Mengqadha Shalat

Selasa, 29 Mei 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫قضاء الصلاة‬‎
Mengqadha Shalat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang mengqadha shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Mengqadha Shalat
Mengqadha shalat maksudnya melaksanakan shalat setelah lewat waktunya.
Para ulama sepakat, bahwa mengqadha shalat hukumnya wajib bagi orang yang lupa dan tidur berdasarkan sabda Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam,
«إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي اليَقَظَةِ، فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا»
 “Sesungguhnya tidur itu bukan meremehkan. Meremehkan hanyalah ketika jaga (tidak tidur). Jika salah seorang di antara kamu lupa shalat atau tertidur, maka hendaklah ia shalat ketika ingat.” (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Orang yang pingsan tidak perlu mengqadha, kecuali jika ia sadar di saat masih ada waktu untuk melakukan wudhu dan masuk ke dalam shalat.
Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Nafi, bahwa Ibnu Umar suatu kali merasakan sakit yang membuat dirinya tidak sadar hingga ia meninggalkan shalat. Ketika ia sadar, maka ia tidak melakukan shalat yang ditinggalkannya.
Dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa apabila orang yang sakit pingsan, lalu sadar, maka ia tidak perlu mengulangi (mengqadha) shalatnya.
Ma’mar berkata, “Aku pernah bertanya kepada Az Zuhri tentang orang yang pingsan, ia menjawab, “Tidak perlu mengqadha.”
Dari Hammad bin Salamah, dari Yunus bin Ubaid, dari Al Hasan Al Bashri dan Muhammad bin Sirin, bahwa keduanya menyatakan tentang orang yang pingsan, “Dia tidak perlu mengulang (mengqadha) shalat yang ketinggalan olehnya selama pingsannya itu.”
Adapun orang yang sengaja meninggalkan shalat, maka menurut jumhur ulama, bahwa ia berdosa, dan ia harus mengqadha.
Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tidak disyariatkan mengqadha, dan tidak sah, bahkan hendaknya ia memperbanyak shalat sunah.”
Ibnu Hazm membahas secara mendalam tentang masalah ini, dan berikut ringkasannya:
Orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga lewat waktunya tidak bisa diqadha selamanya. Akan tetapi, hendaknya ia memperbanyak amalan kebaikan dan shalat sunah agar timbangan kebaikannya berat pada hari Kiamat, dan hendaknya ia bertaubat serta beristighfar kepada Allah Azza wa Jalla.
Akan tetapi, menurut Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i, bahwa orang itu harus mengqadhanya meskipun telah lewat waktunya. Bahkan Malik dan Abu Hanifah berpendapat, barang siapa yang sengaja meninggalkan shalat atau beberapa shalat, maka ia harus melakukannya sebelum tiba waktu shalat berikutnya jika yang sengaja ia tinggalkan adalah lima kali atau kurang dari itu baik waktu yang hadir itu sudah lewat atau belum. Apabila yang ia tinggalkan lebih dari lima kali shalat, maka ia memulai shalat yang hadir waktunya. (Demikian pendapat para imam).
Bukti benarnya pendapat kami (Ibnu Hazm tentang tidak perlu mengqadha), adalah firman Allah Ta’ala,
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,--(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,” (Qs. Al Maa’un: 4-5)
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, mereka kelak akan menemui kesesatan,” (Qs. Maryam: 59)
Jika sekiranya orang yang sengaja meninggalkan shalat masih dapat melakukan shalat setelah lewat waktunya tentu ia tidak akan diancam dengan ‘wail’ (kecelakaan) dan tidak akan diancam dengan ‘menemui kesesatan’ sebagaimana ‘wail’ dan ‘kesesatan’ tidak tertuju kepada orang yang menundanya hingga akhir waktunya dimana ia dapat mengejarnya.
Di samping itu, Allah Ta’ala telah menjadikan untuk setiap shalat fardhu waktu yang telah ditetapkan awal dan akhirnya; masuk kapan waktunya dan akan batal di waktu tertentu, sehingga tidak ada perbedaan antara orang yang shalat sebelum tiba waktunya dan setelah lewat waktunya, karena keduanya shalat di luar waktu, dan ini bukanlah maksudnya mengqiaskan yang satu dengan yang lain, bahkan keduanya sama dalam hal melampaui batasan Allah Azza wa Jalla, Dia berfirman,
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
“Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”  (Qs. Ath Thalaq: 1)
Selain itu qadha juga penetapan kewajiban yang syar’i, sedangkan syara tidak boleh ditetapkan selain oleh Allah Azza wa Jalla melalui lisan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kami bertanya kepada orang yang mewajibkan qadha bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, ‘Beritahukanlah kepada kami shalat yang engkau perintahkan untuk dikerjakan; apakah termasuk yang diperintahkan Allah atau tidak?’ Jika mereka mengatakan bahwa yang memerintahkan adalah syara, maka kami katakan, “Kalau demikian, orang yang sengaja meninggalkannya bukanlah orang yang berbuat maksiat, karena dia telah mengerjakan perintah Allah Azza wa Jalla, dan tidak berdosa –jika melihat pendapat kalian- serta tidak ada celaan bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga lewat waktunya. Tentunya hal ini tidak akan diucapkan oleh seorang muslim.
Jika mereka mengatakan, “Itu bukan termasuk yang diperintahkan Allah Ta’ala.”  Maka kita katakan, “Kalian benar.”
Dengan demikian, jawaban ini sudah cukup kalau mereka mau mengakui, bahwa yang mereka perintahkan bukanlah perintah Allah Azza wa Jalla.
Selanjutnya kami bertanya kepada mereka tentang orang yang sengaja meninggalkan shalat setelah lewat waktunya, “Apakah hal itu merupakan ketaatan atau kemaksiatan?” Jika mereka mengatakan sebuah ketaatan, maka berarti mereka telah menyelisihi ijma kaum muslimin semuanya yang telah pasti serta menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih, dan jika mereka mengatakan, bahwa itu adalah maksiat, maka mereka benar, dan termasuk hal yang batil jika kemaksiatan menggantikan ketaatan.
Selain itu, Allah Ta’ala juga telah menetapkan waktu-waktu shalat melalui lisan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan menjadikan shalat pada waktunya masing-masing; bukan sebelum dan bukan setelahnya. Hal ini termasuk hal yang tidak diperselisihkan oleh seorang pun dari umat ini. Kalau sekiranya boleh mengerjakan shalat setelah lewat waktunya tentu tidak ada faedahnya Rasulullah shalallallahu alaihi wa sallam menentukan akhir waktunya, dan hanya ucapan sia-sia, Mahasuci Allah dari hal tersebut.
Di samping itu, semua amal dikaitkan dengan waktu tertentu yang tidak sah di luar waktunya. Jika sah di luar waktunya, maka berarti waktu-waktu itu bukanlah waktunya, dan ini cukup jelas, wa billahit taufiq.
Selanjutnya Ibnu Hazm –setelah berbicara secara panjang lebar- berkata, “Kalau sekiranya mengqadha shalat itu wajib bagi orang yang meninggalkan shalat setelah lewat waktunya, tentu Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam tidak akan membiarkannya dan pasti akan menerangkannya, padahal Dia tidak pernah lupa, dan syariat yang tidak ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah batil.
Telah shahih dari Nabi shalllallahu alaihi wa sallam, bahwa barang siapa yang tertinggal dari shalat Ashar, maka seakan-akan ia kehilangan keluarga dan hartanya, sehingga benarlah bahwa orang yang telah tertinggal itu tidak bisa mengejarnya. Jika ia bisa melakukan yang telah luput itu, sebagaimana orang yang lupa, maka berarti bukan luput. Hal ini tidak perlu dipermasalahkan lagi, umat juga sepakat bahwa shalat itu apabila telah lewat waktunya berarti ia telah luput berdasarkan ijma yang telah yakin, dan jika masih bisa diqadha dan dilakukan, berarti pernyataan shalat itu telah luput adalah dusta dan batil. Maka dapat dipastikan, bahwa tidak mungkin mengqadha shalat selamanya.
Di antara ulama yang sependapat dengan kami adalah Umar bin Khaththab dan puteranya Abdullah, Sa’ad bin Abi waqqash, Salman Al Farisi, Ibnu Mas’ud. Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Badil Al Uqailiy,  Muhammad bin Sirin, Mutfharrif bin Abdullah, Umar bin Abdul Aziz, dan lain-lain.
Ibnu Hazm juga menyatakan, bahwa Allah Ta’ala sama sekali tidak memberikan udzur menunda shalat hingga lewat waktunya bagi mereka yang diperintahkan shalat dalam keadaan bagaimana pun, baik dalam pertempuran atau peperangan, kondisi mengkhawatirkan, sakit, atau safar. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu…dst. (Qs. An Nisaa: 102)
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.“ (Qs. Al Baqarah: 239)
Allah tidak memberikan kesempatan menunda shalat hingga lewat waktunya bagi orang yang sakit betapa pun berat sakitnya, bahkan Dia memerintahkan bahwa jika orang sakit tidak sanggup berdiri, boleh shalat sambil duduk, jika tidak sanggup duduk, boleh shalat sambil berbaring, dan boleh dengan tayammum jika tidak ada air, dan boleh pula tanpa tayammum jika tidak mampu menggunakan debu. Di manakah keterangan yang membolehkan meninggalkan shalat sampai lewat waktunya, lalu ia menyuruhnya mengqadha shalat setelah lewat waktu, dan menyatakan bahwa hal itu cukup? Hal ini tidak dijumpai baik dalam Al Qur’an, As Sunnah yang shahih maupun yang dhaif, pendapat sahabat, maupun qiyas.
Ibnu Hazm melanjutkan pernyataannya, adapun pendapat kami bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga lewat waktunya harus bertaubat, memohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla, serta memperbanyak amalan sunat, maka berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا (60)
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, mereka kelak akan menemui kesesatan,--Kecuali orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun,” (Qs. Maryam: 59-60)
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (Qs. Ali Imran: 135)
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.--Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Qs. Az Zalzalah: 7-8)
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikitpun.” (Qs. Al Anbiya: 47)
Para ulama juga telah sepakat, dan itu pula yang ditunjukkan oleh nash-nash seluruhnya, yaitu bahwa amalan sunah memiliki kebaikan yang hanya Allah mengetahui kadar jumlahnya, demikian pula amalan fardhu juga memiliki kebaikan yang hanya Allah yang mengetahui kadar jumlahnya.
Oleh karena itu, tentu saja bagian dari yang sunah ini jika banyak dapat mengimbangi bagian dari yang fardhu dan menambahkannya. Di samping itu, Allah Ta’ala juga telah memberitahukan, bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal dan bahwa kebaikan dapat menghapuskan kesalahan (Lihat Fiqhus Sunnah tentang Qadha’ush Shalah).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Syarah Kitab Tauhid (41)

Kamis, 24 Mei 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الحكم بغير ما أنزل الله أحواله وأحكامه‬‎
Syarah Kitab Tauhid (41)
(Berhakim Kepada Selain Allah Azza wa Jalla)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Berhakim Kepada Selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
Firman Allah Ta’ala,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (61) فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62)
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari Thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.--Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.--Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna." (Qs. An Nisaa’: 60-62)
**********
Penjelasan:
Penulis (Syaikh M. At Tamimi) memasukkan masalah ini ke dalam kitab tauhidnya adalah karena termasuk bagian tauhid dan konsekwensinya adalah menjadikan kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai hakim dalam berbagai perselisihan, karena hal ini termasuk konsekwensi dua kalimat syahadat. 
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari orang yang mengaku beriman kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan kepada para nabi sebelumnya alaihimus salam, namun dalam menyelesaikan masalah malah memilih mendatangi selain Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alahi wa sallam, ia malah memilih berhakim kepada thagut yang Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengingkarinya, dan setan hendak menyesatkan mereka yang berhakim kepada thagut itu dari jalan yang hak (benar) kepada jalan yang batil. Dan ketika mereka diajak berhakim kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, mereka malah berpaling menyombongkan diri, maka bagaimanakah keadaan mereka nantinya ketika mendapatkan musibah, lalu mereka butuh mendatangi Rasul  agar Beliau berdoa kepada Allah menghilangkan musibah yang menimpa mereka, lalu mereka datang sambil meminta maaf terhadap tindakan mereka bahwa mereka tidak bermaksud menyelisihi melainkan hendak berbuat baik dan mengadakan pendekatan dengan manusia. Mereka menyampaikan alasan ini agar sikap mereka dibenarkan.
Kesimpulan:
1.      Wajibnya berhakim kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, ridha terhadap hal itu dan menerimanya.
2.      Orang yang tidak mau berhakim kepada syariat Islam belum dikatakan mukmin, bukan sebagai orang yang hendak mengadakan perbaikan meskipun menyatakan bahwa dirinya bermaksud mengadakan perbaikan.
3.      Berhukum kepada selain yang Allah turunkan adalah thagut, dan barang siapa yang berhukum dengan selain yang Allah turunkan, maka sama saja ia berhakim kepada thagut.
4.      Wajibnya kafir kepada thagut.
5.      Peringatan agar waspada terhadap tipu daya setan dan usahanya menghalangi manusia dari jalan yang lurus.
6.      Barang siapa yang diajak berhukum kepada hukum Allah, maka wajib diikuti dan diterima, jika menolaknya berarti ia seorang munafik.
7.      Pengakuan ‘bermaksud mengadakan perbaikan’ bukanlah sebagai alasan yang diterima ketika berhadapan dengan hukum Allah, karena hukum Allah untuk memperbaiki kondisi manusia.
**********
Firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ قَالُواْ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu mengadakan kerusakan di muka bumi.” Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (Qs. Al Baqarah: 11)
**********
Penjelasan:
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di antara sifat kaum munafikin, yaitu ketika mereka dilarang berbuat maksiat yang menjadikan bumi menjadi rusak karena mendatangkan berbagai hukuman dan azab, serta ketika mereka diperintahkan mengerjakan ketaatan yang menjadikan kondisi bumi menjadi baik, mereka malah mengatakan, bahwa mereka adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan. Mereka memandang kerusakan sebagai perbaikan; karena hati mereka yang telah tertimpa penyakit. Disebutkan ayat di atas dalam bab ini adalah untuk menerangkan, bahwa barang siapa yang mengajak berhakim kepada selain yang Allah turunkan atau menyeru kepada maksiat, maka berarti ia telah datang membawa kerusakan yang besar di bumi.
Abu Bakar bin Iyasy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk bumi sedangkan mereka berada dalam kerusakan, maka Allah memperbaiki kondisi mereka dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, barang siapa yang mengajak untuk mengikuti selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang mengadakan kerusakan.”
Kesimpulan:
1.      Peringatan dari berhukum dengan undang-undang dan aturan yang bertentangan dengan syariat meskipun para penyerunya menyatakan bahwa maksud mereka baik.
2.      Pernyataan ‘mengadakan perbaikan’ bukanlah sebagai alasan untuk meninggalkan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla.
3.      Peringatan agar tidak ujub dengan pendapatnya.
4.      Orang yang sakit hatinya melihat kebenaran sebagai kebatilan, dan melihat kebatilan sebagai kebenaran.
5.      Niat yang baik tidak bisa membenarkan sikap menyelisihi syariat.
**********
Firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (Qs. Al A’raaf: 56)
**********
Penjelasan:
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya melakukan kerusakan di muka bumi berupa mengerjakan maksiat dan mengajak kepada kemaksiatan setelah Allah memperbaikinya dengan mengutus para rasul yang menerangkan syariat-Nya dan mengajak mereka menaati Allah Azza wa Jalla. Dengan demikian, beribadah kepada selain Allah, berdoa kepada selain-Nya, menyekutukan-Nya, berbuat zalim dan maksiat merupakan perkara-perkara yang merusak bumi.
Dalam ayat di atas terdapat isyarat bahwa mengajak berhakim kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala sama saja berusaha mengadakan kerusakan di muka bumi.
Kesimpulan:
1.      Semua maksiat merusak kondisi bumi.
2.      Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam merupakan perkara yang memperbaiki bumi.
3.      Berhakim kepada selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan usaha merusak bumi.
4.      Baiknya kondisi masyarakat atau rakyat hanya tercapai dengan berhakim kepada kitab yang Allah turunkan dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
**********
Firman Allah Ta’ala,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Qs. Al Maidah: 50)
**********
Penjelasan:
Jahiliyah adalah kondisi sebelum datangnya Islam dan semua yang menyelisihi Islam.
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari mereka yang meninggalkan hukum Allah –padahal hukum-Nya mengandung kebaikan, keadilan, dan mencegah dari semua keburukan- malah berpaling kepada hukum selain-Nya yang hanya merupakan ide, pendapat, dan hawa nafsu yang ditetapkan sebagian orang tanpa bersandar kepada syariat Allah sebagaimana yang dilakukan kaum Jahiliyyah.
Ayat di atas menunjukkan, bahwa mereka yang mencari hukum selain Allah Azza wa Jalla seperti undang-undang dan aturan buatan, maka sama saja menginginkan hukum Jahiliyyah.
Kesimpulan:
1.      Wajibnya berhukum dengan hukum Allah.
2.      Ketetapan yang menyelisihi syariat Allah termasuk hukum Jahiliyyah.
3.      Berhukum kepada hukum selain Allah Azza wa Jalla termasuk kekufuran.
**********
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits shahih. Telah diriwayatkan kepada kami dalam kitab Al Hujjah dengan isnad yang shahih.”
**********
Penjelasan:
Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali berkata, “Penyusun kitab Al Hujjah adalah Syaikh Abul Fath Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi Asy Syafi’i, seorang Ahli Fiqih yang zuhud dan tinggal di Damaskus. Nama kitabnya adalah ‘Al Hujjah ala Tarikil Mahajjah’ yang memuat pokok-pokok agama sesuai kaedah Ahlul hadits was sunnah. Hadits tersebut disebutkan oleh Al Hafizh Abu Nu’aim dalam kitab Al Arba’in, dimana pada bagian awalnya ia mensyaratkan agar hadits dan atsarnya shahih yang telah disepakati oleh para penukil tentang keadilan periwayatnya, dan disebutkan oleh para imam di kitab musnad mereka. Selanjutnya ia menyebutkan dari Thabrani dengan sanad berikut:
Telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdurrahman bin Hatim Al Muradi, telah menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, dari Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin, dari Uqbah bin Aus, dari Abdullah bin Amr ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa dan tidak menyimpang darinya.”  Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Hafizh Abu Bakar bin Ashim Al Ashbahani, dari Ibnu Warah, dari Nu’aim bin Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, telah menceritakan kepada kami sebagian syaikh kami Hisyam atau selainnya, dari Ibnu Sirin, dan seterusnya, namun tanpa lafaz ‘dan tidak menyimpang darinya.’ Al Hafizh Abu Musa Al Madini berkata, “Hadits ini diperselisihkan terhadap Nu’aim. Dan disebutkan di sana, “Telah menceritakan kepada kami sebagian syaikh kami, telah menceritakan kepada kami Hisyam atau selainnya.”
Al Hafizh Ibnu Rajab melanjutkan kata-katanya, “Penshahihan terhadap hadits ini sangat jauh sekali karena beberapa sisi, di antaranya: Hadits tersebut diriwayatkan secara sendiri oleh Nu’aim bin Hammad Al Marwazi. Nu’aim ini meskipun dianggap tsiqah oleh banyak para imam, dan disebutkan oleh Bukhari, namun para imam Ahli Hadits hanyalah berhusnuzhzhan (bersangka baik) kepadanya karena kuatnya berpegang dengan sunnah dan kerasnya membantah Ahli Bid’ah, namun mereka menisbatkan dirinya wahm (keliru) dan samar beberapa hadits baginya, dan ketika mereka mengetahui hadits-hadits yang munkar darinya, mereka pun menghukuminya dhaif (lemah). Shalih bin Muhammad Al Hafizh meriwayatkan dari Ibnu Ma’in saat ditanya tentang Nu’aim, ia menjawab, “Tidak ada apa-apanya, akan tetapi ia seorang yang berpegang dengan sunnah.” Shalih berkata, “Ia menyampaikan hadits dengan hafalannya dan memiliki banyak riwayat munkar yang tidak dimutaba’ahkan.” Abu Dawud berkata, “Pada diri Nu’aim ada kurang lebih 20 hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang tidak memiliki dasar.” Nasa’i berkata, “Dha’if.” Sesekali ia menyatakan, “Tidak tsiqah,” dan menyatakan, “Banyak menyendiri dalam hadits yang cukup banyak dari para imam yang terkenal sehingga ia termasuk orang yang tidak bisa dijadikan hujjah.” Abu Zur’ah Ad Dimasyqi berkata, “Ia memaushulkan hadits-hadits yang dimauqufkan manusia,” yakni memarfukan yang mauquf. Abu Arubah Al Harrani berkata, “Keadaannya gelap.” Abu Sa’id bin Yunus berkata, “Ia meriwayatkan hadits-hadits yang munkar dari orang-orang yang tsiqah.” Bahkan yang lain sampai menyatakan bahwa ia memalsukan hadits. Selain itu, di manakah kawan-kawan Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, kawan-kawan Hisyam bin Hassan, dan kawan-kawan Ibnu Sirin dari meriwayatkan hadits yang Nu’aim meriwayatkannya secara sendiri?” Di samping itu, pada Nu’aim diperselisihkan isnadnya, sesekali disebutkan diriwayatkan darinya, dari Ats Tsaqafi, dari Hisyam, dan diriwayatkan darinya, dari Ats Tsaqafi, telah menceritakan kepada kami sebagian guru kami Hisyam atau selainnya, sehingga jika demikian, maka Syaikh Ats Tsaqafi tidak diketahui orangnya. Demikian juga sesekali disebutkan, telah diriwayatkan darinya, dari Ats Tsaqafi, telah menceritakan kepada kami sebagian guru kami, telah menceritakan kepada kami Hisyam atau selainnya, maka berdasarkan riwayat ini Ats Tsaqafi meriwayatkan dari seorang syaikh yang majhul, sedangkan syaikhnya meriwayatkan dari seorang yang tidak disebutkan namanya, sehingga bertambah majhul isnadnya. Selain itu, dalam isnadnya terdapat Uqbah bin Aus As Sudusay Al Bashri yang disebut juga Ya’qub bin Aus, dimana haditsnya disebutkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amr, ada yang menyebutkan Abdullah bin Umar, sehingga isnadnya mudhtharib (goncang). Ya’qub tersebut telah ditsiqahkan oleh Al Ijliy, Ibnu Sa’ad, dan Ibnu Hibban. Ibnu Khuzaimah berkata, “Ibnu Sirin seorang yang mulia meriwayatkan darinya.” Ibnu Abdil Bar berkata, “Majhul.” Al Ghallabiy dalam tarikhnya berkata, “Mereka berpendapat, bahwa ia tidak mendengar hadits dari Abdullah bin Amr, ia hanya menyatakan, “Abdullah bin Amr berkata.“ Berdasarkan keterangan ini, maka riwayatnya dari Abdullah bin Amr adalah terputus, wallahu a’lam. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam 2/393)
Dengan demikian, hadits di atas adalah dhaif, akan tetapi maknanya benar sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An Nisaa’: 65)
Maksud hadits di atas adalah seseorang tidak sempurna imannya dengan keimanan yang wajib sampai nafsunya sesuai dengan apa yang dibawa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berupa perintah, larangan, dsb. Ia pun mencintai apa yang Beliau perintahkan dan membenci apa yang Beliau larang.
Kesimpulan:
1.      Wajib mencintai apa yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berupa syariat serta mengamalkannya.
2.      Wajib membenci semua yang menyelisihi syariat yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
3.      Tidak beriman orang yang hatinya cenderung menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
**********
Asy Sya’biy berkata, “Pernah terjadi pertengkaran antara orang munafik dan orang yahudi. Orang Yahudi itu berkata, “Mari kita berhakim kepada Muhammad,” karena ia mengetahui bahwa Beliau tidak menerima suap, sedangkan orang munafik itu berkata, “Mari kita berhakim kepada orang Yahudi,” karena ia tahu bahwa orang-orang Yahudi menerima suap, maka keduanya sepakat mendatangi seorang dukun di Juhainah dan meminta keputusan kepadanya, lalu turunlah ayat, “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?....dst. (Lihat Qs. An Nisaa’: 60-62).”
**********
Asy Sya’bi adalah Amir bin Syurahbil, atau Amir bin Abdullah bin Syurahbil Asy Sya’bi Al Himyariy Abu Amr Al Kufi, seorang tsiqah, hafizh, ahli fiqih dari kalangan tabi’in. Ada yang berpendapat, bahwa ia wafat pada tahun 103 H, semoga Allah merahmatinya.
Menurut Imam Asy Sya’bi rahimahullah, ayat di atas (Qs. An Nisaa’: 60-62) turun berkenaan dengan seorang yang mengaku beriman namun berhakim kepada selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena menghindar dari keputusan Beliau yang adil, dan membuatnya berhakim kepada thagut tanpa peduli bahwa hal itu bertentangan dengan konsekwensi iman, dimana hal tersebut menunjukkan dusta pengakuannya beriman.
Dengan demikian, bahwa berhukum kepada selain syariat Allah bertentangan dengan keimanan kepada Allah dan kepada kitab-kitab-Nya.
Kesimpulan:
1.      Wajibnya berhukum kepada syariat Allah.
2.      Berhakim kepada selain syariat Allah bertentangan dengan konsekwensi keimanan.
3.      Berhukum kepada selain Allah adalah sifat orang-orang munafik.
4.      Membuka tabir kaum munafik, bahwa mereka lebih buruk dan berbahaya dari orang-orang yang jelas-jelas kafir.
5.      Haramnya mengambil suap, dan bahwa yang demikian adalah akhlak orang-orang Yahudi, dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat baik pemberi maupun penerimanya.
**********
Ada yang mengatakan, bahwa ayat tersebut (Qs. An Nisaa’: 60-62) turun berkenaan dengan dua orang yang bertengkar, yang satu berkata, “Ayo kita bawa masalah ini kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam,” sedangkan yang lain berkata, “Ayo kita bawa kepada Ka’ab Al Asyraf,” lalu keduanya menyampaikan masalah itu kepada Umar dan salah satunya menyampaikan masalah mereka kepadanya, maka Umar berkata kepada orang yang tidak ridha dengan keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Benarkah demikian?” Ia menjawab, “Ya.” Umar pun menebas leher orang itu dengan pedang.
**********
Penjelasan:
Ka’ab Al Asyraf adalah seorang Yahudi dari suku Thayyi’, ibunya dari Bani Nadhir, ia seorang yang sangat memusuhi Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Riwayat di atas disebutkan oleh Ats Tsa’labi sebagaimana tercantum dalam Ad Durrul Mantsur (2/582), demikian pula diriwayatkan oleh Al Kalbi sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (5/37) dari Ibnu Abbas. Al Hafizh berkata, “Isnad ini meskipun dha’if (lemah), tetapi menjadi kuat karena ada jalur Mujahid, disebutkan oleh Thabari dalam tafsirnya (1/154) dengan isnad yang shahih.”
Atsar di atas merupakan pendapat lain tentang sebab turunnya Qs. An Nisaa’: 60-62, dan dalam kisah tersebut saat berita itu sampai ke telinga Umar, maka Umar memastikan pernyataannya itu. Setelah jelas masalahnya, maka Umar membunuh orang yang tidak ridha dengan keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu. Hal ini menunjukkan kufurnya orang yang lebih mengutamakan hukum selain hukum Allah Azza wa Jalla.
Kesimpulan:
1.      Berhakim kepada selain Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam untuk menyelesaikan masalah merupakan kekufuran.
2.      Mengajak berhakim kepada selain Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam merupakan sifat orang-orang munafik.
3.      Disyariatkan marah karena Allah dan agama-Nya.
4.      Disyariatkan mengingkari kemungkaran dengan tangan bagi yang mampu.
5.      Bersikap tatsabbut (hati-hati dan memastikan sesuatu) sebelum bertindak.
6.      Mengetahui yang hak (benar) menghendaki untuk mengamalkan dan tunduk mengikutinya.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Jami’ul Ulum wal HIkam (Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Terjemah Umdatul Ahkam (25)

Senin, 14 Mei 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫كتاب البيوع‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (25)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kitab Jual-Beli
Bab Araya dan sebagainya
271 - عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ - رضي الله عنه - ((أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَخَّصَ لِصَاحِبِ الْعَرِيَّةِ: أَنْ يَبِيعَهَا بِخَرْصِهَا))
وَلِمُسْلِمٍ: ((بِخَرْصِهَا تَمْراً , يَأْكُلُونَهَا رُطَباً)) .
271. Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan keringanan terhadap pemilik ariyyah, yaitu dengan menjual kurma basah dengan perkiraan.” (Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Memperkirakan dengan kurma kering, dimana orang-orang miskin dapat memakan kurma yang basah (segar).”)
Ariyyah (jamaknya araya) adalah menjual kurma basah yang masih di pohon dengan kurma kering yang ditakar. Ariyyah ini termasuk masalah yang dikecualikan dari jual beli muzabanah. Telah diterangkan syarat-syaratnya di hadits sebelumnya.
272 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه -: ((أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَخَّصَ فِي بَيْعِ الْعَرَايَا فِي خَمْسَةِ أَوْسُقٍ أَوْ دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ)) .
272. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan keringanan untuk jual-beli araya selama dalam batas lima wasaq (1 wasaq = 60 sha) atau di bawah lima wasaq.
273 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((مَنْ بَاعَ نَخْلاً قَدْ أُبِّرَتْ فَثَمَرُهَا لِلْبَائِعِ , إلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ)) . وَلِمُسْلِمٍ ((وَمَنْ ابْتَاعَ عَبْداً فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ إلاَّ أَنْ يُشْتَرَطَ الْمُبْتَاعُ)) .
273. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menjual pohon kurma yang sudah dikawinkan, maka buahnya untuk penjual kecuali jika pembeli mensyaratkan untuknya.” (Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barang siapa yang membeli budak, maka hartanya untuk penjual kecuali jika pembeli mensyaratkan untuknya.”)
274 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلا يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ)) وَفِي لَفْظٍ: ((حَتَّى يَقْبِضَهُ)) . وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ مِثْلُهُ.
274. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membeli makanan, maka jangan ia jual sebelum ia menerima dengan sempurna.” (Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Sampai ia menerimanya.”) Dari Ibnu Abbas juga disebutkan hal yang sama dengan ini.
275 - عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ: ((إنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ؟ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ , وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ. وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ. فَقَالَ: لا، هُوَ حَرَامٌ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عِنْدَ ذَلِكَ: قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ. إنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا، جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ)) .
275. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda pada saat Fathu Mekkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr (arak), bangkai, babi, dan patung. Lalu ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu tentang lemak bangkai? Karena lemak itu digunakan untuk melumuri kapal perahu dan untuk meminyaki kulit, serta dipakai lampu oleh manusia?” Beliau menjawab, “Tidak boleh. Itu haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, maka mereka mencairkannya, menjualnya dan memakan hasilnya.”
Bab Salam
Salam secara istilah artinya menjual sesuatu yang disifatkan dengan bayaran yang disegerakan (pemesanan dengan bayaran segera).
276 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: ((قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْمَدِينَةَ , وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ: السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ وَالثَّلاثَ. فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ , وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ , إلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ)) .
276. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, ketika itu penduduknya melakukan salam (bayar di awal dan menerima barangnya setelah tiba waktunya) pada buah-buahan untuk setahun, dua tahun, atau tiga tahun, lalu Beliau bersabda, “Barang siapa yang melakukan salam terhadap sesuatu, maka hendaknya ia melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan sampai waktu yang jelas.”
Bab Syarat Dalam Jual-Beli
277 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((جَاءَتْنِي بَرِيرَةُ: فَقَالَتْ: كَاتَبْتُ أَهْلِي عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ , فِي كُلِّ عَامٍ أُوقِيَّةٌ. فَأَعِينِينِي. فَقُلْتُ: إنْ أَحَبَّ أَهْلُكِ أَنْ أَعُدَّهَا لَهُمْ , وَوَلاؤُكِ لِي فَعَلْتُ. فَذَهَبَتْ بَرِيرَةُ إلَى أَهْلِهَا , فَقَالَتْ: لَهُمْ. فَأَبَوْا عَلَيْهَا. فَجَاءَتْ مِنْ عِنْدِهِمْ وَرَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - جَالِسٌ. فَقَالَتْ: إنِّي عَرَضْتُ ذَلِكَ عَلَى أَهْلِي , فَأَبَوْا إلاَّ أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْوَلاءُ. فَأَخْبَرَتْ عَائِشَةُ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم -. فَقَالَ: خُذِيهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الْوَلاءَ. فَإِنَّمَا الْوَلاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ. فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ. ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي النَّاسِ , فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ. فَمَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطاً لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ. قَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ. وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ. وَإِنَّمَا الْوَلاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ))
277. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Suatu ketika Barirah datang kepadaku dan berkata, “Aku telah mengadakan mukatabah dengan tuanku (membeli dirinya dari tuannya)  dengan bayaran Sembilan uqiyah (1 Uqiyah = 12 dirham). Setiap tahunnya aku bayarkan 1 uqiyah, maka bantulah aku. Aku pun berkata, “Jika tuanmu mau, aku bisa siapkan uang sejumlah itu untuk mereka, namun wala(kewarisan)mu menjadi milikku.” Maka Barirah pergi mendatangi tuannya dan menyampaikan hal itu kepadanya, namun ternyata mereka menolaknya, lalu Barirah datang dari sisi mereka, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan duduk, kemudian Barirah berkata, “Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka, namun mereka menolak kecuali jika walanya buat mereka,” maka Aisyah menyampaikan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu Beliau bersabda, “Ambillah (Barirah) dan mintalah syarat agar walanya untukmu, karena wala itu bagi orang yang memerdekakan.” Maka Aisyah radhiyallahu anha melakukan hal itu, lalu Rasulullah shallallahu  alaihi wa sallam berdiri di tengah-tengah manusia memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda, “Amma ba’du, mengapa orang-orang membuat syarat yang tidak ada dalam kitabullah? Semua syarat yang tidak ada dalam kitabullah adalah batil meskipun seratus syarat. Ketetapan Allah itulah yang berhak diikuti. Syarat Allah lebih kuat. Sesungguhnya wala itu untuk orang yang memerdekakan.”
278 - عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما ((أَنَّهُ كَانَ يَسِيرُ عَلَى جَمَلٍ فَأَعْيَا , فَأَرَادَ أَنْ يُسَيِّبَهُ. فَلَحِقَنِي النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - فَدَعَا لِي , وَضَرَبَهُ. فَسَارَ سَيْراً لَمْ يَسِرْ مِثْلَهُ. ثُمَّ قَالَ: بِعْنِيهِ بِوُقِيَّةٍ. قُلْتُ: لا. ثُمَّ قَالَ: بِعْنِيهِ. فَبِعْتُهُ بِأُوقِيَّةٍ. وَاسْتَثْنَيْتُ حِمْلانَهُ إلَى أَهْلِي. فَلَمَّا بَلَغْتُ: أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ. فَنَقَدَنِي ثَمَنَهُ. ثُمَّ رَجَعْتُ. فَأَرْسَلَ فِي إثْرِي. فَقَالَ: أَتُرَانِي مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ؟ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ. فَهُوَ لَكَ))
278. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, bahwa ia pernah mengadakan perjalanan menaiki unta, tetapi unta itu sudah lemah, sehingga Jabir hendak melepasnya, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam menemuinya dan mendoakan kebaikan untuk Jabir, kemudian memukul unta itu, maka unta pun berjalan (cepat) di luar biasanya, lalu Beliau bersabda, “Juallah kepadaku 1 uqiyah!” Aku menjawab, “Tidak.”  Beliau bersabda lagi, “Juallah kepadaku 1 uqiyah!” Maka aku menjualnya kepada Beliau, tetapi aku meminta pengecualian agar aku tetap diangkut di atas unta itu sampai ke keluargaku. Setelah aku sampai, maka aku datang kepada Beliau dengan membawa unta itu dan Beliau membayarkan uangnya kepadaku dengan tunai, lalu aku pulang, kemudian Beliau mengirim orang untuk membuntutiku, lalu ia berkata, “Apakah menurutmu aku hendak meminta dikurangi harganya untuk mengambil untamu? Ambillah unta dan dirhammu, semua itu untukmu.”
279 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: ((نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ. وَلا تَنَاجَشُوا وَلا يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ. وَلا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَتِهِ. وَلا تَسْأَلِ الْمَرْأَةُ طَلاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفِئَ مَا فِي صَحْفَتِهَا))
279. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang orang kota menjualkan barang orang desa. Beliau melarang najsy (persekongkolan untuk mengelabui pembeli), melarang seseorang menjual barang yang telah dijualkan oleh saudaranya, melarang melamar wanita yang sudah dipinang saudaranya, dan melarang wanita meminta supaya madunya diceraikan agar dibalikkan apa yang ada di atas piringnya (nafkahnya hanya diberikan kepadanya).”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger