بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Puasa Syawwal
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ, ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ
“Barang
siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari di
bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun.” (HR. Jama’ah ahli hadits
selain Bukhari dan Nasa’i)
Hadits ini menunjukkan dianjurkannya puasa
enam hari di bulan Syawwal. Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Ahmad, Imam
Syafi’i dan lainnya. Namun Imam Malik mengatakan makruh, menurut Ibnu Abdil Bar
Imam Malik berpendapat begitu karena belum sampai hadits ini kepadanya.
Imam Nawawiy dalam Syarh Muslim berkata,
“Sahabat-sahabat kami (yang semadzhab) berkata, “Afdhalnya melakukan puasa enam
hari secara berturut-turut setelah Idul Fithri (yakni dimulai pada tanggal 2
Syawwal)”. mereka juga berkata, “Kalau pun tidak
berturut-turut atau ditunda tidak di awal-awal bulan Syawwal, tetapi di
akhirnya maka ia tetap mendapatkan keutamaan “mengiringi”, karena masih bisa
dikatakan “mengiringi dengan enam hari di bulan Syawwal.”
Ini adalah karunia dari Allah dan
kemurahan-Nya, dengan umur kita yang sedikit, namun jika mengerjakan amalan
ini, kita dianggap berpuasa selama setahun. Sungguh sangat beruntung orang yang
memanfaatkan kesempatan ini untuk berpuasa sebelum habis waktunya.
Saudaraku, sesungguhnya Allah Ta’ala
apabila menerima amal seorang hamba, maka Dia akan memberikan taufiq
(membantunya) untuk mengerjakan amal salih lainnya.
Beberapa
masalah yang berkaitan dengan puasa Syawwal
q Para fuqaha
(ahli fiqh) berselisih tentang hukum melakukan puasa sunnah sedangkan
puasa Ramadhan belum diqadha'nya’ hingga
timbul 3 pendapat:
a. Tidak
apa-apa melakukan puasa sunnah meskipun belum mengqadha' puasa Ramadhan. Ini
adalah pendapat madzhab Hanafiyyah. Di antara alasannya adalah penjelasan
Aisyah radhiyallahu 'anha yang melakukan qadha' puasanya di bulan Sya'ban, dan
tidak mungkin antara bulan Ramadhan sebelumnya dengan bulan Sya'ban ia tidak
melakukan puasa sunat, wallahu a'lam.
b. Tidak
mengapa tetapi makruh, karena sama saja ia menunda yang wajib. Ini pendapat
madzhab Maalikiyyah dan Syaafi'iyyah.
c. Haram
melakukan puasa sunnah jika puasa Ramadhan belum diqadha' dan tidak sah
puasanya, ia harus mengerjakan puasa wajib lebih dahulu lalu berpuasa sunnah. Ini
madzhab Hanabilah.
Oleh karena itu, sebaiknya jika kita hendak berpuasa sunnah,
hendaknya kita kerjakan dahulu puasa yang wajib yang belum diqadha’, setelah
itu mengerjakan puasa sunnah.
q Di antara ahli ilmu ada yang berpendapat
bahwa wanita yang nifas, jika ia tidak berpuasa Ramadhan hampir sebulan penuh,
maka ia kerjakan puasa Ramadhan dahulu, kemudian mengerjakan puasa Syawwal,
meskipun sebagian puasa Syawwal ia kerjakan di bulan Dzulqa’dah, karena habis
terisi dengan qadha’ puasa Ramadhan yang dikerjakannya.
q Masing-masing ibadah termasuk puasa wajib
disertai niat, untuk puasa wajib, niat harus sudah ada sebelum terbit fajar,
namun untuk puasa sunnah, niatnya boleh setelah terbit fajar. Dan niat ini
tempatnya di hati, bukan di lisan.
Hikmah Puasa Syawwal
Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
"Kembali berpuasa setelah Ramadhan
memiliki banyak faedah, di antaranya:
1. Puasa enam hari di bulan Syawwal setelah
Ramadhan menjadikan pahala orang yang berpuasa sempurna seperti puasa setahun.
2. Puasa Syawwal dan Sya'ban seperti shalat
sunah rawatib sebelum shalat fardhu dan setelahnya, sehingga dapat
menyempurnakan kekurangan pada shalat fardhu, karena kekurangan pada shalat
fardhu dapat ditutupi atau disempurnakan dengan shalat sunah pada hari Kiamat.
3. kembali berpuasa setelah puasa Ramadhan
merupakan tanda diterima puasa Ramadhan, karena apabila Allah menerima amal
seorang hamba, Dia memberinya taufik untuk beramal saleh lagi setelahnya
sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama bahwa, pahala kebaikan adalah
kebaikan lagi setelahnya.
4. Puasa Ramadhan dapat menghapuskan dosa
yang telah lalu, dan bahwa orang-orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan
pahala sempurna saat Idul Fitri, sehingga kembali berpuasa setelah Idul Fitri
merupakan tanda syukur terhadap nikmat itu, dan tidak ada nikmat yang lebih
besar daripada diampuni dosa.
Nabi shallallahu alaihi Wasallam ketika
qiyamullail sampai bengkak kedua kakinya lalu ditanya, "Mengapa engkau
melakukan hal ini padahal dosamu yang lalu dan akan datang telah
diampuni?" Beliau bersabda, "Tidak patutkah aku menjadi hamba yang
banyak bersyukur?!"
5. Termasuk bentuk syukur seorang hamba kepada
Rabbnya karena diberi-Nya taufik untuk berpuasa Ramadhan, dibantu-Nya, serta
diampuni dosa-dosanya adalah dia melakukan puasa sebagai bentuk syukur
terhadapnya."
(Latha'iful Ma'arif hal. 219)
Fatwa
Lajnah daa’imah yang berkaitan dengan puasa Syawwal dan puasa sunat lainnya
Ketua : Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
Wakil : Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afiifiy
Anggota : Syaikh Abdulllah bin Ghudayyan
Anggota : Syaikh Abdullah bin Qu’uud
Fatwa no. 2264
Pertanyaan: “Apakah orang yang berpuasa
enam hari di bulan Syawwal, namun ia belum menyempurnakan puasa Ramadhannya,
misalnya ia tidak berpuasa Ramadhan selama sepuluh hari karena uzur
syar’i, apakah ia mendapatkan pahala
seperti orang yang menyempurnakan puasa Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan
enam hari di bulan Syawwal yang pahalanya seperti orang yang berpuasa setahun
penuh, berikanlah penjelasan, semoga Allah membalas anda?”
Jawab, “Urusan pahala yang dikerjakan hamba
itu kembalinya kepada Allah, ini adalah hak khusus bagi Allah ‘Azza wa Jalla,
dan seorang hamba apabila berusaha mencari pahala dan bersungguh-sungguh
menjalankan ketaatan, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan pahalanya
sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami tidak akan
menyia-nyiakan pahala orang yang memperbaiki amalnya.” (Terj. QS. Al Kahfi: 30)
Namun seharusnya bagi orang yang memiliki
hutang puasa Ramadhan, hendaknya mendahulukan (qadha’ puasa Ramadhan), kemudian
puasa enam hari di bulan Syawwal, karena hal tersebut tidak termasuk
(dikatakan) mengiringi Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal,
kecuali jika ia menyempurnakan puasa (Ramadhan)nya.”
Wa
billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa
shahbihi wa sallam
Fatwa no. 10195
Pertanyaan: “Apa hukum orang yang puasa sunat,
kemudian di tengah-tengah puasanya ia berbuka, apakah dia wajib melakukan
sesuatu?”
Jawab, “Bagi orang yang berpuasa sunat
boleh berbuka di tengah-tengah puasanya, karena orang yang berpuasa sunat
diberikan pilihan (antara berpuasa atau tidak) sebelum memulai puasa, sehingga
setelah memulai puasa, ia pun tetap diberikan pilihan.”
Wa
billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa
shahbihi wa sallam
Fatwa no. 2232
Pertanyaan, “Orang yang memiliki hutang
puasa, namun ia malah mengerjakan puasa sunat sebelum mengqadha’ puasa wajibnya
itu, lalu setelahnya ia mengqadha’, apakah (qadha’nya) itu sah?”
Jawab, “Orang yang berpuasa sunat sebelum
mengqadha’ puasa wajibnya, setelah itu ia mengqadha’, maka qadha’nya sah.
Tetapi seharusnya, dia mengqadha’ dahulu, setelah itu melakukan puasa sunat,
karena yang wajib itu lebih penting.”
Wa
billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa
shahbihi wa sallam
Fatwa no. 6497
Pertanyaan: “Bolehkah berpuasa sunat dengan
dua niat; niat mengqadha’ (puasa wajib) dan niat mengerjakan puasa sunat, dan
apa hukum berpuasa bagi musafir dan orang yang sakit, khususnya yang dianggap
secara mutlak sebagai safar dikatakan safar, juga (bagaimana) jika si musafir sanggup
berpuasa, dan juga jika si sakit sanggup berpuasa, apakah dalam kondisi ini
puasanya diterima atau tidak?”
Jawab, “Tidak boleh berpuasa sunat dengan
dua niat; niat mengqadha’ dan niat puasa sunat. Yang utama bagi musafir yang
melakukan safar yang membolehkan mengqashar adalah berbuka, tetapi kalau pun berpuasa,
maka sah. Demikian juga lebih utama bagi orang yang terasa berat dan bisa
menambah parah sakitnya untuk berbuka, demi menghindarkan kepayahan dan bahaya.
Musafir serta orang yang sakit wajib mengqadha’ puasa Ramadhan yang ia berbuka
itu di hari-hari yang lain, tetapi kalau pun ia memaksakan diri untuk puasa,
maka puasanya sah.”
Wa
billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa
shahbihi wa sallam.
Fatwa no. 12128
Pertanyaan, “Hari-hari apa saja yang lebih
baik untuk berpuasa sunat, dan bulan apa saja yang paling utama untuk
mengeluarkan zakat?”
Jawab: “Hari yang paling utama untuk
berpuasa sunat adalah hari Senin dan Kamis, Ayyamul Biedh yaitu tanggal 13, 14
dan 15 setiap bulan (Hijriah), sepuluh hari bulan Dzulhijjah, khususnya hari
‘Arafah, tanggal sepuluh bulan Muharram dengan berpuasa sehari sebelumnya atau
sehari setelahnya dan puasa enam hari di bulan Syawwal.
Adapun untuk zakat, maka ia dikeluarkan jika
sudah sempurna satu tahun ketika sudah sampai nishabnya di bulan apa saja.”
Wa
billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa
shahbihi wa sallam.
Fatwa no. 13700
Pertanyaan: “Bolehkah berpuasa ‘Asyura (10
Muharram) hanya sehari saja?”
Jawab: “Boleh berpuasa ‘Asyura sehari saja,
akan tetapi yang lebih utama adalah berpuasa juga sehari sebelumnya atau sehari
sesudahnya, ini adalah Sunnah yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
berdasarkan sabda Beliau:
لَئِنْ بَقِيْتُ إِلىَ قَابِلٍ لَأَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ
“Sungguh,
jika saya masih hidup tahun depan, niscaya saya akan berpuasa pada tanggal
sembilan.”
Ibnu Abbas mengatakan, “Yakni dengan
sepuluhnya.”
Fatwa no. 2014
Pertanyaan: “Saya berpuasa tiga hari setiap
bulan, di salah satu bulan saya sakit, sehingga tidak bisa berpuasa, apakah
saya mesti qadha’ atau membayar kaffarat?”
Jawab: “Puasa sunat tidak diqadha’ meskipun
meninggalkannya atas keinginan sendiri, hanya saja bagi seseorang selayaknya
menjaga amal salih yang biasa dikerjakannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam,
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلىَ اللهِ مَاداَوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَإِنْ قَلَّ
“Amalan
yang paling dicintai Allah adalah yang senantiasa dikerjakan meskipun sedikit.”
Oleh karena itu, anda tidak mesti
mengqadha’, juga tidak perlu membayar kaffarat, dan perlu diketahui bahwa amal
salih yang ditinggalkan seorang hamba karena sakit atau tidak sanggup ataupun
karena sedang safar dsb, akan dicatat pahalanya, berdasarkan hadits,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْماً صَحِيْحاً
“Apabila
seorang hamba sakit atau bersafar, maka akan dicatat untuknya pahala seperti
yang biasa dikerjakannya ketika tidak safar dan sehat.” (HR. Bukhari dalam shahihnya)
Wa
billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi
wa sallam.
Fatwa no. 13589
Pertanyaan: “Saya seorang wanita yang ingin
berpuasa tiga hari pada setiap bulan, akan tetapi saya tidak bisa berpuasa
tanggal 13, 14 dan 15, karena saya wanita yang terkadang datang bulan dan
nifas, bolehkah saya berpuasa hari apa saja tanpa harus tanggal 13, 14 dan 15?
Dan apabila saya kerjakan di hari apa saja setiap bulan, apakah bisa dianggap
puasa setahun atau tidak? -semoga Allah
membalas anda-”
Jawab, “Yang paling utama bagi yang hendak
berpuasa tiga hari di setiap bulan adalah pada Ayyaamul biidh (tanggal 13, 14
dan 15), namun kalaupun pada hari yang lain, maka tidak apa-apa, kami berharap
hal tersebut dianggap puasa setahun, karena satu kebaikan dilipatgandakan
menjadi sepuluh, juga karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan kepada
Abu Hurairah dan Abud Dardaa’ untuk berpuasa tiga hari di setiap bulan, tidak
menentukan harus Ayyaamul biidh, demikian juga karena Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam pernah berkata kepada Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu 'anhuma,
صُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ
“Berpuasalah
tiga hari dalam setiap bulan, itu adalah puasa setahun.”
Wa
billahit taufiiq, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa
shahbihi wa sallam.
Fatwa no.11507
Pertanyaan, “Ada orang yang memiliki kebiasaan tahunan, ia
berpuasa tiga hari bulan Sya’ban yaitu pada Ayyaamul biidh, pada malam ke lima belas Sya’ban ia
menyembelih seekor sembelihan sebagai sedekah, saya minta penjelasan tentang
hukumnya agar lebih lengkap dalam menasehatinya atau lebih kuat?”
Jawab, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
memang mendorong berpuasa tiga hari Ayyaamul biedh setiap bulan sebagai amal
sunat, namun tidak menentukan bulan ini saja, bulan yang lain tidak, selain
Ramadhan sebagaimana sudah kita ketahui. Oleh karena itu pengkhususan Anda
hanya berpuasa di bulan Sya’ban saja menyalahi keumuman Sunnah yang menunjukkan
tidak khusus (bulan tertentu). Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga
mendorong ummatnya untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dengan melakukan
kurban sunat tanpa menentukan hari atau bulan, Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman,
Katakanlah, Sesungguhnya shalatku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (terj. Al
An’aam: 162)
Oleh karena itu, kebiasaan anda melakukan
taqarrub dengan melakukan penyembelihan pada malam ke-15 adalah bid’ah,
mengkhususkan sesuatu tanpa dalil, dan telah sah dari Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, bahwa Beliau bersabda, “Barang siapa yang mengerjakan amalan yang
tidak kami perintahkan, maka amalan itu tertolak.”, dan Beliau bersabda, “Barang
siapa yang mengadakan dalam urusan agama kami ini, yang tidak termasuk di
dalamnya, maka hal itu tertolak.”
Wa billahit taufiiq, wa shallallahu
‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraaji’: Subulus Salaam (M. Bin Ismail Ash Shon’ani),
Nailul Awthaar (M. Bin Ali Asy Syaukani), Masaa’il muhimmah tata’allaq
bishiyaamiss sitti min Syawwal (Al Muslim bin Al Muslim), Mausuu’ah
fataawaal lajnatid daa’imah wal imaamain (by. Islam.spirit).
0 komentar:
Posting Komentar