam Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang haditsnya telah disebutkan di atas.
Mereka juga sepakat untuk memperhatikan keadaan orang yang diberi wasiat sebagai ahli waris pada hari kematian pemberi wasiat, sehingga kalau sekiranya ia berwasiat untuk saudaranya yang menjadi ahli waris di mana si pemberi wasiat tidak memiliki anak, lalu setelah itu lahirlah anaknya sebelum wafatnya, maka sah wasiat untuk saudara laki-laki yang disebutkan itu. Jika ia memberi wasiat kepada saudaranya, padahal ia memiliki anak, lalu anak itu meninggal sebelum wafat si pemberi wasiat, maka itu namanya wasiat kepada ahli waris.
Ulama madzhab hanafi menjelaskan, bahwa orang yang diberi wasiat jika ditentukan, maka disyaratkan untuk sahnya wasiat harus ada wujudnya baik tahqiq (benar ada) maupun taqdir (diperkirakan ada) pada waktu diadakan wasiat. Misalnya seorang berwasiat untuk janin si fulanah, dan memang janin tersebut ada saat ijab wasiat. Adapun jika orang yang diberi wasiat tidak ditentukan orangnya, maka disyaratkan harus ada wujudnya ketika pemberi wasiat meninggal baik tahqiq maupun taqdir. Oleh karena itu, jika pemberi wasiat berkata, "Saya wasiatkan rumah saya untuk anak-anak si fulan, namun ia tidak tentukan mereka itu," lantas ia meninggal dan tidak menarik wasiatnya, maka rumah itu menjadi milik anak-anak yang ada saat pemberi wasiat meninggal baik di antara mereka ada yang wujudnya hakiki (memang ada) maupun taqdiri (diperkirakan ada) seperti yang ada dalam kandungan meskipun sebelumnya tidak ada saat ijab wasiat. Dan terwujudnya kandungan itu harus ada saat wasiat atau saat meninggalnya si pemberi wasiat, dimana lahirnya kurang dari enam bulan dari sejak waktu wasiat atau dari sejak meninggalnya pemberi wasiat.
Jumhur ulama berpendapat, "Sesungguhnya orang yang berwasiat memisahkan sepertiga hartanya, yang nanti diberikan sesuai pandangan yang diberikan Allah kepada washiy (yang diamanahi wasiat) adalah sah, dan washiy (yang diamanahi wasiat) nanti membagikannya di jalan kebaikan serta tidak memakan sedikit pun daripadanya serta tidak memberikannya kepada ahli waris si mati, namun hal ini diselisihi oleh Abu Tsaur, sebagaimana disebutkan oleh Imam Syaukani dalam Nailul Awthaar."
2.     Demikian juga disyaratkan orang yang menerima wasiat tidak membunuh pemberi wasiat pembunuhan yang haram lagi secara langsung. Jika penerima wasiat melakukannya, maka batallah wasiat itu, karena orang yang terburu-buru terhadap sesuatu sebelum tiba waktunya, maka ia akan dihalangi dari memperolehnya. Ini adalah madzhab Abu Yusuf. Namun menurut Abu Hanifah dan Muhammad bahwa wasiat itu tidak batal dan tergantung izin para ahli waris.
Syarat sesuatu yang hendak diwasiatkan
Disyaratkan sesuatu yang hendak diwasiatkan itu harus setelah meninggal pemberi wasiat dan bisa dimiliki dengan salah satu sebab milik. Oleh karena itu, sah berwasiat dengan semua harta yang bernilai atau bermanfaat. Wasiat juga sah dengan buah yang akan dikeluarkan oleh pohonnya. Demikian juga berwasiat dengan kandungan hewannya, karena ia dapat dimiliki dengan warisan, selama ada wujudnya saat meninggal si pemberi wasiat, maka orang yang diberi wasiat berhak menerimanya. Hal ini berbeda jika ia berwasiat dengan sesuatu yang tidak ada.
Demikian juga sah wasiat dengan hutang dan manfaat seperti menempati sebuah rumah dan berwasiat dengan manisan.
Dan wasiat tidak sah dengan sesuatu yang bukan harta dan yang tidak bernilai menurut orang-orang yang biasa melakukan 'akad seperti khamr bagi kaum muslimin.
Orang yang mendapat wasiat/pesan (mushaa ilaih)
Orang yang mendapat wasiat di sini maksudnya nazhir (pemerhati), yakni orang yang diperintah bertindak terhadap harta pemberi wasiat setelah meninggalnya. Ia merupakan na'ib (wakil) dari pemberi wasiat.
Adanya mushaa ilaih atau wakil dari pemberi wasiat dan menerima amanah itu adalah dianjurkan dan merupakan ibadah. Namun hal ini disyariatkan bagi orang yang memiliki kesanggupan dan melihat dirinya dapat menjalankan amanah itu. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى
"Dan tolong-menolonglah di atas kebajikan dan takwa." (QS. Al Maa'idah: 2)
Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا دَامَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
"Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya mau menolong saudaranya." (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Para sahabat radhiyallahu 'anhum juga melakukan hal itu. Disebutkan, bahwa jamaah dari kalangan sahabat berpesan kepada Az Zubair radhiyallahu 'anhu, Abu Ubaidah berpesan kepada Umar radhiyallahu 'anhuma, Umar berpesan kepada puterinya Hashah radhiyallahu 'anha, dsb.
Dan disyaratkan untuk mushaa ilaih harus muslim dan mukallaf. Oleh karena itu, tidak sah mengangkat mushaa ilaih yang non muslim dan masih anak-anak, akan tetapi sah menggantungkannya, misalnya sampai anak kecil menjadi baligh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Pemimpin kalian adalah Zaid. Jika ia terbunuh, maka Ja'far."
Dan sah berpesan kepada wanita, jika ia dapat menjalankan pesan itu sebagaiman Umar berpesan kepada Hafshah.
Demikian juga sah berpesan kepada kepada orang yang tidak sanggup berbuat, namun ia memiliki ide cemerlang, dan ia bisa bekerja sama dengan orang yang kuat dan amanah.
Demikian juga sah berpesan kepada lebih dari seorang.
Dan sah menerima tawaran sebagai mushaa ilaih baik di masa hidup pemberi wasiat maupun setelah meninggalnya. Ia juga berhak melepaskan tawaran itu kapan saja baik di masa hidup pemberi wasiat maupun setelah meninggalnya. Demikian juga pemberi wasiat berhak memecatnya kapan saja ia mau, karena ia sebagai wakilnya.
Dan disyaratkan untuk sahnya iishaa (pesan) harus dalam tindakan yang ma'lum (diketahui) agar mushaa ilaih dapat menjalankannya, dan sah bagi pemberi wasiat mengerjakannya, seperti membayarkan hutangnya, memisahkan sepertiganya, dan memperhatikan anak-anaknya, dsb.
Ukuran harta yang dianjurkan dalam memberikan wasiat
Ibnu Abdil Bar berkata, "Kaum salaf berbeda pendapat tentang ukuran harta yang dianjurkan berwasiat padanya, atau wajib berwasiat bagi orang yang berpendapat wajib. Diriwayatkan dari Ali radhiyallahu 'anhu ia berkata, "600 dirham atau 700 dirham bukanlah harta yang di sana perlu berwasiat." Dan diriwayatkan darinya bahwa 1000 dirham merupakan harta yang bisa dilakukan wasiat.
Ibnu Abbas berkata, "Tidak ada wasiat pada harta 800 dirham."
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata tentang wanita yang memiliki empat anak dan ia memiliki 3000 dirham bahwa tidak ada wasiat pada hartanya.
Sedangkan Ibrahim An nakha'iy berkata, "1000 dirham sampai 500 dirham (ada wasiat)."
Qatadah berkata tentang ayat,
إِنْ تَرَكَ خَيْرًا
Artinya: jika ia meninggalkan harta,
yaitu jika sampai 1000 dirham ke atas.
Sedangkan dari Ali radhiyallahu 'anhu, bahwa baran gsiapa yang meninggalkan harta sedikit, maka hendaknya ia meninggalkannya untuk ahli warisnya saja, itulah yang lebih utama."
Sedangkan dari Aisayh radhiyallahu 'anha tentang orang yang meninggalkan 300 dirham, maka ia dianggap tidak meninggalkan harta, sehingga tidak perlu berwasiat."
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah, dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger