بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Syuf’ah (bag. 1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan pembahasan tentang syuf’ah, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
A. Ta’rif
Syuf’ah dan hukumnya
Syuf’ah secara
bahasa diambil dari kata syaf’, yang artinya pasangan. Syuf’ah adalah hal yang
sudah dikenal oleh orang-orang Arab pada zaman Jahiliiyyah. Dahulu seseorang
jika hendak menjual rumah atau kebunnya, maka tetangga, kawan serikat atau
kawannya datang mensyuf’ahnya, dijadikannya ia sebagai orang yang lebih berhak
membeli bagian itu. Dari sinilah disebut Syuf’ah, dan orang yang meminta
syuf’ah disebut syafii’. Ada yang mengatakan, bahwa dinamakan
syuf’ah karena pemiliknya menggabung sesuatu yang dijual kepada miliknya,
sehingga menjadi sepasang setelah sebelumnya terpisah.
Syuf’ah menurut
fuqaha (ahli fiqh) adalah keberhakan kawan sekutu mengambil bagian kawan
sekutunya dengan ganti harta (bayaran), lalu syafii’ mengambil bagian kawan sekutunya yang telah
menjual dengan pembayaran yang telah tetap dalam akad.
Syuf’ah ini tsabit
(sah) berdasarkan As Sunnah dan Ijma’. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَالٍ لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا
وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
“Bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum
dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka
tidak ada lagi syuf’ah.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
جَارُ الدَّارِ أَحَقُّ بِالدَّارِ
“Tetangga rumah lebih berhak dengan rumahnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud.
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ no. 1539).
Para ulama juga telah sepakat tentang tetapnya hak syuf’ah bagi sekutu yang
belum melakukan pembagian pada sesuatu yang dijual, baik berupa tanah, rumah
maupun kebun.
B. Hikmah syuf’ah
Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan
pertengkaran yang mungkin sekali timbul. Hal itu, karena hak milik syafii’
terhadap harta yang dijual yang hendak dibeli oleh orang lain menolak adanya madharat
yang mungkin timbul dari orang lain tersebut. Imam Syafi’i lebih memilih bahwa
bahaya tersebut adalah bahaya biaya pembagian, peralatan baru dsb. Ada yang
mengatakan bahwa bahaya tersebut adalah bahaya tidak baiknya persekutuan.
Ibnul Qayyim berkata,
“Di antara keindahan syari’at, keadilannya dan berusaha menegakkan maslahat
hamba adalah mengadakan syuf’ah. Karena hikmah syari’ menghendaki dihilangkan
madharrat dari kaum mukallaf semampu mungkin. Oleh karena serikat (bersekutu)
itu biasanya sumber madharrat, maka dihilangkanlah madharrat itu dengan
dibagikan atau dengan syuf’ah. Jika ia ingin menjual bagiannya dan mengambil
ganti, maka kawan serikatnya itulah yang lebih berhak daripada orang lain,
dapat menghilangkan madharat dari serikat itu dan tidak merugikan penjual,
karena akan menghubungkan kepada haknya berupa bayaran. Oleh karena itu,
syuf’ah termasuk di antara keadilan yang sangat besar dan hukum terbaik yang
sejalan dengan akal, fitrah dan maslahat hamba.”
C. Objek syuf’ah
Objek syuf’ah
adalah tanah yang belum dibagi-bagi, diikuti pula dengan apa yang ada di
dalamnya berupa pepohonan dan bangunan. Jika tanahnya sudah dibagi-bagi, tetapi
masih ada perlengkapan yang diserikati antara beberapa tetangga, seperti jalan,
air, dan sebagainya, maka menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama
bahwa syuf’ah tetap berlaku. Hal ini berdasarkan mafhum sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika batasannya telah ditentukan dan jalan
telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.” Sehingga jika jalan belum
diatur, maka syuf’ah masih berlaku.
Imam Bukhari
meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah
قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَالٍ لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا
وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
“Bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum
dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka
tidak ada lagi syuf’ah.
Syaikh Taqiyyuddin
berkata, “Syuf’ah tetangga tetap berlaku ketika terjadi persekutuan dalam
sebuah hak di antara hak-hak kepemilikan, seperti jalan, air, dan sebagainya.
Hal ini disebutkan oleh Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu ‘Aqil, Abu Muhammad dan
lain-lain. Al Haritsi berkata, “Inilah yang harus dipegang dan di dalamnya
terdapat sikap menggabung hadits-hadits yang ada. Hal itu, karena tetangga tidaklah menghendaki
adanya syuf’ah kecuali jika jalannya satu dan semisalnya. Di samping itu,
syariat syuf’ah adalah untuk menolak madharat, dan madharat itu biasanya
terjadi ketika ada percampuran pada sesuatu yang dimiliki, atau dalam hal jalan
dan semisalnya.”
D. Syuf’ah
bagi kafir dzimmiy
Sebagaimana syuf’ah
berlaku bagi setiap muslim, maka berlaku juga bagi kafir dzimmiy menurut jumhur
fuqaha’. Namun menurut Imam Ahmad, Al Hasan dan Asy Sya’biy, bahwa syuf’ah
tidak berlaku bagi dzimmiy berdasarkan hadits riwayat Daruquthni dari Anas secara marfu’:
لاَشُفْعَةَ لِنَصْرَانِيٍّ
“Tidak
ada sytuf’ah bagi orang nasrani.” (Al Haitsamiy dalam
Al Majma’ berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Ash Shaghiir, dan dalam
sanadnya terdapat Na’il bin Najih, ia ditsiqahkan oleh Abu Hatim dan didha’ifan
oleh yang lain.” Di antara yang mendha’ifkannya adalah Al Hafizh Ibnu Hajar dan
Adz Dzahabi).
E. Meminta
izin kepada kawan sekutu ketika hendak menjual
Bagi kawan sekutu
wajib meminta izin kepada kawan sekutunya yang lain sebelum dilakukan
penjualan. Jika ternyata langsung dijual tanpa izinnya, maka dia lebih berhak
daripada yang lain. Tetapi jika kawan sekutunya mengizinkan dijual (kepada yang
lain) dan berkata, “Saya tidak butuh terhadapnya,”
maka setelahnya kawan sekutu tidak dapat menuntut lagi. Inilah ketetapan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam.
Imam Muslim
meriwayatkan dari Jabir ia berkata:
قَضَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالشُّفْعَةِ
فِى كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رَبْعَةٍ أَوْ حَائِطٍ. لاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ
يَبِيعَ حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ فَإِنْ شَاءَ أَخَذَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ
فَإِذَا بَاعَ وَلَمْ يُؤْذِنْهُ فَهْوَ أَحَقُّ بِهِ.
“Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah dalam semua persekutuan yang
belum dibagi; baik rumah maupun kebun, tidak halal bagi seseorang menjualnya
sampai memberitahukan kawan sekutunya. Jika ia mau, ia berhak
mengambil dan jika mau, ia berhak
ditinggalkan. Apabila dijual, namun belum memberitahukannya,
maka ia lebih berhak terhadapnya.”
Dari Jabir juga ia
berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ شَرِيكٌ فِى رَبْعَةٍ أَوْ نَخْلٍ فَلَيْسَ
لَهُ أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ فَإِنْ رَضِىَ أَخَذَ وَإِنْ كَرِهَ
تَرَكَ
“Barang siapa
yang memiliki bagian pada sebuah rumah atau
pohon kurma, maka ia tidak berhak menjualnya sampai memberitahukan
kawan sekutunya. Jika ia suka, ia
berhak mengambilnya dan jika ia tidak mau,
maka ia tinggalkan.
(HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan tidak halalnya melakukan penjualan sebelum ia
tawarkan kepada kawan sekutunya.
Ibnu Hazm berkata, “Tidak halal bagi seorang yang memiliki hal itu langsung
menjualnya sampai ia tawarkan kepada sekutunya atau para sekutunya. Jika sekutunya mau
mengambilnya dengan harga seperti orang lain, maka sekutu lebih berhak. Jika
ternyata ia tidak mau (membelinya), maka gugur haknya dan ia tidak berhak lagi
setelahnya apabila telah dijual kepada pembelinya. Tetapi, jika ia belum
menawarkan (kepada kawan sekutu) seperti yang telah kami terangkan, ia pun
langsung menjual kepada selain kawan sekutu, maka sekutunya berhak khiyar antara
meneruskan jual beli itu atau membatalkannya dan mengambil bagian itu untuk
dirinya dengan harganya.”
Ibnul Qayyim berkata,
“Haram bagi sekutu menjual bagiannya sampai diizinkan kawan sekutunya. Jika
ternyata dijual tanpa izinnya, maka ia lebih berhak, namun jika diizinkannya
untuk dijual dan kawan sekutunya itu mengatakan, “Saya tidak perlu lagi pada
bagian ini,” maka sekutu ini tidak bisa lagi menuntut setelah dijual. Ini
adalah konsekwensi hukum syara’ dan tidak ada penentangnya dari sisi (apa pun),
dan inilah yang benar sekali.”
Apa yang dikatakan Ibnul Qayyim di atas, yakni bahwa syuf’ah menjadi gugur
ketika pemilik syuf’ah menggugurkannya sebelum dilakukan jual beli merupakan
salah satu di antara dua pendapat dalam masalah ini, adapun menurut yang lain,
dimana ini adalah pendapat jumhur, bahwa syuf’ah tidaklah gugur dengannya, dan
izin menjualnya tidaklah membatalkannya, wallahu a’lam.
Sebagian ulama, di
antaranya adalah ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa perintah tersebut
hanyalah sebagai anjuran. Imam Nawawi berkata, “Hal itu menurut kawan-kawan
kami menunjukkan sunat untuk memberitahukannya dan makruhnya dijual sebelum
diberitahukan, namun tidak haram.”
F. Usaha
helat (mencari celah) untuk menggugurkan syuf’ah
Tidak diperbolehkan
mencari celah untuk menggugurklan syuf’ah, karena perbuatan tersebut
membatalkan hak seorang muslim. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah
secara marfu’:
لاَ تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُوْدُ فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ
اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلَ
“Janganlah kalian
melakukan seperti yang dilakukan orang-orang yahudi, sehingga mereka
menghalalkan apa yang dilarang Allah dengan celah yang kecil.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu ‘Abdillah Ibnu Baththah. Menurut
Ibnu Katsir, isnadnya adalah jayyid, salah seorang perawinya yaitu Ahmad bin
Muhammad bin Muslim ditsiqahkan oleh Abu Bakar Al Baghdadiy, sedangkan
perawinya yang lain masyhur sesuai syarat shahih, wallahu a’lam, lihat tafsir
Ibnu Katsir pada surat Al Baqarah: 66).
Ini pula madzhab
Malik dan Ahmad. Sedangkan Abu Hanifah dan Imam Syafi’I membolehkan helat.
Namun madzhab kami
bahwa helat dalam syuf’ah adalah haram berdasarkan hadits di atas. Syaikh Shalih Al fauzan berkata, “Syuf’ah adalah hak syar’i, wajib dimuliakan dan haram mencari celah
untuk menggugurkannya, karena syuf’ah itu disyari’atkan untuk menolak bahaya
yang menimpa kawan sekutu. Oleh karena itu, jika dicari celah untuk
menggugurkannya, maka ia akan mendapatkan bahaya dan sama saja melampaui haknya
yang masyru’ (disyari’atkan). Imam Ahmad berkata, “Tidak boleh satu pun
mencari celah (helat) untuk membatalkan syuf’ah dan membatalkan hak seorang
muslim.”
Di antara helat
yang kadang dilakukan untuk menggugurkan syuf’ah adalah menampakkan bahwa ia
telah menghibahkan bagiannya kepada orang lain, padahal sebenarnya telah
menjualnya. Termasuk juga helat untuk membatalkan syuf’ah adalah menaikkan
harga secara zhahir, sehingga kawan sekutunya tidak bisa membayarnya.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Tindakan apa saja yang diketahui di atas dasar helat
(cari celah) untuk menggugurkan syuf’ah, maka ini batal dan hakikat akad itu
tidaklah berubah dengan berbedanya ungkapan.”
Berambung…dst.
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al
Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Fiqh Muyassar, dll.
0 komentar:
Posting Komentar